-- B Josie Susilo Hardianto
TUTUR, petani asal Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus, Lampung, mengungkapkan, sudah tidak ada lagi para pendahulu mereka yang merupakan bagian awal proyek kolonisasi Belanda. "Generasi itu sudah punah," papar Tutur.
KALAUPUN masih ada, sulit untuk menemukannya lagi. Bahkan, tampaknya sudah tidak ada lagi jejak-jejak fisik dari sejarah kolonisasi tersebut. Kalaupun ada yang tersisa adalah kota kecamatan dan wilayah bekas kolonisasi yang dinamai dengan nama-nama daerah asal peserta kolonisasi itu. Ada Desa Yogyakarta, Mataram, Bantul, Sidodadi, Sidomulyo, Surabaya, Purbolinggo, dan Jembrana.
Tak sulit menemukan para anak keturunan mereka. Sayangnya, mereka sudah tidak mengingat lagi masa-masa awal itu. Tutur misalnya, tak lagi ingat masa kecilnya. Setahunya, ia lahir di Lampung dan menganggap Lampung sebagai kampung halamannya, bukan Kedu di Jawa Tengah, tempat asal bapaknya.
Mereka pun masih fasih berbahasa Jawa, karena bahasa itu masih terus dipakai. Hingga di desa-desa di pelosok Lampung masih mudah ditemukan orang menggunakan bahasa itu. Meskipun demikian, mereka pun cukup fasih berbicara dalam bahasa Lampung.
Proses pertemuan dua budaya itu rupanya sudah berlangsung ratusan tahun. Bahkan, jauh sebelum Belanda mendatangkan penduduk baru ke Lampung di masa kolonisasi tahun 1905.
Ketika masa kejayaan bahari Nusantara ratusan tahun silam, Lampung telah menjadi tempat berlabuh bagi pelaut-pelaut asal Majapahit, Malaka, Banten, dan Bugis. Di Bandar Lampung ada sebuah kawasan yang bernama Bone, lantaran kawasan itu turun-temurun ditempati oleh warga Bugis, selain warga Lampung sendiri.
Transmigrasi paling masif di Lampung diselenggarakan pada masa Kolonial Belanda. Kala itu, Belanda hendak memperluas wilayah perkebunannya ke luar Jawa.
Tahun 1905, kala itu Lampung masih berstatus karesidenan, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan sebanyak 155 keluarga asal desa Bagelen, Kedu, Jawa Tengah, ke Lampung. Mereka ditempatkan di kawasan Gedongtataan, Lampung Selatan.
Pemindahan pertama yang dilakukan hingga tahun 1911 itu sepenuhnya dibiayai oleh Belanda. Para transmigran memperoleh bahan makanan dan berbagai perabot rumah tangga seperti piring, mangkuk, meja, dan kursi dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Program yang merupakan bagian dari politik balas budi Belanda itu, sebenarnya diarahkan untuk mendukung upaya Belanda mengelola tanah perkebunan di Lampung. Program itu dilanjutkan hingga tahun 1942. Para transmigran awal itu ditempatkan di kawasan Gedongtataan, Gadingrejo, Wonosobo di Lampung Selatan, serta di kawasan Metro, Sekampung, Trimurjo, dan Batanghari di Lampung Tengah.
"Belajar dari pengalaman di Deli dan Medan, Belanda mulai mengirim orang Jawa ke Lampung. Wilayah ini memiliki potensi dan luas, tetapi penduduknya sedikit," papar Anshori Djausal, seorang pemerhati budaya dan adat Lampung.
Kala itu jumlah penduduk di Medan sudah mencapai lebih dari satu juta orang, sedangkan di Lampung masih kurang dari 150.000 orang. "Sejak dulu orang Lampung memang sedikit, padahal Lampung ini luas sekali," papar Anshori.
Untuk mengelola tanah yang luas itulah program transmigrasi Belanda diarahkan juga ke Lampung. Ketika Jepang berkuasa, mereka mengirim warga asal Jawa ke kawasan yang dinamakan Toyosawa yang kini dikenal sebagai Kecamatan Purbolinggo di Kabupaten Lampung Tengah. Proses yang disebut dengan kokuminggakari itu merupakan proses pengiriman romusa yang dimanfaatkan sebagai kuli kerja paksa.
Proses pengiriman itu kemudian berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1950 mulai menggalakkan transmigrasi, salah satunya ke Lampung. Kawasan yang dipandang berpotensi dan sedikit penduduknya itu patut dikembangkan dengan mengirimkan warga baru ke sana.
Dengan pola pendekatan pembangunan, Pemerintah Indonesia mengirim sebanyak 23 keluarga asal Kedu, Jawa Tengah, dan ditempatkan di Sukadana, Lampung Tengah. Penyelenggara transmigrasi awal itu juga beraneka rupa mulai dari Polri dan TNI, Dinas Sosial dengan program Trans Tuna Karya dan Trans Bencana Alam serta Trans Pramuka. Pada periode tahun 1950-1969 perpindahan penduduk ke Lampung mencapai 53.263 keluarga atau sebanyak 221.035 jiwa.
Memasuki era Pembangunan Lima Tahun (Pelita), Lampung mendapat lagi tambahan penduduk sebanyak 22.362 kepala keluarga asal Jawa, Madura, dan Bali. Salah satu efek samping proses pengiriman itu adalah migrasi berantai yang menyebabkan ledakan pendatang.
Sumber: Kompas, Senin, 8 September 2003
No comments:
Post a Comment