DALAM bidang pelestarian aksara tradisional, Sumsel masih tertinggal dibandingkan dengan Lampung. Pengamat budaya Sumsel Ahmad Bastari, Senin (30/7), mengatakan, sejak tahun 1990-an para pelajar di Lampung telah mendapat pelajaran muatan lokal tentang aksara tradisional. Aksara tradisional Lampung itu bisa dijumpai dalam penulisan nama jalan di Lampung dan dalam dekorasi acara-acara resmi pemerintah daerah. Ahmad mengatakan, persoalan di Sumsel karena ada banyak jenis aksara tradisional, sedangkan di Lampung hanya ada satu jenis. Oleh karena itu, Lampung tidak mengalami kesulitan menentukan jenis aksara yang akan diajarkan dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Sedangkan di Sumsel harus dilakukan lokakarya yang akan menentukan jenis aksara yang akan diajarkan. (WAD)
Sumber: Kompas, Selasa, 31 Juli 2007
July 31, 2007
July 30, 2007
Profil: Ahmad Bastari dan Pelestarian Surat Ulu
SUMSELl memiliki beragam kekayaan budaya, salah satunya adalah Surat Ulu yang ditulis dalam aksara Ke ge nge*. Surat Ulu merupakan istilah untuk menyebut kumpulan tulisan di atas lembaran bambu, batang bambu, tanduk kerbau, maupun kepingan-kepingan kayu yang disebut Kitab Kaghas. Karena banyak ditemukan di daerah pedalaman di luar Palembang, maka disebut Surat Ulu.
Ahmad Bastari Suan (61) adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu membaca dan mengartikan Surat Ulu. Kepandaian membaca Surat Ulu diperoleh Ahmad dengan cara belajar pada seorang kakek yang tinggal tak jauh dari kampung kelahiran Ahmad di Dusun Pelajaran, Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat. Ahmad mengaku belajar membaca Surat Ulu pada tahun 1973 selama satu bulan.
Ahmad mengatakan, aksara Ke ge nge diperkirakan sudah muncul sejak zaman purba. Beberapa situs megalitikum di Sumsel atau disebut Batu Besurat oleh penduduk sekitarnya dipahat dengan aksara yang mirip aksara Ke Ge Nge.
Ahmad yang saat ini masih aktif mengajar sejarah di SMP Sri Jayanegara Palembang menuturkan, isi Surat Ulu maupun Kitab Kaghas beraneka ragam, di antaranya menjelaskan tentang silsilah keluarga, mantera-mantera, pengobatan, ramalan tentang sifat manusia dan peruntungannya, serta tuah ayam sebelum ayam itu disabung.
"Sayangnya upaya pelestarian Surat Ulu terhambat oleh sikap pewaris Surat Ulu yang terlalu menyakralkan benda tersebut. Saya pernah bermaksud meminjam Surat Ulu untuk dipelajari tapi saya malah dimarahi," kata Ahmad yang telah menulis beberapa buku sejarah itu..
Menurut Ahmad, para pewaris Surat Ulu yang disebut Jurai Tui itu menganggap Surat Ulu adalah benda keramat yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Oleh sebab itu Ahmad sampai saat ini tidak punya dokumentasi Surat Ulu maupun Kitab Kaghas. Ahmad hanya bisa membuktikan bahwa Surat Ulu dan Kitab Kaghas memang ada.
"Seharusnya Surat Ulu itu dilestarikan sebagai warisan budaya. Cita-cita saya, Surat Ulu dan aksara Ke ge nge ini diajarkan di sekolah-sekolah. Tidak sulit mempelajari aksara Ke ge nge yang terdiri dari 28 huruf, paling hanya perlu waktu satu bulan," kata Ahmad. (WAD)
* Mungkin, yang dimaksud dengan aksara Ke ge nge adalah aksara Kaganga, yaitu huruf Lampung
Sumber: Kompas, Senin, 30 Juli 2007
Ahmad Bastari Suan (61) adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu membaca dan mengartikan Surat Ulu. Kepandaian membaca Surat Ulu diperoleh Ahmad dengan cara belajar pada seorang kakek yang tinggal tak jauh dari kampung kelahiran Ahmad di Dusun Pelajaran, Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat. Ahmad mengaku belajar membaca Surat Ulu pada tahun 1973 selama satu bulan.
Ahmad mengatakan, aksara Ke ge nge diperkirakan sudah muncul sejak zaman purba. Beberapa situs megalitikum di Sumsel atau disebut Batu Besurat oleh penduduk sekitarnya dipahat dengan aksara yang mirip aksara Ke Ge Nge.
Ahmad yang saat ini masih aktif mengajar sejarah di SMP Sri Jayanegara Palembang menuturkan, isi Surat Ulu maupun Kitab Kaghas beraneka ragam, di antaranya menjelaskan tentang silsilah keluarga, mantera-mantera, pengobatan, ramalan tentang sifat manusia dan peruntungannya, serta tuah ayam sebelum ayam itu disabung.
"Sayangnya upaya pelestarian Surat Ulu terhambat oleh sikap pewaris Surat Ulu yang terlalu menyakralkan benda tersebut. Saya pernah bermaksud meminjam Surat Ulu untuk dipelajari tapi saya malah dimarahi," kata Ahmad yang telah menulis beberapa buku sejarah itu..
Menurut Ahmad, para pewaris Surat Ulu yang disebut Jurai Tui itu menganggap Surat Ulu adalah benda keramat yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Oleh sebab itu Ahmad sampai saat ini tidak punya dokumentasi Surat Ulu maupun Kitab Kaghas. Ahmad hanya bisa membuktikan bahwa Surat Ulu dan Kitab Kaghas memang ada.
"Seharusnya Surat Ulu itu dilestarikan sebagai warisan budaya. Cita-cita saya, Surat Ulu dan aksara Ke ge nge ini diajarkan di sekolah-sekolah. Tidak sulit mempelajari aksara Ke ge nge yang terdiri dari 28 huruf, paling hanya perlu waktu satu bulan," kata Ahmad. (WAD)
* Mungkin, yang dimaksud dengan aksara Ke ge nge adalah aksara Kaganga, yaitu huruf Lampung
Sumber: Kompas, Senin, 30 Juli 2007
July 29, 2007
Bingkai: Bahasa Sang Bumi Ruwa Jurai Menangis
-- Sarip*
BAHASA daerah yang merupakan ciri yang tidak dapat dihilangkan dari setiap daerah, merupakan sesuatu yang tidak dapat dimungkiri. Tapi, kini bahasa Lampung yang merupakan kebanggaan daerah Lampung, sekarang kering sekali di daerahnya sendiri atau sedang mengalami sakit. Keterpurukan bahasa Lampung itu sendiri akan menjadikan nilai budaya Lampung semakin menipis, terutama di generasi muda. Memang dewasa ini banyak digembar-gemborkan di Lampung tentang budaya Lampung agar tetap eksis, malahan saya tidak pernah mengerti budaya yang mana, apakah budaya tari atau lagu daerah Lampung itu sendiri.
Apabila kita mau menyadari kenapa bahasa Lampung kurang sekali mendapatkan perhatian terutama di kalangan anak muda sekarang, dapat diketahui ada beberapa penyebabnya antara lain, pertama, anak muda sekarang lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam berdialog di Daerah Lampung sendiri. Kedua, pembinaan bahasa Lampung kurang mendapat dukungan dari Pemerintah Lampung dan masyarakat Lampung sendiri.
Saya merasa terkejut sekali setelah melihat situs Unila yang menyatakan Pendidikan Program Diploma Tiga (D-3) Bahasa dan Sastra Lampung Unila tahun akademik 2007--2008 dihentikan sementara. Walaupun sebagai pendatang saya merasa heran kenapa itu harus terjadi, sementara apabila kita mau berpikir secara sehat di mana pun kita berada, maka bahasa daerah begitu penting. Dengan dihapuskannya program Bahasa Lampung di Unila, tentunya akan mengurangi pengembangan bahasa daerah Lampung sendiri.
Patut disadari oleh pemerintah daerah Lampung sendiri, apabila berkunjung ke daerah lain, suasana bahasa daerahnya begitu kental sekali, bahkan ada yang menamakan bahasa daerahnya adalah bahasa ibu dan bahasa nasional sebagai bahasa alternatif.
Selain itu kendala dalam bidang bahasa budaya Lampung juga terkendala oleh sejarah daerah Lampung itu sendiri. Itu terbukti, pada saat di dunia akademis saya bertanya pada anak Lampung sendiri, bagaimana sih sejarah Lampung? Mereka hanya menjawab kurang paham bahkan ada yang tidak tahu sama sekali, sehingga dapat diperoleh hampir 75% anak muda Lampung tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri.
Hal ini sangat berbeda dengan daerah lain, ketika saya bertanya tentang bagimana sejarah Medan pada anak Medan, bagimana sejarah Banten pada anak Banten, dan bagaimana sejarah Palembang pada anak Palembang, dan anak pendatang lainnya? Semuanya memaparkan dengan sangat baik tentang sejarah daerahnya dan hampir semua jawaban yang diberikan mempunyai kesamaan atas daerah yang sama. Ini membuktikan bahwa selain problematika yang dihadapi oleh anak muda tentang bahasa Lampung juga problematika tentang sejarah Lampung itu sendiri.
Akibat kurangnya dukungan atau perhatian terhadap bahasa Lampung di Unila sendiri kelihatanya sedang mati suri hal ini terbukti dengan penghentian sementara lantaran program studi (prodi) tersebut akan ditutup, melainkan ingin melihat peluang dan formasi dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) apakah terserap atau tidak.
Di sini terlihat sekali bahwa apabila pemerintah daerah tidak memperhatikan bahasa daerah Lampung dalam perekrutan CPNS, akan ditutup, hal ini sudah sewajarnya dilakukan sebab setiap universitas tidak menginginkan anak didiknya yang lulus menjadi penganguran. Di sinilah seharusnya peran pemerintah daerah yang bekerja sama dengan Unila meningkatkan kembali bahasa Lampung. Memang penutupan prodi tidak akan terjadi apabila pemerintah daerah sendiri menyadari betapa pentingnya bahasa Lampung sebagai ciri yang mudah dikenal di manapun mereka berada.
Peryataan tersebut disampaikan Ketua Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Iqbal Hilal saat dihubungi Lampost, Kamis (12-7) malam terkait dengan prodi ini yang tidak menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 2007--2008. Kendala yang dihadapi bagi lulusan bahasa Lampung sendiri adalah sejak dibuka pada tahun akademik 1989--1999 sudah meluluskan sekitar 800 orang. "Memang lulusan kami separo menjadi guru kontrak di SD dan SMP, namun mereka belum banyak yang diangkat. Kami juga menunggu reaksi dan perhatian pemerintah daerah terhadap Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung."
Sebetulnya perlu disadari keberadaan bahasa Lampung sendiri bukanlah ada pada masalah peminat ternyata justru permasalahan yang besar terletak pada perhatian pemda itu sendiri terhadap kemajuan bahasa Lampung. Hal tersebut dibuktikan dari setiap tahun ajaran akademik bahasa dan sastra lampung hanya dapat menampung 40 mahasiswa sementara yang mendaftar mencapai 300 orang.
Sudah saatnyalah sekarang ini dengan konsep otonomi daerah yang ada, pemerintah maupun universitas membuka diri terhadap budaya sendiri. Sebab, sebagai pendatang yang bergelut di dunia akademis terkadang merasa malu di saat pulang ke kampung halaman ditanya sekitar bahasa Lampung, ternyata kejadian serupa tidak hanya menimpa saya seorang diri bahkan hampir seluruh mahasiswa pendatang saat pulang kampung halaman ditanya hal yang sama. Hanya saya bisa berharap walaupun tidak bisa bahasa Lampung tapi jangan hilangkan nilai luhur diri sendiri sebab ada pepatah bilang "Orang melayu dapat dikenali bukan dari bukan dari bentuk fisik oleh sesama orang Melayu tapi oleh bahasanya". Hal ini akan mengandung makna bagaimana Lampung dapat dikenal kalau dalam bahasa sendiri tidak pernah digunakan.
* Sarip, Alumnus Fakultas Hukum Unila 2007
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juli 2007
BAHASA daerah yang merupakan ciri yang tidak dapat dihilangkan dari setiap daerah, merupakan sesuatu yang tidak dapat dimungkiri. Tapi, kini bahasa Lampung yang merupakan kebanggaan daerah Lampung, sekarang kering sekali di daerahnya sendiri atau sedang mengalami sakit. Keterpurukan bahasa Lampung itu sendiri akan menjadikan nilai budaya Lampung semakin menipis, terutama di generasi muda. Memang dewasa ini banyak digembar-gemborkan di Lampung tentang budaya Lampung agar tetap eksis, malahan saya tidak pernah mengerti budaya yang mana, apakah budaya tari atau lagu daerah Lampung itu sendiri.
