SUKU Ranau sebenarnya berasal dari Lampung Barat. Mereka pindah dari daerah asalnya, kemudian menetap di tepian danau di Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, sejak abad ke-15. Suku asli yang sebelumnya tinggal di kawasan danau justru hijrah ke Lampung Tengah.
Setidaknya cerita itulah yang banyak beredar di tengah masyarakat. Tidak ada bukti tertulis, seperti prasasti atau manuskrip, yang mendukung kisah asal-usul suku tersebut. Kebenaran sejarah itu lebih banyak bertumpu pada penuturan nenek moyang, ditambah adanya sejumlah makam tetua suku yang masih bisa dijumpai sampai sekarang.
Menurut Ketua Pemangku Adat Ranau Ruslan Tamimi, saat ditemui awal November lalu, kawasan Danau Ranau semula didiami suku Abung, yang berkembang sekitar tahun 1.400. Mereka hidup menjadi penangkap ikan, bertani, atau berkebun.
Pada abad ke-15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki Ranau. Satu kelompok berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat, yang dipimpin Depati Alam Padang yang menempati sebelah barat Ranau.
Tiga kelompok lagi dari Sekala Brak, Lampung. Kelompok Sekala Brak yang dipimpin Raja Singa Juhku menetap di sebelah timur, kelompok pimpinan Puyang Empu Sejadi Helau di sebelah utara, dan kelompok yang dipimpin Pangeran Liang Batu serta Pahlawan Sawangan menempati wilayah timur Ranau.
Keempat kelompok itu kemudian berbaur dan terpilah lagi dalam tiga kawasan, yaitu di Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warku. Kehidupan semua kelompok diatur dengan sistem marga yang masing-masing dipimpin seorang pesirah. Mereka itulah yang menjadi cikal bakal dan akhirnya disebut suku Ranau sampai sekarang. Adapun suku asli, suku Abung, terdesak dan akhirnya hijrah ke Lampung Tengah.
Bertahan hidup
Hingga kini suku Ranau mempertahankan hidup dengan cara bertani, berladang, dan menangkap ikan. Sebagian sawah yang ada memiliki irigasi teknis sehingga bisa panen tiga kali setahun.
Sistem pemerintahan marga mengatur hampir semua sisi kehidupan masyarakat. Suku Ranau otonom dan tidak tunduk kepada kerajaan mana pun, termasuk Kerajaan Palembang Darussalam yang berpusat di Palembang (abad XVI-XVIII).
Pada abad XVIII, suku Ranau ditaklukkan Belanda. Pada tahun 1908, Belanda menyatukan tiga marga suku Ranau menjadi satu marga saja yang dipimpin satu pesirah yang berkedudukan di Banding Agung. Pesirah pertama adalah Pangeran Amrah Depati Muslimin, disusul Ahmad Abi Sujak Berlian, Depati Nawawi, Depati Johansyahfri, dan terakhir Depati Ruslan Tamimi, yang memimpin marga Ranau pada tahun 1980-1992.
Tugas pesirah adalah mengatur pemerintahan, adat, dan budaya anggota suku yang tersebar di 32 desa yang disebut kriyo.
Di bawah sistem marga, suku Ranau memiliki semacam anggaran belanja sendiri yang disebut nilayan marga, yang mengatur pemasukan dan pengeluaran pemerintahan marga. Pesirah dibantu kriyo (setara dengan kepala desa) dan penggawo (setara dengan kepala dusun). Ada juga pengurus air yang disebut uae lampai ni salah dan bagian keamanan yang disebut kenit.
"Selama ratusan tahun sistem marga memiliki wibawa dan ditaati secara tradisional sehingga kehidupan suku Ranau relatif terjaga. Etika, seni budaya, dan hukum adat istiadat dapat ditegakkan dengan baik. Pentas kesenian, gotong royong, dan pelestarian lingkungan dijunjung tinggi," ungkap Ruslan Tamimi.
Sistem marga berhenti pada tahun 1994, setelah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang mengubah sistem marga menjadi sistem desa. Pemerintahan suku Ranau kemudian dipimpin seorang camat yang berkedudukan di Banding Agung.
Namun, adat istiadat tetap diurus secara terpisah oleh seorang pemangku adat terpilih, yang dijabat Ruslan Tamimi sejak tahun 1992 hingga sekarang.
Penambangan
Sejak dikendalikan dengan sistem pemerintahan desa yang longgar dan birokratis, kehidupan suku Ranau berangsur berubah. Sendi-sendi adat, sikap gotong royong, serta kesadaran untuk melestarikan lingkungan secara perlahan berkurang. Salah satu contoh nyata, sebagian dari Bukit Barisan yang mengelilingi Danau Ranau sebelah timur dan utara rusak parah akibat ditambang secara liar sejak pertengahan tahun 1990-an.
Penambangan menggerogoti Bukit Petambon yang terdapat di Desa Subik dan Jepara, Kecamatan Banding Agung. Setidaknya ada lima lokasi penambangan di kawasan sepanjang sekitar tiga kilometer itu. (IAM)
Sumber: Kompas, Senin, 11 Desember 2006
No comments:
Post a Comment