METRO (Lampost): Bahasa dan sastra Lampung terkesan asing di daerah sendiri, tak seperti bahasa Sunda di Jawa Barat, bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau bahasa Palembang di Sumatera Selatan.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah MURP menyatakan keprihatinan itu di hadapan 50 guru SD se Kota Metro, pada Pembinaan dan Orientasi Pemahaman dan Penulisan Bahasa dan Aksara Lampung, Sabtu (26-5).
Menurut dia, soal itu yang mendorong Dinas Pendidikan, melalui Subdin Kebudayaan menggulirkan program ini untuk guru. Kegiatan ini, sekaligus untuk meningkatkan kualitas guru-guru bahasa Lampung agar lebih jauh memahami metode pembelajaran bahasa Lampung. Sehingga pada gilirannya nanti siswa dapat lebih mudah dalam mengapresiasikan bahasa Lampung.
Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Khaedarmansyah mengatakan, saat ini, guru memang sudah berhasil memperkenalkan dan mengajarkan aksara Lampung. Sayangnya, aksara yang dikuasai para pelajar belum digunakan sabagai bahasa komunikasi, "Penggunaan bahasa Lampung di kalangan pelajar dan masyarakat Lampung masih memprihatinkan. Ini membuat bahasa Lampung makin terpinggirkan.
Kegiatan yang berlangsung selama lima hari ini, menghadirkan para pakar bahasa dan sastra Lampung, antara lain, Suntan Purnama, Hafizi Hasan, Ahyani Ilyas, Effendi Sanusi, Iqbal Hilal, Kohar Usman. Materi yang disuguhkan sastra Lampung sebagai media penyampai pesan, pemahaman bahasa dan aksara Lampung, metode pembelajaran bahasa Lampung, sejarah dan perkembangan bahasa dan aksara Lampung, bahasa Lampung sebagai media komunikasi, dan aksara Lampung dalam pendidikan formal. n DWI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 Mei 2007
May 29, 2007
May 26, 2007
KoBER Gelar Sarasehan Seni
BANDAR LAMPUNG---Hari ini (26-5) Komunitas Berkat Yakin (KoBER) akan mengelar kegiatan sarasehan seni dan pementasan story telling dalam rangka Milad KoBER ke-5 di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) lantai 1 Universitas Lampung (Unila).
Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila Yetti Susanti mengatakan kegiatan ini akan digelar pukul 09.00 sampai 21.00.
Kegiatan ini akan diisi sarasehan seni bertajuk Evaluasi dan Proyeksi Pementasan Teater pada Hajatan Teater Lampung. "Karena program yang digulirkan jaringan teater pelajar dan mahasiswa Lampung cukup berhasil sehingga adanya jalinan kerjasama antarkelompok teater dan KoBER," kata Yetti, Jumat (26-5).
Dia mengatakan kegiatan ini sekaligus merupakan ajang silaturahmi antarkelompok teater yang terlibat dalam hajatan teater Lampung dapat memberikan kontribusi positif dalam perteateran di Lampung. "Kami berharap ke depan teater dapat menjadi wadah pembelajaran alternatif bagi peningkatan sumber daya manusia," jelas dia.
Hal yang sama juga dikemukakan Ketua Divisi Teater dan Sastra Kuru Setra, Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, Fitriyani bahwa sarasehan seni yang berisi evaluasi dan proyeksi hajatan teater Lampung dapat kembali berlanjut. "Karena program tersebut bisa menjadikan proses teater dapat berjalan efektif khususnya pada kelompok teater yang ada di kampus dan sekolah," jelas dia.
Selain itu, menurut dia, kegiatan juga akan diisi dengan pementasan seni yang menampilkan story teller Iskandar GB yang akan mengusung naskah "Misteri Kota Ninggi" karya Seno Gumira Aji Dharma. "Mudah-mudahan kegiatan ini bisa diapresiasi pelajar, mahasiswa, serta pekerja seni lainnya untuk berdiskusi dan mengapresiasi bersama," ujarnya. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila Yetti Susanti mengatakan kegiatan ini akan digelar pukul 09.00 sampai 21.00.
Kegiatan ini akan diisi sarasehan seni bertajuk Evaluasi dan Proyeksi Pementasan Teater pada Hajatan Teater Lampung. "Karena program yang digulirkan jaringan teater pelajar dan mahasiswa Lampung cukup berhasil sehingga adanya jalinan kerjasama antarkelompok teater dan KoBER," kata Yetti, Jumat (26-5).
Dia mengatakan kegiatan ini sekaligus merupakan ajang silaturahmi antarkelompok teater yang terlibat dalam hajatan teater Lampung dapat memberikan kontribusi positif dalam perteateran di Lampung. "Kami berharap ke depan teater dapat menjadi wadah pembelajaran alternatif bagi peningkatan sumber daya manusia," jelas dia.
Hal yang sama juga dikemukakan Ketua Divisi Teater dan Sastra Kuru Setra, Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, Fitriyani bahwa sarasehan seni yang berisi evaluasi dan proyeksi hajatan teater Lampung dapat kembali berlanjut. "Karena program tersebut bisa menjadikan proses teater dapat berjalan efektif khususnya pada kelompok teater yang ada di kampus dan sekolah," jelas dia.
Selain itu, menurut dia, kegiatan juga akan diisi dengan pementasan seni yang menampilkan story teller Iskandar GB yang akan mengusung naskah "Misteri Kota Ninggi" karya Seno Gumira Aji Dharma. "Mudah-mudahan kegiatan ini bisa diapresiasi pelajar, mahasiswa, serta pekerja seni lainnya untuk berdiskusi dan mengapresiasi bersama," ujarnya. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
Esai: Matinya 'Penyimbang' Adat
-- A. Ichlas Syukurie*
NAPAKTILAS rombongan penyimbang dipimpin Alhusniduki Hamim dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan anggota Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Dewan Kesenian Lampung, beberapa elemen sosial, politik dan kultural masyarakat Lampung lainnya ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat beberapa bulan lalu, telah membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang pergeseran konsep kepenyimbangan dalam realitas kultural masyarakat Lampung.
MPAL bukanlah representasi seluruh masyarakat adat Lampung. Bahkan, kepenyimbangan Alhusniduki Hamim, kalaupun benar dia seorang penyimbang, hanya berlaku untuk marganya sendiri. Ketika Alhusniduki Hamim datang ke Cirebon dalam kapasitas sebagai penyimbang, dia tidak bisa mengatakan dirinya sebagai representasi seluruh masyarakat Lampung.
Ada banyak marga yang hidup di Provinsi Lampung dan masing-masing memiliki penyimbang yang tidak ada kaitan dengan penyimbang dari marga lain. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain. Sebab itu, penunjukan Alhusniduki Hamim sebagai representasi penyimbang Lampung telah mengubah makna konsep penyimbang yang sebenarnya.
Tanpa disadari, hal ini sekaligus mengabaikan marga-marga yang selama ini hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat Lampung.
Politik Budaya Para Elite
Kedatangan rombongan napaktilas ke Keraton Kacirebonan menjadi bukti bahwa konsep penyimbang dalam lingkungan kultural masyarakat Lampung sudah "mati". Sebab itu, segala output yang diharapkan rombongan napaktilas itu tidak akan membawa hasil positif terhadap hubungan antara Lampung dengan Cirebon.
Hubungan yang dijalin penyimbang Alhusniduki Hamim adalah hubungan antara marganya dan masyarakat Cirebon. Bukan hubungan antara masyarakat Lampung dan masyarakat Cirebon. Masyarakat marga di luar marga yang memosisikan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang, tidak akan menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting.
Napaktilas yang dilakukan ke Cirebon itu menjadi mubazir. Tidak berlebihan bila banyak pihak memandangnya sebagai pemborosan terhadap dana rakyat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Lembaga Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Karena, dana APBD dipergunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sebagian kecil dari rakyat Lampung yang tergabung dalam marga Alhusniduki Hamim.
Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini.
Lampung termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-gha-nga. Namun, tingkat kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Sebagai sebuah provinsi, arah pembangunan kebudayaan di Lampung selama puluhan tahun sangat tergantung kepada siapa yang menjadi kepala daerah. Ketika Oemarsono menjadi gubernur Lampung, dia menetapkan sendiri sekelompok orang sebagai penyimbang yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah lembaga bernama Sekbermal.
Sekbermal acap mengklaim diri sebagai representasi dari masyarakat adat Lampung, padahal sebetulnya hal itu menunjukkan betapa mereka tidak paham adat-istiadat Lampung.
Seorang gubernur atau bupati/wali kota, yang merupakan seorang penyimbang dalam marganya, tidak bisa mengaku sebagai penyimbang seluruh marga yang ada di daerahnya. Orang tersebut hanya menjadi penguasa pemerintahan, bukan penguasa kebudayaan.
Hal serupa juga terjadi saat penyimbang Alhusniduki Hamim memosisikan diri sebagai representasi masyarakat adat Lampung. Seandainya Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang memosisikan diri sebagai penyimbang saat berangkat ke Cirebon, tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengaku sebagai representasi seluruh marga yang ada di Lampung, meskipun dia merupakan representasi seluruh masyarakat Lampung.
Tingkat pemahaman dan kesadaran berbudaya elite-elite pemerintah daerah bukan saja rendah, melainkan sangat tergantung pada kepentingan politik atas penancapan nilai-nilai hagemonik. Integritas kebudayaan senantiasa dipahami sebagai integritas politik.
Karena, kesadaran budaya di provinsi ini sekaligus menjadi paradigma kultural. Ketika seseorang dari salah satu kelompok marga menjadi elite pemerintah, secara sengaja mereka akan berupaya agar nilai-nilai kultur kemargaannya menjadi universal untuk semua marga yang ada di Lampung.
Ada upaya untuk mengubah paradigma kebudayaan, dimana keseluruhan alam pikiran masyarakat Lampung diubah sudut pandanganya menjadi sesuai dengan sudut pandang dan penglihatan politik dari elite pemerintah tersebut.
Dalam kebudayaan Lampung, konsep bejuluk adek (pengangkatan saudara) yang ditandai dengan pemberian gelar kepada orang dari luar marga bahkan kebudayaan berbeda, menjadi alat untuk mengubah paradigma kultural.
Begitu Sjachroedin Z.P. menjadi gubenrur Lampung, dia membuat gawi adat yang tujuannya mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai keluarga masyrakat Lamung, meskipun hal itu hanya berarti bagi marga yang diyakini Sjachroedin Z.P. sendiri.
Pergeseran Paradigma
Realitas elite pemerintahan di provinsi yang menganggap bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai budaya tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan di daerah, merupakan warisan dari kolonialisme Belanda. Pasca keberhasilan menghentikan perlawanan Radin Intan II, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Lampung secara universal. Sebab itu, diterapkanlah strategi baru dengan memperkenalkan konsep negara kepada masyarakat tradisional.
Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Tata pemerintahan ini didesain di atas azas kekerabatan dengan tingkat kekerabatan yang terdiri dari: (1) Perserikatan antarmarga (Prowatin Gabungan Penyimbang Marga). (2) Marga (Prowatin Penyimbang Satu Marga). (3) Tiyuh/Pekon (kampung/desa) (Prowatin Penyimbang Tiyuh/Pekon. (4) Suku (Prowatin Penyimbang Suku).
Sebagaimana dalam konsep pemerintahan desa saat ini, prowatin diberi wewenang untuk mengatur jalanannya proses sosial politik di lingkungan masyarakat. Agar tata kerja prowatin bisa dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda, para prowatin yang ditunjuk dipenuhi semua keinginannya dan diberi fasilitas yang membuatnya stratifikasi sosialnya terangkat di mata masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, para prowatin harus menunjukkan kepatuhan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengikuti aturan main yang disusun dan dibuat sebagai kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat prowatin secara sosial.
Kitab hukum yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda tak lain adalah terjemahan dari Kuntagha Ghajaniti (Kuntara Rajaniti) yang disesuaikan untuk masing-masing marga, dimana sejumlah pasal yang dapat merugikan Pemerintah Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan pasal-pasal yang menguntngkan kolonialisme.
Bahkan, demi memperkuat hegemoni di lingkungan sosial politik dan kultur masyarakat Lampung, Pemerintah Hindia Belanda mengubah sanksi dalam pelanggaran pasal-pasal yang semestinya berupa sanksi sosial dengan mata uang Golden.
Dalam beberapa kitab yang masih disimpan masyarakat Lampung, meskipun kitab itu dalam bahasa Lampung tetapi ditulis dengan aksara Latin atau Arab, sanksi dalam setiap pasal masih dalam bentuk mata uang Golden.
Bahkan, pada beberapa marga Lampung, kitab Kuntagha Ghajaniti diserap menjadi kitab baru yang diberi nama Cempalo. Kitab ini tak berbeda dengan kitab Kuntagha Ghajaniti, tetapi lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat Lampung yang tidak tinggal di pesisir.
Dampak politik adu domba Belanda masih terasa hingga sekarang, antara Saibatin dengan Pepadun sulit disatupadukan. Untuk mengakomodasi perbedaan itu, Provinsi Lampung lebih dikenal dengan sebutan Sai Bumi Ghua Jughai, sebuah daerah yang memiliki dua kelompok masyarakat adat.
Kenyataannya, konsep Sai Bumi Ghua Jughai (Negeri Ruwa Jurai) muncul karena pemerintah daerah tidak berhasil membangun sebuah asimilasi kultural antara dua subkultur yang ada.
Setiap subkultur senantiasa berpolemik terkait hal-ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan dan masing-masing mengklaim hal-ihwal identitasnya sebagai paling representatif untuk menjadi identitas masyarakat lampung.
Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi Lampung. Setiap kelompok tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada bisa menjadi representasi Lampung.
Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi masyarakat Lampung. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lian (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Penetapan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang yang merupakan representasi masyarakat Lampung adalah salah satu upaya untuk memosisikan kelompok marga lain sebagai lain (the other). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan berulang setiap tahun apabila terjadi pergantian kepala daerah. n
* A. Ichlas Syukurie, Editor pada Penerbit Matakata
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
NAPAKTILAS rombongan penyimbang dipimpin Alhusniduki Hamim dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan anggota Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Dewan Kesenian Lampung, beberapa elemen sosial, politik dan kultural masyarakat Lampung lainnya ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat beberapa bulan lalu, telah membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang pergeseran konsep kepenyimbangan dalam realitas kultural masyarakat Lampung.
MPAL bukanlah representasi seluruh masyarakat adat Lampung. Bahkan, kepenyimbangan Alhusniduki Hamim, kalaupun benar dia seorang penyimbang, hanya berlaku untuk marganya sendiri. Ketika Alhusniduki Hamim datang ke Cirebon dalam kapasitas sebagai penyimbang, dia tidak bisa mengatakan dirinya sebagai representasi seluruh masyarakat Lampung.
Ada banyak marga yang hidup di Provinsi Lampung dan masing-masing memiliki penyimbang yang tidak ada kaitan dengan penyimbang dari marga lain. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain. Sebab itu, penunjukan Alhusniduki Hamim sebagai representasi penyimbang Lampung telah mengubah makna konsep penyimbang yang sebenarnya.
Tanpa disadari, hal ini sekaligus mengabaikan marga-marga yang selama ini hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat Lampung.
Politik Budaya Para Elite
Kedatangan rombongan napaktilas ke Keraton Kacirebonan menjadi bukti bahwa konsep penyimbang dalam lingkungan kultural masyarakat Lampung sudah "mati". Sebab itu, segala output yang diharapkan rombongan napaktilas itu tidak akan membawa hasil positif terhadap hubungan antara Lampung dengan Cirebon.
Hubungan yang dijalin penyimbang Alhusniduki Hamim adalah hubungan antara marganya dan masyarakat Cirebon. Bukan hubungan antara masyarakat Lampung dan masyarakat Cirebon. Masyarakat marga di luar marga yang memosisikan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang, tidak akan menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting.
Napaktilas yang dilakukan ke Cirebon itu menjadi mubazir. Tidak berlebihan bila banyak pihak memandangnya sebagai pemborosan terhadap dana rakyat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Lembaga Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Karena, dana APBD dipergunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sebagian kecil dari rakyat Lampung yang tergabung dalam marga Alhusniduki Hamim.
Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini.
Lampung termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-gha-nga. Namun, tingkat kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Sebagai sebuah provinsi, arah pembangunan kebudayaan di Lampung selama puluhan tahun sangat tergantung kepada siapa yang menjadi kepala daerah. Ketika Oemarsono menjadi gubernur Lampung, dia menetapkan sendiri sekelompok orang sebagai penyimbang yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah lembaga bernama Sekbermal.
Sekbermal acap mengklaim diri sebagai representasi dari masyarakat adat Lampung, padahal sebetulnya hal itu menunjukkan betapa mereka tidak paham adat-istiadat Lampung.
Seorang gubernur atau bupati/wali kota, yang merupakan seorang penyimbang dalam marganya, tidak bisa mengaku sebagai penyimbang seluruh marga yang ada di daerahnya. Orang tersebut hanya menjadi penguasa pemerintahan, bukan penguasa kebudayaan.
Hal serupa juga terjadi saat penyimbang Alhusniduki Hamim memosisikan diri sebagai representasi masyarakat adat Lampung. Seandainya Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang memosisikan diri sebagai penyimbang saat berangkat ke Cirebon, tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengaku sebagai representasi seluruh marga yang ada di Lampung, meskipun dia merupakan representasi seluruh masyarakat Lampung.
Tingkat pemahaman dan kesadaran berbudaya elite-elite pemerintah daerah bukan saja rendah, melainkan sangat tergantung pada kepentingan politik atas penancapan nilai-nilai hagemonik. Integritas kebudayaan senantiasa dipahami sebagai integritas politik.
Karena, kesadaran budaya di provinsi ini sekaligus menjadi paradigma kultural. Ketika seseorang dari salah satu kelompok marga menjadi elite pemerintah, secara sengaja mereka akan berupaya agar nilai-nilai kultur kemargaannya menjadi universal untuk semua marga yang ada di Lampung.
Ada upaya untuk mengubah paradigma kebudayaan, dimana keseluruhan alam pikiran masyarakat Lampung diubah sudut pandanganya menjadi sesuai dengan sudut pandang dan penglihatan politik dari elite pemerintah tersebut.
Dalam kebudayaan Lampung, konsep bejuluk adek (pengangkatan saudara) yang ditandai dengan pemberian gelar kepada orang dari luar marga bahkan kebudayaan berbeda, menjadi alat untuk mengubah paradigma kultural.
Begitu Sjachroedin Z.P. menjadi gubenrur Lampung, dia membuat gawi adat yang tujuannya mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai keluarga masyrakat Lamung, meskipun hal itu hanya berarti bagi marga yang diyakini Sjachroedin Z.P. sendiri.