Apabila kita mau menyadari kenapa bahasa Lampung kurang sekali mendapatkan perhatian terutama di kalangan anak muda sekarang, dapat diketahui ada beberapa penyebabnya antara lain, pertama, anak muda sekarang lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam berdialog di Daerah Lampung sendiri. Kedua, pembinaan bahasa Lampung kurang mendapat dukungan dari Pemerintah Lampung dan masyarakat Lampung sendiri.
Saya merasa terkejut sekali setelah melihat situs Unila yang menyatakan Pendidikan Program Diploma Tiga (D-3) Bahasa dan Sastra Lampung Unila tahun akademik 2007--2008 dihentikan sementara. Walaupun sebagai pendatang saya merasa heran kenapa itu harus terjadi, sementara apabila kita mau berpikir secara sehat di mana pun kita berada, maka bahasa daerah begitu penting. Dengan dihapuskannya program Bahasa Lampung di Unila, tentunya akan mengurangi pengembangan bahasa daerah Lampung sendiri.
Patut disadari oleh pemerintah daerah Lampung sendiri, apabila berkunjung ke daerah lain, suasana bahasa daerahnya begitu kental sekali, bahkan ada yang menamakan bahasa daerahnya adalah bahasa ibu dan bahasa nasional sebagai bahasa alternatif.
Selain itu kendala dalam bidang bahasa budaya Lampung juga terkendala oleh sejarah daerah Lampung itu sendiri. Itu terbukti, pada saat di dunia akademis saya bertanya pada anak Lampung sendiri, bagaimana sih sejarah Lampung? Mereka hanya menjawab kurang paham bahkan ada yang tidak tahu sama sekali, sehingga dapat diperoleh hampir 75% anak muda Lampung tidak mengetahui sejarah daerahnya sendiri.
Hal ini sangat berbeda dengan daerah lain, ketika saya bertanya tentang bagimana sejarah Medan pada anak Medan, bagimana sejarah Banten pada anak Banten, dan bagaimana sejarah Palembang pada anak Palembang, dan anak pendatang lainnya? Semuanya memaparkan dengan sangat baik tentang sejarah daerahnya dan hampir semua jawaban yang diberikan mempunyai kesamaan atas daerah yang sama. Ini membuktikan bahwa selain problematika yang dihadapi oleh anak muda tentang bahasa Lampung juga problematika tentang sejarah Lampung itu sendiri.
Akibat kurangnya dukungan atau perhatian terhadap bahasa Lampung di Unila sendiri kelihatanya sedang mati suri hal ini terbukti dengan penghentian sementara lantaran program studi (prodi) tersebut akan ditutup, melainkan ingin melihat peluang dan formasi dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) apakah terserap atau tidak.
Di sini terlihat sekali bahwa apabila pemerintah daerah tidak memperhatikan bahasa daerah Lampung dalam perekrutan CPNS, akan ditutup, hal ini sudah sewajarnya dilakukan sebab setiap universitas tidak menginginkan anak didiknya yang lulus menjadi penganguran. Di sinilah seharusnya peran pemerintah daerah yang bekerja sama dengan Unila meningkatkan kembali bahasa Lampung. Memang penutupan prodi tidak akan terjadi apabila pemerintah daerah sendiri menyadari betapa pentingnya bahasa Lampung sebagai ciri yang mudah dikenal di manapun mereka berada.
Peryataan tersebut disampaikan Ketua Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Iqbal Hilal saat dihubungi Lampost, Kamis (12-7) malam terkait dengan prodi ini yang tidak menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 2007--2008. Kendala yang dihadapi bagi lulusan bahasa Lampung sendiri adalah sejak dibuka pada tahun akademik 1989--1999 sudah meluluskan sekitar 800 orang. "Memang lulusan kami separo menjadi guru kontrak di SD dan SMP, namun mereka belum banyak yang diangkat. Kami juga menunggu reaksi dan perhatian pemerintah daerah terhadap Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung."
Sebetulnya perlu disadari keberadaan bahasa Lampung sendiri bukanlah ada pada masalah peminat ternyata justru permasalahan yang besar terletak pada perhatian pemda itu sendiri terhadap kemajuan bahasa Lampung. Hal tersebut dibuktikan dari setiap tahun ajaran akademik bahasa dan sastra lampung hanya dapat menampung 40 mahasiswa sementara yang mendaftar mencapai 300 orang.
Sudah saatnyalah sekarang ini dengan konsep otonomi daerah yang ada, pemerintah maupun universitas membuka diri terhadap budaya sendiri. Sebab, sebagai pendatang yang bergelut di dunia akademis terkadang merasa malu di saat pulang ke kampung halaman ditanya sekitar bahasa Lampung, ternyata kejadian serupa tidak hanya menimpa saya seorang diri bahkan hampir seluruh mahasiswa pendatang saat pulang kampung halaman ditanya hal yang sama. Hanya saya bisa berharap walaupun tidak bisa bahasa Lampung tapi jangan hilangkan nilai luhur diri sendiri sebab ada pepatah bilang "Orang melayu dapat dikenali bukan dari bukan dari bentuk fisik oleh sesama orang Melayu tapi oleh bahasanya". Hal ini akan mengandung makna bagaimana Lampung dapat dikenal kalau dalam bahasa sendiri tidak pernah digunakan.
* Sarip, Alumnus Fakultas Hukum Unila 2007
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juli 2007
Tari Kreasi FKL: Pelestarian Seni dan Adu Gengsi
--- Mustaan
SETIAP tahun di Lampung selalu digelar pesta seni dan budaya daerah dengan nama Festival Krakatau Lampung (FKL). Selain sebagai upaya pelestarian seni tradisi dan budaya daerah, juga pendorong majunya pariwisata Lampung.
Berbagai perlombaan digelar untuk mengenalkan perkembangan seni budaya di provinsi yang menjadi daerah transit antara Pulau Jawa dan Sumatera. Salah satunya ialah gelaran lomba tari kreasi antarkabupaten/kota se-Lampung untuk meraih "gengsi" para bupati dan wali kota.
Sepuluh kota dan kabupaten se-Lampung menyuguhkan kreasi dari koreografer dan penata musik dalam lomba tari itu. Pada FKL XV tahun 2007 digelar di Taman Budaya Lampung, pekan lalu.
Para penata gerak atau koreografer dan penata musik dari setiap daerah bersiap memberi sajian tari kreasi yang bagus. Sebab, keberadaan tari kreasi Lampung ini untuk menambah khazanah tari yang ada di daerah Lampung, selain tari tradisionalnya.
Namun, di akhir event lomba tari kreasi Lampung itu, muncul kekecewaan dari sebagian besar kontingen yang jadi peserta. Pasalnya, dalam lomba banyak sekali kekurangan dalam persiapan pelaksanaan, mulai panggung sampai fasilitas lomba lain, sehingga segala persiapan peserta yang dilakukan sejak berbulan-bulan menjadi buyar.
"Persiapan kami untuk ikut lomba ini kira-kira senilai Rp5 jutaan. Tapi, persiapan panitia untuk menyediakan sarana lomba hanya senilai Rp2 jutaan saja," kata penata musik dari salah satu kabupaten, Anthony.
Hal ini tentunya menurunkan semangat para seniman tari maupun musik yang ikut berlomba. Apalagi dalam penilaian juri juga terjadi keanehan karena penentuan juaranya tidak seperti penilaian rata-rata audiensi yang rata-rata seniman tari dan musik juga, sehingga juara yang dipilih panitia hanya sekadar mengarahkan agar ada pemenang lomba. "Bahkan ada peserta tari yang tidak kuat menonjolkan adat budaya Lampung menjadi juara. Bahkan, tarian mereka seperti meniru kreasi dari provinsi lain," katanya.
Dalam lomba tari kreasi tersebut dimenangkan kelompok dari Kabupaten Tulangbawang dengan tari berjudul "Onang" sebagai juara pertama. Kemudian disusul Kabupaten Lampung Barat dengan "Kelakup Gangsa" dan Kabupaten Lampung Utara dengan tema "Tugu Siger" sebagai juara ketiga.
Untuk juara pertama akan mewakili Provinsi Lampung dalam ajang Parade Tari Nusantara. "Alangkah malunya Lampung jika wakil yang dikirimnya ketahuan daerah lain meniru," kata penata tari Lampung Barat Nyoman Mulyawan.
Padahal ajang lomba tari kreasi itu bagi seniman tari Lampung sebagai unjuk kebolehan kreasinya. Juga dalam mengenalkan serta menunjukkan eksistensi seni tari di Lampung ke masyarakat, sehingga ke depan seni tari di Lampung makin berkembang dan menjadi salah satu pertunjukan wisata. "Misalnya kami mencipta tari ini dari menggali cerita rakyat di Lampung Barat agar khazanah tari Lampung Barat makin bertambah sepanjang tahun," katanya.
Khawatirnya jika ajang tersebut tidak dilaksanakan secara baik dan fair, akan menurunkan semangat seniman tari di Lampung. Sebab, seolah kreasi yang dibuatnya dalam kurun waktu pekanan atau bahkan bulanan tidak mendapat penghargaan dari para juri lomba.
Bahkan, lebih dalam lagi para seniman tari justru ikut-ikutan meniru tata gerak tari daerah lain pada tari yang diajukannya dalam lomba. "Akhirnya event lomba tari kreasi menjadi formalitas saja tanpa ada makna pengembangan seni budaya daerah," katanya.
Menurut Nyoman, dari pengalaman di daerah asalnya Provinsi Bali ada cara agar penilaian fair, yaitu dengan memasukkan para pengamat seni tari dari daerah yang ikut lomba tari kreasi. Mereka diberikan wewenang menilai pertunjukan tari dari daerah lain, dan tidak boleh menilai untuk daerah sendiri. "Akhirnya kan penilaian menjadi lebih transparan dan dapat diterima semua peserta," katanya.
Begitu juga yang dikatakan penata musik dari Lampung Barat Endang Guntoro yang melihat seluruh fasilitas perlombaan hanya seadanya. Bahkan, untuk sarana yang vital seperti peralatan sound dan tata cahaya dirasakan sangat kurang.
Dan itu sangat berpengaruh pada efek-efek gerak penari yang menggambarkan sebuah cerita. "Kalau bisa ke depan Dinas Pariwisata menyerahkan kepanitiaan kepada yang benar-benar ahli dalam kesenian, sehingga persiapan lomba benar-benar membuat puas peserta," katanya.
Ajang Silaturahmi
Sementara itu, Sekretaris Dewan Kesenian Lampung (DKL) Harry Djayaningrat mengatakan ajang lomba itu jangan dijadikan sebagai momentum untuk menang, sehingga tidak muncul kekecewaan yang dapat menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan seni, khususnya tari, di Lampung. Seniman harus dapat yakin bahwa FKL bukanlah satu-satunya tolok ukur dari nilai kreasi yang telah diciptakan seniman.
Masih banyak ajang penilaian untuk unjuk gigi kreasi para seniman Lampung. Lagi pula festival itu bukan hanya di Lampung, di provinsi atau negara lain juga dapat diikuti para seniman itu, sehingga spirit seniman untuk terus berkreasi akan memunculkan tari Lampung sebagai salah satu bentuk wisata yang dapat disuguhkan ke wisatawan. "Anggap saja ini sebagai ajang silaturahmi antara koreografer dan penata musik dalam menambah dan saling sharing pengalaman."
Harry menilai ada salah satu kelompok tari yang tidak menunjukkan idiom-idiom Lampung. Namun, ternyata akhirnya mereka pun tidak berada pada posisi juara pertama, kedua, dan ketiga. Walaupun itu tari kreasi, dengan tidak menonjolkan idiom daerah akhirnya menjadi modern dance semata. "Di sinilah ajang para seniman untuk saling berbagi dan koreksi demi kemajuan seni Lampung," katanya.
Memang ketidakpuasan selalu menghantui panitia dalam setiap ajang perlombaan. Karena setiap peserta merasa sudah menunjukkan penampilan sebaik mungkin. Ditambah juga persiapan yang sudah dilakukan peserta untuk maju dalam ajang itu, tentunya dengan pengorbanan baik tenaga maupun materi. "Wajar kalau ada ketidakpuasan, tapi saya nilai semua yang tampil rata-rata sudah bagus," kata Harry.
Kemudian untuk menambah spirit para seniman di Lampung, Harry berharap Dinas Promosi Investasi Kebudayaan dan Pariwisata (PIKP) Lampung harus memberi kesempatan maju mereka dengan mem-follow up semua peserta pada ajang berikutnya baik tingkat nasional maupun internasional. Sehingga mereka terpacu mengembangkan pengetahuan dan wawasan seni tari mereka. "Para seniman jangan berkecil hati dan terus berkreasi, bersama kita membangun seni budaya daerah ini," katanya.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juli 2007
SETIAP tahun di Lampung selalu digelar pesta seni dan budaya daerah dengan nama Festival Krakatau Lampung (FKL). Selain sebagai upaya pelestarian seni tradisi dan budaya daerah, juga pendorong majunya pariwisata Lampung.
