BARANG siapa bepergian ke Lampung, baik memakai kapal atau jung atau yang lain daripada itu hendaklah membeli merica. Sedang ia tidak membawa cap yang ujudnya seperti ini, maka hendaklah betul-betul dicegah dan jangan sekali-kali diizinkan membeli merica. ITU kutipan dan terjemahan Piagam Bojong yang ditulis dengan huruf arab dan memakai bahasa Jawa Banten. Piagam itu berukuran panjang 37 sentimeter, lebar 2,45 sentimeter, dan tebal lebih kurang lima milimeter. Piagam itu menunjukkan tahun 1500 hingga 1800 Masehi pengaruh Banten terhadap Lampung, khususnya dalam perniagaan lada, sangat kuat.
Bahkan, dalam buku sejarah Lampung produksi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung disebutkan, tahun 1596 Banten pernah menyerang Palembang karena rebutan pasar komoditas tersebut. Tulang Bawang yang kala itu juga menjadi sentra produksi lada hitam sangat terpengaruh oleh Kesultanan Palembang. Palembang sebagai kota niaga sejak lama dikenal sebagai pasar lada yang berasal dari Jambi, Bangka, dan Tulang Bawang.
Demikian juga pada masa kejayaan pelayaran, Portugis pun pernah berupaya menguasai Lampung yang menjadi kawasan penghasil lada hitam utama di Sumatera. Portugis pernah menyerang Menggala, ibu kota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Penyerangan dilakukan dalam usaha menguasai pasar utama lada hitam.
Namun, yang kemudian berhasil menguasai pasar dan produksi lada hitam asal Lampung adalah Belanda. Cengkeraman Belanda lewat VOC dalam pasar lada hitam di Lampung makin kuat menyusul runtuhnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.
Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa.
Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Akan tetapi, upaya menguasai pasar lada hitam Lampung kurang memperoleh sambutan baik. Pada 21 November 1682 VOC kembali ke Jawa hanya membawa 744.188 ton lada hitam seharga 62.292,312 gulden.
Dari angka itu dapat disimpulkan bahwa Lampung kala itu dikenal sebagai penghasil lada hitam utama. Lada hitam pula yang mengilhami berbagai negara Eropa ambil bagian dalam konstelasi politik Nusantara kala itu. Penguasaan sumber rempah-rempah dunia berarti menguasai perdagangan dunia-dan tentu saja wilayah.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.
TAHUN 2004 ini diperkirakan produksi lada hitam di Lampung turun hingga 70 persen bahkan 75 persen. Penurunan produksi umumnya disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang tinggi.
"Kami sempat senang karena saat berbunga, bunganya lebat sekali. Bayangan kami, tahun ini panen lada akan membaik," tutur Sadirin, petani di Desa Sidorejo, Lampung Timur.
Namun sayang, harapan Sadirin tinggal harapan. Menjelang bunga menjadi buah, hujan turun hampir setiap hari. Bunga lada pun rontok, dan seiring dengan itu, luruh juga harapan para petani lada.
"Tahun ini kami hanya mendapat seperempat saja, kira-kira 250 kilogram," tutur Sadirin yang ditemui saat memetik lada di kebunnya. Dibandingkan dengan petani lain, Sadirin lebih beruntung karena masih mendapat hasil.
Akibat hujan yang turun deras, umumnya petani lada di Lampung Timur tidak memperoleh hasil sama sekali. Dari pemantauan Kompas di sepanjang jalan raya ke arah Sribawono, Kabupaten Lampung Timur, hanya di pelataran rumah Sadirin tampak digelar tikar dan terpal untuk menjemur lada hitam. Pelataran milik petani lainnya kosong.
"Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit, kurang sekali," tutur seorang petani lain.
Penurunan produksi lada hitam tahun ini di Lampung dibenarkan oleh Sumita, eksportir lada hitam asal Lampung. "Tahun ini produksi turun drastis. Saya tidak berani mengungkapkan berapa, tetapi yang jelas turun drastis," tutur Sumita.
Ia memperkirakan produksi lada tahun 2004 turun hingga 10.000 ton, bahkan mungkin kurang. Padahal tahun-tahun lalu bisa mencapai 25.000- 30.000 ton.
Meskipun demikian, kinerja ekspor lada hitam asal Lampung agaknya tidak akan terganggu. "Dari carry over (stok tahun berjalan) tampaknya masih cukup," ungkap Sumita.
Merosotnya produksi dan budidaya lada di Lampung juga tak lepas dari pola kebiasaan petani lada. "Umumnya petani berbondong-bondong ke kebun lada ketika harga membaik. Tetapi, ketika harga lada anjlok, mereka enggan merawat kebun," tutur seorang petani.
Padahal, jika tanaman lada dirawat dengan baik, tanaman tersebut tetap memberi hasil yang baik. Buktinya, kebun lada milik Sadirin tetap menghasilkan buah lada meskipun diempas derasnya hujan.
"Yang penting, tanaman itu memperoleh pupuk yang cukup. Seperti orang juga, kalau sudah bekerja kan perlu makan," tutur Sadirin.
Selama ini Sadirin selalu memberi tanaman ladanya pupuk kandang. Sesekali ia memberi juga pupuk buatan. "Untuk menarik tanaman supaya mau berbunga dan berbuah," tutur Sadirin.
Namun, ia tetap mengandalkan pupuk kandang sebagai sumber pupuk utama tanamannya. "Tiap karung pupuk kandang berisi lebih kurang 30 kilogram, saya beli seharga Rp 4.000," katanya.
Untuk memupuk lahannya seluas hampir satu hektar, Sadirin rela menjual dua ekor kambing. Sayang, langkah itu tidak diikuti petani lainnya. Umumnya petani enggan memupuk lahan mereka. Oleh karena itu, lahan lada menjadi kurus dan akibatnya tanaman pun tidak sehat.
Di beberapa sentra lada di Lampung, banyak tanaman tampak layu. Daunnya pun tidak berwarna hijau pekat, tetapi tampak kekuning-kuningan. Selain itu, tegakan lada juga tampak kurus.
Buruknya kebiasaan petani lada hitam Lampung diakui oleh staf Bidang Produksi Dinas Perkebunan Lampung, Muhammad Rivan. Pihaknya berulang kali mengajak petani memelihara kebun.
Tak hanya itu, Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT) pun digelar. Hanya saja, hingga saat ini upaya itu kurang berhasil. "Petani sering lupa. Inginnya hasil melulu, tapi tak mau mengurus kebun. Apalagi masih ada hasil lain, kopi dan cokelat," tutur seorang petani.
Akibatnya, petani seperti dininabobokan. Dan akibat lebih lanjut, tanaman mereka tidak mampu memberi hasil yang menguntungkan. Tidak heran jika kemudian kilau kejayaan lada hitam asal Lampung makin buram. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Senin, 06 September 2004
No comments:
Post a Comment