Pergeseran Paradigma
Realitas elite pemerintahan di provinsi yang menganggap bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai budaya tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan di daerah, merupakan warisan dari kolonialisme Belanda. Pasca keberhasilan menghentikan perlawanan Radin Intan II, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Lampung secara universal. Sebab itu, diterapkanlah strategi baru dengan memperkenalkan konsep negara kepada masyarakat tradisional.
Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Tata pemerintahan ini didesain di atas azas kekerabatan dengan tingkat kekerabatan yang terdiri dari: (1) Perserikatan antarmarga (Prowatin Gabungan Penyimbang Marga). (2) Marga (Prowatin Penyimbang Satu Marga). (3) Tiyuh/Pekon (kampung/desa) (Prowatin Penyimbang Tiyuh/Pekon. (4) Suku (Prowatin Penyimbang Suku).
Sebagaimana dalam konsep pemerintahan desa saat ini, prowatin diberi wewenang untuk mengatur jalanannya proses sosial politik di lingkungan masyarakat. Agar tata kerja prowatin bisa dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda, para prowatin yang ditunjuk dipenuhi semua keinginannya dan diberi fasilitas yang membuatnya stratifikasi sosialnya terangkat di mata masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, para prowatin harus menunjukkan kepatuhan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengikuti aturan main yang disusun dan dibuat sebagai kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat prowatin secara sosial.
Kitab hukum yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda tak lain adalah terjemahan dari Kuntagha Ghajaniti (Kuntara Rajaniti) yang disesuaikan untuk masing-masing marga, dimana sejumlah pasal yang dapat merugikan Pemerintah Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan pasal-pasal yang menguntngkan kolonialisme.
Bahkan, demi memperkuat hegemoni di lingkungan sosial politik dan kultur masyarakat Lampung, Pemerintah Hindia Belanda mengubah sanksi dalam pelanggaran pasal-pasal yang semestinya berupa sanksi sosial dengan mata uang Golden.
Dalam beberapa kitab yang masih disimpan masyarakat Lampung, meskipun kitab itu dalam bahasa Lampung tetapi ditulis dengan aksara Latin atau Arab, sanksi dalam setiap pasal masih dalam bentuk mata uang Golden.
Bahkan, pada beberapa marga Lampung, kitab Kuntagha Ghajaniti diserap menjadi kitab baru yang diberi nama Cempalo. Kitab ini tak berbeda dengan kitab Kuntagha Ghajaniti, tetapi lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat Lampung yang tidak tinggal di pesisir.
Dampak politik adu domba Belanda masih terasa hingga sekarang, antara Saibatin dengan Pepadun sulit disatupadukan. Untuk mengakomodasi perbedaan itu, Provinsi Lampung lebih dikenal dengan sebutan Sai Bumi Ghua Jughai, sebuah daerah yang memiliki dua kelompok masyarakat adat.
Kenyataannya, konsep Sai Bumi Ghua Jughai (Negeri Ruwa Jurai) muncul karena pemerintah daerah tidak berhasil membangun sebuah asimilasi kultural antara dua subkultur yang ada.
Setiap subkultur senantiasa berpolemik terkait hal-ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan dan masing-masing mengklaim hal-ihwal identitasnya sebagai paling representatif untuk menjadi identitas masyarakat lampung.
Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi Lampung. Setiap kelompok tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada bisa menjadi representasi Lampung.
Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi masyarakat Lampung. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lian (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Penetapan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang yang merupakan representasi masyarakat Lampung adalah salah satu upaya untuk memosisikan kelompok marga lain sebagai lain (the other). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan berulang setiap tahun apabila terjadi pergantian kepala daerah. n
* A. Ichlas Syukurie, Editor pada Penerbit Matakata
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
May 24, 2007
Kurikulum Muatan Lokal: Pelajaran Seni Budaya Belum Optimal
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelajaran seni dan budaya yang kini sudah masuk dalam kurikulum muatan lokal belum maksimal. Hal ini ditandai masih rendahnya tingkat apresiasi budaya daerah di kalangan anak muda.
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengemukakan hal tersebut dalam kegiatan Penyuluhan Kebudayaan Daerah bagi pelajar yang digelar di Gedung Olah Seni, Taman Budaya Lampung (TBL), Selasa (22-5).
Dia mengatakan penurunan kecintaan terhadap seni dan budaya ini terlihat dari maraknya krisis moral yang terjadi saat ini. "Generasi muda saat ini lebih menyukai budaya asing yang nyata-nyata bertolak belakang dengan budaya asli Indonesia, dibandingkan mencintai budaya asli," kata Syaiful.
Padahal menurut dia, kegiatan seni dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. "Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan seni juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi," ujar dia.
Sedangkan seni, kata Syaiful, berkembang di otak kanan. "Ini akan membangun kemampuan kreatif, humanistik, dan mistikal. Dan di dunia pendidikan kita, yang lebih diasah adalah kemampuan otak kiri saja. Padahal, dalam pendidikan diperlukan adanya keseimbangan antara keduanya," ujar dia.
Salah satu yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan menambah jam untuk pelajaran muatan lokal yang saat ini hanya dua jam per minggu menjadi enam jam. "Jika muatan lokal selama ini hanya diberikan dari tingkat SD--SMP, maka ini perlu dilanjutkan hingga jenjang SMA. Harapannya, akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis."
Selain itu juga, Syaiful juga menyarankan agar peran ini tidak hanya diambil oleh pendidikan formal saja tapi juga lembaga adat seperti Majelis Penyeimbang Adat Lampung atau sejenisnya. "Sehingga ini bisa memasyarakatkan bahasa, aksara, dan adat istiadat budaya Lampung dengan dukungan dana yang layak. Saat ini keberadaan lembaga yang ada belum optimal," ujarnya.
Sementara, Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Khaidarmansyah mengatakan keprihatinannya terhadap tingkat apresiasi budaya daerah di kalangan pelajar yang rendah. "Ini bisa dilihat dari pengenalan situs benda cagar budaya yang ada di Lampung sangat minim. Padahal, Lampung memiliki aset sejarah yang bisa diandalkan, di antaranya adalah situs Pugung Rahardjo, Batu Bedil, Kampung Tua Wana, Prasasti Palas Pasemah, dan sebagainya. "Kita harus bangga juga sebagai daerah yang memiliki aksara khas," katanya. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Mei 2007
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengemukakan hal tersebut dalam kegiatan Penyuluhan Kebudayaan Daerah bagi pelajar yang digelar di Gedung Olah Seni, Taman Budaya Lampung (TBL), Selasa (22-5).
Dia mengatakan penurunan kecintaan terhadap seni dan budaya ini terlihat dari maraknya krisis moral yang terjadi saat ini. "Generasi muda saat ini lebih menyukai budaya asing yang nyata-nyata bertolak belakang dengan budaya asli Indonesia, dibandingkan mencintai budaya asli," kata Syaiful.
Padahal menurut dia, kegiatan seni dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. "Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan seni juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi," ujar dia.
Sedangkan seni, kata Syaiful, berkembang di otak kanan. "Ini akan membangun kemampuan kreatif, humanistik, dan mistikal. Dan di dunia pendidikan kita, yang lebih diasah adalah kemampuan otak kiri saja. Padahal, dalam pendidikan diperlukan adanya keseimbangan antara keduanya," ujar dia.
Salah satu yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan menambah jam untuk pelajaran muatan lokal yang saat ini hanya dua jam per minggu menjadi enam jam. "Jika muatan lokal selama ini hanya diberikan dari tingkat SD--SMP, maka ini perlu dilanjutkan hingga jenjang SMA. Harapannya, akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis."
Selain itu juga, Syaiful juga menyarankan agar peran ini tidak hanya diambil oleh pendidikan formal saja tapi juga lembaga adat seperti Majelis Penyeimbang Adat Lampung atau sejenisnya. "Sehingga ini bisa memasyarakatkan bahasa, aksara, dan adat istiadat budaya Lampung dengan dukungan dana yang layak. Saat ini keberadaan lembaga yang ada belum optimal," ujarnya.
Sementara, Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Khaidarmansyah mengatakan keprihatinannya terhadap tingkat apresiasi budaya daerah di kalangan pelajar yang rendah. "Ini bisa dilihat dari pengenalan situs benda cagar budaya yang ada di Lampung sangat minim. Padahal, Lampung memiliki aset sejarah yang bisa diandalkan, di antaranya adalah situs Pugung Rahardjo, Batu Bedil, Kampung Tua Wana, Prasasti Palas Pasemah, dan sebagainya. "Kita harus bangga juga sebagai daerah yang memiliki aksara khas," katanya. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Mei 2007
May 20, 2007
Apresiasi: 'Nyambai': Cara Pergaulan Muda-Mudi
-- Mustaan
BUDAYA merupakan nilai-nilai luhur yang menjaga dan membawa hidup manusia lebih bermartabat. Terdapat garis yang menegaskan hitam dan putih dalam bermasyarakat termasuk pergaulan muda-mudi.
Dalam budaya Lampung Saibatin, acara tersebut salah satunya nyambai pada marga Liwa. Pada acara perkenalan, kelompok meghanai dan muli serta tuan rumah atau baya dan tamu atau kori dipisahkan. Selain itu perkenalan dilakukan melalui pantun dan surat-menyurat.
Budaya nyambai ini biasanya dilaksanakan pada acara-acara nayuh, tepatnya pada malam sebelum resepsi. Kegiatan tersebut biasanya digunakan mengisi waktu sembari muli-meghanai dari pihak baya menyelesaikan peralatan yang akan dipakai dalam resepsi esok harinya. Sore hari dipakai para orang tua untuk menggelar dziker, setelah mereka selesai dan muli-meghanai baya juga selesai membereskan peralatan, barulah dimulai acara nyambai.
Acara dimulai dengan pembukaan oleh "kepala" meghanai di kampung tempat nayuh digelar. Baru kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari dan pantun penyambutan dari pihak baya.
Robikum ya robikum, robikum sholialam
Robikum ya robikum, robikum sholialam
Assalamu alaikum, assalamu alaikum
Mula kata ku salam
(Artinya: Robikum ya robikum, robikum sholialam. Assalamu'alaikaum, awal mula kata dari kari untuk memberi salam)
Biasanya pantun seperti itu didendangkan kelompok meghanai atau muli baya menyapa para tamu-tamunya dalam nyambai. Hal itu menjadi bentuk penerimaan dan terima kasih mereka atas kehadiran para kelompok muli-meghanai dari pihak baya atau juga kampung sekitar.
Kelompok itu terus menari dan berpantun yang biasanya berisi tentang terima kasih sampai permohonan maaf jika dalam penyambutan tidak berkenan. Selain itu mereka mengajak para tamu bersuka ria dalam acara itu, jangan sampai ada keributan.
Sembari kelompok itu terus berpantun, panitia lainnya mulai membagikan kertas sebagai alat saling sapa antarpeserta yang hadir. Atau juga perkenalan dan hasrat ingin lebih dekat dengan, biasanya surat diawali tulisan para meghanai. Untuk pengantar surat itu, panitia menunjuk sepasang kurir yang mengambil antarsurat.
Bait pantun demi pantun dari kelompok baya terus dikumandangkan, sembari diiringi tabuh terbang. Setelah berakhir sajian tari dan pantun dari kelompok itu, disusul kelompok kori. Biasanya pantun berisi terima kasih telah disambut.
Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam
Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam
Sambutanni ti halu, sambutanni ti halu
manjak kon hati sekam
(Artinya: Buahnya jambu batu, ditaruh di dalam nampan. Sambutannya yang diterima membuat hati senang)
Setelah selesai kelompok baya, barulah kelompok-kelompok muli-meghanai undangan dari kampung-kampung dipersilakan nengah atau menari dan berpantun di tengah lingkaran. Secara bergiliran kelompok-kelompok itu terus bersahutan nengah.
Untuk yang kelompok meghanai juga biasanya disisipkan pantun yang bunyinya merayu seorang muli yang berada di lingkaran arena itu. Seperti pantun:
Adik sai kawai handak, injuk Evi Tamala
Adik sai kawai handak, injuk Evi Tamala
Negliak mu nyak panjak, ngeliakmu nyak panjak
Api lagi kik cawa
(Artinya: Adiknya baju putih, seperti artis Evi Tamala. Melihatnya saja sudah senang, apalagi saat dia bicara)
Bismilah cakak buah, Alhamdu cakak jambu
Bismilah cakak buah, Alhamdu cakak jambu
Apah gham kawin kidah, apah kham kawin kidah
Cakak lamban penghulu
(Artinya: Bismillah naik pohon pinang, alahamdu naik pohon jambu. Mari kita segera menikah, datang ke rumah penghulu)
Dengan adanya pantun ini, pihak muli langsung saja menyahutinya. Bisa dengan jawaban berisi terima kasih, dapat juga dengan jawaban "nakal" berupa penolakan.
Kik abang ngusung talam, nyak nyambut anjak kudan
Kik abang ngusung talam, nyak nyambut anjak kudan
Kilu mahap jak sikam, kilu mahap jak sikam
Adu nerima ghasan
(Artinya: Kalau abang membawa talamnya, saya menyambutnya dari belakang. Mohon maaf dari kami, kami telah menerima lamaran)
Begitu terus sambut menyambut pantun antar kelompok peserta, sampai seluruh perwakilan kelompok dapat nengah semua. Dan sampai di akhir acara, biasanya panitia menghidangkan makan malam untuk disantap bersama seluruh peserta.
Ini menjadi pertanda bahwa budaya, memang sangat berarti untuk mengangkat martabat manusia dan kelompoknya. Agar tidak saling terpicu keributan, dilakukan sindiran-sindiran dengan pantun. Juga dibuatkan pertemuan acara bujang gadis secara beramai-ramai sehingga tidak menimbulkan fitnah terhadap mereka.
Namun, kegiatan ini makin lama terus terkikis dengan modernisasi dunia dan terserapnya budaya asing. Siapa lagi yang mampu mempertahankan budaya bangsa ini. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2007
BUDAYA merupakan nilai-nilai luhur yang menjaga dan membawa hidup manusia lebih bermartabat. Terdapat garis yang menegaskan hitam dan putih dalam bermasyarakat termasuk pergaulan muda-mudi.
Dalam budaya Lampung Saibatin, acara tersebut salah satunya nyambai pada marga Liwa. Pada acara perkenalan, kelompok meghanai dan muli serta tuan rumah atau baya dan tamu atau kori dipisahkan. Selain itu perkenalan dilakukan melalui pantun dan surat-menyurat.
Budaya nyambai ini biasanya dilaksanakan pada acara-acara nayuh, tepatnya pada malam sebelum resepsi. Kegiatan tersebut biasanya digunakan mengisi waktu sembari muli-meghanai dari pihak baya menyelesaikan peralatan yang akan dipakai dalam resepsi esok harinya. Sore hari dipakai para orang tua untuk menggelar dziker, setelah mereka selesai dan muli-meghanai baya juga selesai membereskan peralatan, barulah dimulai acara nyambai.
Acara dimulai dengan pembukaan oleh "kepala" meghanai di kampung tempat nayuh digelar. Baru kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari dan pantun penyambutan dari pihak baya.
Robikum ya robikum, robikum sholialam
Robikum ya robikum, robikum sholialam
Assalamu alaikum, assalamu alaikum
Mula kata ku salam
(Artinya: Robikum ya robikum, robikum sholialam. Assalamu'alaikaum, awal mula kata dari kari untuk memberi salam)
Biasanya pantun seperti itu didendangkan kelompok meghanai atau muli baya menyapa para tamu-tamunya dalam nyambai. Hal itu menjadi bentuk penerimaan dan terima kasih mereka atas kehadiran para kelompok muli-meghanai dari pihak baya atau juga kampung sekitar.
Kelompok itu terus menari dan berpantun yang biasanya berisi tentang terima kasih sampai permohonan maaf jika dalam penyambutan tidak berkenan. Selain itu mereka mengajak para tamu bersuka ria dalam acara itu, jangan sampai ada keributan.
Sembari kelompok itu terus berpantun, panitia lainnya mulai membagikan kertas sebagai alat saling sapa antarpeserta yang hadir. Atau juga perkenalan dan hasrat ingin lebih dekat dengan, biasanya surat diawali tulisan para meghanai. Untuk pengantar surat itu, panitia menunjuk sepasang kurir yang mengambil antarsurat.
Bait pantun demi pantun dari kelompok baya terus dikumandangkan, sembari diiringi tabuh terbang. Setelah berakhir sajian tari dan pantun dari kelompok itu, disusul kelompok kori. Biasanya pantun berisi terima kasih telah disambut.
Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam
Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam
Sambutanni ti halu, sambutanni ti halu
manjak kon hati sekam
(Artinya: Buahnya jambu batu, ditaruh di dalam nampan. Sambutannya yang diterima membuat hati senang)
Setelah selesai kelompok baya, barulah kelompok-kelompok muli-meghanai undangan dari kampung-kampung dipersilakan nengah atau menari dan berpantun di tengah lingkaran. Secara bergiliran kelompok-kelompok itu terus bersahutan nengah.
Untuk yang kelompok meghanai juga biasanya disisipkan pantun yang bunyinya merayu seorang muli yang berada di lingkaran arena itu. Seperti pantun:
Adik sai kawai handak, injuk Evi Tamala
Adik sai kawai handak, injuk Evi Tamala
Negliak mu nyak panjak, ngeliakmu nyak panjak
Api lagi kik cawa
(Artinya: Adiknya baju putih, seperti artis Evi Tamala. Melihatnya saja sudah senang, apalagi saat dia bicara)
Bismilah cakak buah, Alhamdu cakak jambu
Bismilah cakak buah, Alhamdu cakak jambu
Apah gham kawin kidah, apah kham kawin kidah
Cakak lamban penghulu
(Artinya: Bismillah naik pohon pinang, alahamdu naik pohon jambu. Mari kita segera menikah, datang ke rumah penghulu)
Dengan adanya pantun ini, pihak muli langsung saja menyahutinya. Bisa dengan jawaban berisi terima kasih, dapat juga dengan jawaban "nakal" berupa penolakan.
Kik abang ngusung talam, nyak nyambut anjak kudan
Kik abang ngusung talam, nyak nyambut anjak kudan
Kilu mahap jak sikam, kilu mahap jak sikam
Adu nerima ghasan
(Artinya: Kalau abang membawa talamnya, saya menyambutnya dari belakang. Mohon maaf dari kami, kami telah menerima lamaran)
Begitu terus sambut menyambut pantun antar kelompok peserta, sampai seluruh perwakilan kelompok dapat nengah semua. Dan sampai di akhir acara, biasanya panitia menghidangkan makan malam untuk disantap bersama seluruh peserta.