Berbagai perlombaan digelar untuk mengenalkan perkembangan seni budaya di provinsi yang menjadi daerah transit antara Pulau Jawa dan Sumatera. Salah satunya ialah gelaran lomba tari kreasi antarkabupaten/kota se-Lampung untuk meraih "gengsi" para bupati dan wali kota.
Sepuluh kota dan kabupaten se-Lampung menyuguhkan kreasi dari koreografer dan penata musik dalam lomba tari itu. Pada FKL XV tahun 2007 digelar di Taman Budaya Lampung, pekan lalu.
Para penata gerak atau koreografer dan penata musik dari setiap daerah bersiap memberi sajian tari kreasi yang bagus. Sebab, keberadaan tari kreasi Lampung ini untuk menambah khazanah tari yang ada di daerah Lampung, selain tari tradisionalnya.
Namun, di akhir event lomba tari kreasi Lampung itu, muncul kekecewaan dari sebagian besar kontingen yang jadi peserta. Pasalnya, dalam lomba banyak sekali kekurangan dalam persiapan pelaksanaan, mulai panggung sampai fasilitas lomba lain, sehingga segala persiapan peserta yang dilakukan sejak berbulan-bulan menjadi buyar.
"Persiapan kami untuk ikut lomba ini kira-kira senilai Rp5 jutaan. Tapi, persiapan panitia untuk menyediakan sarana lomba hanya senilai Rp2 jutaan saja," kata penata musik dari salah satu kabupaten, Anthony.
Hal ini tentunya menurunkan semangat para seniman tari maupun musik yang ikut berlomba. Apalagi dalam penilaian juri juga terjadi keanehan karena penentuan juaranya tidak seperti penilaian rata-rata audiensi yang rata-rata seniman tari dan musik juga, sehingga juara yang dipilih panitia hanya sekadar mengarahkan agar ada pemenang lomba. "Bahkan ada peserta tari yang tidak kuat menonjolkan adat budaya Lampung menjadi juara. Bahkan, tarian mereka seperti meniru kreasi dari provinsi lain," katanya.
Dalam lomba tari kreasi tersebut dimenangkan kelompok dari Kabupaten Tulangbawang dengan tari berjudul "Onang" sebagai juara pertama. Kemudian disusul Kabupaten Lampung Barat dengan "Kelakup Gangsa" dan Kabupaten Lampung Utara dengan tema "Tugu Siger" sebagai juara ketiga.
Untuk juara pertama akan mewakili Provinsi Lampung dalam ajang Parade Tari Nusantara. "Alangkah malunya Lampung jika wakil yang dikirimnya ketahuan daerah lain meniru," kata penata tari Lampung Barat Nyoman Mulyawan.
Padahal ajang lomba tari kreasi itu bagi seniman tari Lampung sebagai unjuk kebolehan kreasinya. Juga dalam mengenalkan serta menunjukkan eksistensi seni tari di Lampung ke masyarakat, sehingga ke depan seni tari di Lampung makin berkembang dan menjadi salah satu pertunjukan wisata. "Misalnya kami mencipta tari ini dari menggali cerita rakyat di Lampung Barat agar khazanah tari Lampung Barat makin bertambah sepanjang tahun," katanya.
Khawatirnya jika ajang tersebut tidak dilaksanakan secara baik dan fair, akan menurunkan semangat seniman tari di Lampung. Sebab, seolah kreasi yang dibuatnya dalam kurun waktu pekanan atau bahkan bulanan tidak mendapat penghargaan dari para juri lomba.
Bahkan, lebih dalam lagi para seniman tari justru ikut-ikutan meniru tata gerak tari daerah lain pada tari yang diajukannya dalam lomba. "Akhirnya event lomba tari kreasi menjadi formalitas saja tanpa ada makna pengembangan seni budaya daerah," katanya.
Menurut Nyoman, dari pengalaman di daerah asalnya Provinsi Bali ada cara agar penilaian fair, yaitu dengan memasukkan para pengamat seni tari dari daerah yang ikut lomba tari kreasi. Mereka diberikan wewenang menilai pertunjukan tari dari daerah lain, dan tidak boleh menilai untuk daerah sendiri. "Akhirnya kan penilaian menjadi lebih transparan dan dapat diterima semua peserta," katanya.
Begitu juga yang dikatakan penata musik dari Lampung Barat Endang Guntoro yang melihat seluruh fasilitas perlombaan hanya seadanya. Bahkan, untuk sarana yang vital seperti peralatan sound dan tata cahaya dirasakan sangat kurang.
Dan itu sangat berpengaruh pada efek-efek gerak penari yang menggambarkan sebuah cerita. "Kalau bisa ke depan Dinas Pariwisata menyerahkan kepanitiaan kepada yang benar-benar ahli dalam kesenian, sehingga persiapan lomba benar-benar membuat puas peserta," katanya.
Ajang Silaturahmi
Sementara itu, Sekretaris Dewan Kesenian Lampung (DKL) Harry Djayaningrat mengatakan ajang lomba itu jangan dijadikan sebagai momentum untuk menang, sehingga tidak muncul kekecewaan yang dapat menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan seni, khususnya tari, di Lampung. Seniman harus dapat yakin bahwa FKL bukanlah satu-satunya tolok ukur dari nilai kreasi yang telah diciptakan seniman.
Masih banyak ajang penilaian untuk unjuk gigi kreasi para seniman Lampung. Lagi pula festival itu bukan hanya di Lampung, di provinsi atau negara lain juga dapat diikuti para seniman itu, sehingga spirit seniman untuk terus berkreasi akan memunculkan tari Lampung sebagai salah satu bentuk wisata yang dapat disuguhkan ke wisatawan. "Anggap saja ini sebagai ajang silaturahmi antara koreografer dan penata musik dalam menambah dan saling sharing pengalaman."
Harry menilai ada salah satu kelompok tari yang tidak menunjukkan idiom-idiom Lampung. Namun, ternyata akhirnya mereka pun tidak berada pada posisi juara pertama, kedua, dan ketiga. Walaupun itu tari kreasi, dengan tidak menonjolkan idiom daerah akhirnya menjadi modern dance semata. "Di sinilah ajang para seniman untuk saling berbagi dan koreksi demi kemajuan seni Lampung," katanya.
Memang ketidakpuasan selalu menghantui panitia dalam setiap ajang perlombaan. Karena setiap peserta merasa sudah menunjukkan penampilan sebaik mungkin. Ditambah juga persiapan yang sudah dilakukan peserta untuk maju dalam ajang itu, tentunya dengan pengorbanan baik tenaga maupun materi. "Wajar kalau ada ketidakpuasan, tapi saya nilai semua yang tampil rata-rata sudah bagus," kata Harry.
Kemudian untuk menambah spirit para seniman di Lampung, Harry berharap Dinas Promosi Investasi Kebudayaan dan Pariwisata (PIKP) Lampung harus memberi kesempatan maju mereka dengan mem-follow up semua peserta pada ajang berikutnya baik tingkat nasional maupun internasional. Sehingga mereka terpacu mengembangkan pengetahuan dan wawasan seni tari mereka. "Para seniman jangan berkecil hati dan terus berkreasi, bersama kita membangun seni budaya daerah ini," katanya.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juli 2007
July 28, 2007
Budaya: Seniman Amerika Kunjungi Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung menjadi salah satu pilihan kunjungan komunitas seni Prof. Bobby Martin, warga Amerika asli bersuku Creek. Dalam lawatannya ke Lampung, Bobby memperkenalan budaya asli suku Indian.
Prof. Bobby Martin, pengajar budaya tradisional di Northeastern State University (NSU), mengatakan komunitas seni yang dibentuknya, bertujuan melestarikan budaya tradisional bangsa asli Amerika, yaitu Indian.
Dalam lawatannya ke Lampung, Bobby mengajak istri, putrinya, dan kerabat lainnya untuk bergabung dalam komunitas itu. Komunitas ini pun telah menjelajah hampir ke semua benua, Afrika, Amerika Selatan dan sebagainya.
Bobby Martin mengenal Lampung dari situs budaya di internet. "Kami berkunjung ke Lampung karena budayanya hampir sama dengan bangsa kami, beragam dan memiliki seni tradisi yang juga kuat," ujarnya.
Pada pergelaran seni musik dan tari lintas budaya tersebut, secara berselingan, musik tradisional Lampung dan suku Creek dipertunjukkan. Komunitas seni Prof. Bobby Martin menyuguhkan permainan alat musik tradisional, pakaian adat, juga memamerkan bentuk aksara asli warga Creek.
Pergelaran lintas budaya ini, diawali dengan lantunan dua lagu tradisional yang dibawakan Prof. Bobby Martin. Penampilan khas itu, sangat memukau penonton yang sebagain besar adalah pelajar SMP dan SMA Bandar Lampung.
Setelah itu, Nitha, salah seorang dari komunitas tersebut mempresentasikan apa itu budaya Indian khususnya suku Creek.
Nitha mengulas tentang latar belakang tradisinya. Nitha juga memperkenalkan satu per satu produk kebudayaan suku Creek seperti kain tenun suku Creek dan pakaian khas suku Indian.
Selanjutnya, komunitas ini memperkenalkan empat suling khas dari negara bagian di Washington, Amerika. Steffanny, isteri Bobby, memainkan suling dengan irama tradisional Amerika. Pertunjukan itu sangat memukau. Setiap suling memiliki bunyi berbeda karena bentuknya berbeda, ada yang bundar, kotak, panjang dan pendek. n DWI/M-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 Juli 2007
Prof. Bobby Martin, pengajar budaya tradisional di Northeastern State University (NSU), mengatakan komunitas seni yang dibentuknya, bertujuan melestarikan budaya tradisional bangsa asli Amerika, yaitu Indian.
Dalam lawatannya ke Lampung, Bobby mengajak istri, putrinya, dan kerabat lainnya untuk bergabung dalam komunitas itu. Komunitas ini pun telah menjelajah hampir ke semua benua, Afrika, Amerika Selatan dan sebagainya.
Bobby Martin mengenal Lampung dari situs budaya di internet. "Kami berkunjung ke Lampung karena budayanya hampir sama dengan bangsa kami, beragam dan memiliki seni tradisi yang juga kuat," ujarnya.
Pada pergelaran seni musik dan tari lintas budaya tersebut, secara berselingan, musik tradisional Lampung dan suku Creek dipertunjukkan. Komunitas seni Prof. Bobby Martin menyuguhkan permainan alat musik tradisional, pakaian adat, juga memamerkan bentuk aksara asli warga Creek.
Pergelaran lintas budaya ini, diawali dengan lantunan dua lagu tradisional yang dibawakan Prof. Bobby Martin. Penampilan khas itu, sangat memukau penonton yang sebagain besar adalah pelajar SMP dan SMA Bandar Lampung.
Setelah itu, Nitha, salah seorang dari komunitas tersebut mempresentasikan apa itu budaya Indian khususnya suku Creek.
Nitha mengulas tentang latar belakang tradisinya. Nitha juga memperkenalkan satu per satu produk kebudayaan suku Creek seperti kain tenun suku Creek dan pakaian khas suku Indian.
Selanjutnya, komunitas ini memperkenalkan empat suling khas dari negara bagian di Washington, Amerika. Steffanny, isteri Bobby, memainkan suling dengan irama tradisional Amerika. Pertunjukan itu sangat memukau. Setiap suling memiliki bunyi berbeda karena bentuknya berbeda, ada yang bundar, kotak, panjang dan pendek. n DWI/M-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 Juli 2007
July 27, 2007
Lintas Budaya: Keanekaragaman Budaya Harus Dilestarikan
-- Helena F Nababan
PERNAH mendengar suara angin, gemercik air, atau burung diperdengarkan secara sengaja dengan alat musik? Melodi-melodi khas yang biasanya hanya terdengar melalui film-film Indian Amerika itu terdengar jelas melalui pertunjukan musik budaya Indian dalam lawatan budaya Amerika-Indonesia.
Diprakarsai Prof Bobby C Martin, pengajar seni sekaligus pemain musik tradisional Indian dari Northeastern State University (NSU), Amerika Serikat, kelompok seniman dari NSU itu memainkan beragam musik khas Indian di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (26/7).
Pertunjukan yang berlangsung selama sekitar dua jam tersebut sangat menarik bagi penonton yang terdiri dari ratusan pelajar SMP dan SMA di Lampung.
Acap kali suara angin atau kicau burung yang terdengar dari flute kayu atau flute bambu Indian itu disambut siswa dengan bertepuk tangan meriah dan berseru-seru takjub. Para siswa tidak mengira suara-suara yang hanya bisa mereka dengar melalui film-film Indian tersebut ternyata bisa mereka dengar secara langsung.
Bobby mengatakan, kemampuan mempertunjukkan budaya Indian yang nyaris punah itu merupakan upaya pelestarian suatu budaya yang dilakukan secara terus-menerus. Di Amerika Serikat bisa dikatakan budaya Indian hanya dilestarikan oleh sejumlah kecil masyarakat Indian.
