-- Wisnu Aji Dewabrata
Transmigrasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan memindahkan penduduk miskin ke daerah lain. Sayangnya, pemerintah terkesan setengah hati sehingga hanya seperti memindahkan kemiskinan meskipun banyak juga transmigran yang berhasil.
Arbai ingat betul waktu pertama kali datang ke lokasi transmigrasi Unit VII di Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Waktu itu tahun 1976, Arbai baru berumur 12 tahun. Bersama orangtuanya, ia meninggalkan kampung halamannya di Lumajang, Jawa Timur. Tujuannya satu, mewujudkan mimpi lepas dari kemiskinan!
Perjalanan itu tidak mudah dan melelahkan. "Dari Lumajang naik bus sampai Jakarta. Lalu pindah bus ke Merak, menyeberangi laut, naik bus lagi. Dari Pelabuhan Panjang, Lampung, naik kereta," katanya mengenang.
Perlu waktu tiga hari tiga malam untuk sampai di Cempaka di Kabupaten Ogan Komering Ilir. "Dari sana, kami naik traktor," katanya. Sebab, jalan ke lokasi transmigrasi yang berjarak 10 kilometer dari Cempaka itu belum bisa dilalui kendaraan bermotor selain traktor.
Begitu melihat kondisi lahan yang disediakan untuk para transmigran, Arbai sangat tak yakin mimpinya bisa diwujudkan. "Kalau bapak bisa mengolah tanah dan menanam, ke mana hasilnya akan dijual," keluhnya dalam hati.
Lokasi transmigrasi itu memang masih terisolasi. Untuk menuju Palembang yang berjarak 120 kilometer, misalnya, diperlukan waktu dua hari dua malam naik perahu. Jalan raya dari Palembang menuju ke lokasi transmigrasi sendiri baru dibangun 10 tahun kemudian, 1986.
Maka, tidak sedikit transmigran di Unit VII yang kini bernama Desa Bumi Harjo di Kecamatan Lempuing itu yang meninggalkan lokasi. Sejumlah transmigran yang tak punya uang untuk kembali ke Jawa memilih bertahan dengan berbagai cara. Ada yang merantau ke Palembang, ada pula yang membuka lahan baru di luar lokasi transmigrasi meski akhirnya gagal juga.
Di antara mereka yang tetap bertahan di lokasi transmigrasi adalah orangtua Arbai yang tetap bertekad keluar dari kemiskinan. "Tanah Jawa memang subur, tetapi kalau tidak punya tanah sendiri mau apa?" Itulah kata-kata yang sering ia dengarnya dari bapaknya.
Berkah karet
Tahun-tahun pertama memang mereka harus bekerja keras. Tidak sedikit yang nyaris putus asa. Secercah harapan akhirnya muncul ketika tahun 1988 perkebunan karet mulai dibuka di lokasi transmigrasi. Apalagi jalan lintas timur Sumatera yang menghubungkan Palembang-Bandar Lampung juga mulai dibangun.
Lokasi transmigrasi yang semula terisolasi pun terbuka. Bus dan truk pun hilir mudik meski jalan masih berupa tanah. Para transmigran yang semula meninggalkan lokasi pun banyak yang kembali.
Kini lokasi transmigrasi itu berubah menjadi desa yang ramai. Generasi kedua yang merupakan anak-anak dari para transmigran, seperti Arbai, yang menikmati kerja keras orangtuanya. Mereka bisa menyekolahkan anaknya ke Jawa, membangun rumah, dan membeli berbagai perabot rumah tangga.
Sarno (37), generasi kedua transmigran, kini menguasai 4,5 hektar kebun karet. Ia mengaku sangat berbahagia dengan keberhasilan yang dia capai di bumi transmigrasi. Hasil berkebun karetnya bisa untuk membangun dua rumah yang relatif mewah untuk ukuran desa transmigrasi.
Keberhasilan juga diraih keluarga Purhadi (72), yang buyutnya "hijrah" dari Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, ke Lampung sejak zaman Belanda, tepatnya tahun 1905. Purhadi merupakan generasi keempat dari keluarga Kartoredjo, transmigran yang datang sebagai tenaga kerja perkebunan Belanda bersama 42 orang lainnya.
Menjadi contoh
Keberhasilan transmigran konon sudah dijadikan contoh sejak zaman kolonial untuk merangsang lebih banyak pekerja kebun dari Pulau Jawa. Caranya, membawa para transmigran yang sudah lama bekerja di Sumatera ke Jawa sambil membawa hasil pertanian sebagai bukti keberhasilan.
Cara itu ternyata efektif. Banyak orang Jawa yang mau diajak ke Sumatera untuk membuka wilayah baru. Meski mengalami pasang surut, transmigrasi ala kolonial itu terus berlangsung hingga tahun 1941 dengan total penduduk yang dipindahkan mencapai 222.586 jiwa. Daerah baru yang semula sepi berkembang menjadi ramai. Salah satu contohnya adalah Metro yang sekarang menjadi kota di Provinsi Lampung.
Keberhasilan Belanda itu kemudian ditiru oleh Pemerintah RI. Sayangnya, pemerintah tidak serius menggarap program ini. Para transmigran umumnya merasa dibiarkan begitu saja setibanya di tanah harapan.
Banyaknya transmigran menjadi kampanye buruk. Meski begitu kondisinya, banyak juga transmigran yang berhasil.
Kini, tidak sedikit transmigran atau setidaknya anak cucu mereka yang berhasil menjadi tokoh penting di daerahnya. Entah itu pengusaha, politisi, atau pejabat publik. Sejumlah daerah eks lokasi transmigrasi juga sudah berkembang menjadi kota penting di daerah sebagai penyangga ekonomi.... (hln)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Maret 2007
No comments:
Post a Comment