Ini menjadi pertanda bahwa budaya, memang sangat berarti untuk mengangkat martabat manusia dan kelompoknya. Agar tidak saling terpicu keributan, dilakukan sindiran-sindiran dengan pantun. Juga dibuatkan pertemuan acara bujang gadis secara beramai-ramai sehingga tidak menimbulkan fitnah terhadap mereka.
Namun, kegiatan ini makin lama terus terkikis dengan modernisasi dunia dan terserapnya budaya asing. Siapa lagi yang mampu mempertahankan budaya bangsa ini. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2007
Esai: Telusur Asal-Usul 'Orang' Lampung
-- Mohd Isneini*
TULISAN ini bermula dari kegiatan iseng semata yang akhirnya menjadi ketertarikan penulis untuk turut mengetahui sejarah/budaya Lampung. Tak ada tendensi untuk menjadi sejarawan/budayawan, hanya sumbangsih untuk menguatkan pepatah "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarah Bangsanya".
Berdasar pada buku The History of Sumatra (dikutip dari "Asal-Usul Kata Lampung Menurut Sejarawan", Lampung Post, 18 April 1994) karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough (Bengkulu) William Marsdn F.R.S. tahun 1779, terungkap asal-usul penduduk asli Lampung. Dalam buku tersebut tertulis: "If you ask the Lampoon people of these part, where origginally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated.... (Apabila tuan-tuan menanyakan kepada masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari bukit dan akan menunjuk ke suatu tempat dekat danau yang besar....)," kata William .
Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud danau tersebut ialah Danau Ranau. Sedangkan bukit yang berada dekat danau bisa Bukit/Gunung Pesagi, sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung, tidak dipublikasi): Disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: Adat lembaga sai ti pakai sa - Buasal jak Lemasa Kapampang - di kukut Gunung Dempo - Sajaman rik Tanoh Pagaruyung - Pemerintah Bunda Kandung. Cakak di Gunung Pesagi - Rogoh di Sakala Berak - Sangun Kok Turun Temurun - Jak ninik Muyang Paija. Cambai Urai ti usung - Dilom adat Pusako.
Kira-kira berarti: Adat lembaga yang dipakai ini - berasal dari lemasa Kapampang (nangka bercabang) - di kaki Gunung Dempo - sezaman dengan tanah Pagaruyung - Pemerintah Bunda Kandung. - Naik di Gunung Pesagi - turun di Sakala Berak - Memang sudah turun temurun - dari nenek moyang dahulu. Sirih pinang dibawa - di dalam adat pusaka.
Kalau tidak pandai tindih susun (tata tertib) - tanda tidak berbangsa. Menurut pendapat beliau: Belum dapat dipastikan pada tahun berapa, di kaki Gunung dempo telah lahir kerajaan bernama Lamasa Kapampang mempunyai budaya tinggi di kala itu, pemerintahannya telah teratur berdasar hukum adat untuk mengatur kehidupan rakyatnya.
Tidak diketahui dengan pasti, apa penyebab rakyat Lamasa Kapampang meninggalkan daerah mereka, apa karena adanya bencana alam/desakan rakyat pendatang atau perebutan kekuasaan di kalangan mereka yang berkuasa sehingga timbul dua golongan yang masing-masing mempunyai pengikut. Untuk menghindari pertikaian, mereka sepakat meninggalkan daerah itu untuk mencari daerah baru.
Sepihak mengungsi ke utara menyusur pantai barat sumatra dan pihak lain menuju selatan. Rombongan yang ke utara tiba di lembah Danau Toba, itulah yang menurunkan suku Batak dan yang keselatan sampai di lembah Danau Ranau yang melahirkan suku Lampung.
Di dataran tinggi Gunung Pesagi mereka menjumpai daerah yang luas, ditumbuhi sebangsa tumbuh-tumbuhan bernama sakala. Dinamakanlah tempat itu Sakala Berak (berak = luas).
Di tempat itulah pertama kali suku Lampung bermukim. Kami yang pindah dari Lamasa Kapampang menuju ke Sakala Berak ialah pengikut Radja di Lampung.
Buwai Lampung beranak pinak di Sakala Berak, kami perlu hidup, alam sekitar Sakala Berak tidak mampu lagi memberi kehidupan kepada Buwai Lampung, kami mencari hidup, jalan kehidupan. Jalan paling mudah ditempuh ialah menyusuri sungai-sungai ke hilir. Hulu sungai di Lampung boleh dibilang berasal dari dataran tinggi Bukit Pesagi.
Kelompok demi kelompok meninggalkan Sakala Berak menurun ke lembah mengikuti aliran sungai. Kelompok atau kaum membentuk buwai. Berangkatlah di antaranya Buwai Madang menyusuri sungai yang dikenal sekarang sebagai Sungai Komering, antara lain dipimpin Minak Ratu Betara. Buwai Talang Bawung (talang = tanah tinggi di lingkungi baruh/bawung = raja ikan di sungai) sungainya dinamakan Batanghari Tulang Bawang.
Susul menyusul buwai-buwai itu turun dari Sakala Berak: Buwai Binawang menuju daerah Cukuh Balak sekarang/putih, Pertiwi dan Limau, Buwai Semenguk (ahli perdukunan) menyebar mengikuti buwai yang mereka senangi, Buwai Balau menempati daerah Balau sekarang. Buwai Umpu Basai di daerah Mesuji dan banyak buwai yang timbul kemudian setelah terjadi peluasan mencari daerah kehidupan, berpindah dari satu tempat ketempat lain. Perpindahan ini masih berlangsung sampai abad ke-19, terakhir yang dilakukan Buwai Pubian. Demikian uraian Zawawi Kamil.
Sumber lain berpendapat (Baginda Sutan, Lampung Ragom, tahun 1997), asal keturunan yang menurunkan jurai asli Lampung, di antaranya Indo Gajah (Ratu dipuncak) menurunkan 7 beradik, 5 laki-laki dan 2 perempuan, yaitu Riya Begeduh, Pemuka Begeduh, Nunyai, Unyi, Bulan/Bolan, Subing, Nuban. Riya Begeduh, dan Pemuka Begeduh menurunkan Komering dan Way kanan. Sedangkan Nunyai, Unyi, Subing, dan Nuban menurunkan Abung (4 marga pokok). Bulan/Bolan menurunkan Tulang Bawang.
Sungkai pindah dari Komering sejak tahun 1800-an yang disebut Lampung Bunga mayang karena asalnya ada di komering. Belunguh (Way Mincang) menurunkan 2 keturunan semua lelaki, yaitu Minak Pergok dan Minak Menyata. Dari 2 keturunan ini menurunkan Peminggir Teluk, Peminggir Semangka dan Peminggir Pemanggilan. Paklang (Way Pengubuan) juga memiliki dua anak semua lelaki, yaitu Tamba Pupus dan Menyerakat yang menurunkan 2 marga Pubian.
Pandan menurunkan salah satu kebuwaian di Bengkulu. Sangkan (Sukaham) Tidak jelas di Sukaham, mungkin di Sukadana Ham atau tempat lain. Indogajah, Belunguh, Paklang, & Pandan serta Sangkan merupakan keturunan Umpu Serunting dari Sekala Berak, sedangkan Umpu Serunting anak Umpu Setungai di Rejang yang menikahi putri di Sekala Berak. Umpu Setungau merupakan keturunan Ruh/Kun Tunggal dari Pagaruyung.
Dari dua uraian di atas terlihat kontras karena yang satu menyebutkan berasal dari Sekala Berak pindah dari masa Lamasa Kapampang, sedang pendapat kedua menyebut keturunan juga dari Sekala Berak, tetapi ada campuran yang dari Pagaruyung. Dan juga terlihat periodenya berjauhan, ada yang semasa Ratu Dipuncak dan masa penyebaran menyusur sungai (way) meninggalkan Sakala Berak.
Melihat pendapat yang ada, dirasakan bahwa penelitian sejarah orang Lampung perlu dilakukan, sarana pembuktian terhadap pendapat yang ada maupun untuk mengetahui asal-muasal suku Lampung. Periodenya, mulai masuknya ke Sumatera, zaman Lemasa Kepampang, penyebaran suku sampai periode Paksi Pak, maupun keratuan yang pernah ada di Lampung sehingga kita kenal subsuku Lampung seperti sekarang, yaitu Komering, Peminggir Teluk/Semangka/Pemanggilan, Melinting/Meninting, Way Kanan, Sungkai, Pubian, Abung, dan Tulang bawang, termasuk juga Ranau dan Lampung Cikoneng. Penelitian itu harus didukung data-data autentik, tersurat berupa catatan/dokumen dan tertulis di kulit-kulit pohon mungkin banyak tersimpan seantero kampung tua yang ada di Lampung. Termasuk di daerah Ranau maupun Komering.
* Mohd Isneini, Dosen Jurusan Teknik Sipil Unila
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Mei 2007
TULISAN ini bermula dari kegiatan iseng semata yang akhirnya menjadi ketertarikan penulis untuk turut mengetahui sejarah/budaya Lampung. Tak ada tendensi untuk menjadi sejarawan/budayawan, hanya sumbangsih untuk menguatkan pepatah "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarah Bangsanya".
Berdasar pada buku The History of Sumatra (dikutip dari "Asal-Usul Kata Lampung Menurut Sejarawan", Lampung Post, 18 April 1994) karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough (Bengkulu) William Marsdn F.R.S. tahun 1779, terungkap asal-usul penduduk asli Lampung. Dalam buku tersebut tertulis: "If you ask the Lampoon people of these part, where origginally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated.... (Apabila tuan-tuan menanyakan kepada masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari bukit dan akan menunjuk ke suatu tempat dekat danau yang besar....)," kata William .
Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud danau tersebut ialah Danau Ranau. Sedangkan bukit yang berada dekat danau bisa Bukit/Gunung Pesagi, sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung, tidak dipublikasi): Disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: Adat lembaga sai ti pakai sa - Buasal jak Lemasa Kapampang - di kukut Gunung Dempo - Sajaman rik Tanoh Pagaruyung - Pemerintah Bunda Kandung. Cakak di Gunung Pesagi - Rogoh di Sakala Berak - Sangun Kok Turun Temurun - Jak ninik Muyang Paija. Cambai Urai ti usung - Dilom adat Pusako.
Kira-kira berarti: Adat lembaga yang dipakai ini - berasal dari lemasa Kapampang (nangka bercabang) - di kaki Gunung Dempo - sezaman dengan tanah Pagaruyung - Pemerintah Bunda Kandung. - Naik di Gunung Pesagi - turun di Sakala Berak - Memang sudah turun temurun - dari nenek moyang dahulu. Sirih pinang dibawa - di dalam adat pusaka.
Kalau tidak pandai tindih susun (tata tertib) - tanda tidak berbangsa. Menurut pendapat beliau: Belum dapat dipastikan pada tahun berapa, di kaki Gunung dempo telah lahir kerajaan bernama Lamasa Kapampang mempunyai budaya tinggi di kala itu, pemerintahannya telah teratur berdasar hukum adat untuk mengatur kehidupan rakyatnya.
Tidak diketahui dengan pasti, apa penyebab rakyat Lamasa Kapampang meninggalkan daerah mereka, apa karena adanya bencana alam/desakan rakyat pendatang atau perebutan kekuasaan di kalangan mereka yang berkuasa sehingga timbul dua golongan yang masing-masing mempunyai pengikut. Untuk menghindari pertikaian, mereka sepakat meninggalkan daerah itu untuk mencari daerah baru.
Sepihak mengungsi ke utara menyusur pantai barat sumatra dan pihak lain menuju selatan. Rombongan yang ke utara tiba di lembah Danau Toba, itulah yang menurunkan suku Batak dan yang keselatan sampai di lembah Danau Ranau yang melahirkan suku Lampung.
Di dataran tinggi Gunung Pesagi mereka menjumpai daerah yang luas, ditumbuhi sebangsa tumbuh-tumbuhan bernama sakala. Dinamakanlah tempat itu Sakala Berak (berak = luas).
Di tempat itulah pertama kali suku Lampung bermukim. Kami yang pindah dari Lamasa Kapampang menuju ke Sakala Berak ialah pengikut Radja di Lampung.
Buwai Lampung beranak pinak di Sakala Berak, kami perlu hidup, alam sekitar Sakala Berak tidak mampu lagi memberi kehidupan kepada Buwai Lampung, kami mencari hidup, jalan kehidupan. Jalan paling mudah ditempuh ialah menyusuri sungai-sungai ke hilir. Hulu sungai di Lampung boleh dibilang berasal dari dataran tinggi Bukit Pesagi.
Kelompok demi kelompok meninggalkan Sakala Berak menurun ke lembah mengikuti aliran sungai. Kelompok atau kaum membentuk buwai. Berangkatlah di antaranya Buwai Madang menyusuri sungai yang dikenal sekarang sebagai Sungai Komering, antara lain dipimpin Minak Ratu Betara. Buwai Talang Bawung (talang = tanah tinggi di lingkungi baruh/bawung = raja ikan di sungai) sungainya dinamakan Batanghari Tulang Bawang.
Susul menyusul buwai-buwai itu turun dari Sakala Berak: Buwai Binawang menuju daerah Cukuh Balak sekarang/putih, Pertiwi dan Limau, Buwai Semenguk (ahli perdukunan) menyebar mengikuti buwai yang mereka senangi, Buwai Balau menempati daerah Balau sekarang. Buwai Umpu Basai di daerah Mesuji dan banyak buwai yang timbul kemudian setelah terjadi peluasan mencari daerah kehidupan, berpindah dari satu tempat ketempat lain. Perpindahan ini masih berlangsung sampai abad ke-19, terakhir yang dilakukan Buwai Pubian. Demikian uraian Zawawi Kamil.
Sumber lain berpendapat (Baginda Sutan, Lampung Ragom, tahun 1997), asal keturunan yang menurunkan jurai asli Lampung, di antaranya Indo Gajah (Ratu dipuncak) menurunkan 7 beradik, 5 laki-laki dan 2 perempuan, yaitu Riya Begeduh, Pemuka Begeduh, Nunyai, Unyi, Bulan/Bolan, Subing, Nuban. Riya Begeduh, dan Pemuka Begeduh menurunkan Komering dan Way kanan. Sedangkan Nunyai, Unyi, Subing, dan Nuban menurunkan Abung (4 marga pokok). Bulan/Bolan menurunkan Tulang Bawang.
Sungkai pindah dari Komering sejak tahun 1800-an yang disebut Lampung Bunga mayang karena asalnya ada di komering. Belunguh (Way Mincang) menurunkan 2 keturunan semua lelaki, yaitu Minak Pergok dan Minak Menyata. Dari 2 keturunan ini menurunkan Peminggir Teluk, Peminggir Semangka dan Peminggir Pemanggilan. Paklang (Way Pengubuan) juga memiliki dua anak semua lelaki, yaitu Tamba Pupus dan Menyerakat yang menurunkan 2 marga Pubian.
Pandan menurunkan salah satu kebuwaian di Bengkulu. Sangkan (Sukaham) Tidak jelas di Sukaham, mungkin di Sukadana Ham atau tempat lain. Indogajah, Belunguh, Paklang, & Pandan serta Sangkan merupakan keturunan Umpu Serunting dari Sekala Berak, sedangkan Umpu Serunting anak Umpu Setungai di Rejang yang menikahi putri di Sekala Berak. Umpu Setungau merupakan keturunan Ruh/Kun Tunggal dari Pagaruyung.
Dari dua uraian di atas terlihat kontras karena yang satu menyebutkan berasal dari Sekala Berak pindah dari masa Lamasa Kapampang, sedang pendapat kedua menyebut keturunan juga dari Sekala Berak, tetapi ada campuran yang dari Pagaruyung. Dan juga terlihat periodenya berjauhan, ada yang semasa Ratu Dipuncak dan masa penyebaran menyusur sungai (way) meninggalkan Sakala Berak.
Melihat pendapat yang ada, dirasakan bahwa penelitian sejarah orang Lampung perlu dilakukan, sarana pembuktian terhadap pendapat yang ada maupun untuk mengetahui asal-muasal suku Lampung. Periodenya, mulai masuknya ke Sumatera, zaman Lemasa Kepampang, penyebaran suku sampai periode Paksi Pak, maupun keratuan yang pernah ada di Lampung sehingga kita kenal subsuku Lampung seperti sekarang, yaitu Komering, Peminggir Teluk/Semangka/Pemanggilan, Melinting/Meninting, Way Kanan, Sungkai, Pubian, Abung, dan Tulang bawang, termasuk juga Ranau dan Lampung Cikoneng. Penelitian itu harus didukung data-data autentik, tersurat berupa catatan/dokumen dan tertulis di kulit-kulit pohon mungkin banyak tersimpan seantero kampung tua yang ada di Lampung. Termasuk di daerah Ranau maupun Komering.
* Mohd Isneini, Dosen Jurusan Teknik Sipil Unila
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Mei 2007
May 16, 2007
Cikoneng: Perkampungan Suku Lampung di Banten, Lahir Dari Ikrar Persaudaraan
-- Muhammad Ma'ruf
LAMUN ana musuh Banten, Lampung pangarep Banten tut wuri. Lamun ana musuh Lampung, Banten pangarep Lampung tut wuri... (Jika ada musuh Banten, Lampung yang akan menghadapi dan Banten mengikuti. Dan jika ada musuh Lampung, Banten yang akan menghadapi dan Lampung mengikuti...)
Petikan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) ini salah satu bukti kuatnya persahabatan masyarakat Banten dan Lampung. Persahabatan yang sudah berumur 400 tahun lebih inilah yang melahirkan sebuah perkampungan suku Lampung yang akrab disebut Lampung Cikoneng atau Cikoneng, di Kecamatan Anyer, Kabupetan Cilegon, Propinsi Banten. Tepatnya di Jalan Raya Anyer kilometer 128-129.
Tidak terlalu susah menuju tempat ini. Dari Pelabuhan Merak kita bisa turun di Simpangan Anyer Cilegon. Dari situ kita naik oplet sampai Cikoneng dengan jarak tempuh setengah jam. Cikoneng terbagi menjadi empat, Kampung Tegal, Kampung Bojong, Kampung Cikoneng dan Kampung Salatuhur. Keempatnya secara administratif berada dalam satu pemerintahan desa, Desa Cikoneng. Dengan 11 RT dan 618 KK yang menempati areal seluas 18 hektare. Secara geografis Cikoneng terletak di bentangan Pantai Anyer Selatan. Jika diamati tipikal lokasinya, memang sama dengan yang disukai kebanyakan suku Lampung yakni dekat dengan pantai atau di pedalaman yang dekat aliran sungai.