Populasi masyarakat Indian dari suku Creek hanya sekitar 75.000 orang dan Indian Cherokee sekitar 250.000 orang. "Namun, dari sekian jumlah orang Indian di Amerika Serikat, hanya segelintir yang mau peduli dan terlibat dalam pelestarian budaya Indian," katanya seusai pertunjukan.
Dampak dari minimnya masyarakat yang mau dan mampu terlibat melestarikan budaya Indian tersebut, bahasa Indian sekarang hampir punah. Jumlah penutur bahasa Indian sangat sedikit, tergencet pemakaian bahasa nasional.
Bobby yang juga sempat menyaksikan pertunjukan kesenian khas Lampung, seperti gitar klasik, tari taping, tari malinting, dan musik butabuh, sangat terkesan. Ia mengatakan, secara khusus Lampung dan secara umum Indonesia, daerah ini sangat kaya warna akan budaya dan tradisi.
Semua keahlian menari dan bermain musik tradisi merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Sebagai pelaku seni, Bobby tidak melihat dukungan pemerintah sebagai hal utama untuk bisa melestarikan dan menjaga supaya budaya dan tradisi lokal bisa utuh.
Setiap suku bangsa harus bisa menjaga dan melestarikan sendiri budaya dan tradisi yang dimilikinya. Kemampuan menjaga tersebut akan menjaga dan memberikan identitas khas suku bangsa tersebut.
Pemerintah akan terlibat untuk kepentingan yang lebih besar, misalnya untuk pengembangan pariwisata.
Menurut Bobby, kemampuan menjaga itu akan membuat masyarakat menghindari konflik antarsuku.
"Masyarakat lebih mudah menerima suatu suku bangsa atau tradisi karena suku tersebut menjaga secara ketat budaya dan tradisi. Pendatang akan menghormati," kata Bobby menutup pembicaraan.
Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juli 2007
PERNAH mendengar suara angin, gemercik air, atau burung diperdengarkan secara sengaja dengan alat musik? Melodi-melodi khas yang biasanya hanya terdengar melalui film-film Indian Amerika itu terdengar jelas melalui pertunjukan musik budaya Indian dalam lawatan budaya Amerika-Indonesia.
Diprakarsai Prof Bobby C Martin, pengajar seni sekaligus pemain musik tradisional Indian dari Northeastern State University (NSU), Amerika Serikat, kelompok seniman dari NSU itu memainkan beragam musik khas Indian di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (26/7).
Pertunjukan yang berlangsung selama sekitar dua jam tersebut sangat menarik bagi penonton yang terdiri dari ratusan pelajar SMP dan SMA di Lampung.
Acap kali suara angin atau kicau burung yang terdengar dari flute kayu atau flute bambu Indian itu disambut siswa dengan bertepuk tangan meriah dan berseru-seru takjub. Para siswa tidak mengira suara-suara yang hanya bisa mereka dengar melalui film-film Indian tersebut ternyata bisa mereka dengar secara langsung.
Bobby mengatakan, kemampuan mempertunjukkan budaya Indian yang nyaris punah itu merupakan upaya pelestarian suatu budaya yang dilakukan secara terus-menerus. Di Amerika Serikat bisa dikatakan budaya Indian hanya dilestarikan oleh sejumlah kecil masyarakat Indian.
Populasi masyarakat Indian dari suku Creek hanya sekitar 75.000 orang dan Indian Cherokee sekitar 250.000 orang. "Namun, dari sekian jumlah orang Indian di Amerika Serikat, hanya segelintir yang mau peduli dan terlibat dalam pelestarian budaya Indian," katanya seusai pertunjukan.
Dampak dari minimnya masyarakat yang mau dan mampu terlibat melestarikan budaya Indian tersebut, bahasa Indian sekarang hampir punah. Jumlah penutur bahasa Indian sangat sedikit, tergencet pemakaian bahasa nasional.
Bobby yang juga sempat menyaksikan pertunjukan kesenian khas Lampung, seperti gitar klasik, tari taping, tari malinting, dan musik butabuh, sangat terkesan. Ia mengatakan, secara khusus Lampung dan secara umum Indonesia, daerah ini sangat kaya warna akan budaya dan tradisi.
Semua keahlian menari dan bermain musik tradisi merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Sebagai pelaku seni, Bobby tidak melihat dukungan pemerintah sebagai hal utama untuk bisa melestarikan dan menjaga supaya budaya dan tradisi lokal bisa utuh.
Setiap suku bangsa harus bisa menjaga dan melestarikan sendiri budaya dan tradisi yang dimilikinya. Kemampuan menjaga tersebut akan menjaga dan memberikan identitas khas suku bangsa tersebut.
Pemerintah akan terlibat untuk kepentingan yang lebih besar, misalnya untuk pengembangan pariwisata.
Menurut Bobby, kemampuan menjaga itu akan membuat masyarakat menghindari konflik antarsuku.
"Masyarakat lebih mudah menerima suatu suku bangsa atau tradisi karena suku tersebut menjaga secara ketat budaya dan tradisi. Pendatang akan menghormati," kata Bobby menutup pembicaraan.
Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juli 2007
Sastra: Penyair Perempuan Lampung Ikuti Mastera di Samarinda
Lupita Lukman (Foto:Teknokra)
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penyair Lampung Lupita Lukman mengikuti Bengkel Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) 25-31 Juli 2007.
Menurut Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka, keberangkatan salah satu penyair Lampung itu, menambah deretan para sastrawan dan penyair daerah ini yang diundang ke berbagai tempat termasuk ke luar negeri (mancanegara).
"Kiprah sastrawan Lampung itu menunjukkan tidak benar kalau dinilai bahwa sastra modern sedang 'tidur'," kata Syaiful.
Lupita Lukman adalah salah satu penyair perempuan Lampung, kelahiran Kotabumi-Lampung Utara, 17 Maret 1985.
Kegiatan Bengkel Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda yang diprakarsai negara-negara di Asia Tenggara itu berlangsung rutin setiap tahun, dengan bahasan tentang puisi, cerpen, novel, esai, dan naskah drama.
"Tahun ini, saya ikut untuk penulisan puisi," jelas Lupita Lukman yang mengaku mendapatkan dukungan dan bantuan biaya transportasi dari Kantor Bahasa Provinsi Lampung itu pula.
Bengkel Sastra Mastera selain mendatangkan tutor dari negara-negara peserta, juga dari Indonesia tercatat penyair D. Zawawi Imron dan Agus R. Sarjono yang akan memberikan workshop di sana.
Pertemuan Sastrawan Nusantara
Sementara itu, Dewan Kesenian Lampung (DKL) mengutus penyair Syaiful Irba Tanpaka dan Isbedy Stiawan ZS serta cerpenis M Arman AZ mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di Kedah, Malaysia, 27-30 Juli.
Dalam PSN ini, ketiganya akan bertemu dengan sastrawan dari berbagai negara, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.
Ketua Umum DKL Syafariah Widianti, saat melepas ketiga sastrawan tersebut, di Sekretariat DKL, Kamis (26-7), berpesan agar para sastrawan Lampung dapat membawa nama baik daerah. Selain itu, juga memperkenalkan potensi seni budaya dan pariwisata Lampung di kancah Nusantara.
"Event PSN ini bisa saja dimanfaatkan tak hanya sebagai ajang silaturahmi, tetapi juga untuk mempromosikan Lampung," ujarnya.
Sumber: Lampung Post, Jumat, 27 Juli 20
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penyair Lampung Lupita Lukman mengikuti Bengkel Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) 25-31 Juli 2007.
Menurut Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka, keberangkatan salah satu penyair Lampung itu, menambah deretan para sastrawan dan penyair daerah ini yang diundang ke berbagai tempat termasuk ke luar negeri (mancanegara).
"Kiprah sastrawan Lampung itu menunjukkan tidak benar kalau dinilai bahwa sastra modern sedang 'tidur'," kata Syaiful.
Lupita Lukman adalah salah satu penyair perempuan Lampung, kelahiran Kotabumi-Lampung Utara, 17 Maret 1985.
Kegiatan Bengkel Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda yang diprakarsai negara-negara di Asia Tenggara itu berlangsung rutin setiap tahun, dengan bahasan tentang puisi, cerpen, novel, esai, dan naskah drama.
"Tahun ini, saya ikut untuk penulisan puisi," jelas Lupita Lukman yang mengaku mendapatkan dukungan dan bantuan biaya transportasi dari Kantor Bahasa Provinsi Lampung itu pula.
Bengkel Sastra Mastera selain mendatangkan tutor dari negara-negara peserta, juga dari Indonesia tercatat penyair D. Zawawi Imron dan Agus R. Sarjono yang akan memberikan workshop di sana.
Pertemuan Sastrawan Nusantara
Sementara itu, Dewan Kesenian Lampung (DKL) mengutus penyair Syaiful Irba Tanpaka dan Isbedy Stiawan ZS serta cerpenis M Arman AZ mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di Kedah, Malaysia, 27-30 Juli.
Dalam PSN ini, ketiganya akan bertemu dengan sastrawan dari berbagai negara, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.
Ketua Umum DKL Syafariah Widianti, saat melepas ketiga sastrawan tersebut, di Sekretariat DKL, Kamis (26-7), berpesan agar para sastrawan Lampung dapat membawa nama baik daerah. Selain itu, juga memperkenalkan potensi seni budaya dan pariwisata Lampung di kancah Nusantara.
"Event PSN ini bisa saja dimanfaatkan tak hanya sebagai ajang silaturahmi, tetapi juga untuk mempromosikan Lampung," ujarnya.
Sumber: Lampung Post, Jumat, 27 Juli 20
July 25, 2007
Budaya Lampung: Film, Media Alternatif Pengembangan
Bandar Lampung, Kompas - Beragam potensi budaya Lampung, seperti tradisi, adat istiadat, bahasa, dan aksara, harus bisa dipertahankan dan dikembangkan di tengah gempuran budaya massal. Media film bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan budaya Lampung.
Demikian hasil diskusi film potensi-potensi budaya Lampung dan penayangan film pendek Lampung yang digelar S-Sai Manajemen di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, Senin (23/7) malam. Acara diskusi dihadiri oleh praktisi film, pemerhati film dari Lampung, dan beberapa seniman Lampung.
Coni C Sema, pemerhati film dari Lampung, mengatakan, beragam potensi budaya yang dimiliki Lampung sangat potensial untuk dieksplorasi oleh sineas-sineas Lampung ke dalam film-film yang bermuatan lokal. Ragam potensi budaya itu bisa diangkat ke film dokumenter.
Sayangnya, untuk bisa mengangkat ragam budaya Lampung ke media film, para sineas film Lampung masih menghadapi kendala. Kendala tersebut masih berupa kendala teknis, seperti pembuatan skenario dan penyutradaraan, serta kendala nonteknis, seperti riset sejarah dan pola produksi.
"Hambatan-hambatan itu membuat film-film lokal Lampung masih belum berwajah dan bernuansa Lampung," kata Coni.
Praktisi film dari Lampung, Dede S Safara, mengatakan, sebagai salah satu cara alternatif menumbuhkembangkan budaya Lampung, media film bisa menjadi media pembelajaran dan penyadaran masyarakat. Hal itu karena film merupakan media untuk memasyarakatkan budaya Lampung bukan hanya sebagai media hiburan.
Dengan demikian, tantangan- tantangan dan hambatan teknis ataupun nonteknis yang masih dialami sineas Lampung seharusnya bisa dijembatani. Dengan demikian, film tidak akan menjadi sebuah tujuan, tetapi sebagai media untuk mengutarakan perasaan atau budaya sehingga pesan budaya akan sampai.
"Media film bernuansa budaya lokal yang digarap serius bisa menjadi alat memasyarakatkan budaya," kata Dede.
Disepakati juga bahwa diskusi film budaya Lampung pun merupakan upaya untuk merevitalisasi budaya Lampung. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Juli 2007
Demikian hasil diskusi film potensi-potensi budaya Lampung dan penayangan film pendek Lampung yang digelar S-Sai Manajemen di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, Senin (23/7) malam. Acara diskusi dihadiri oleh praktisi film, pemerhati film dari Lampung, dan beberapa seniman Lampung.
Coni C Sema, pemerhati film dari Lampung, mengatakan, beragam potensi budaya yang dimiliki Lampung sangat potensial untuk dieksplorasi oleh sineas-sineas Lampung ke dalam film-film yang bermuatan lokal. Ragam potensi budaya itu bisa diangkat ke film dokumenter.
Sayangnya, untuk bisa mengangkat ragam budaya Lampung ke media film, para sineas film Lampung masih menghadapi kendala. Kendala tersebut masih berupa kendala teknis, seperti pembuatan skenario dan penyutradaraan, serta kendala nonteknis, seperti riset sejarah dan pola produksi.
