-- Syafnijal Datuk Sinaro
BANDAR LAMPUNG - Sebagai salah satu daerah yang memiliki akar budaya beragam, Lampung boleh bangga. Tapi seiring kian kuatnya arus budaya global, Lampung risau karena budaya lokalnya terancam punah.
Untunglah dalam upayanya bertahan, masih ada putra daerah ini yang peduli pada kelestarian budaya daerah ini, terutama dalam hal seni kulintang pring.
Dia adalah Syapril Yamin (38). Selain sebagai pemain musik tradisional Lampung kulintang pring, ia sekaligus memproduksi alat musik yang terbuat dari bambu tersebut. Bahkan ia kini mungkin merupakan satu-satunya perajin sekaligus pemain yang menekuni alat musik tradisional ini.
Bagi Syapril, musik yang dimainkan dengan dipukul seperti gamelan tersebut bukan sesuatu yang baru. Maklum, ayah Yamin yang berasal dari Lampung Barat, merupakan pemain musik kulintang di daerahnya. Saat ayahnya masih muda, setiap kali warga mengadakan hajatan atau pesta perkawinan selalu dihibur dengan menampilkan musik kulintang untuk mengiringi tari-tarian tradisional dan lagu-lagu daerah.
Syapril yang ketika itu masih duduk di bangku SD sering dibawa orang tuanya bermain musik ke pesta-pesta dan hajatan. Sebagai bocah, ia senang meskipun harus berjalan kaki berkilo-kilometer ke rumah warga yang mengadakan pesta. Yang mengasyikkan bagi Syapril, di setiap pesta ia bisa makan enak bersama teman-temannya.
“Akhirnya, saya menyenangi musik ini dan belajar dengan bapak bagaimana cara memainkannya,” kata Syapril kepada Sinar Harapan di Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL), Pusat Kesenian dan Olahraga (PKOR) Bandar Lampung, beberapa hari lalu.
Lama-kelamaan, pengurus DKL ini mahir bermain kulintang dan mulai menggantikan peran orang tuanya jika diundang ke pesta dan hajatan. Setamat dari SMA di Liwa, Lampung Barat tahun 1985, ia hijrah ke Bandar Lampung dan mulai mengisi berbagai acara di tingkat provinsi yang menampilkan musik dan seni tradisional. Ia pun mulai mengajarkan bermain kulintang di berbagai sekolah menengah di Bandar Lampung.
Untuk mendukung pelestarian dan pengembangan musik tradisi Lampung ini, ia mencoba memproduksi alat musik yang berbahan baku dari bambu betung ini sejak 1993.
Ia bahkan sempat belajar ke Bandung mengenai cara penotasian di sebuah sanggar angklung, alat musik yang bahan bakunya juga dari bambu.
Agar bunyi kulintang tidak berubah, bahan bakunya harus berasal dari bambu yang tua dan dibiarkan kering secara alami minimal setahun. Pengeringan tidak boleh menggunakan sinar matahari melainkan harus disimpan di tempat yang terlindung.
Kulintang terdiri dari tujuh bilah bambu, disusun dari yang paling panjang hingga terpendek. Yang paling panjang berukuran 32 cm dengan bunyi nada paling rendah. Sementara itu, yang paling pendek berukuran 26 cm yang nadanya paling tinggi. Dalam mengiringi lagu dan tari, biasanya kulintang dilengkapi dengan gendang dan goy--sejenis biola tradisional Lampung.
Menurut sejarahnya, kulintang pring merupakan musik tradisi yang berkembang di Kerajaan Skalabrak, Belalau, Lampung Barat. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Lampung setelah berakhirnya pengaruh Kerajaan Majapahit dari Jawa yang beragama Hindu. Kerajaan ini banyak mendapat pengaruh dari Kerajaan Melayu Minangkabau di Sumatera Barat. Saat itu musik kulintang merupakan alat musik rakyat yang biasa ditampilkan dalam acara-acara pesta perkawinan dan hajatan lainnya.
Budaya Global
Dalam memasarkan alat musik ini, Syapril mengaku cukup berat seiring makin tenggelamnya budaya tradisional disapu budaya global. Hingga 13 tahun kemudian, pesanan yang datang masih terbatas, hanya dari sanggar-sanggar seni dan Dinas Pendidikan Nasional. Khusus pesanan Diknas, itu digunakan untuk bantuan instansi tersebut ke sekolah-sekolah dalam rangka pengembangan mata pelajaran muatan lokal dan kegiatan ekstrakurikuler.
Demikian pula acara-acara resmi yang menampilkan musik tradisional, termasuk kulintang juga tidak berkembang, malah kian berkurang. “Mungkin karena pejabat di daerah ini banyak yang bukan orang Lampung sehingga seni dan budaya Lampung kurang diperhatikan,“ Syapril memperkirakan.
Padahal, ungkapnya, musik kulintang yang juga terdapat di daerah lain masih lestari dan bahkan berkembang. Namun yang bahan bakunya dari bambu, mungkin hanya ada di Lampung. Oleh karena itu alat musik yang bunyinya mirip gamelan ini di Lampung disebut kulintang pring. Pring berarti bambu.
Untuk mendorong pengembangan musik tradisional ini Syapril cuma minta biaya untuk pengganti bahan baku yang harus didatangkan dari Lampung Barat dan upah kerja saya yakni Rp 150.000-200.000 per set. Untuk memperbesar omzet, ia mencoba mengarahkan kulintangnya untuk dijadikan suvenir.
Beberapa temannya menyarankan agar ia mencari bapak angkat dari BUMN guna mendapatkan pinjaman modal. Tapi Syapril belum berani karena khawatir tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut.
Kendati demikian, putra asli Lampung ini tetap menekuni profesinya sebagai seniman dan perajin, sebagai bagian kepeduliannya melestarikan budaya nenek moyang. Ia berharap masyarakat dan pemerintah daerah ikut terpanggil melestarikan budaya lokal di tengah hiruk-pikuknya budaya global. n
Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 03 Januari 2007
alamat dimana
ReplyDelete