Tingkat ekonomi masyarakatnya sebagaian besar cukup sejahtera. Hanya sekitar 25 persen yang masuk kategori prasejahtera. Nelayan dan petani adalah profesi yang secara umum digeluti warga Cikoneng. Walaupun sektor pertanian hanya bisa panen satu kali dalam setahun. "Maklum di sini tidak ada irigasi, jadi untuk pertanian, ya tadah hujan," tutur H Yakub, Kepala Desa Cikoneng dalam perbincangan dengan Teknokra di kantornya, Jalan Raya Anyer kilometer 128 Kampung Salatuhur.
Kini, saat kita menjejakkan kaki di perkampungan Cikoneng, kesan perkampungan Lampung memang seperti tak tampak. Semua terkesan biasa saja. Perumahan penduduk yang padat, permanen dan jauh dari kesan kumuh. Setelah menjelajah hampir separuh perkampungan, Teknokra tak menemui satu pun bukti kuat, seperti rumah panggung ataupun Siger Lampung di atap rumah penduduk.
Annah (39), seorang pemilik warung kecil di ujung jalan Kampung Cikoneng mengakui walaupun menurut almarhum bapaknya ia masih punya keluarga di Kalianda tapi sejak lahir ia belum pernah ke Lampung. Apalagi menyaksikan adat Muli Meghanai (bujang-gadis), adat Sebambangan (larian) atau ramainya pesta tujuh hari tujuh malam pada waktu resepsi pernikahan adat Lampung.
Gelombang perubahan memang terjadi di sana. Di era tahun 40-an, pembauran antar suku mulai dirasakan. Banyak para pendatang baru ke Cikoneng. "Mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa dan Sunda," ungkap H Yakup. Meskipun begitu proporsinya masih didominasi suku Lampung, sekitar 75 banding 25 persen.
Pada tahun 1958 Kampung Cikoneng menjadi sasaran bumi hangus pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo yang melumat habis Kampung Cikoneng beserta isinya. Kemudian di pertengahaan 70-an, kawasan Pantai Anyer yang ada di sepanjang perkampungan menjadi incaran invsetor Jakarta. Alhasil seperti terlihat Teknokra, nyaris tidak ada pantai yang bebas dan gratis. Semuanya dikapling oleh hotel-hotel maupun resort.
Hanya Bahasa
Walaupun begitu warna Lampung tak semuanya hilang. Bahasa mungkin satu bukti sejarah yang hingga kini masih lestari. Jangan heran kalau kita menyaksikan seluruh penduduk mulai dari orang tua sampai anak kecil biasa menggunakan bahasa Lampung. Misalnya Ilham (7) ketika mengantarkan Teknokra ke rumah H Agus Rasyidi, salah satu tokoh masyarakat Cikoneng, cakap berbahasa Lampung, pun sama dengan teman sebaya yang mengikutinya.
Kebanggaan lain, justru masyarakat pendatang banyak mengikuti budaya mereka. Berlawanan dengan suku asalnya di Lampung yang justru tak mampu mempertahankan budaya asli dari budaya luar. "Mereka (warga pendatang,red) malah yang membaur dengan kami, terutama bahasanya," tutur H Hasyim, tokoh masyarakat Kampung Salatuhur.
Namun bahasa lampung Cikoneng memang berbeda dengan bahasa Lampung di daerah asalnya. Bahkan sampai saat ini masih belum teridentifikasi dari dialek mana. Dan masuk akal memang, sebab menurut cerita, kedatangan rombongan warga Lampung ke Cikoneng berjumlah 40 kepala keluarga dari sembilan buai (marga,red). Menurut H Hasyim, kemungkinan besar hal ini yang membuat bahasa lampung di Cikoneng terdengar sedikit aneh ditelinga. "Kadang terdengar dialek api, di tengah percakapan tau-tau belok ke dialek nyow," ujar Hasyim.
Usaha-usaha pelestarian budaya memang digalakkan. Pada 21 Agustus 1999 lalu, Cikoneng secara resmi menjadi bagian dari Organisasi Lampung Sai Wilayah khusus Pakpekon (empat kampung) yang saat ini diketuai H Agus dengan gelar Pemuka Pati. Beberapa penelitian pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Pendidikan Bandung dan kabarnya ada peneliti dari FKIP Bahasa dan Sastra Universitas Lampung hendak meneliti unsur bahasa lampung Cikoneng.
Epik Sejarah
Embrio Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten. Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang (sekarang Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng.
Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin oleh siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang (Menggala). Tetapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung.
Setelah keempat utusan datang ke Kesultanan Banten dan melapor, Sultan Agung nampak kecewa karena jumlahnya hanya empat, padahal biasanya 40 prajurit. Akan tetapi keraguan Sultan Agung dapat ditepis, setelah keempat prajurit itu dengan taktik tipu muslihatnya mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng.
Karena kesuksesan keempat prajurit Keratuan Lampung ini, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah satu tahun menjabat, Menak Gede Meninggal dunia. Jabatan Adipati pun diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini.
Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung.
Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut (Merak) sampai ke Ujung Kulon. Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan (Mancak) dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon.
Setelah persetujuan itu, berangkatlah Menak Sengaji membawa 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi. Pertama kali datang, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten.
Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong. Berputarnya roda waktu jumlah 40 KK itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur.
Ada cerita menarik, ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur, Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur.
Masih di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air (versi lain mengatakan Sultan menunjuk suatu tempat dengan tongkatnya untuk digali menjadi sumur). Tapi yang jelas, mata air itu masih utuh hingga kini dan terkenal dengan nama Sumur Agung, berdiameter kira-kira dua meter.
Yang disayangkan semua cerita asal muasal perkampungan Cikoneng, hanya didapat dari para orang tua mereka yang mewariskan dari mulut ke mulut. "Saya sih dapat semua cerita ini dari orang tua, orang tua juga dari orang tuanya, turun-temurun gitu, kalau ditanya bukunya, ya nggak ada," tutur H Hasyim yang juga masih keturunan ke delapan Menak Sengaji mengakhiri perbincangan dengan Teknokra.
Meskipun begitu, bukan berarti tak ada bukti sejarah. Selendang Cinde Wulung milik Ulubalang Raden Japati yang konon mampu mengeluarkan kilatan api dan menangkis tembakan meriam Belanda, kini diwarisi H Agus. Baju Antakusuma yang diwarisi H Hasyim, Sumur Agung yang terletak sepuluh meter di belakang kediaman H Hasyim dan Makam Menak Sengaji yang berada di pinggir Jalan Raya Anyer, Kampung Cempaka, Desa Anyer Kecamatan Anyer adalah saksi sejarah yang masih bisa kita saksikan.
Sumber: Teknokra, tanggal tidak terlacak
LAMUN ana musuh Banten, Lampung pangarep Banten tut wuri. Lamun ana musuh Lampung, Banten pangarep Lampung tut wuri... (Jika ada musuh Banten, Lampung yang akan menghadapi dan Banten mengikuti. Dan jika ada musuh Lampung, Banten yang akan menghadapi dan Lampung mengikuti...)
Petikan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) ini salah satu bukti kuatnya persahabatan masyarakat Banten dan Lampung. Persahabatan yang sudah berumur 400 tahun lebih inilah yang melahirkan sebuah perkampungan suku Lampung yang akrab disebut Lampung Cikoneng atau Cikoneng, di Kecamatan Anyer, Kabupetan Cilegon, Propinsi Banten. Tepatnya di Jalan Raya Anyer kilometer 128-129.
Tidak terlalu susah menuju tempat ini. Dari Pelabuhan Merak kita bisa turun di Simpangan Anyer Cilegon. Dari situ kita naik oplet sampai Cikoneng dengan jarak tempuh setengah jam. Cikoneng terbagi menjadi empat, Kampung Tegal, Kampung Bojong, Kampung Cikoneng dan Kampung Salatuhur. Keempatnya secara administratif berada dalam satu pemerintahan desa, Desa Cikoneng. Dengan 11 RT dan 618 KK yang menempati areal seluas 18 hektare. Secara geografis Cikoneng terletak di bentangan Pantai Anyer Selatan. Jika diamati tipikal lokasinya, memang sama dengan yang disukai kebanyakan suku Lampung yakni dekat dengan pantai atau di pedalaman yang dekat aliran sungai.
Tingkat ekonomi masyarakatnya sebagaian besar cukup sejahtera. Hanya sekitar 25 persen yang masuk kategori prasejahtera. Nelayan dan petani adalah profesi yang secara umum digeluti warga Cikoneng. Walaupun sektor pertanian hanya bisa panen satu kali dalam setahun. "Maklum di sini tidak ada irigasi, jadi untuk pertanian, ya tadah hujan," tutur H Yakub, Kepala Desa Cikoneng dalam perbincangan dengan Teknokra di kantornya, Jalan Raya Anyer kilometer 128 Kampung Salatuhur.
Kini, saat kita menjejakkan kaki di perkampungan Cikoneng, kesan perkampungan Lampung memang seperti tak tampak. Semua terkesan biasa saja. Perumahan penduduk yang padat, permanen dan jauh dari kesan kumuh. Setelah menjelajah hampir separuh perkampungan, Teknokra tak menemui satu pun bukti kuat, seperti rumah panggung ataupun Siger Lampung di atap rumah penduduk.
Annah (39), seorang pemilik warung kecil di ujung jalan Kampung Cikoneng mengakui walaupun menurut almarhum bapaknya ia masih punya keluarga di Kalianda tapi sejak lahir ia belum pernah ke Lampung. Apalagi menyaksikan adat Muli Meghanai (bujang-gadis), adat Sebambangan (larian) atau ramainya pesta tujuh hari tujuh malam pada waktu resepsi pernikahan adat Lampung.
Gelombang perubahan memang terjadi di sana. Di era tahun 40-an, pembauran antar suku mulai dirasakan. Banyak para pendatang baru ke Cikoneng. "Mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa dan Sunda," ungkap H Yakup. Meskipun begitu proporsinya masih didominasi suku Lampung, sekitar 75 banding 25 persen.
Pada tahun 1958 Kampung Cikoneng menjadi sasaran bumi hangus pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo yang melumat habis Kampung Cikoneng beserta isinya. Kemudian di pertengahaan 70-an, kawasan Pantai Anyer yang ada di sepanjang perkampungan menjadi incaran invsetor Jakarta. Alhasil seperti terlihat Teknokra, nyaris tidak ada pantai yang bebas dan gratis. Semuanya dikapling oleh hotel-hotel maupun resort.
Hanya Bahasa
Walaupun begitu warna Lampung tak semuanya hilang. Bahasa mungkin satu bukti sejarah yang hingga kini masih lestari. Jangan heran kalau kita menyaksikan seluruh penduduk mulai dari orang tua sampai anak kecil biasa menggunakan bahasa Lampung. Misalnya Ilham (7) ketika mengantarkan Teknokra ke rumah H Agus Rasyidi, salah satu tokoh masyarakat Cikoneng, cakap berbahasa Lampung, pun sama dengan teman sebaya yang mengikutinya.
Kebanggaan lain, justru masyarakat pendatang banyak mengikuti budaya mereka. Berlawanan dengan suku asalnya di Lampung yang justru tak mampu mempertahankan budaya asli dari budaya luar. "Mereka (warga pendatang,red) malah yang membaur dengan kami, terutama bahasanya," tutur H Hasyim, tokoh masyarakat Kampung Salatuhur.
Namun bahasa lampung Cikoneng memang berbeda dengan bahasa Lampung di daerah asalnya. Bahkan sampai saat ini masih belum teridentifikasi dari dialek mana. Dan masuk akal memang, sebab menurut cerita, kedatangan rombongan warga Lampung ke Cikoneng berjumlah 40 kepala keluarga dari sembilan buai (marga,red). Menurut H Hasyim, kemungkinan besar hal ini yang membuat bahasa lampung di Cikoneng terdengar sedikit aneh ditelinga. "Kadang terdengar dialek api, di tengah percakapan tau-tau belok ke dialek nyow," ujar Hasyim.
Usaha-usaha pelestarian budaya memang digalakkan. Pada 21 Agustus 1999 lalu, Cikoneng secara resmi menjadi bagian dari Organisasi Lampung Sai Wilayah khusus Pakpekon (empat kampung) yang saat ini diketuai H Agus dengan gelar Pemuka Pati. Beberapa penelitian pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Pendidikan Bandung dan kabarnya ada peneliti dari FKIP Bahasa dan Sastra Universitas Lampung hendak meneliti unsur bahasa lampung Cikoneng.
Epik Sejarah
Embrio Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten. Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang (sekarang Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng.
Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin oleh siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang (Menggala). Tetapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung.
Setelah keempat utusan datang ke Kesultanan Banten dan melapor, Sultan Agung nampak kecewa karena jumlahnya hanya empat, padahal biasanya 40 prajurit. Akan tetapi keraguan Sultan Agung dapat ditepis, setelah keempat prajurit itu dengan taktik tipu muslihatnya mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng.
Karena kesuksesan keempat prajurit Keratuan Lampung ini, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah satu tahun menjabat, Menak Gede Meninggal dunia. Jabatan Adipati pun diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini.
Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung.
Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut (Merak) sampai ke Ujung Kulon. Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan (Mancak) dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon.
Setelah persetujuan itu, berangkatlah Menak Sengaji membawa 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi. Pertama kali datang, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten.
Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong. Berputarnya roda waktu jumlah 40 KK itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur.
Ada cerita menarik, ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur, Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur.
Masih di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air (versi lain mengatakan Sultan menunjuk suatu tempat dengan tongkatnya untuk digali menjadi sumur). Tapi yang jelas, mata air itu masih utuh hingga kini dan terkenal dengan nama Sumur Agung, berdiameter kira-kira dua meter.
Yang disayangkan semua cerita asal muasal perkampungan Cikoneng, hanya didapat dari para orang tua mereka yang mewariskan dari mulut ke mulut. "Saya sih dapat semua cerita ini dari orang tua, orang tua juga dari orang tuanya, turun-temurun gitu, kalau ditanya bukunya, ya nggak ada," tutur H Hasyim yang juga masih keturunan ke delapan Menak Sengaji mengakhiri perbincangan dengan Teknokra.
Meskipun begitu, bukan berarti tak ada bukti sejarah. Selendang Cinde Wulung milik Ulubalang Raden Japati yang konon mampu mengeluarkan kilatan api dan menangkis tembakan meriam Belanda, kini diwarisi H Agus. Baju Antakusuma yang diwarisi H Hasyim, Sumur Agung yang terletak sepuluh meter di belakang kediaman H Hasyim dan Makam Menak Sengaji yang berada di pinggir Jalan Raya Anyer, Kampung Cempaka, Desa Anyer Kecamatan Anyer adalah saksi sejarah yang masih bisa kita saksikan.
Sumber: Teknokra, tanggal tidak terlacak
Cikoneng: Komunitas Lampung di Banten Sejak Abad XVI
-- Yulia Sapthiani
SIANG hari, di sebuah jalan desa yang berbatu-batu, beberapa anak kecil terlihat bermain sepeda. Tak jauh dari mereka, sekelompok ibu sedang mengelilingi pedagang sayur, berbelanja kebutuhan mereka.
DARI celotehan anak-anak dan obrolan ibu-ibu di Kampung Cikoneng, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten, itu terdengar logat khas Melayu, seperti logat bahasa orang-orang di beberapa daerah di daratan Sumatera. Tidak hanya sekelompok anak kecil dan ibu-ibu yang bicaranya berlogat Melayu. Seluruh penduduk di desa yang lokasinya tak jauh dari tempat wisata Pantai Anyer itu memiliki logat yang sama ketika berkomunikasi.
"Sini nak, masuk. Silakan duduk," ujar seorang nenek bernama Sapariah (70-an), mempersilakan masuk ke dalam rumahnya. Bersama suaminya, Abdul Halim (80), nenek 12 cucu itu bercerita mengenai kehidupan mereka dan komunitas penduduk Desa Cikoneng.
Dari cerita Sapariah terkuaklah bahwa mereka bersama ribuan warga lainnya di desa tersebut adalah komunitas orang-orang Lampung, provinsi yang letaknya tepat di seberang lautan tempat Sapariah, Abdul Halim, dan ribuan penduduk Lampung Cikoneng-begitu komunitas mereka dikenal-sekarang tinggal.
Keberadaan mereka di tanah Banten yang terkenal dengan para jawaranya ini tumbuh bukan semata-mata ada perpindahan sekelompok orang Lampung ke daerah Banten. Tumbuhnya komunitas Lampung Cikoneng memiliki riwayat tersendiri yang berkaitan dengan sejarah bangsa ini.
Konon, seperti yang diceritakan Abdul Halim dengan gamblang, keberadaan komunitas orang-orang Lampung di provinsi ke-30 di Indonesia ini tumbuh sejak abad XVI, di masa Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570).
Ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin, yang juga memiliki ikatan saudara dengan orang Lampung-khususnya dari Kerajaan Tulang Bawang-meminta bantuan orang-orang daerah tersebut untuk melaksanakan tugasnya, yaitu menyebarkan agama Islam di wilayah Banten.
Bersamaan dengan dikirimkannya 40 orang dari Kerajaan Tulang Bawang dari sembilan buay (marga) untuk membantu tugas Sultan tersebut, disepakati pula perjanjian antara Sultan Maulana Hasanuddin dengan Ratu Dara Putih dari Kerajaan Tulang Bawang.
Dalam perjanjian yang ditulis di atas dalong (tembaga)-konon hingga sekarang masih tersimpan di Kuripan, Lampung Selatan-ini dinyatakan bahwa jika orang-orang Banten memiliki masalah, orang-orang Lampung akan memberikan bantuan. Hal ini berlaku sebaliknya.
"Sejak saat itulah, orang-orang Lampung berada di tanah Banten ini," jelas Abdul Halim, yang mengaku lahir di tanah Lampung. Matanya berkaca-kaca mengenang masa lalunya ketika pertama kali datang ke Banten.
"Tahun 1950-an, saya datang ke Banten untuk menjadi nakhoda kapal. Saat itu, ada juragan perahu di Banten yang memiliki banyak kapal, tapi tidak punya nakhoda. Sejak itulah saya merantau ke Banten untuk bekerja menjadi nakhoda, sampai akhirnya bertemu ibu (Sapariah-Red) dan tinggal di sini," cerita Abdul Halim.
Tidak seperti suaminya, Sapariah lahir di tanah Banten, tepatnya di Desa Cikoneng. Namun, seperti halnya Abdul Halim, orangtua Sapariah adalah orang-orang asli kelahiran Lampung.
SELAIN keluarga Abdul Halim, sekitar 1.470 keluarga keturunan Lampung lainnya tinggal di Desa Cikoneng. Mereka tersebar di papekon (empat kampung). Selain Kampung Cikoneng, ribuan penduduk itu tinggal di Kampung Tegal, Kampung Tuhur, dan Kampung Bojong.