"Hambatan-hambatan itu membuat film-film lokal Lampung masih belum berwajah dan bernuansa Lampung," kata Coni.
Praktisi film dari Lampung, Dede S Safara, mengatakan, sebagai salah satu cara alternatif menumbuhkembangkan budaya Lampung, media film bisa menjadi media pembelajaran dan penyadaran masyarakat. Hal itu karena film merupakan media untuk memasyarakatkan budaya Lampung bukan hanya sebagai media hiburan.
Dengan demikian, tantangan- tantangan dan hambatan teknis ataupun nonteknis yang masih dialami sineas Lampung seharusnya bisa dijembatani. Dengan demikian, film tidak akan menjadi sebuah tujuan, tetapi sebagai media untuk mengutarakan perasaan atau budaya sehingga pesan budaya akan sampai.
"Media film bernuansa budaya lokal yang digarap serius bisa menjadi alat memasyarakatkan budaya," kata Dede.
Disepakati juga bahwa diskusi film budaya Lampung pun merupakan upaya untuk merevitalisasi budaya Lampung. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Juli 2007
July 23, 2007
Khazanah: Kesenian Asli Lampung Mulai Berkembang
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Seni budaya tradisional Lampung, selama tiga tahun terakhir ini, menunjukkan perkembangan yang bagus. Namun, diperlukan upaya menambah kemampuan manajemen para seniman tradisional Lampung agar bisa berbicara di kancah nasional hingga internasional.
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengemukakan hal tersebut, Minggu (22-7), seraya menambahkan selama ini perkembangan kesenian tradisional Lampung jalan di tempat.
"Namun, tiga tahun terakhir ini ada perkembangan yang berbeda, yang menunjukan sudah adanya kemajuan dan kebangkitan dari kesenian tradisional Lampung," kata Syaiful.
Salah satunya, adanya Lembaga Ragom Budaya Lampung yang mengetengahkan berbagai seni tradisi yang ada di Lampung untuk ditampilkan kepada masyarakat umum. "Selain itu, di DKL sudah dibangun komite seni tradisi yang diharapkan nantinya bisa memfasilitasi kesenian tradisi dari masing-masing daerah."
Bahkan, seni tradisi yang dikembangkan saat ini, menurut Syaiful, tidak lagi terjebak pada tarian ataupun sastra lisan saja, tapi juga sudah mulai ditampilkan berupa film yang dibuat seniman film Lampung. Syaiful mengakui perkembangan seni tradisi Lampung berjalan lambat dibandingkan dengan seni modern. "Karena memang semuanya bersumber pada persoalan manajemen yang belum dimiliki seniman tradisi. Umumnya mereka lahir dan berkarya sebagai seniman sehingga tidak berpikir untuk mengembangkan kesenian tersebut."
Para seniman tradisi ini tidak mau berkembang dan mengekspose keseniannya. "Contohnya ketika DKL memfasilitasi kedatangan seniman musik asal luar negeri, diharapkan seniman tradisi musik Lampung memanfaatkan ini dengan membuka jaringan. Namun, ternyata, tidak begitu disambut. Padahal, siapa tahu 10 tahun yang akan datang, seniman tradisi Lampung akan diundang ke luar negeri," kata dia.
Salah satu upaya lain yang akan dilakukan DKL, adalah menggelar event Festival Kesenian Lampung yang digelar setiap bulan Agustus. "Selain menghadirkan kesenian tradisi Lampung, di event ini juga ditampilkan kesenian asal daerah lain yang ada di Lampung dan luar daerah." n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 23 Juli 2007
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengemukakan hal tersebut, Minggu (22-7), seraya menambahkan selama ini perkembangan kesenian tradisional Lampung jalan di tempat.
"Namun, tiga tahun terakhir ini ada perkembangan yang berbeda, yang menunjukan sudah adanya kemajuan dan kebangkitan dari kesenian tradisional Lampung," kata Syaiful.
Salah satunya, adanya Lembaga Ragom Budaya Lampung yang mengetengahkan berbagai seni tradisi yang ada di Lampung untuk ditampilkan kepada masyarakat umum. "Selain itu, di DKL sudah dibangun komite seni tradisi yang diharapkan nantinya bisa memfasilitasi kesenian tradisi dari masing-masing daerah."
Bahkan, seni tradisi yang dikembangkan saat ini, menurut Syaiful, tidak lagi terjebak pada tarian ataupun sastra lisan saja, tapi juga sudah mulai ditampilkan berupa film yang dibuat seniman film Lampung. Syaiful mengakui perkembangan seni tradisi Lampung berjalan lambat dibandingkan dengan seni modern. "Karena memang semuanya bersumber pada persoalan manajemen yang belum dimiliki seniman tradisi. Umumnya mereka lahir dan berkarya sebagai seniman sehingga tidak berpikir untuk mengembangkan kesenian tersebut."
Para seniman tradisi ini tidak mau berkembang dan mengekspose keseniannya. "Contohnya ketika DKL memfasilitasi kedatangan seniman musik asal luar negeri, diharapkan seniman tradisi musik Lampung memanfaatkan ini dengan membuka jaringan. Namun, ternyata, tidak begitu disambut. Padahal, siapa tahu 10 tahun yang akan datang, seniman tradisi Lampung akan diundang ke luar negeri," kata dia.
Salah satu upaya lain yang akan dilakukan DKL, adalah menggelar event Festival Kesenian Lampung yang digelar setiap bulan Agustus. "Selain menghadirkan kesenian tradisi Lampung, di event ini juga ditampilkan kesenian asal daerah lain yang ada di Lampung dan luar daerah." n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 23 Juli 2007
July 22, 2007
Esai: Penyair Lampung dan Kritikus Sastra
-- Anton Kurniawan*
"LAMPUNG kini dikenal sebagai daerah produsen penyair, hal ini disebabkan banyaknya penyair yang lahir di daerah ini beberapa tahun belakangan. Saya mencatat lebih dari 20 penyair. Dalam puisi Lampung kontemporer yang umumnya berbentuk prosa, akulirik tidak lagi mengacu pada penulis cerita, tapi mengacu kepada cerita itu sendiri. Dan yang lebih berat lagi bagaimana bertahan dalam ketegangan antara prosa dan puisi yang memakai bayang-bayang cerita".
PERNYATAAN ini disampaikan "Begawan Sastra Lampung" (saya menyebutnya demikian) Iswadi Pratama, Jumat (13-7), di Unila, yakni pada sesi dialog usai pembacaan puisi oleh Isbedy Stiawan Z.S., Edi Samudera Kertagama, Syaiful Irba Tanpaka, Inggit Putria Marga, dan Lupita Lukman dalam acara Panggung Penyair Lampung yang bertajuk Puisi Lampung Kontemporer, Mau ke mana? Menurut Iswadi, puisi-puisi penyair Lampung yang lahir pada generasi mutakhir berbeda dibanding dengan puisi-puisi dari generasi sebelumnya serta memiliki keragaman baik dari gaya maupun tema.
Merenungkan ungkapan Sang Begawan Sastra tersebut, saya teringat sebuah acara yang digelar Harian Umum Lampung Post yang konon diberi judul Temu Penyair Lampung. Dalam acara yang dihadiri Jamal D. Rahman, Isbedy Stiawan Z.S., Iswadi Pratama, Edi Efendi, Ari Pahala Hutabarat, dan beberapa penyair Lampung lain, seniman yang juga Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia, Djadjat Sudradjat mengatakan, "Tak ada lagi yang bisa dibanggakan provinsi ini yang tingkat kehidupan sosial masyarakatnya tidak menentu dan tingkat kriminalnya sangat tinggi. Beruntung daerah ini masih memiliki penyair dan seniman-seniman yang terus melahirkan karya".
Kenyataan ini patut membuat kita bangga karena dengan banyaknya sastrawan (penyair) dan banyaknya karya yang mereka lahirkan membuat kondisi kesusastraan di tanah ini dapat terjaga. Meminjam istilah George Lukas dalam hubungan sebab akibat, sebuah karya sastra dapat berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali dari situasi masyarakatnya, baik dengan menjadi semacam salinan atau kopi suatu struktur masyarakat maupun menjadi tiruan atau mimesis masyarakatnya.
Sayang, kelahiran para penyair dan sastrawan tersebut tidak dibarengi lahirnya para pengamat sastra yang mampu memberikan kritik dan saran secara terbuka terhadap setiap karya yang dilahirkan. Kalaupun ada kritik dan saran, itu dari mereka yang juga berproses melahirkan karya, sehingga sangat sulit memberikan kritik yang sesungguhnya yang pada akhirnya setiap karya sastra yang menetas hanya disambut puji-pujian. Akibatnya, karya-karya yang lahir tak dapat diketahui secara jelas kualitasnya; baik atau buruk.
Selain itu yang lebih penting lagi, perkembangan sastra sebenarnya tak dapat dipisahkan dari "persaingan" sastrawan yang melahirkan karya dengan para kritikus sastra, meskipun menurut Ignas Kleden dalam pengantar bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, terkadang penulis kreatif merasa keberatan karena kajian analitis tentang sebuah karya telah mengubah sebuah karya yang hidup menjadi mayat yang dipotong-potong untuk memahami anatomi dan fisiologi karya tersebut.
Dalam hal ini para sastrawan kreatif merasa para kritikus sastra hanya berusaha memahami hubungan-hubungan fisik, tapi kebutuhan dalam tubuh itu telah lepas dari suatu keseluruhan yang telah dibongkar-bongkar karena itu tidak tertangkap lagi dalam pengamatan.
Namun, hal tersebut bukanlah masalah jika seorang kritikus mampu meluangkan waktu untuk memebaca buku tersebut secara keseluruhan, lalu dengan ikhlas membiarkan dirinya dipengaruhi dan diresapi buku tersebut (Goethe, 1749--1832).
Pentingnya peran kritikus sastra untuk memberi penilaian dalam proses lahirnya sebuah karya yang baik tak dapat kita sangkal, hal ini disebabkan penulis kreatif memiliki keterbatasan (baca tidak mampu) bersikap adil untuk mengkritik karya rekannya sesama penulis kreatif.
Friedrich Schlegel pernah menulis, "Siapa gerangan yang lebih gagap untuk menilai sebuah puisi daripada seorang penyair?". Alasannya setiap penyair menghayati suatu konsep kesenian dan dengan demikian tercekam gagasan sendiri, sehingga sering tidak sangggup berlaku adil terhadap penyair lain.
Terkait kritik terhadap sebuah karya sastra, Gotthold Epraim Lessing mengatakan seorang pengarang yang karyanya dibicarakan lebih baik mendapat celaan yang pantas daripada pujian yang tidak layak diberikan padanya, apalagi jika orang yang memberi pujian tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan selain puji-pujian. Menurut perintis kritik sastra Jerman ini, kritik terhadap sebuah karya harus berani menguraikan dan menganalisis karena yang umum hanya terdapat dalam yang khusus dan hanya dapat divisualisasikan dalam yang partikular.
Sementara itu, S. Sinansari Ecip dalam esainya "Perlukah Kritik Atas Karya Sastra" mengatakan para spesialis kritik menghasilkan karya kritik sastra. Mereka mengenal teori-teori sastra, lalu dengan perantinya tersebut kritikus mengupas karya sastra agar karya sastra tersebut tersaji di piring dan siap dihidangkan bak buah mangga yang siap ditusuk garpu.
Peran ini, bahwa kritikus sastra merupakan opinion leader haruslah dipahami benar semua pihak, utamanya oleh kritikus sendiri.
Jadi jelas peran kritikus sastra sebenarnya sangat penting seiring lahir dan tumbuh kembangnya sastra itu sendiri, sehingga sebuah karya sastra yang disajikan kepada masyarakat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat pembacanya, meskipun sebenarnya karya sastra yang baik akan tersaji dengan baik tanpa diantarkan kritik.
Pertanyaannya, dalam kondisi seperti ini apakah kritik masih diperlukan? Kritik tetap diperlukan untuk kajian yang lebih dalam untuk pemahaman bagi orang awam dan untuk krtitikus senidiri. Selain itu, pengkajian tentang sebuah karya sastra tidaklah dilarang bahkan dianjurkan kalau tidak boleh disebut diharuskan oleh disiplin keilmuan, tapi harus menggunakan metodologi yang tepat dan penghayatan yang kreatif.
Mengaca pada kenyataan betapa penting peran kritikus sastra dalam perkembangan kesusastraan, mengapa hingga hari ini Lampung tidak memiliki seorang yang benar-benar memosisikan diri sebagai kritikus sastra?
Lalu pasal apa yang membuat kita seperti tak mampu melahirkan seorang kritikus sastra, padahal provinsi ini memiliki Universitas Lampung dan sekolah tinggi lain yang memiliki jurusan bahasa dan seni yang setiap tahun mewisuda puluhan sarjana. Apakah dari sekian banyak akademisi (dosen) bahasa dan sastra yang secara intens bergelut dengan sastra dan telah pula "memahaminya" secara teoretis, tak berani (atau barangkali tidak mampu) mengikhlaskan diri mendapat predikat sebagai kritikus sastra. Mengapa?
Ataukah media massa, khususnya media lokal, enggan menginformasikan kepada masyarakat pembaca tentang sebuah karya sastra yang mendapat kritikan. Atau mungkin para penulis kreatif yang merasa sudah berusaha keras melahirkan karya memang tak ingin (kalau boleh dikatakan tak bisa) mendapat kritikan.
Jika benar, mungkin kita harus banyak membaca karena kita belum termasuk masyarakat modern. Sebab, menurut filsuf pendidikan Paulo Freire, proses menjadi manusia modern harus melalui tiga tahap: Pertama kesadaran magis yang ditandai dengam sikap fatalisme yang menuntun orang menyerah pada keadaan; Kedua, kesadaran naif yang ditandai dengan menyederhanakan masalah secara berlebihan, meremehkan orang lain, lemah argumentasi, suka menonjolkan polemik; Ketiga kesadaran kritis, pada tahap ini manusia mampu mengkritik realitasnya sendiri dan berpraksis terhadapnya. Lalu, di mana posisi kita kini?
* Anton Kurniawan, pencinta sastra. Bergiat di Sanggar Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2007
"LAMPUNG kini dikenal sebagai daerah produsen penyair, hal ini disebabkan banyaknya penyair yang lahir di daerah ini beberapa tahun belakangan. Saya mencatat lebih dari 20 penyair. Dalam puisi Lampung kontemporer yang umumnya berbentuk prosa, akulirik tidak lagi mengacu pada penulis cerita, tapi mengacu kepada cerita itu sendiri. Dan yang lebih berat lagi bagaimana bertahan dalam ketegangan antara prosa dan puisi yang memakai bayang-bayang cerita".
PERNYATAAN ini disampaikan "Begawan Sastra Lampung" (saya menyebutnya demikian) Iswadi Pratama, Jumat (13-7), di Unila, yakni pada sesi dialog usai pembacaan puisi oleh Isbedy Stiawan Z.S., Edi Samudera Kertagama, Syaiful Irba Tanpaka, Inggit Putria Marga, dan Lupita Lukman dalam acara Panggung Penyair Lampung yang bertajuk Puisi Lampung Kontemporer, Mau ke mana? Menurut Iswadi, puisi-puisi penyair Lampung yang lahir pada generasi mutakhir berbeda dibanding dengan puisi-puisi dari generasi sebelumnya serta memiliki keragaman baik dari gaya maupun tema.
Merenungkan ungkapan Sang Begawan Sastra tersebut, saya teringat sebuah acara yang digelar Harian Umum Lampung Post yang konon diberi judul Temu Penyair Lampung. Dalam acara yang dihadiri Jamal D. Rahman, Isbedy Stiawan Z.S., Iswadi Pratama, Edi Efendi, Ari Pahala Hutabarat, dan beberapa penyair Lampung lain, seniman yang juga Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia, Djadjat Sudradjat mengatakan, "Tak ada lagi yang bisa dibanggakan provinsi ini yang tingkat kehidupan sosial masyarakatnya tidak menentu dan tingkat kriminalnya sangat tinggi. Beruntung daerah ini masih memiliki penyair dan seniman-seniman yang terus melahirkan karya".
Kenyataan ini patut membuat kita bangga karena dengan banyaknya sastrawan (penyair) dan banyaknya karya yang mereka lahirkan membuat kondisi kesusastraan di tanah ini dapat terjaga. Meminjam istilah George Lukas dalam hubungan sebab akibat, sebuah karya sastra dapat berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali dari situasi masyarakatnya, baik dengan menjadi semacam salinan atau kopi suatu struktur masyarakat maupun menjadi tiruan atau mimesis masyarakatnya.
Sayang, kelahiran para penyair dan sastrawan tersebut tidak dibarengi lahirnya para pengamat sastra yang mampu memberikan kritik dan saran secara terbuka terhadap setiap karya yang dilahirkan. Kalaupun ada kritik dan saran, itu dari mereka yang juga berproses melahirkan karya, sehingga sangat sulit memberikan kritik yang sesungguhnya yang pada akhirnya setiap karya sastra yang menetas hanya disambut puji-pujian. Akibatnya, karya-karya yang lahir tak dapat diketahui secara jelas kualitasnya; baik atau buruk.
Selain itu yang lebih penting lagi, perkembangan sastra sebenarnya tak dapat dipisahkan dari "persaingan" sastrawan yang melahirkan karya dengan para kritikus sastra, meskipun menurut Ignas Kleden dalam pengantar bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, terkadang penulis kreatif merasa keberatan karena kajian analitis tentang sebuah karya telah mengubah sebuah karya yang hidup menjadi mayat yang dipotong-potong untuk memahami anatomi dan fisiologi karya tersebut.
Dalam hal ini para sastrawan kreatif merasa para kritikus sastra hanya berusaha memahami hubungan-hubungan fisik, tapi kebutuhan dalam tubuh itu telah lepas dari suatu keseluruhan yang telah dibongkar-bongkar karena itu tidak tertangkap lagi dalam pengamatan.
Namun, hal tersebut bukanlah masalah jika seorang kritikus mampu meluangkan waktu untuk memebaca buku tersebut secara keseluruhan, lalu dengan ikhlas membiarkan dirinya dipengaruhi dan diresapi buku tersebut (Goethe, 1749--1832).
Pentingnya peran kritikus sastra untuk memberi penilaian dalam proses lahirnya sebuah karya yang baik tak dapat kita sangkal, hal ini disebabkan penulis kreatif memiliki keterbatasan (baca tidak mampu) bersikap adil untuk mengkritik karya rekannya sesama penulis kreatif.
Friedrich Schlegel pernah menulis, "Siapa gerangan yang lebih gagap untuk menilai sebuah puisi daripada seorang penyair?". Alasannya setiap penyair menghayati suatu konsep kesenian dan dengan demikian tercekam gagasan sendiri, sehingga sering tidak sangggup berlaku adil terhadap penyair lain.
Terkait kritik terhadap sebuah karya sastra, Gotthold Epraim Lessing mengatakan seorang pengarang yang karyanya dibicarakan lebih baik mendapat celaan yang pantas daripada pujian yang tidak layak diberikan padanya, apalagi jika orang yang memberi pujian tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan selain puji-pujian. Menurut perintis kritik sastra Jerman ini, kritik terhadap sebuah karya harus berani menguraikan dan menganalisis karena yang umum hanya terdapat dalam yang khusus dan hanya dapat divisualisasikan dalam yang partikular.
Sementara itu, S. Sinansari Ecip dalam esainya "Perlukah Kritik Atas Karya Sastra" mengatakan para spesialis kritik menghasilkan karya kritik sastra. Mereka mengenal teori-teori sastra, lalu dengan perantinya tersebut kritikus mengupas karya sastra agar karya sastra tersebut tersaji di piring dan siap dihidangkan bak buah mangga yang siap ditusuk garpu.
Peran ini, bahwa kritikus sastra merupakan opinion leader haruslah dipahami benar semua pihak, utamanya oleh kritikus sendiri.
Jadi jelas peran kritikus sastra sebenarnya sangat penting seiring lahir dan tumbuh kembangnya sastra itu sendiri, sehingga sebuah karya sastra yang disajikan kepada masyarakat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat pembacanya, meskipun sebenarnya karya sastra yang baik akan tersaji dengan baik tanpa diantarkan kritik.
Pertanyaannya, dalam kondisi seperti ini apakah kritik masih diperlukan? Kritik tetap diperlukan untuk kajian yang lebih dalam untuk pemahaman bagi orang awam dan untuk krtitikus senidiri. Selain itu, pengkajian tentang sebuah karya sastra tidaklah dilarang bahkan dianjurkan kalau tidak boleh disebut diharuskan oleh disiplin keilmuan, tapi harus menggunakan metodologi yang tepat dan penghayatan yang kreatif.
Mengaca pada kenyataan betapa penting peran kritikus sastra dalam perkembangan kesusastraan, mengapa hingga hari ini Lampung tidak memiliki seorang yang benar-benar memosisikan diri sebagai kritikus sastra?
Lalu pasal apa yang membuat kita seperti tak mampu melahirkan seorang kritikus sastra, padahal provinsi ini memiliki Universitas Lampung dan sekolah tinggi lain yang memiliki jurusan bahasa dan seni yang setiap tahun mewisuda puluhan sarjana. Apakah dari sekian banyak akademisi (dosen) bahasa dan sastra yang secara intens bergelut dengan sastra dan telah pula "memahaminya" secara teoretis, tak berani (atau barangkali tidak mampu) mengikhlaskan diri mendapat predikat sebagai kritikus sastra. Mengapa?
Ataukah media massa, khususnya media lokal, enggan menginformasikan kepada masyarakat pembaca tentang sebuah karya sastra yang mendapat kritikan. Atau mungkin para penulis kreatif yang merasa sudah berusaha keras melahirkan karya memang tak ingin (kalau boleh dikatakan tak bisa) mendapat kritikan.
Jika benar, mungkin kita harus banyak membaca karena kita belum termasuk masyarakat modern. Sebab, menurut filsuf pendidikan Paulo Freire, proses menjadi manusia modern harus melalui tiga tahap: Pertama kesadaran magis yang ditandai dengam sikap fatalisme yang menuntun orang menyerah pada keadaan; Kedua, kesadaran naif yang ditandai dengan menyederhanakan masalah secara berlebihan, meremehkan orang lain, lemah argumentasi, suka menonjolkan polemik; Ketiga kesadaran kritis, pada tahap ini manusia mampu mengkritik realitasnya sendiri dan berpraksis terhadapnya. Lalu, di mana posisi kita kini?
* Anton Kurniawan, pencinta sastra. Bergiat di Sanggar Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2007
July 19, 2007
Pendidikan: Program D-3 Bahasa Lampung Unila Dihentikan Sementara
(Unila): Pendidikan Program Diploma Tiga (D-3) Bahasa dan Sastra Lampung Unila tahun akademik 2007-2008 dihentikan sementara.
Penghentian sementara tersebut bukan lantaran program studi (prodi) tersebut akan ditutup, melainkan ingin melihat peluang dan formasi dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) apakah terserap atau tidak.
Sekaligus menunggu komitmen dan perhatian dari pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten/kota untuk menampung lulusan bahasa Lampung tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Iqbal Hilal saat dihubungi Lampost, Kamis (12/7) malam terkait dengan prodi ini yang tidak menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 2007-2008.
“Kami bukan akan menutup prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Unila. Tapi ingin melihat pangsa pasar lulusan. Jangan sampai kami sudah meluluskan, tetapi output kami lalu tidak mendapat pekerjaan ,” kata dia seperti diberitakan Lampung Post, Sabtu, (14/7).
Ia mengakui sejak dibuka pada tahun akademik 1989-1999 sudah meluluskan sekitar 800 orang. “Memang lulusan kami separo menjadi gutu kontrak di SD dan SMP, namun mereka belum banyak yang diangkat. Kami juga menunggu reaksi dan perhatian pemerintah daerah terhadap Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung,” kata dia.
Ia mengakui sejak prodi ini dibuka perhatian pemprov Lampung dan pemerintah kabupaten/kota terhadap lulusan kurang.
Apalagi prodi tersebut berbeda dengan prodi lain, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau Sejarah yang lulusannya bisa diterima hampir di setiap provinsi. Sementara lulusan prodi Bahasa dan Sastra Lampung hanya untuk memenuhi kebutuhan Provinsi Lampung saja.
Iqbal menjelaskan sebetulnya Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Unila tidak menerima mahasiswa baru sejak tiga tahun lalu, tepatnya pada tahun akademik 2005-2006. “Kami terakhir menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 2004-2005 sebanyak 49 mahasiswa. Mereka akan diwisuda pada bulan September 2007 ini,”kata dia.
Ia menguraikan ditutupnya sementara prodi ini bukan lantaran minimnya peminat. “Justru peminatnya banyak. Karena setiap tahun, kuota kami hanya mampu menampung 40 mahasiswa, sementara yang mendaftar mencapai sekitar 300 orang,” kata dia. [LP/erik/rizki/syafar]
Sumber: http://unila.ac.id Tuesday, 17 July 2007
Penghentian sementara tersebut bukan lantaran program studi (prodi) tersebut akan ditutup, melainkan ingin melihat peluang dan formasi dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) apakah terserap atau tidak.
Sekaligus menunggu komitmen dan perhatian dari pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten/kota untuk menampung lulusan bahasa Lampung tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Iqbal Hilal saat dihubungi Lampost, Kamis (12/7) malam terkait dengan prodi ini yang tidak menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 2007-2008.
“Kami bukan akan menutup prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Unila. Tapi ingin melihat pangsa pasar lulusan. Jangan sampai kami sudah meluluskan, tetapi output kami lalu tidak mendapat pekerjaan ,” kata dia seperti diberitakan Lampung Post, Sabtu, (14/7).