Kepala Desa Cikoneng Yakub (50) menceritakan, hingga tahun 1940-an, penduduk Lampung yang tinggal di Desa Cikoneng sangat tertutup terhadap orang luar. Sampai-sampai ada larangan untuk menikah dengan orang di luar komunitas mereka. "Alasannya, takut putus garis keturunan," kata Yakub.
Namun, dengan pertimbangan semakin majemuknya penduduk di sekitar desa yang sebagian besar mata pencaharian warganya adalah bertani ini, pengisolasian diri penduduk Desa Cikoneng pun dicabut. Sejak itu mereka dibebaskan bergaul bahkan menikah dengan orang-orang dari luar desa.
Kini, dengan dibukanya batas-batas pergaulan komunitas Lampung Cikoneng, 25 persen penduduknya adalah orang -orang luar yang menikah dengan orang-orang dari komunitas tersebut. Namun, tak ubahnya orang-orang asli Lampung, warga "pendatang" pun sangat fasih berbahasa Lampung dengan ciri khas logat Melayu-nya.
Saat ini, bahasa memang menjadi satu-satunya budaya Lampung yang masih melekat pada komunitas penduduk Lampung Cikoneng. Tradisi lainnya, seperti upacara adat pernikahan tak pernah lagi dipraktikkan secara utuh. "Kalau ingin melaksanakan upacara-upacara adat Lampung seratus persen, biayanya sangat mahal. Masyarakat tidak mampu lagi menyediakan biaya untuk melaksanakan upacara-upacara itu. Kalaupun dilaksanakan, paling-paling hanya bagian intinya saja," kata Mohammad Husin (60), tokoh masyarakat lainnya.
Untuk itu, setiap keluarga komunitas Lampung Cikoneng berusaha melestarikan tradisi berbahasa Lampung mereka dengan menjadikan bahasa itu sebagai alat berkomunikasi sehari-hari. Sejak kecil, anak -anak mereka diajari bahasa Lampung. Akibatnya, tak sedikit di antara anak-anak itu yang dengan bangganya berkata "saya orang Lampung", meskipun Banten adalah tanah kelahiran mereka dan belum pernah sekalipun mereka menginjakkan kaki di tanah Lampung, tanah nenek moyangnya itu.
Sementara itu, untuk menjalin ikatan persaudaraan antara sesama orang Lampung dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, komunitas Lampung Cikoneng bergabung dalam sebuah perkumpulan yang disebut Lampung Say (Lampung Satu). Secara periodik mereka mengadakan pertemuan di berbagai daerah secara bergiliran.
"Dengan semangat Lampung Say, persaudaraan orang-orang Lampung tetap terjaga, meskipun kami tersebar di berbagai daerah di Indonesia," kata Husin.
Sumber: Kompas, Selasa, 18 Maret 2003
SIANG hari, di sebuah jalan desa yang berbatu-batu, beberapa anak kecil terlihat bermain sepeda. Tak jauh dari mereka, sekelompok ibu sedang mengelilingi pedagang sayur, berbelanja kebutuhan mereka.
DARI celotehan anak-anak dan obrolan ibu-ibu di Kampung Cikoneng, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten, itu terdengar logat khas Melayu, seperti logat bahasa orang-orang di beberapa daerah di daratan Sumatera. Tidak hanya sekelompok anak kecil dan ibu-ibu yang bicaranya berlogat Melayu. Seluruh penduduk di desa yang lokasinya tak jauh dari tempat wisata Pantai Anyer itu memiliki logat yang sama ketika berkomunikasi.
"Sini nak, masuk. Silakan duduk," ujar seorang nenek bernama Sapariah (70-an), mempersilakan masuk ke dalam rumahnya. Bersama suaminya, Abdul Halim (80), nenek 12 cucu itu bercerita mengenai kehidupan mereka dan komunitas penduduk Desa Cikoneng.
Dari cerita Sapariah terkuaklah bahwa mereka bersama ribuan warga lainnya di desa tersebut adalah komunitas orang-orang Lampung, provinsi yang letaknya tepat di seberang lautan tempat Sapariah, Abdul Halim, dan ribuan penduduk Lampung Cikoneng-begitu komunitas mereka dikenal-sekarang tinggal.
Keberadaan mereka di tanah Banten yang terkenal dengan para jawaranya ini tumbuh bukan semata-mata ada perpindahan sekelompok orang Lampung ke daerah Banten. Tumbuhnya komunitas Lampung Cikoneng memiliki riwayat tersendiri yang berkaitan dengan sejarah bangsa ini.
Konon, seperti yang diceritakan Abdul Halim dengan gamblang, keberadaan komunitas orang-orang Lampung di provinsi ke-30 di Indonesia ini tumbuh sejak abad XVI, di masa Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570).
Ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin, yang juga memiliki ikatan saudara dengan orang Lampung-khususnya dari Kerajaan Tulang Bawang-meminta bantuan orang-orang daerah tersebut untuk melaksanakan tugasnya, yaitu menyebarkan agama Islam di wilayah Banten.
Bersamaan dengan dikirimkannya 40 orang dari Kerajaan Tulang Bawang dari sembilan buay (marga) untuk membantu tugas Sultan tersebut, disepakati pula perjanjian antara Sultan Maulana Hasanuddin dengan Ratu Dara Putih dari Kerajaan Tulang Bawang.
Dalam perjanjian yang ditulis di atas dalong (tembaga)-konon hingga sekarang masih tersimpan di Kuripan, Lampung Selatan-ini dinyatakan bahwa jika orang-orang Banten memiliki masalah, orang-orang Lampung akan memberikan bantuan. Hal ini berlaku sebaliknya.
"Sejak saat itulah, orang-orang Lampung berada di tanah Banten ini," jelas Abdul Halim, yang mengaku lahir di tanah Lampung. Matanya berkaca-kaca mengenang masa lalunya ketika pertama kali datang ke Banten.
"Tahun 1950-an, saya datang ke Banten untuk menjadi nakhoda kapal. Saat itu, ada juragan perahu di Banten yang memiliki banyak kapal, tapi tidak punya nakhoda. Sejak itulah saya merantau ke Banten untuk bekerja menjadi nakhoda, sampai akhirnya bertemu ibu (Sapariah-Red) dan tinggal di sini," cerita Abdul Halim.
Tidak seperti suaminya, Sapariah lahir di tanah Banten, tepatnya di Desa Cikoneng. Namun, seperti halnya Abdul Halim, orangtua Sapariah adalah orang-orang asli kelahiran Lampung.
SELAIN keluarga Abdul Halim, sekitar 1.470 keluarga keturunan Lampung lainnya tinggal di Desa Cikoneng. Mereka tersebar di papekon (empat kampung). Selain Kampung Cikoneng, ribuan penduduk itu tinggal di Kampung Tegal, Kampung Tuhur, dan Kampung Bojong.
Kepala Desa Cikoneng Yakub (50) menceritakan, hingga tahun 1940-an, penduduk Lampung yang tinggal di Desa Cikoneng sangat tertutup terhadap orang luar. Sampai-sampai ada larangan untuk menikah dengan orang di luar komunitas mereka. "Alasannya, takut putus garis keturunan," kata Yakub.
Namun, dengan pertimbangan semakin majemuknya penduduk di sekitar desa yang sebagian besar mata pencaharian warganya adalah bertani ini, pengisolasian diri penduduk Desa Cikoneng pun dicabut. Sejak itu mereka dibebaskan bergaul bahkan menikah dengan orang-orang dari luar desa.
Kini, dengan dibukanya batas-batas pergaulan komunitas Lampung Cikoneng, 25 persen penduduknya adalah orang -orang luar yang menikah dengan orang-orang dari komunitas tersebut. Namun, tak ubahnya orang-orang asli Lampung, warga "pendatang" pun sangat fasih berbahasa Lampung dengan ciri khas logat Melayu-nya.
Saat ini, bahasa memang menjadi satu-satunya budaya Lampung yang masih melekat pada komunitas penduduk Lampung Cikoneng. Tradisi lainnya, seperti upacara adat pernikahan tak pernah lagi dipraktikkan secara utuh. "Kalau ingin melaksanakan upacara-upacara adat Lampung seratus persen, biayanya sangat mahal. Masyarakat tidak mampu lagi menyediakan biaya untuk melaksanakan upacara-upacara itu. Kalaupun dilaksanakan, paling-paling hanya bagian intinya saja," kata Mohammad Husin (60), tokoh masyarakat lainnya.
Untuk itu, setiap keluarga komunitas Lampung Cikoneng berusaha melestarikan tradisi berbahasa Lampung mereka dengan menjadikan bahasa itu sebagai alat berkomunikasi sehari-hari. Sejak kecil, anak -anak mereka diajari bahasa Lampung. Akibatnya, tak sedikit di antara anak-anak itu yang dengan bangganya berkata "saya orang Lampung", meskipun Banten adalah tanah kelahiran mereka dan belum pernah sekalipun mereka menginjakkan kaki di tanah Lampung, tanah nenek moyangnya itu.
Sementara itu, untuk menjalin ikatan persaudaraan antara sesama orang Lampung dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, komunitas Lampung Cikoneng bergabung dalam sebuah perkumpulan yang disebut Lampung Say (Lampung Satu). Secara periodik mereka mengadakan pertemuan di berbagai daerah secara bergiliran.
"Dengan semangat Lampung Say, persaudaraan orang-orang Lampung tetap terjaga, meskipun kami tersebar di berbagai daerah di Indonesia," kata Husin.
Sumber: Kompas, Selasa, 18 Maret 2003
May 15, 2007
Museum: Mencoba Menguak Sejarah Transmigrasi di Indonesia
"SAYA harap isi museum akan variatif dan betul-betul menggambarkan apa yang terjadi saat kedatangan awal, proses berkembang, dan pencapaian para transmigran," kata Muntawali, staf Dinas Pariwisata Lampung, Jumat (11/5).
Kalimat itu terlontarkan saat acara dialog interaktif antara Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Djoko Sidik Pramono dengan peserta lokakarya pengisian Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedung Tataan, Lampung Selatan.
Dalam acara dialog itu, Muntawali mengatakan, selain alat- alat tentunya para transmigran melakukan banyak cara untuk mendukung kehidupannya. Ia mencontohkan, industri kecil yang dilakukan masyarakat transmigran seperti industri keripik singkong atau industri tempe bisa menjadi penanda kegiatan ekonomi yang terjadi.
Selain itu, usaha budidaya awal yang dikembangkan para transmigran seperti pertanian padi diharapkan juga bisa menjadi pengisi museum. "Layaknya food gathering pada zaman pra sejarah, kita juga ingin tahu, bagaimana cara para transmigran awal itu mencoba bertahan hidup," kata Mutawali.
Usulan dan berbagai informasi mengenai benda-benda sejarah, foto-foto tempo dulu, hingga kain-kain tua yang dipakai para transmigran zaman kolonisasi tahun 1905 secara berurutan terungkap dari para peserta lokakarya. Mereka yang pada umumnya merupakan staf atau pegawai Dinas Pariwisata dan pengurus Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI).
Pengurus PATRI yang datang merupakan keturunan asli para transmigran awal di Lampung tahun 1905. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. (hln)
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Mei 2007
Kalimat itu terlontarkan saat acara dialog interaktif antara Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Djoko Sidik Pramono dengan peserta lokakarya pengisian Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedung Tataan, Lampung Selatan.
Dalam acara dialog itu, Muntawali mengatakan, selain alat- alat tentunya para transmigran melakukan banyak cara untuk mendukung kehidupannya. Ia mencontohkan, industri kecil yang dilakukan masyarakat transmigran seperti industri keripik singkong atau industri tempe bisa menjadi penanda kegiatan ekonomi yang terjadi.
Selain itu, usaha budidaya awal yang dikembangkan para transmigran seperti pertanian padi diharapkan juga bisa menjadi pengisi museum. "Layaknya food gathering pada zaman pra sejarah, kita juga ingin tahu, bagaimana cara para transmigran awal itu mencoba bertahan hidup," kata Mutawali.
Usulan dan berbagai informasi mengenai benda-benda sejarah, foto-foto tempo dulu, hingga kain-kain tua yang dipakai para transmigran zaman kolonisasi tahun 1905 secara berurutan terungkap dari para peserta lokakarya. Mereka yang pada umumnya merupakan staf atau pegawai Dinas Pariwisata dan pengurus Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI).
Pengurus PATRI yang datang merupakan keturunan asli para transmigran awal di Lampung tahun 1905. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. (hln)
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Mei 2007
May 14, 2007
Transmigran: Indonesia Miliki Museum Nasional Transmigrasi di Lampung Selatan
Bandar Lampung, Kompas - Indonesia kini memiliki museum nasional transmigrasi. Museum yang dibangun di Desa Bagelen, Kecamatan Gedung Tataan, Lampung Selatan, itu merupakan satu-satunya museum transmigrasi di dunia.
Demikian diutarakan Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Djoko Sidik Pramono, akhir pekan lalu, dalam acara Lokakarya Pengisian Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedung Tataan, Lampung Selatan.
Dalam lokakarya yang diikuti pengurus Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) pusat dan daerah, serta perwakilan Dinas Pariwisata Lampung itu terungkap, museum yang dibangun di atas lahan seluas 5,4 hektar itu akan menjadi penanda sekaligus pusat sejarah transmigrasi di Indonesia.
Djoko mengatakan, di Indonesia, transmigrasi sendiri sudah dimulai di Lampung pada era pemerintahan kolonial Belanda, bersamaan dengan pemindahan penduduk Jawa ke Suriname. Sehingga transmigrasi tahun 1905 itu disebut sebagai kolonisasi. Selanjutnya, di era pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, istilah transmigrasi menggantikan istilah kolonisasi.
Depnakertrans mencatat, sejak periode pra-rencana pembangunan lima tahun (repelita) hingga 2006 tercatat sudah ada sekitar 3.301 unit permukiman transmigrasi (UPT) di Indonesia. Sekitar 954 UPT telah berkembang menjadi desa baru, yang sekarang dihuni setidaknya 12 juta jiwa.
Jumlah tersebut juga telah mendorong terbentuknya 235 kecamatan baru dan 66 kabupaten baru. Program transmigrasi telah berhasil membuka reproduksi baru di bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta menyerap jutaan tenaga kerja.
Kepala Dinas Kependudukan dan Transmigrasi Lampung Haris Fadilah mengatakan, berdasarkan kronologis sejarah itu, Museum Nasional Transmigrasi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan transmigrasi masa lalu dan sekarang.
Lokakarya tersebut mengajak setiap peserta untuk aktif bertukar pikiran, informasi, dan dialog. Namun, yang sudah menjadi kesepakatan awal, museum nasional itu akan diisi dengan peralatan yang digunakan masyarakat transmigran. Dengan kata lain, museum itu akan menampilkan cara-cara produksi para transmigran. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Mei 2007
Demikian diutarakan Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Djoko Sidik Pramono, akhir pekan lalu, dalam acara Lokakarya Pengisian Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelen, Kecamatan Gedung Tataan, Lampung Selatan.
Dalam lokakarya yang diikuti pengurus Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) pusat dan daerah, serta perwakilan Dinas Pariwisata Lampung itu terungkap, museum yang dibangun di atas lahan seluas 5,4 hektar itu akan menjadi penanda sekaligus pusat sejarah transmigrasi di Indonesia.
Djoko mengatakan, di Indonesia, transmigrasi sendiri sudah dimulai di Lampung pada era pemerintahan kolonial Belanda, bersamaan dengan pemindahan penduduk Jawa ke Suriname. Sehingga transmigrasi tahun 1905 itu disebut sebagai kolonisasi. Selanjutnya, di era pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, istilah transmigrasi menggantikan istilah kolonisasi.
Depnakertrans mencatat, sejak periode pra-rencana pembangunan lima tahun (repelita) hingga 2006 tercatat sudah ada sekitar 3.301 unit permukiman transmigrasi (UPT) di Indonesia. Sekitar 954 UPT telah berkembang menjadi desa baru, yang sekarang dihuni setidaknya 12 juta jiwa.
Jumlah tersebut juga telah mendorong terbentuknya 235 kecamatan baru dan 66 kabupaten baru. Program transmigrasi telah berhasil membuka reproduksi baru di bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta menyerap jutaan tenaga kerja.
Kepala Dinas Kependudukan dan Transmigrasi Lampung Haris Fadilah mengatakan, berdasarkan kronologis sejarah itu, Museum Nasional Transmigrasi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan transmigrasi masa lalu dan sekarang.
Lokakarya tersebut mengajak setiap peserta untuk aktif bertukar pikiran, informasi, dan dialog. Namun, yang sudah menjadi kesepakatan awal, museum nasional itu akan diisi dengan peralatan yang digunakan masyarakat transmigran. Dengan kata lain, museum itu akan menampilkan cara-cara produksi para transmigran. (hln)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Mei 2007
May 13, 2007
Herawati, Ahlinya Kupu-kupu
-- Helena F Nababan
Herawati Soekardi (Kompas/Helena F Nababan)
MELIHAT kupu-kupu beraneka warna dan bentuk terbang bebas di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung, sungguh menyegarkan mata.
"Indah, ya? Tetapi, banyak orang justru tak tertarik ketika mendengar penelitian dan konservasi kupu-kupu ini," kata Herawati Soekardi (56), ahli kupu-kupu pertama di Indonesia dari Lampung. Lebih jarang lagi yang meminati kupu-kupu sebagai obyek penelitian seperti yang digeluti Herawati.
Penelitian Herawati berangkat dari diskusinya dengan ahli serangga Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Soelaksono Sastrodihardjo, pada tahun 2000. Saat itu dia tengah berjuang menyelesaikan studi S-3 yang tak kunjung rampung di Departemen Biologi ITB.
Dalam anggapan Herawati, hewan bersayap cantik ini punya andil dalam jejaring makanan herbivora, sekaligus bernilai ekonomis sebagai pendukung ekowisata.
Dari pendapat itulah, Herawati menggeluti penelitian kupu-kupu. Doktornya tentang keanekaragaman spesies Papilionidae mengantarnya menjadi doktor pertama kupu-kupu di negeri tropis ini.
Dorongan suami
Perjalanan Herawati mengenal kupu-kupu yang berkembang menjadi konservasi kupu-kupu Sumatera sebetulnya dimulai jauh sebelum diskusi dengan Prof Soelaksono. Suami Herawati, Anshori Djausal, yang peneliti dan fotografer, banyak memberi ide tentang kupu-kupu yang akhirnya membuat Hera jatuh cinta pada kupu-kupu.