Ia mengakui sejak dibuka pada tahun akademik 1989-1999 sudah meluluskan sekitar 800 orang. “Memang lulusan kami separo menjadi gutu kontrak di SD dan SMP, namun mereka belum banyak yang diangkat. Kami juga menunggu reaksi dan perhatian pemerintah daerah terhadap Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung,” kata dia.
Ia mengakui sejak prodi ini dibuka perhatian pemprov Lampung dan pemerintah kabupaten/kota terhadap lulusan kurang.
Apalagi prodi tersebut berbeda dengan prodi lain, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau Sejarah yang lulusannya bisa diterima hampir di setiap provinsi. Sementara lulusan prodi Bahasa dan Sastra Lampung hanya untuk memenuhi kebutuhan Provinsi Lampung saja.
Iqbal menjelaskan sebetulnya Prodi D-3 Bahasa dan Sastra Lampung Unila tidak menerima mahasiswa baru sejak tiga tahun lalu, tepatnya pada tahun akademik 2005-2006. “Kami terakhir menerima mahasiswa baru pada tahun akademik 2004-2005 sebanyak 49 mahasiswa. Mereka akan diwisuda pada bulan September 2007 ini,”kata dia.
Ia menguraikan ditutupnya sementara prodi ini bukan lantaran minimnya peminat. “Justru peminatnya banyak. Karena setiap tahun, kuota kami hanya mampu menampung 40 mahasiswa, sementara yang mendaftar mencapai sekitar 300 orang,” kata dia. [LP/erik/rizki/syafar]
Sumber: http://unila.ac.id Tuesday, 17 July 2007
Pustaka: Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung Gelar Penerbitan Bahasa Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sekolah Kebudayaan Lampung adalah yayasan pendidikan informal yang didirikan sejak Desember 2004. Tujuannya melakukan upaya sinergis dalam penataan hubungan antarkelompok, penguatan budaya Lampung, dan resolusi konflik, melalui penelitian/kajian, pelatihan tentang pencegahan konflik, mediasi kepada berbagai kalangan. Sekaligus pengembangan untuk kurikulum pendidikan yang berbasis pada hubungan antarkelompok dan resolusi konflik yang ditawarkan pada lembaga pendidikan formal, dan penerbitan buku.
Sekretaris Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) Budi Hatees menjelaskan, sebagai sebuah lembaga yang melakukan kerja penelitian dan pelatihan untuk penguatan budaya Lampung di tengah-tengah masyarakat Lampung yang sangat heterogen, Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) melalui Penerbit Matakata yang dikelolanya membuat Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung.
Ia menjelaskan program ini digulirkan sejak Januari 2007 lalu sebagai out put dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan terhadap fenomena budaya yang kini menghantui upaya pelestarian kebudayaan Lampung. Dari salah satu penelitian yang dilakukan pada 2006 menunjukkan, penganut budaya Lampung tinggal 15% dari 7 juta penduduk di Provinsi Lampung. Sebesar 20 % penduduk berasal dari penganut budaya yang ada di Sumatera Selatan (Palembang, Semendo, Komering, dan Jambi).
Sebanyak 30% terdiri dari penganut budaya Batak, Bugis, Sasak, Ambon, Padang, Tionghoa, dan Aceh. Sisanya, sebanyak 45% merupakan masyarakat penganut budaya yang datang dari Pulau Jawa dan Bali (Banten, Jawa, Sunda, dan Bali).
Menghadapi kondisi makin menurunnya penganut kebudayaan Lampung di Provinsi Lampung, SKL meluncurkan Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung pada 20 Januari 2007. Program ini berupa penerbitan buku-buku sastra dalam bahasa Lampung setiap tahun minimal tiga buku yang bertujuan melestarikan bahasa Lampung dengan cara memunculkan buku-buku bacaan berbahasa Lampung agar penutur bahasa asli masyarakat Lampung ini terus bertambah.
Salah satu realisasi Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung ini, pada Juli 2007 Penerbit Matakata akan meluncurkan antologi puisi berbahasa Lampung berjudul Mak Dawah, Mak Dibingi. Buku kumpulan 100 sajak karya Udo Z. Karzi bertemakan persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Lampung di tengah-tengah gempuran modernisasi yang keras dan tak terarah. RLS/S-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Juli 2007
Mak Dawah Mak Dibingi
YAYASAN Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) mengawali Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung dengan meluncurkan antologi puisi berbahasa Lampung, Mak Dawah, Mak Dibingi. Buku kumpulan 100 sajak berisi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Lampung di tengah-tengah gempuran modernisasi itu diterbitkan Juli 2007 oleh Penerbit Matakata.
Program yang digulirkan sejak Januari 2007 lalu merupakan output dari penelitian terhadap upaya melestarikan kebudayaan Lampung. Salah satu hasil penelitian menunjukkan penganut budaya Lampung tinggal 15 persen dari 7 juta penduduk Lampung. Sebesar 20 persen penduduk berasal dari penganut budaya yang ada di Sumatera Selatan (Palembang, Semendo, Komering, dan Jambi).
Sebanyak 30 persen terdiri dari penganut budaya Batak, Bugis, Sasak, Ambon, Padang, Tionghoa, dan Aceh. Sisanya, sebanyak 45% merupakan masyarakat penganut budaya yang datang dari Pulau Jawa dan Bali (Banten, Jawa, Sunda, dan Bali).
"Program ini berupa penerbitan buku-buku sastra dalam bahasa Lampung setiap tahun minimal 3 buku yang bertujuan melestarikan bahasa Lampung," kata Sekretaris SKL Budi Hatees dalam siaran persnya kemarin.
Dia mengharapkan antologi karya Udo Z. Karzi mampu membuat bahasa Lampung menjadi lebih dekat dengan masyarakat dengan cara menjadikan buku tersebut sebagai sumber (bahan) bacaan dalam dunia pendidikan formal sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal.
Selain buku kumpulan sajak itu, Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung sedang menyiapkan kumpulan dongeng masyarakat Lampung dari Kabupaten Lampung Selatan. Buku berisi 15 dongeng ini disiapkan sebagai bahan ajar muatan lokal. (hendarto setiawan)
Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 14 Juli 2007
Sekretaris Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) Budi Hatees menjelaskan, sebagai sebuah lembaga yang melakukan kerja penelitian dan pelatihan untuk penguatan budaya Lampung di tengah-tengah masyarakat Lampung yang sangat heterogen, Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) melalui Penerbit Matakata yang dikelolanya membuat Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung.
Ia menjelaskan program ini digulirkan sejak Januari 2007 lalu sebagai out put dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan terhadap fenomena budaya yang kini menghantui upaya pelestarian kebudayaan Lampung. Dari salah satu penelitian yang dilakukan pada 2006 menunjukkan, penganut budaya Lampung tinggal 15% dari 7 juta penduduk di Provinsi Lampung. Sebesar 20 % penduduk berasal dari penganut budaya yang ada di Sumatera Selatan (Palembang, Semendo, Komering, dan Jambi).
Sebanyak 30% terdiri dari penganut budaya Batak, Bugis, Sasak, Ambon, Padang, Tionghoa, dan Aceh. Sisanya, sebanyak 45% merupakan masyarakat penganut budaya yang datang dari Pulau Jawa dan Bali (Banten, Jawa, Sunda, dan Bali).
Menghadapi kondisi makin menurunnya penganut kebudayaan Lampung di Provinsi Lampung, SKL meluncurkan Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung pada 20 Januari 2007. Program ini berupa penerbitan buku-buku sastra dalam bahasa Lampung setiap tahun minimal tiga buku yang bertujuan melestarikan bahasa Lampung dengan cara memunculkan buku-buku bacaan berbahasa Lampung agar penutur bahasa asli masyarakat Lampung ini terus bertambah.
Salah satu realisasi Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung ini, pada Juli 2007 Penerbit Matakata akan meluncurkan antologi puisi berbahasa Lampung berjudul Mak Dawah, Mak Dibingi. Buku kumpulan 100 sajak karya Udo Z. Karzi bertemakan persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Lampung di tengah-tengah gempuran modernisasi yang keras dan tak terarah. RLS/S-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Juli 2007
Mak Dawah Mak Dibingi
YAYASAN Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) mengawali Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung dengan meluncurkan antologi puisi berbahasa Lampung, Mak Dawah, Mak Dibingi. Buku kumpulan 100 sajak berisi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Lampung di tengah-tengah gempuran modernisasi itu diterbitkan Juli 2007 oleh Penerbit Matakata.
Program yang digulirkan sejak Januari 2007 lalu merupakan output dari penelitian terhadap upaya melestarikan kebudayaan Lampung. Salah satu hasil penelitian menunjukkan penganut budaya Lampung tinggal 15 persen dari 7 juta penduduk Lampung. Sebesar 20 persen penduduk berasal dari penganut budaya yang ada di Sumatera Selatan (Palembang, Semendo, Komering, dan Jambi).
Sebanyak 30 persen terdiri dari penganut budaya Batak, Bugis, Sasak, Ambon, Padang, Tionghoa, dan Aceh. Sisanya, sebanyak 45% merupakan masyarakat penganut budaya yang datang dari Pulau Jawa dan Bali (Banten, Jawa, Sunda, dan Bali).
"Program ini berupa penerbitan buku-buku sastra dalam bahasa Lampung setiap tahun minimal 3 buku yang bertujuan melestarikan bahasa Lampung," kata Sekretaris SKL Budi Hatees dalam siaran persnya kemarin.
Dia mengharapkan antologi karya Udo Z. Karzi mampu membuat bahasa Lampung menjadi lebih dekat dengan masyarakat dengan cara menjadikan buku tersebut sebagai sumber (bahan) bacaan dalam dunia pendidikan formal sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal.
Selain buku kumpulan sajak itu, Program Penerbitan Seri Bahasa Lampung sedang menyiapkan kumpulan dongeng masyarakat Lampung dari Kabupaten Lampung Selatan. Buku berisi 15 dongeng ini disiapkan sebagai bahan ajar muatan lokal. (hendarto setiawan)
Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 14 Juli 2007
July 15, 2007
Hadiah Rancage: Cambuk Perkembangan Sastra Lampung
Bahasa-sastra Lampung menjadi salah satu aset kekayaan seni budaya daerah Lampung sekaligus nasional. Untuk itu kewajiban setiap warga,terutama akademisi dan sastrawan mengembangkan salah satu cabang seni ini. Semua pihak, baik kalangan pemerintah, swasta maupun perorangan dapat melakukan hal untuk pengembangannya.
Hadiah Rancage
Adalah Yayasan Rancage yang rutin memberikan penghargaan terhadapsastrawan daerah. Yayasan tersebut menilai lebih pada sastra berbahasa daerah yang ada di Indonesia. Yayasan yang dikomandani Ajib Rosidi itu memberikan penghargaan juga berupa uang senilai Rp5 juta setiap satu buku yang dipilihnya.
Pada tahun 2007, misalnya, Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Sastra Rancage 2007 kepada sastrawan dan orang yang berjasa mengembangkan sastra daerah. Penyerahan hadiah bekerja sama Universitas Islam Bandung (Unisba) dan bertempat di aula kampus tersebut.
Hadiah sastra Rancage diberikan setiap tahun untuk dua bidang kreativitas. Pertama, bidang karya, yakni penulisan dan penerbitan buku dalam bahasa daerah. Kedua, bidang jasa, yakni pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Untuk tahun 2007 hadiah sastra Rancage untuk kategori berbahasa Sunda diberikan kepada Rukmana sebagai pengarang Oleh-Oleh Pertempuran (kumpulan cerita pendek terbitan Kiblat Buku Utama--KBU), R. Rabindranat Hardjadibrata (orang yang berjasa dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda).
Untuk kategori berbahasa Jawa, hadiah Rancage diberikan kepada Ahmad Tohari yang mengarang roman Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan terbitan Yayasan Swarahati Purwokerto dan Maria Kadarsih (orang yang berjasa mengembangkan bahasa Jawa).
Untuk kategori berbahasa Bali, hadiah sastra diberikan kepada I Made Suarsa yang mengarang Gede Ombak Gede Angin (kumpulan cerita pendek) dan Ida Bagus Darmasuta (berjasa mengembangkan bahasa Bali). Setiap pemenang akan mendapatkan piagam dan uang penghargaan Rp5 juta.
Pemberian penghargaan ini ternyata mampu mendongkrak jumlah karya sastra yang diterbitkan. Hal itu dapat dilihat dari jumlah buku sastra yang dinilai mengalami perkembangan. Tahun 2006 saja, untuk buku sastra berbahasa Sunda terdapat 27 judul, buku sastra bahasa Jawa 10 judul, dan buku sastra berbahasa Bali 19 judul.