Ketika Herawati dipercaya menjadi ketua penyelenggara Seminar Nasional Biologi oleh Perhimpunan Biologi Indonesia cabang Lampung pada 1997, untuk memeriahkan seminar, Anshori Djausal berniat menghias gedung serba guna Universitas Lampung (Unila) dengan layang-layang berbentuk kupu-kupu.
Ternyata layang-layang yang dipesan itu berbentuk aneh, setengah capung setengah kupu-kupu. Hal itu menggugah Herawati dan suami mencari tahu bentuk kupu-kupu.
Perjalanan Herawati menggeluti kupu-kupu pun dimulai. Bersama suami, dia menangkap kupu-kupu di taman Kampus Unila tempat ia mengajar di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA untuk diamati dan diteliti.
Ternyata, kupu-kupu memiliki aneka ragam bentuk dan warna. "Cantik semua, tetapi kita hanya mengenal beberapa jenis," tutur Herawati.
Dari situ muncul ide mengawetkan kupu-kupu. Sayangnya, tak satu pun ahli serangga di ITB yang dia tanyai dapat menjawab cara mengawetkan kupu-kupu. Referensi pun tidak memberi jawaban memuaskan.
"Saya prihatin sekali. Kok bisa di negeri yang kaya flora fauna ini tidak ada satu ahli pun yang bisa menjelaskan tentang dan berapa jumlah spesies kupu-kupu asli Indonesia," ujar Herawati.
Uji coba sendiri
Akhirnya, uji coba sendirilah yang menjawab cara pengawetan itu. Dia memulai dengan menangkarkan di depan rumah kupu-kupu yang dia tangkap. Penangkaran untuk penelitian tersebut sempat berkembang menjadi industri rumah tangga berupa kupu-kupu awetan.
Kupu-kupu pajangan tersebut seolah melengkapi ikon pariwisata Lampung, yaitu gajah dan badak. Pada 7 Mei 1999, Herawati mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni,dan Budaya waktu itu, Marzuki Usman, atas jasanya turut mengembangkan kepariwisataan Lampung.
Penganugerahan penghargaan tersebut memicu Herawati mengembangkan pengetahuan tentang kupu-kupu dalam bentuk penelitian dan konservasi.
Setelah berjuang tak kenal lelah, tahun itu juga Herawati mendapat hibah tanah untuk penelitian dan konservasi seluas empat hektar dari Kantor Wilayah Kehutanan Lampung di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung.
Kawasan tersebut saat itu rusak akibat alih fungsi lahan menjadi lahan sengon, kopi, dan beberapa pohon kayu keras. Tumbuhan inang sebagai pakan larva kupu-kupu atau tumbuhan berbunga sebagai pakan kupu-kupu sama sekali tidak tumbuh.
Itu sebabnya, ia sama sekali tidak menemukan kupu-kupu di situ. "Padahal, setahu saya Sumatera memiliki beragam kupu-kupu," tutur nenek satu cucu ini.
Dia lalu menanam beragam tumbuhan berbunga dan 25 spesies tumbuhan inang sesuai dengan spesies kupu-kupu.
Setiap dua bulan dia mencatat jenis dan menangkar kupu-kupu. Akhirnya, setelah tiga tahun pertama, dia mendapati 41 spesies kupu-kupu datang dan berbiak di taman terbuka itu.
Perkembangan itu seolah membuktikan hipotesis, apabila suatu areal dilakukan perbaikan mikrohabitat, beragam kupu-kupu akan datang untuk berbiak. "Jadi, konservasi kupu-kupu dapat dilakukan," katanya.
Berkat pengetahuannya itu pula, sejak beberapa tahun terakhir manajemen Inco, perusahaan tambang nikel terbuka di Soroako, Sulawesi Selatan, meminta Herawati mendesain rekayasa habitat guna pengembangan konservasi kupu-kupu asli Sulawesi di lahan eks pertambangan nikel. Dengan bimbingannya pula, Kabupaten Lampung Barat juga akan merealisasikan taman kupu-kupu pada 2008.
Kini kawasan konservasi di kaki Gunung Betung itu telah melahirkan beberapa peneliti muda yang juga anak didiknya di Fakultas Biologi Unila. Sementara sebagai tempat wisata pendidikan, tempat tersebut banyak dikunjungi murid sekolah dari berbagai tempat.
"Yang terpenting, selain bisa mengonservasi kupu-kupu, ilmu pengetahuan juga bisa dikonservasikan lewat anak-anak didik," ujar Herawati.
TENTANG HERAWATI SOEKARDI
* Nama: Herawati Soekardi
* Tempat & tanggal lahir: Palembang, 14 Agustus 1951
* Keluarga: Anshori Djausal (suami), ibu tiga putri dan satu putra.
* Pendidikan: S-1, S-2, dan S-3 Jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung.
* Pekerjaan: Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Lampung
Sumber: Kompas, Kamis, 10 Mei 2007
Herawati Soekardi (Kompas/Helena F Nababan)
MELIHAT kupu-kupu beraneka warna dan bentuk terbang bebas di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung, sungguh menyegarkan mata.
"Indah, ya? Tetapi, banyak orang justru tak tertarik ketika mendengar penelitian dan konservasi kupu-kupu ini," kata Herawati Soekardi (56), ahli kupu-kupu pertama di Indonesia dari Lampung. Lebih jarang lagi yang meminati kupu-kupu sebagai obyek penelitian seperti yang digeluti Herawati.
Penelitian Herawati berangkat dari diskusinya dengan ahli serangga Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Soelaksono Sastrodihardjo, pada tahun 2000. Saat itu dia tengah berjuang menyelesaikan studi S-3 yang tak kunjung rampung di Departemen Biologi ITB.
Dalam anggapan Herawati, hewan bersayap cantik ini punya andil dalam jejaring makanan herbivora, sekaligus bernilai ekonomis sebagai pendukung ekowisata.
Dari pendapat itulah, Herawati menggeluti penelitian kupu-kupu. Doktornya tentang keanekaragaman spesies Papilionidae mengantarnya menjadi doktor pertama kupu-kupu di negeri tropis ini.
Dorongan suami
Perjalanan Herawati mengenal kupu-kupu yang berkembang menjadi konservasi kupu-kupu Sumatera sebetulnya dimulai jauh sebelum diskusi dengan Prof Soelaksono. Suami Herawati, Anshori Djausal, yang peneliti dan fotografer, banyak memberi ide tentang kupu-kupu yang akhirnya membuat Hera jatuh cinta pada kupu-kupu.
Ketika Herawati dipercaya menjadi ketua penyelenggara Seminar Nasional Biologi oleh Perhimpunan Biologi Indonesia cabang Lampung pada 1997, untuk memeriahkan seminar, Anshori Djausal berniat menghias gedung serba guna Universitas Lampung (Unila) dengan layang-layang berbentuk kupu-kupu.
Ternyata layang-layang yang dipesan itu berbentuk aneh, setengah capung setengah kupu-kupu. Hal itu menggugah Herawati dan suami mencari tahu bentuk kupu-kupu.
Perjalanan Herawati menggeluti kupu-kupu pun dimulai. Bersama suami, dia menangkap kupu-kupu di taman Kampus Unila tempat ia mengajar di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA untuk diamati dan diteliti.
Ternyata, kupu-kupu memiliki aneka ragam bentuk dan warna. "Cantik semua, tetapi kita hanya mengenal beberapa jenis," tutur Herawati.
Dari situ muncul ide mengawetkan kupu-kupu. Sayangnya, tak satu pun ahli serangga di ITB yang dia tanyai dapat menjawab cara mengawetkan kupu-kupu. Referensi pun tidak memberi jawaban memuaskan.
"Saya prihatin sekali. Kok bisa di negeri yang kaya flora fauna ini tidak ada satu ahli pun yang bisa menjelaskan tentang dan berapa jumlah spesies kupu-kupu asli Indonesia," ujar Herawati.
Uji coba sendiri
Akhirnya, uji coba sendirilah yang menjawab cara pengawetan itu. Dia memulai dengan menangkarkan di depan rumah kupu-kupu yang dia tangkap. Penangkaran untuk penelitian tersebut sempat berkembang menjadi industri rumah tangga berupa kupu-kupu awetan.
Kupu-kupu pajangan tersebut seolah melengkapi ikon pariwisata Lampung, yaitu gajah dan badak. Pada 7 Mei 1999, Herawati mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni,dan Budaya waktu itu, Marzuki Usman, atas jasanya turut mengembangkan kepariwisataan Lampung.
Penganugerahan penghargaan tersebut memicu Herawati mengembangkan pengetahuan tentang kupu-kupu dalam bentuk penelitian dan konservasi.
Setelah berjuang tak kenal lelah, tahun itu juga Herawati mendapat hibah tanah untuk penelitian dan konservasi seluas empat hektar dari Kantor Wilayah Kehutanan Lampung di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung.
Kawasan tersebut saat itu rusak akibat alih fungsi lahan menjadi lahan sengon, kopi, dan beberapa pohon kayu keras. Tumbuhan inang sebagai pakan larva kupu-kupu atau tumbuhan berbunga sebagai pakan kupu-kupu sama sekali tidak tumbuh.
Itu sebabnya, ia sama sekali tidak menemukan kupu-kupu di situ. "Padahal, setahu saya Sumatera memiliki beragam kupu-kupu," tutur nenek satu cucu ini.
Dia lalu menanam beragam tumbuhan berbunga dan 25 spesies tumbuhan inang sesuai dengan spesies kupu-kupu.
Setiap dua bulan dia mencatat jenis dan menangkar kupu-kupu. Akhirnya, setelah tiga tahun pertama, dia mendapati 41 spesies kupu-kupu datang dan berbiak di taman terbuka itu.
Perkembangan itu seolah membuktikan hipotesis, apabila suatu areal dilakukan perbaikan mikrohabitat, beragam kupu-kupu akan datang untuk berbiak. "Jadi, konservasi kupu-kupu dapat dilakukan," katanya.
Berkat pengetahuannya itu pula, sejak beberapa tahun terakhir manajemen Inco, perusahaan tambang nikel terbuka di Soroako, Sulawesi Selatan, meminta Herawati mendesain rekayasa habitat guna pengembangan konservasi kupu-kupu asli Sulawesi di lahan eks pertambangan nikel. Dengan bimbingannya pula, Kabupaten Lampung Barat juga akan merealisasikan taman kupu-kupu pada 2008.
Kini kawasan konservasi di kaki Gunung Betung itu telah melahirkan beberapa peneliti muda yang juga anak didiknya di Fakultas Biologi Unila. Sementara sebagai tempat wisata pendidikan, tempat tersebut banyak dikunjungi murid sekolah dari berbagai tempat.
"Yang terpenting, selain bisa mengonservasi kupu-kupu, ilmu pengetahuan juga bisa dikonservasikan lewat anak-anak didik," ujar Herawati.
TENTANG HERAWATI SOEKARDI
* Nama: Herawati Soekardi
* Tempat & tanggal lahir: Palembang, 14 Agustus 1951
* Keluarga: Anshori Djausal (suami), ibu tiga putri dan satu putra.
* Pendidikan: S-1, S-2, dan S-3 Jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung.
* Pekerjaan: Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Lampung
Sumber: Kompas, Kamis, 10 Mei 2007
May 8, 2007
Buku Puisi: Antologi DKM Lebih Baik daripada DKL
METRO (Lampost): Dua penyair Lampung Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat secara jujur menilai buku antologi puisi bertajuk 100 M Dari Gardu Pos Kota, yang diterbitkan Dewan Kesenian Metro (DKM) terbaik di Lampung.
"Luar biasa, ketika saya menerima buku antologi saya sempat kaget. Ini lebih baik dari antologi yang terakhir diterbitkan di DKL," ujar Iswadi ketika membahas antalogi puisi hasil karya tujuh penyair tempaan DKM, pada acara peluncuran antologi puisi di Gedung Serba Guna Kampus STAIN Jurai Siwo Metro, Senin (9-4).
Iswadi yang juga Manajer Teater Satu ini menilai antologi DKM cukup berhasil. Isinya apresiasi tujuh penyair yang ditempa DKM dan sudah cukup layak untuk dipublikasikan di media lokal maupun nasional. "Ini sudah menasional, banyak buku antologi puisi di Indonesia, tapi tidak sebaik ini," ujarnya.
Ia mengatakan cover-nya pun cukup menggoda. "Saya melihat terjadi keharmonisan antara penyair dan perupa di Dewan Kesenian Metro. Karena penyajian puisi juga terdapat lukisan yang mengambarkan pas dengan isi puisi."
"Lampung memang negeri penyair. Tidak ada di Indonesia penyair yang menyamai Lampung jumlahnya, kecuali di Bali," kata Iswadi lagi.
Karena itu, ia meminta DKM terus bisa menempa dan menerbitkan apresiasi semacam yang lebih baik lagi.
Keberhasilan tersebut juga tak terlepas dari peran editor yang dilakukan dua penyair Lampung, yakni Ari Pahala Hutabarat dan Rifian A Chepy yang terkesan sangat telaten.
Peluncuran antologi puisi dilakukan Ketua STAIN Dr. Syarifuddin Basyar yang juga seniman teater.
Peluncuran puisi mendapat antusias para pelajar, guru bahasa serta mahasiswa, karena diwarnai dengan apresiasi para seniman yang tampil memukau membacakan puisi hasil karya tujuh penyair Metro--Abdul Rauf, Ahmad Muzaki, Mahmud Akas, Erwinsyah, Nompi Kurniawan, Zulaihatul Mahmuda, dan Solihin Arby.
Ikut hadir dalam acara ini Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi, Ketua DKM Tato Gunarto, Ketua Harian Chepy dan Ketua Komisi Sastra dan Teater DKM Agus Chandra dan seniman Metro Mulya. Selain itu juga penampilan musikal puisi oleh komunitas Impas STAIN dengan lantunan musik tradisional dan lagu.
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syafariah Widianti yang akrab dipanggil Atu Ayi, yang diharapkan bisa tampil tak datang. Begitu juga Wali Kota Lukman Hakim.
Ketua Umum DKM menuturkan antologi semacam bisa menjadi aspirasi yang mampu mendorong karya para penyair. Dia mengharapkan kedepan bisa muncul lagi antalogi semacam. Sementara, Ketua STAIN Syarifuddin menuturkan akan terus mendukung para penyair untuk berkarya yang berasal dari STAIN. "Saya meminta DKM terus menempa dan membina para seniman STAIN untuk berkarya," ujarnya.
Ketua harian DKM Rifian A. Chepy mengakui, saat DKM pun masih terus mengemas dengan menghidupkan jejaring dilingkungan pelajar, melalui gelar pelatihan dan workshop diperuntukkan guru-guru bahasa dan sastra serta siswa. Hal itu dimaksudkan untuk menarik minat pelajar mencintai sastra dan teater di Metro. n CAN/D-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 April 2007
"Luar biasa, ketika saya menerima buku antologi saya sempat kaget. Ini lebih baik dari antologi yang terakhir diterbitkan di DKL," ujar Iswadi ketika membahas antalogi puisi hasil karya tujuh penyair tempaan DKM, pada acara peluncuran antologi puisi di Gedung Serba Guna Kampus STAIN Jurai Siwo Metro, Senin (9-4).
Iswadi yang juga Manajer Teater Satu ini menilai antologi DKM cukup berhasil. Isinya apresiasi tujuh penyair yang ditempa DKM dan sudah cukup layak untuk dipublikasikan di media lokal maupun nasional. "Ini sudah menasional, banyak buku antologi puisi di Indonesia, tapi tidak sebaik ini," ujarnya.
Ia mengatakan cover-nya pun cukup menggoda. "Saya melihat terjadi keharmonisan antara penyair dan perupa di Dewan Kesenian Metro. Karena penyajian puisi juga terdapat lukisan yang mengambarkan pas dengan isi puisi."
"Lampung memang negeri penyair. Tidak ada di Indonesia penyair yang menyamai Lampung jumlahnya, kecuali di Bali," kata Iswadi lagi.
Karena itu, ia meminta DKM terus bisa menempa dan menerbitkan apresiasi semacam yang lebih baik lagi.
Keberhasilan tersebut juga tak terlepas dari peran editor yang dilakukan dua penyair Lampung, yakni Ari Pahala Hutabarat dan Rifian A Chepy yang terkesan sangat telaten.
Peluncuran antologi puisi dilakukan Ketua STAIN Dr. Syarifuddin Basyar yang juga seniman teater.
Peluncuran puisi mendapat antusias para pelajar, guru bahasa serta mahasiswa, karena diwarnai dengan apresiasi para seniman yang tampil memukau membacakan puisi hasil karya tujuh penyair Metro--Abdul Rauf, Ahmad Muzaki, Mahmud Akas, Erwinsyah, Nompi Kurniawan, Zulaihatul Mahmuda, dan Solihin Arby.
Ikut hadir dalam acara ini Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi, Ketua DKM Tato Gunarto, Ketua Harian Chepy dan Ketua Komisi Sastra dan Teater DKM Agus Chandra dan seniman Metro Mulya. Selain itu juga penampilan musikal puisi oleh komunitas Impas STAIN dengan lantunan musik tradisional dan lagu.
Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syafariah Widianti yang akrab dipanggil Atu Ayi, yang diharapkan bisa tampil tak datang. Begitu juga Wali Kota Lukman Hakim.
Ketua Umum DKM menuturkan antologi semacam bisa menjadi aspirasi yang mampu mendorong karya para penyair. Dia mengharapkan kedepan bisa muncul lagi antalogi semacam. Sementara, Ketua STAIN Syarifuddin menuturkan akan terus mendukung para penyair untuk berkarya yang berasal dari STAIN. "Saya meminta DKM terus menempa dan membina para seniman STAIN untuk berkarya," ujarnya.
Ketua harian DKM Rifian A. Chepy mengakui, saat DKM pun masih terus mengemas dengan menghidupkan jejaring dilingkungan pelajar, melalui gelar pelatihan dan workshop diperuntukkan guru-guru bahasa dan sastra serta siswa. Hal itu dimaksudkan untuk menarik minat pelajar mencintai sastra dan teater di Metro. n CAN/D-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 April 2007
May 7, 2007
Proses Kreatif: Agar Karya Berakar Budaya, Sastrawan Harus Riset
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hingga kini sulit menemukan karya sastra (modern) yang berakar pada budaya Lampung. Kondisi ini terjadi karena lemahnya kemampuan sastrawan Lampung dalam meriset budaya. Padahal, karya sastra berkualitas yang memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai budaya suatu daerah hanya bisa lahir melalui riset.
Menurut Zulkarnain Zubairi, sastrawan muda yang mengkhususkan pada penciptaan, penerjemahan dan pembacaan puisi berbahasa daerah Lampung di Bandar Lampung, Selasa (24-5), tanpa didahului riset atau pengetahuan dan pendalaman yang baik tentang objek budaya yang hendak ditulis, sulit menghasilkan karya sastra dengan akar budaya kuat.
Dia mengakui budaya Lampung hanya mengenal tradisi sastra lisan, sehingga sulit mendapatkan peninggalan karya sastra tertulis. Beberapa naskah kuno, baik masih dalam naskah asli dalam bahasa Lampung maupun naskah terjemahan bahasa Indonesia seperti Kuntara Raja Niti, lebih banyak berisi tata hukum adat Lampung.
"Akibatnya, meskipun para seniman dan sastrawan Lampung dikenal dengan karya-karyanya dan diakui secara nasional, bahkan mancanegara; hanya sedikit yang sastra yang dihasilkan sastrawan Lampung yang terkait akar budaya di daerahnya," kata penyair yang sering menggunakan nama Udo Z. Karzi ini.
Peneliti kebudayaan Lampung, Fauzi Nurdin, malah menyebutkan adanya sejumlah dokumen ilmiah tentang adat dan tradisi Lampung yang ditulis orang asing dan diterbitkan di negara lain.
Walaupun begitu, menurut dia, berbagai literatur yang ada berkaitan adat, tradisi, dan kebudayaan Lampung tetap diperlukan sebagai rujukan bagi seniman atau sastrawan yang hendak mendalami untuk memberi warna pada karya sastra yang dihasilkan.
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengingatkan adanya beberapa kasus sastrawan di Lampung yang nyaris menjadi korban. "Ada karya sastrawan Lampung yang dinilai kalangan adat sebagai tidak memahami dan menghargai adat tradisi yang ada. Di sinilah perlunya penelitian," katanya.
Cerpenis muda, Dyah Indra Mertawirana, mengaku kendati termasuk pendatang dari luar Lampung, dia dikenal exist sebagai sastrawan setelah berada di Lampung, hingga kini belum menghasilkan satu pun karya sastra yang memiliki akar budaya daerah itu.
"Saya tengah melakukan riset untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mengangkat tema akar budaya Lampung, tetapi hingga kini belum rampung sehingga belum ada karya yang dapat dihasilkan," katanya.
Dalam Dialog Menyemai Sastra Menggali Kearifan Lokal diselenggarakan Lingkar Kajian Afkar Circle, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Harian Lampung Post di Bandar Lampung, Sabtu (21-5), mengemuka pandangan karya sastra para sastrawan di Lampung semestinya dapat menggali kearifan lokal (local genius) yang terdapat dalam nilai-nilai budaya tradisi setempat.
Nilai lokal
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya menyatakan kalau jeli menggali sebenarnya terdapat banyak nilai-nilai lokal dan kearifan lokal yang dimiliki daerah Lampung yang dapat menjadi jembatan untuk ditampilkan dalam karya sastra maupun karya seni.
"Jangan sampai malah nilai-nilai lokal dan kearifan itu justru lebih banyak dipakai dan digunakan orang lain di luar Lampung atau di luar negeri seperti terjadi selama ini, tapi justru kita yang di Lampung mengabaikannya," kata Bambang yang juga penulis tetap kolom Buras di Lampung Post.
Pengamat politik yang juga pernah membacakan sejumlah karya puisinya, Jauhari M. Zailani, menyebutkan kearifan lokal dalam karya sastra juga berarti kemampuan sastrawan di Lampung mengangkat karya yang mengandung nilai-nilai lokal yang layak dilestarikan dan disambunggenerasikan kepada anak-anak muda dan generasi selanjutnya.
"Karya sastra yang memiliki kearifan itu juga sebaiknya dapat memberikan pencerahan dan membangkitkan masyarakat untuk lebih produktif," ujar dosen Universitas Bandar Lampung (UBL) itu pula.
Menurut sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., sebenarnya kreativitas seniman dan sastrawan di daerahnya memungkinkan menggali khazanah budaya maupun kenyataan lokal yang terjadi dalam karya yang dihasilkan.
Paus Sastra Lampung itu menyebutkan dalam beberapa karya cerita pendek (cerpen)-nya mengambil setting atau back ground peristiwa keseharian masyarakat di Lampung yang lekat dengan budaya berkebun.
Begitu pula konflik yang ditulis dalam karyanya, di antaranya dipetik dari konflik nyata yang pernah terjadi di daerah sendiri.
Penyair Syaiful Irba Tanpaka menyebutkan hingga kini dia menemukan 100-an buku atau literatur yang khusus berisi tentang "lokalitas" di Lampung, seperti arsitektur, bahasa, adat, budaya, dan sejumlah aspek kehidupan lainnya. "Kebetulan saya bisa mengoleksi 50-an buku itu," ujar Syaiful.
Walaupun begitu, sejumlah sastrawan dan seniman muda di Lampung mengeluhkan kesulitan mereka mendapatkan pewarisan nilai-nilai lokal yang arif di Lampung, termasuk yang sepantasnya dapat menjadi bahan dari karya yang mereka hasilkan. n TYO/M-3
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Mei 2005
Menurut Zulkarnain Zubairi, sastrawan muda yang mengkhususkan pada penciptaan, penerjemahan dan pembacaan puisi berbahasa daerah Lampung di Bandar Lampung, Selasa (24-5), tanpa didahului riset atau pengetahuan dan pendalaman yang baik tentang objek budaya yang hendak ditulis, sulit menghasilkan karya sastra dengan akar budaya kuat.
Dia mengakui budaya Lampung hanya mengenal tradisi sastra lisan, sehingga sulit mendapatkan peninggalan karya sastra tertulis. Beberapa naskah kuno, baik masih dalam naskah asli dalam bahasa Lampung maupun naskah terjemahan bahasa Indonesia seperti Kuntara Raja Niti, lebih banyak berisi tata hukum adat Lampung.
"Akibatnya, meskipun para seniman dan sastrawan Lampung dikenal dengan karya-karyanya dan diakui secara nasional, bahkan mancanegara; hanya sedikit yang sastra yang dihasilkan sastrawan Lampung yang terkait akar budaya di daerahnya," kata penyair yang sering menggunakan nama Udo Z. Karzi ini.
Peneliti kebudayaan Lampung, Fauzi Nurdin, malah menyebutkan adanya sejumlah dokumen ilmiah tentang adat dan tradisi Lampung yang ditulis orang asing dan diterbitkan di negara lain.
Walaupun begitu, menurut dia, berbagai literatur yang ada berkaitan adat, tradisi, dan kebudayaan Lampung tetap diperlukan sebagai rujukan bagi seniman atau sastrawan yang hendak mendalami untuk memberi warna pada karya sastra yang dihasilkan.
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengingatkan adanya beberapa kasus sastrawan di Lampung yang nyaris menjadi korban. "Ada karya sastrawan Lampung yang dinilai kalangan adat sebagai tidak memahami dan menghargai adat tradisi yang ada. Di sinilah perlunya penelitian," katanya.
Cerpenis muda, Dyah Indra Mertawirana, mengaku kendati termasuk pendatang dari luar Lampung, dia dikenal exist sebagai sastrawan setelah berada di Lampung, hingga kini belum menghasilkan satu pun karya sastra yang memiliki akar budaya daerah itu.
"Saya tengah melakukan riset untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mengangkat tema akar budaya Lampung, tetapi hingga kini belum rampung sehingga belum ada karya yang dapat dihasilkan," katanya.
Dalam Dialog Menyemai Sastra Menggali Kearifan Lokal diselenggarakan Lingkar Kajian Afkar Circle, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Harian Lampung Post di Bandar Lampung, Sabtu (21-5), mengemuka pandangan karya sastra para sastrawan di Lampung semestinya dapat menggali kearifan lokal (local genius) yang terdapat dalam nilai-nilai budaya tradisi setempat.
Nilai lokal
Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya menyatakan kalau jeli menggali sebenarnya terdapat banyak nilai-nilai lokal dan kearifan lokal yang dimiliki daerah Lampung yang dapat menjadi jembatan untuk ditampilkan dalam karya sastra maupun karya seni.
"Jangan sampai malah nilai-nilai lokal dan kearifan itu justru lebih banyak dipakai dan digunakan orang lain di luar Lampung atau di luar negeri seperti terjadi selama ini, tapi justru kita yang di Lampung mengabaikannya," kata Bambang yang juga penulis tetap kolom Buras di Lampung Post.
Pengamat politik yang juga pernah membacakan sejumlah karya puisinya, Jauhari M. Zailani, menyebutkan kearifan lokal dalam karya sastra juga berarti kemampuan sastrawan di Lampung mengangkat karya yang mengandung nilai-nilai lokal yang layak dilestarikan dan disambunggenerasikan kepada anak-anak muda dan generasi selanjutnya.
"Karya sastra yang memiliki kearifan itu juga sebaiknya dapat memberikan pencerahan dan membangkitkan masyarakat untuk lebih produktif," ujar dosen Universitas Bandar Lampung (UBL) itu pula.
Menurut sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., sebenarnya kreativitas seniman dan sastrawan di daerahnya memungkinkan menggali khazanah budaya maupun kenyataan lokal yang terjadi dalam karya yang dihasilkan.
Paus Sastra Lampung itu menyebutkan dalam beberapa karya cerita pendek (cerpen)-nya mengambil setting atau back ground peristiwa keseharian masyarakat di Lampung yang lekat dengan budaya berkebun.
Begitu pula konflik yang ditulis dalam karyanya, di antaranya dipetik dari konflik nyata yang pernah terjadi di daerah sendiri.
Penyair Syaiful Irba Tanpaka menyebutkan hingga kini dia menemukan 100-an buku atau literatur yang khusus berisi tentang "lokalitas" di Lampung, seperti arsitektur, bahasa, adat, budaya, dan sejumlah aspek kehidupan lainnya. "Kebetulan saya bisa mengoleksi 50-an buku itu," ujar Syaiful.
Walaupun begitu, sejumlah sastrawan dan seniman muda di Lampung mengeluhkan kesulitan mereka mendapatkan pewarisan nilai-nilai lokal yang arif di Lampung, termasuk yang sepantasnya dapat menjadi bahan dari karya yang mereka hasilkan. n TYO/M-3
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Mei 2005
May 6, 2007
Musik: Lampung, Merauke, Bernyanyilah!
-- Frans Sartono
ADA langkah baru di industri musik negeri ini. Bakat-bakat yang selama ini berada jauh dari pusat industri musik dijaring lewat kompetisi band A Mild Live Wanted. Dari ajang ini, band-band dari Kupang, Ambon, sampai Merauke siap tampil di pentas musik Tanah Air.
Oppie Batseni (19), vokalis band 99 dari Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, tidak pernah membayangkan akan ikut rekaman album kompilasi di Musica Studio, Jakarta. Ada berlapis-lapis impian yang tiba-tiba menjadi kenyataan, termasuk untuk pertama kalinya bisa keluar pulau dan main sepanggung dengan band Samsons, Ungu, dan Naff.
"Untuk menyewa efek gitar saja kami harus menggadaikan ijazah. Kami utang ke mana-mana untuk bisa ikut lomba ini," kata Oppie tentang usaha kerasnya bersama band 99 pada kompetisi A Mild Live Wanted 2007.
Selama mengikuti kompetisi, efek gitar itu tak pernah lepas dari badan. Mereka menenteng perangkat panggung itu ke mana-mana karena takut hilang. Untuk ikut kompetisi, mereka bahkan tidak membawa gitar. Mereka mendapat pinjaman gitar dari peserta dari Ternate.
Untuk berlatih sehari-hari, mereka menggunakan gitar akustik. Sesekali jika ada uang, mereka menyewa studio seharga Rp 30.000 per jam untuk berlatih band.
"Untuk latihan, kami main pakai kardus sebagai drum," ujar Oppie.
"Kami juga tak punya pakaian bagus untuk naik panggung. Saya, misalnya, cuma pakai celana pendek waktu pentas di Makassar," tutur Oppie yang berayah polisi dan beribu guru sekolah dasar itu.
Band 99 akhirnya menjadi juara pertama A Mild Live Wanted 2007 untuk regional Indonesia bagian timur yang digelar di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, 14 April lalu. Band ini didukung anak muda Merauke, yaitu Fernandes Rombebunga pada gitar, Hendrik Jansen Metemko (keyboard), Denni Yelira (drum), Rusman Mustafa (gitar), dan Jonathan Yogi (bas).
Potensi
Di balik fasilitas minim, Oppie dan kawan-kawan menyimpan bakat dan potensi yang bisa dikembangkan di ladang industri musik. Setidaknya itu menurut juri-juri dalam kompetisi A Mild Live Wanted, yang antara lain melibatkan produser Mochammad Noerwana alias Noey dan Krisna Sadrach, gitaris Sucker Head dan produser yang pernah menangani album Ungu, plus beberapa pengamat musik, termasuk wartawan.
"Ini benar-benar kejutan. Seumur-umur, kami tak pernah temukan band dari Merauke," kata Noey yang pernah mengantar Peterpan ke industri musik.
Menurut Noey, vokal Oppie termasuk unik dan langka untuk ukuran musik pop di Indonesia. Warna vokal Oppie, kata Noey, seperti artis black music, tetapi sangat "ngerock".
"Mereka punya aura yang kuat di panggung. Penonton seperti kesirep. Penonton Makassar yang terkenal fanatik itu menjagokan band 99. Mereka berteriak memberi semangat, Merauke! Merauke!" kata Noey yang berpengalaman sebagai orang band di Java Jive.
Band peserta kompetisi, menurut Krisna Sadrach, memang disiapkan sebagai band tangguh. Mereka harus jago di panggung, tetapi juga bisa berkembang di industri rekaman. Untuk itu disyaratkan band itu harus mempunyai karakter yang bisa dijual. Lagu mereka harus komersial. Itulah mengapa dalam kompetisi mereka diwajibkan membawakan lagu ciptaan sendiri.
Sebagai juara regional Indonesia bagian timur, band 99 akan bertanding pada babak grand final di Jakarta Convention Center pada 19 Mei mendatang. Mereka akan bertanding dengan juara dari delapan regional lain. Juara pertama nantinya akan ditawari kontrak satu album dengan Musica Studio, plus tur selama setahun bersama A Mild Live.
Kompetisi band ini dirancang sebagai ajang pencarian bakat yang selama ini tak termonitor oleh pelaku industri musik. Kalangan produser, perusahaan rekaman, promotor pertunjukan, dan A Mild Live menggagas untuk menjemput bakat langsung ke sarangnya.
"Selama ini kami cuma dapat band dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, atau Palembang. Kenapa kita tidak cari dari Ambon, Aceh, atau Papua," kata Noey, salah seorang penggagas kompetisi.
Bakat-bakat baru diharapkan akan memberi kesegaran baru di belantika musik Tanah Air.
Bakat
Ternyata dinamika band di daerah sungguh luar biasa. Sejak kompetisi diumumkan, ribuan demo masuk. Bakat dari Merauke itu hanya salah satunya. Nyatanya, A Mild Live Wanted yang digelar sejak 16 Februari lalu diikuti sekitar 2.000 band dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah melalui beberapa tahapan seleksi, mereka maju dalam kompetisi tingkat regional dengan peserta 12 sampai 18 band. Dari puluhan band yang terjaring, terpilih sembilan bakat dari berbagai daerah. Mereka antara lain Beautiful Monday dari Medan, Jingga (Pekanbaru), Coin (Lampung), Second (Cirebon), Utara (Solo), Mori (Balikpapan), dan satu band dari regional Jabodetabek yang akan digelar 11 Mei mendatang.
Band peserta kompetisi mencerminkan persebaran bakat di negeri ini. Salah satunya adalah band Sayap dari Mataram, Lombok, yang masuk tiga besar dalam kompetisi regional Jawa bagian timur. Mereka selama ini belum tersentuh oleh pelaku industri musik yang selama ini berperan pengorbit bakat-bakat baru.
"Untuk teknologi, kami mengakui paling terbelakang dan kalah dengan band-band di Jawa. Di pundak-pundak kami terpikul banyak harapan. Semoga ada produser yang melirik kami," kata Eka, pemain bas band Sayap.
Bagi band Riviera yang beranggotakan mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya, kompetisi ini merupakan jalan untuk menembus perusahaan rekaman. Mereka telah mengikuti berbagai festival untuk mendapatkan kesempatan serupa.
"Banyak demo kami kirim ke perusahaan rekaman, tetapi belum pernah dijawab," kata Satria, pemain keyboard Riviera yang ditemui seusai diumumkan sebagai juara pertama A Mild Live Wanted tingkat regional Jawa bagian timur, 28 April lalu di lapangan Kenjeran, Surabaya.
Harapan Riviera telah terpenuhi. Setidaknya mereka telah ikut membuat album kompilasi bersama sembilan finalis lain di Musica Studio. Bakat-bakat baru itu masih harus berkompetisi di panggung industri musik dengan juri bernama telinga publik.
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Mei 2007
ADA langkah baru di industri musik negeri ini. Bakat-bakat yang selama ini berada jauh dari pusat industri musik dijaring lewat kompetisi band A Mild Live Wanted. Dari ajang ini, band-band dari Kupang, Ambon, sampai Merauke siap tampil di pentas musik Tanah Air.
Oppie Batseni (19), vokalis band 99 dari Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, tidak pernah membayangkan akan ikut rekaman album kompilasi di Musica Studio, Jakarta. Ada berlapis-lapis impian yang tiba-tiba menjadi kenyataan, termasuk untuk pertama kalinya bisa keluar pulau dan main sepanggung dengan band Samsons, Ungu, dan Naff.
"Untuk menyewa efek gitar saja kami harus menggadaikan ijazah. Kami utang ke mana-mana untuk bisa ikut lomba ini," kata Oppie tentang usaha kerasnya bersama band 99 pada kompetisi A Mild Live Wanted 2007.
Selama mengikuti kompetisi, efek gitar itu tak pernah lepas dari badan. Mereka menenteng perangkat panggung itu ke mana-mana karena takut hilang. Untuk ikut kompetisi, mereka bahkan tidak membawa gitar. Mereka mendapat pinjaman gitar dari peserta dari Ternate.
Untuk berlatih sehari-hari, mereka menggunakan gitar akustik. Sesekali jika ada uang, mereka menyewa studio seharga Rp 30.000 per jam untuk berlatih band.
"Untuk latihan, kami main pakai kardus sebagai drum," ujar Oppie.
"Kami juga tak punya pakaian bagus untuk naik panggung. Saya, misalnya, cuma pakai celana pendek waktu pentas di Makassar," tutur Oppie yang berayah polisi dan beribu guru sekolah dasar itu.
Band 99 akhirnya menjadi juara pertama A Mild Live Wanted 2007 untuk regional Indonesia bagian timur yang digelar di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, 14 April lalu. Band ini didukung anak muda Merauke, yaitu Fernandes Rombebunga pada gitar, Hendrik Jansen Metemko (keyboard), Denni Yelira (drum), Rusman Mustafa (gitar), dan Jonathan Yogi (bas).
Potensi
Di balik fasilitas minim, Oppie dan kawan-kawan menyimpan bakat dan potensi yang bisa dikembangkan di ladang industri musik. Setidaknya itu menurut juri-juri dalam kompetisi A Mild Live Wanted, yang antara lain melibatkan produser Mochammad Noerwana alias Noey dan Krisna Sadrach, gitaris Sucker Head dan produser yang pernah menangani album Ungu, plus beberapa pengamat musik, termasuk wartawan.
"Ini benar-benar kejutan. Seumur-umur, kami tak pernah temukan band dari Merauke," kata Noey yang pernah mengantar Peterpan ke industri musik.
Menurut Noey, vokal Oppie termasuk unik dan langka untuk ukuran musik pop di Indonesia. Warna vokal Oppie, kata Noey, seperti artis black music, tetapi sangat "ngerock".
"Mereka punya aura yang kuat di panggung. Penonton seperti kesirep. Penonton Makassar yang terkenal fanatik itu menjagokan band 99. Mereka berteriak memberi semangat, Merauke! Merauke!" kata Noey yang berpengalaman sebagai orang band di Java Jive.
Band peserta kompetisi, menurut Krisna Sadrach, memang disiapkan sebagai band tangguh. Mereka harus jago di panggung, tetapi juga bisa berkembang di industri rekaman. Untuk itu disyaratkan band itu harus mempunyai karakter yang bisa dijual. Lagu mereka harus komersial. Itulah mengapa dalam kompetisi mereka diwajibkan membawakan lagu ciptaan sendiri.
Sebagai juara regional Indonesia bagian timur, band 99 akan bertanding pada babak grand final di Jakarta Convention Center pada 19 Mei mendatang. Mereka akan bertanding dengan juara dari delapan regional lain. Juara pertama nantinya akan ditawari kontrak satu album dengan Musica Studio, plus tur selama setahun bersama A Mild Live.
Kompetisi band ini dirancang sebagai ajang pencarian bakat yang selama ini tak termonitor oleh pelaku industri musik. Kalangan produser, perusahaan rekaman, promotor pertunjukan, dan A Mild Live menggagas untuk menjemput bakat langsung ke sarangnya.
"Selama ini kami cuma dapat band dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, atau Palembang. Kenapa kita tidak cari dari Ambon, Aceh, atau Papua," kata Noey, salah seorang penggagas kompetisi.
Bakat-bakat baru diharapkan akan memberi kesegaran baru di belantika musik Tanah Air.
Bakat
Ternyata dinamika band di daerah sungguh luar biasa. Sejak kompetisi diumumkan, ribuan demo masuk. Bakat dari Merauke itu hanya salah satunya. Nyatanya, A Mild Live Wanted yang digelar sejak 16 Februari lalu diikuti sekitar 2.000 band dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah melalui beberapa tahapan seleksi, mereka maju dalam kompetisi tingkat regional dengan peserta 12 sampai 18 band. Dari puluhan band yang terjaring, terpilih sembilan bakat dari berbagai daerah. Mereka antara lain Beautiful Monday dari Medan, Jingga (Pekanbaru), Coin (Lampung), Second (Cirebon), Utara (Solo), Mori (Balikpapan), dan satu band dari regional Jabodetabek yang akan digelar 11 Mei mendatang.
Band peserta kompetisi mencerminkan persebaran bakat di negeri ini. Salah satunya adalah band Sayap dari Mataram, Lombok, yang masuk tiga besar dalam kompetisi regional Jawa bagian timur. Mereka selama ini belum tersentuh oleh pelaku industri musik yang selama ini berperan pengorbit bakat-bakat baru.
"Untuk teknologi, kami mengakui paling terbelakang dan kalah dengan band-band di Jawa. Di pundak-pundak kami terpikul banyak harapan. Semoga ada produser yang melirik kami," kata Eka, pemain bas band Sayap.
Bagi band Riviera yang beranggotakan mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya, kompetisi ini merupakan jalan untuk menembus perusahaan rekaman. Mereka telah mengikuti berbagai festival untuk mendapatkan kesempatan serupa.
"Banyak demo kami kirim ke perusahaan rekaman, tetapi belum pernah dijawab," kata Satria, pemain keyboard Riviera yang ditemui seusai diumumkan sebagai juara pertama A Mild Live Wanted tingkat regional Jawa bagian timur, 28 April lalu di lapangan Kenjeran, Surabaya.
Harapan Riviera telah terpenuhi. Setidaknya mereka telah ikut membuat album kompilasi bersama sembilan finalis lain di Musica Studio. Bakat-bakat baru itu masih harus berkompetisi di panggung industri musik dengan juri bernama telinga publik.
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Mei 2007
May 2, 2007
Teori Asal-Usul Ulun Lampung*
ASAL-usul ulun Lampung (orang Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri, walaupun nama Lampung itu mungkin sekali baru dipakai lebih kemudian daripada mereka memasuki daerah Lampung.
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul (nama) ulun Lampung:
Pertama, dari catatan musafir Cina yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing, yang diperkuat oleh teori yang dikemukan Hilman Hadikusuma, disebutkan bahwa Lampung itu berasal dari kata To-lang-po-hwang. To berarti orang dalam bahasa Toraja, sedangkan Lang-po-hwang kepanjangan dari Lampung. Jadi, To-lang-po-hwang berarti orang Lampung.
Kedua, Dr. R. Boesma dalam bukunya, De Lampungsche Districten (1916) menyebutkan, Tuhan menurunkan orang pertama di bumi bernama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang menurunkan Si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu Balau). Dari kata inilah nama Lampung berasal.
Ketiga, legenda daerah Tapanuli menyeritakan, zaman dahulu meletus gunung berapi yang menimbulkan Danau Toba. Ketika gunung itu meletus, ada empat orang bersaudara berusaha menyelamatkan diri. Salah satu dari empat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung Silamponga kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekalabrak.
Dari atas bukit itu, terhampar pemandangan luas dan menawan hati seperti daerah yang terapung. Dengan perasaan kagum, lalu Ompung Silamponga meneriakkan kata, "Lappung" (berasal dari bahasa Tapanuli kuno yang berarti terapung atau luas).
Dari kata inilah timbul nama Lampung. Ada juga yang berpendapat nama Lampung berasal dari nama Ompung Silamponga itu.
Keempat, teori Hilman Hadikusuma yang mengutip cerita rakyat. Ulun Lampung berasal dari Sekalabrak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati.
Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:
Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung
Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian
Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya
Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir
Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulangbawang
Kelima, penelitian siswa Sekolah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938 tentang asal-usul ulun Lampung. Dalam cerita Cindur Mato yang berhubungan juga dengan cerita rakyat di Lampung disebutkan bahwa suatu ketika Pagaruyung diserang musuh dari India. Penduduk mengalami kekalahan karena musuh telah menggunakan senjata dari besi. Sedangkan rakyat masih menggunakan alat dari nibung (ruyung).
Kemudian mereka melarikan diri. Ada yang malalui Sungai Rokan, sebagian melalui dan terdampar di hulu Sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan Suku Rejang. Yang lari ke utara menurunkan Suku Batak. Yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan menurunkan Suku Bugis. Sedangkan yang terdampai di Krui, lalu menyebar di dataran tinggi Sekalabrak, Lampung Barat. Mereka inilah yang menurunkan Suku Lampung.
* Diolah dari http://unila.ac.id/~budaya-lampung/sejarah/index.html yang tidak bisa lagi diakses.
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul (nama) ulun Lampung:
Pertama, dari catatan musafir Cina yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing, yang diperkuat oleh teori yang dikemukan Hilman Hadikusuma, disebutkan bahwa Lampung itu berasal dari kata To-lang-po-hwang. To berarti orang dalam bahasa Toraja, sedangkan Lang-po-hwang kepanjangan dari Lampung. Jadi, To-lang-po-hwang berarti orang Lampung.
Kedua, Dr. R. Boesma dalam bukunya, De Lampungsche Districten (1916) menyebutkan, Tuhan menurunkan orang pertama di bumi bernama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang menurunkan Si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu Balau). Dari kata inilah nama Lampung berasal.
Ketiga, legenda daerah Tapanuli menyeritakan, zaman dahulu meletus gunung berapi yang menimbulkan Danau Toba. Ketika gunung itu meletus, ada empat orang bersaudara berusaha menyelamatkan diri. Salah satu dari empat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung Silamponga kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekalabrak.
Dari atas bukit itu, terhampar pemandangan luas dan menawan hati seperti daerah yang terapung. Dengan perasaan kagum, lalu Ompung Silamponga meneriakkan kata, "Lappung" (berasal dari bahasa Tapanuli kuno yang berarti terapung atau luas).
Dari kata inilah timbul nama Lampung. Ada juga yang berpendapat nama Lampung berasal dari nama Ompung Silamponga itu.
Keempat, teori Hilman Hadikusuma yang mengutip cerita rakyat. Ulun Lampung berasal dari Sekalabrak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati.
Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:
Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung
Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian
Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya
Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir
Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulangbawang
Kelima, penelitian siswa Sekolah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938 tentang asal-usul ulun Lampung. Dalam cerita Cindur Mato yang berhubungan juga dengan cerita rakyat di Lampung disebutkan bahwa suatu ketika Pagaruyung diserang musuh dari India. Penduduk mengalami kekalahan karena musuh telah menggunakan senjata dari besi. Sedangkan rakyat masih menggunakan alat dari nibung (ruyung).
Kemudian mereka melarikan diri. Ada yang malalui Sungai Rokan, sebagian melalui dan terdampar di hulu Sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan Suku Rejang. Yang lari ke utara menurunkan Suku Batak. Yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan menurunkan Suku Bugis. Sedangkan yang terdampai di Krui, lalu menyebar di dataran tinggi Sekalabrak, Lampung Barat. Mereka inilah yang menurunkan Suku Lampung.
* Diolah dari http://unila.ac.id/~budaya-lampung/sejarah/index.html yang tidak bisa lagi diakses.
May 1, 2007
Peluncuran Buku: Korban Talangsari Masih Bertikai
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kasus Talangsari tahun 1989 memicu pertikaian panjang. Kubu kontra islah menyatakan tragedi ini harus diproses, yang pro menganggap bukan pelanggaran HAM dan sudah selesai.
Perbedaan sikap ini terjadi saat diskusi buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari, jurnalis yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Lampung, Senin (30-4) di belakang kantor rektorat.
Diskusi yang dibuka Pembantu Rektor III Unila M. Thoha B. Sampurna Jaya ini menghadirkan empat pembicara: Jayus (saksi korban), Usman Hamid (Koordinator Kontras), Safrudin (dosen Fakultas Hukum Unila), dan Fadilasari. Sejumlah saksi dan keluarga korban juga hadir, antara lain Azwar Kaili, Suparno, Paimun, Sucipto Prayitno, Mardi, Kasmanto, dan Amir.
Sukardi dan Sudarsono dari kubu pro-islah juga hadir; mereka kini menetap di Jakarta. Selain itu, hadir juga Kepala Penerangan Korem 143/Gatam, Kapten CHB Deden, didampingi dua anggota Intel.
Saat diskusi, terjadi kericuhan antara Widagdo Hadi Maksum dari LSM Amanah Pondok Pesantren Lampung dengan Azwar Kaili. Kericuhan berawal ketika Widagdo menginstruksi Usman Hamid menghentikan pemaparan kerugian korban Talangsari.
Menurut Usman, pemerintah saat itu tidak bisa menerima kritik sehingga melakukan kekerasan dengan membantai dan membakar anak-anak, wanita, dan orang tua. "Sampai sekarang tidak ada yang memperhatikan kelanjutan kehidupan para korban, janda, dan anak-anak yatim di Talangsari. Mereka kesulitan melanjutan pendidikan, tidak diterima kerja karena dicap ekstrem kanan," kata Usman.
Widagdo menyela penuturan Usman. "Anda tidak usah mengatakan hal itu akan menyebabkan pemiskinan ekonomi bagi korban. Korban jangan dieksploitasi dan dipolitisasi. Kasus ini sudah selesai," kata Widagdo yang meminta moderator, praktisi pers Ibnu Khalid, membatasi pembicaraan.
Mendengar perkataan Widagdo, Azwar langsung berdiri. Dengan muka merah dan suara gemetaran, ia mengarahkan jari telunjuk kepada Widagdo. "Anak saya hilang, saya tidak tahu kabarnya sampai sekarang. Kasus ini tidak akan pernah selesai sampai dibawa ke pengadilan," kata Azwar.
Ia lalu bergerak menuju Widagdo. Perang mulut pun tak bisa dihindari dan berlangsung cukup lama. Moderator, panitia, dan peserta menenangkan mereka. Akhirnya, kericuhan yang nyaris berujung baku hantam ini dapat dicegah sehingga dialog dapat diteruskan.
Bagi Sukardi, peristiwa Talangsari bukan pelanggaran HAM, tetapi aksi mujahid mendirikan negara Islam. "Saya dahulu anggota pasukan khusus Front Pemuda Mujahidin Fisabililah yang berjuang mendirikan negara Islam di Lampung," kata Sukardi.
Sesuai dengan syariat Islam, penduduk desa yang dibantai aparat itu dianggap sebagai mujahid. "Sekarang sudah islah dengan aparat," ujarnya.
Bagi yang kontra islah, peristiwa yang terjadi tanggal 7--8 Februari 1989 ini pelanggaran HAM. Dengan bantuan Kontras, mereka terus menempuh jalur hukum.
"Kami berharap jika kasus ini sampai pengadilan, tidak banyak hambatan dan tekanan untuk korban," kata Jayus, salah satu saksi korban saat dialog dengan jajaran Redaksi Lampung Post di kantor harian ini, kemarin. Jayus dan korban kontra islah lainnya datang ke Lampung Post didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.
Sebelum bertemu rombongan Jayus, kubu pro-islah juga berdialog dengan Redaksi Lampung Post. "Talangsari dijadikan komoditas oleh Kontras, bukan membela keadilan. Ini untuk kepentingan sekelompok orang. Saat masih berada di Kontras, kasus ini diungkap untuk mendobrak Hendropriyono (mantan Danrem 043 Gatam, saat pecah kasus Talangsari, red). "Ini pembunuhan karakter Pak Hendro," kata Riyanto didampingi Sudarsono dan Sukardi yang semuanya mantan pasukan Mujahidin Fisabililah. n RIN/ITA/RIS/U-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 1 Mei 2007
Perbedaan sikap ini terjadi saat diskusi buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari, jurnalis yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Lampung, Senin (30-4) di belakang kantor rektorat.
Diskusi yang dibuka Pembantu Rektor III Unila M. Thoha B. Sampurna Jaya ini menghadirkan empat pembicara: Jayus (saksi korban), Usman Hamid (Koordinator Kontras), Safrudin (dosen Fakultas Hukum Unila), dan Fadilasari. Sejumlah saksi dan keluarga korban juga hadir, antara lain Azwar Kaili, Suparno, Paimun, Sucipto Prayitno, Mardi, Kasmanto, dan Amir.
Sukardi dan Sudarsono dari kubu pro-islah juga hadir; mereka kini menetap di Jakarta. Selain itu, hadir juga Kepala Penerangan Korem 143/Gatam, Kapten CHB Deden, didampingi dua anggota Intel.
Saat diskusi, terjadi kericuhan antara Widagdo Hadi Maksum dari LSM Amanah Pondok Pesantren Lampung dengan Azwar Kaili. Kericuhan berawal ketika Widagdo menginstruksi Usman Hamid menghentikan pemaparan kerugian korban Talangsari.
Menurut Usman, pemerintah saat itu tidak bisa menerima kritik sehingga melakukan kekerasan dengan membantai dan membakar anak-anak, wanita, dan orang tua. "Sampai sekarang tidak ada yang memperhatikan kelanjutan kehidupan para korban, janda, dan anak-anak yatim di Talangsari. Mereka kesulitan melanjutan pendidikan, tidak diterima kerja karena dicap ekstrem kanan," kata Usman.
Widagdo menyela penuturan Usman. "Anda tidak usah mengatakan hal itu akan menyebabkan pemiskinan ekonomi bagi korban. Korban jangan dieksploitasi dan dipolitisasi. Kasus ini sudah selesai," kata Widagdo yang meminta moderator, praktisi pers Ibnu Khalid, membatasi pembicaraan.
Mendengar perkataan Widagdo, Azwar langsung berdiri. Dengan muka merah dan suara gemetaran, ia mengarahkan jari telunjuk kepada Widagdo. "Anak saya hilang, saya tidak tahu kabarnya sampai sekarang. Kasus ini tidak akan pernah selesai sampai dibawa ke pengadilan," kata Azwar.
Ia lalu bergerak menuju Widagdo. Perang mulut pun tak bisa dihindari dan berlangsung cukup lama. Moderator, panitia, dan peserta menenangkan mereka. Akhirnya, kericuhan yang nyaris berujung baku hantam ini dapat dicegah sehingga dialog dapat diteruskan.
Bagi Sukardi, peristiwa Talangsari bukan pelanggaran HAM, tetapi aksi mujahid mendirikan negara Islam. "Saya dahulu anggota pasukan khusus Front Pemuda Mujahidin Fisabililah yang berjuang mendirikan negara Islam di Lampung," kata Sukardi.
Sesuai dengan syariat Islam, penduduk desa yang dibantai aparat itu dianggap sebagai mujahid. "Sekarang sudah islah dengan aparat," ujarnya.
Bagi yang kontra islah, peristiwa yang terjadi tanggal 7--8 Februari 1989 ini pelanggaran HAM. Dengan bantuan Kontras, mereka terus menempuh jalur hukum.
"Kami berharap jika kasus ini sampai pengadilan, tidak banyak hambatan dan tekanan untuk korban," kata Jayus, salah satu saksi korban saat dialog dengan jajaran Redaksi Lampung Post di kantor harian ini, kemarin. Jayus dan korban kontra islah lainnya datang ke Lampung Post didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.
Sebelum bertemu rombongan Jayus, kubu pro-islah juga berdialog dengan Redaksi Lampung Post. "Talangsari dijadikan komoditas oleh Kontras, bukan membela keadilan. Ini untuk kepentingan sekelompok orang. Saat masih berada di Kontras, kasus ini diungkap untuk mendobrak Hendropriyono (mantan Danrem 043 Gatam, saat pecah kasus Talangsari, red). "Ini pembunuhan karakter Pak Hendro," kata Riyanto didampingi Sudarsono dan Sukardi yang semuanya mantan pasukan Mujahidin Fisabililah. n RIN/ITA/RIS/U-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 1 Mei 2007