Peluang Sastra Lampung
Sampai saat ini, Hadiah Rancace baru diberikan untuk karya sastra berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Namun pihak Yayasan Kebudayaan Rancage sebenarnya tidak menutup kemungkinan Hadiah Rancage dianegerahkan pada karya sastra berbahasa daerah lainnya. Peluang ini sebenarnya bisa diambil sastra dan sastrawan Lampung. Lampu hijau sudah ada bagi kemungkinan sastra Lampung mendapatkan Hadiah Rancage.
"Untuk tahun 2008, kemungkinan ada sebuah buku sastra dari Lampung yang dinilai, yaitu buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia, Momentum karya Udo Z. Karzi terbitan 2002," kata Sekretaris Yayasan Kebudayaan Rancage Hawe Setiawan yang dihubungi beberapa waktu lalu.
Setelah ini, harus ada komitmen dari para sastrawan Lampung untuk terus berkarya. Harus ada jaminan buku sastra Lampung modern terbit minimal satu buku setiap tahun.
Dengan pernyataan inilah sastrawan Lampung harus dapat terpicu bangkit menerbitkan karyanya.Sebab, panghargaan tersebut dapat diraih para sastrawan Lampung.
Bahkan, seorang pengamat budaya Lampung di Bandung Irfan Anshory, menantang seluruh komunitas sastra di daerah asalnya untuk mendapatkan itu. "Asalkan sastrawan Lampung punya komitmen menerbitkan buku karena yayasan tidak menilai karya sastra yang hanya dilisankan," kata Irfan Anshory yang juga salah seorang pengurus Yayasan Rancage Bandung, Rabu (11-7).
Seperti penghargaan yang telah diterima para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali, Yayasan Kebudayaan Rancage mengapresiasi mereka karena komitmennya setiap tahun menerbitkan bukunya.
Mereka telah berkomitmen terus-menerus mengeluarkan buku karyanya. Dua daerah atau etnis yang memiliki "tradisi" kesusastraan yang pernah "dilirik" yayasan tersebut, yaitu etnis Sasak dan Lampung. Keduanya dianggap mempunyai sastra tradisi yang dapat digelontorkan ke masyarakat melalui cetakan buku. "Coba para sastrawan di Lampung membuat pernyataan itu dan dimuatkan di media massa. Tapi, tidak hanya sekadar pernyataan, tetap ada kelanjutannya," kata Irfan.
Pengembangan Sastra Lampung
Adanya tawaran penghargaan dari yayasan tersebut mendapat tanggapan positif. Salah satu penerbit di Bandar Lampung, yaitu Penerbit Matakata menyatakan siap menerbitkan buku-buku karya sastra modern berbahasa daerah setempat.
"Kami siap menerbitkan buku itu," kata salah seorang pengurus Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) yang menaungi penerbitan Mata Kata, Budi Hutasuhut, yang ditemui di ruang
kerjanya, beberapa waktu lalu.
Bahkan, katanya, perusahaan tersebut telah menyiapkan sebuah buku sastra berbahasa Lampung. Buku itu karangan sastrawan Udo Z. Karzi yang rencananya meluncur pada bulan September 2007.
Selain itu ada beberapa buku sastra yang siap juga meluncur, tapi masih menunggu giliran. "Kalau untuk buku-buku umum, sudah 10 kali kami menerbitkannya. Sekarang giliran buku sastra concern kami," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hary Jayaningrat mengaku pihaknya juga peduli dengan perkembangan sastra Lampung. Sebab, persoalan potensi memang menjadi kewajiban pihaknya untuk mengangkat. Dan khusus untuk sastra Lampung, dia berjanji terus mendorong sastrawan membuat karyanya dalam bahasa Lampung. "Untuk membukukannya, kami akan coba jajaki kerja sama dengan Jung Fundation, salah satu LSM yang peduli kesenian daerah Lampung," katanya.
Selama ini memang seniman sastra tradisi Lampung banyak yang mengembangkan sastra lisannya. Tapi, minim sekali buku sastra berbahasa Lampung yang terbit. "Ke depan, kami akan merancang hal itu agar ada kontinuitas sastra berbahasa Lampung Lampung," katanya.
Kemudian juga harus diakui dalam beberapa tahun ini, seniman sastra di Lampung "tidur", sehingga event sastra jarang sekali digelar di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Untuk itu DKL, kata Hary, akan mencoba mengubah paradigma seniman yang terus mengangkat secara person dirinya.
Ke depan, harus ada sebuah agenda yang mampu mengangkat utuh seni dan budaya Lampung. "Penghargaan dari yayasan ini saya harap mampu membangunkan seniman dari tidurnya," katanya.
Tentang Ajip Rosidi
Sedikit cerita tentang penggagas Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi. Lelaki yang sempat bertualang ke Negeri Matahari Terbit itu menganggap buku merupakan hartanya yang paling berharga. Setelah 22 tahun menjadi pengajar mata kuliah Studi tentang Indonesia di University Foreign Studies Osaka, Ajip membawa sekitar 20 ribu buku dalam satu kontainer besar dan bahkan hanya membawa sedikit pakaian saat pulang.
Sekarang di Pabelan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dia membangun rumah untuk menjalani masa tuanya. Sastrawan yang memasuki usia ke-80 tahun ini sedang membangun rumah di areal seluas satu hektare. Selain tempat tinggal, ia juga membangun pendopo, ruang pertemuan, dan perpustakaan besar.
"Mungkin pekan ini dia datang dari Pabelan ke Bandung. Di situ saya berkesempatan menginformasikan komitmen sastrawan Lampung kepadanya. Ini menjadi 'cambuk' bagi perkembangan sastra Lampung," kata Irfan Anshory. n MUSTAAN/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2007
Hadiah Rancage
Adalah Yayasan Rancage yang rutin memberikan penghargaan terhadapsastrawan daerah. Yayasan tersebut menilai lebih pada sastra berbahasa daerah yang ada di Indonesia. Yayasan yang dikomandani Ajib Rosidi itu memberikan penghargaan juga berupa uang senilai Rp5 juta setiap satu buku yang dipilihnya.
Pada tahun 2007, misalnya, Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Sastra Rancage 2007 kepada sastrawan dan orang yang berjasa mengembangkan sastra daerah. Penyerahan hadiah bekerja sama Universitas Islam Bandung (Unisba) dan bertempat di aula kampus tersebut.
Hadiah sastra Rancage diberikan setiap tahun untuk dua bidang kreativitas. Pertama, bidang karya, yakni penulisan dan penerbitan buku dalam bahasa daerah. Kedua, bidang jasa, yakni pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Untuk tahun 2007 hadiah sastra Rancage untuk kategori berbahasa Sunda diberikan kepada Rukmana sebagai pengarang Oleh-Oleh Pertempuran (kumpulan cerita pendek terbitan Kiblat Buku Utama--KBU), R. Rabindranat Hardjadibrata (orang yang berjasa dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda).
Untuk kategori berbahasa Jawa, hadiah Rancage diberikan kepada Ahmad Tohari yang mengarang roman Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan terbitan Yayasan Swarahati Purwokerto dan Maria Kadarsih (orang yang berjasa mengembangkan bahasa Jawa).
Untuk kategori berbahasa Bali, hadiah sastra diberikan kepada I Made Suarsa yang mengarang Gede Ombak Gede Angin (kumpulan cerita pendek) dan Ida Bagus Darmasuta (berjasa mengembangkan bahasa Bali). Setiap pemenang akan mendapatkan piagam dan uang penghargaan Rp5 juta.
Pemberian penghargaan ini ternyata mampu mendongkrak jumlah karya sastra yang diterbitkan. Hal itu dapat dilihat dari jumlah buku sastra yang dinilai mengalami perkembangan. Tahun 2006 saja, untuk buku sastra berbahasa Sunda terdapat 27 judul, buku sastra bahasa Jawa 10 judul, dan buku sastra berbahasa Bali 19 judul.
Peluang Sastra Lampung
Sampai saat ini, Hadiah Rancace baru diberikan untuk karya sastra berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Namun pihak Yayasan Kebudayaan Rancage sebenarnya tidak menutup kemungkinan Hadiah Rancage dianegerahkan pada karya sastra berbahasa daerah lainnya. Peluang ini sebenarnya bisa diambil sastra dan sastrawan Lampung. Lampu hijau sudah ada bagi kemungkinan sastra Lampung mendapatkan Hadiah Rancage.
"Untuk tahun 2008, kemungkinan ada sebuah buku sastra dari Lampung yang dinilai, yaitu buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia, Momentum karya Udo Z. Karzi terbitan 2002," kata Sekretaris Yayasan Kebudayaan Rancage Hawe Setiawan yang dihubungi beberapa waktu lalu.
Setelah ini, harus ada komitmen dari para sastrawan Lampung untuk terus berkarya. Harus ada jaminan buku sastra Lampung modern terbit minimal satu buku setiap tahun.
Dengan pernyataan inilah sastrawan Lampung harus dapat terpicu bangkit menerbitkan karyanya.Sebab, panghargaan tersebut dapat diraih para sastrawan Lampung.
Bahkan, seorang pengamat budaya Lampung di Bandung Irfan Anshory, menantang seluruh komunitas sastra di daerah asalnya untuk mendapatkan itu. "Asalkan sastrawan Lampung punya komitmen menerbitkan buku karena yayasan tidak menilai karya sastra yang hanya dilisankan," kata Irfan Anshory yang juga salah seorang pengurus Yayasan Rancage Bandung, Rabu (11-7).
Seperti penghargaan yang telah diterima para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali, Yayasan Kebudayaan Rancage mengapresiasi mereka karena komitmennya setiap tahun menerbitkan bukunya.
Mereka telah berkomitmen terus-menerus mengeluarkan buku karyanya. Dua daerah atau etnis yang memiliki "tradisi" kesusastraan yang pernah "dilirik" yayasan tersebut, yaitu etnis Sasak dan Lampung. Keduanya dianggap mempunyai sastra tradisi yang dapat digelontorkan ke masyarakat melalui cetakan buku. "Coba para sastrawan di Lampung membuat pernyataan itu dan dimuatkan di media massa. Tapi, tidak hanya sekadar pernyataan, tetap ada kelanjutannya," kata Irfan.
Pengembangan Sastra Lampung
Adanya tawaran penghargaan dari yayasan tersebut mendapat tanggapan positif. Salah satu penerbit di Bandar Lampung, yaitu Penerbit Matakata menyatakan siap menerbitkan buku-buku karya sastra modern berbahasa daerah setempat.
"Kami siap menerbitkan buku itu," kata salah seorang pengurus Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) yang menaungi penerbitan Mata Kata, Budi Hutasuhut, yang ditemui di ruang
kerjanya, beberapa waktu lalu.
Bahkan, katanya, perusahaan tersebut telah menyiapkan sebuah buku sastra berbahasa Lampung. Buku itu karangan sastrawan Udo Z. Karzi yang rencananya meluncur pada bulan September 2007.
Selain itu ada beberapa buku sastra yang siap juga meluncur, tapi masih menunggu giliran. "Kalau untuk buku-buku umum, sudah 10 kali kami menerbitkannya. Sekarang giliran buku sastra concern kami," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hary Jayaningrat mengaku pihaknya juga peduli dengan perkembangan sastra Lampung. Sebab, persoalan potensi memang menjadi kewajiban pihaknya untuk mengangkat. Dan khusus untuk sastra Lampung, dia berjanji terus mendorong sastrawan membuat karyanya dalam bahasa Lampung. "Untuk membukukannya, kami akan coba jajaki kerja sama dengan Jung Fundation, salah satu LSM yang peduli kesenian daerah Lampung," katanya.
Selama ini memang seniman sastra tradisi Lampung banyak yang mengembangkan sastra lisannya. Tapi, minim sekali buku sastra berbahasa Lampung yang terbit. "Ke depan, kami akan merancang hal itu agar ada kontinuitas sastra berbahasa Lampung Lampung," katanya.
Kemudian juga harus diakui dalam beberapa tahun ini, seniman sastra di Lampung "tidur", sehingga event sastra jarang sekali digelar di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Untuk itu DKL, kata Hary, akan mencoba mengubah paradigma seniman yang terus mengangkat secara person dirinya.
Ke depan, harus ada sebuah agenda yang mampu mengangkat utuh seni dan budaya Lampung. "Penghargaan dari yayasan ini saya harap mampu membangunkan seniman dari tidurnya," katanya.
Tentang Ajip Rosidi
Sedikit cerita tentang penggagas Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi. Lelaki yang sempat bertualang ke Negeri Matahari Terbit itu menganggap buku merupakan hartanya yang paling berharga. Setelah 22 tahun menjadi pengajar mata kuliah Studi tentang Indonesia di University Foreign Studies Osaka, Ajip membawa sekitar 20 ribu buku dalam satu kontainer besar dan bahkan hanya membawa sedikit pakaian saat pulang.
Sekarang di Pabelan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dia membangun rumah untuk menjalani masa tuanya. Sastrawan yang memasuki usia ke-80 tahun ini sedang membangun rumah di areal seluas satu hektare. Selain tempat tinggal, ia juga membangun pendopo, ruang pertemuan, dan perpustakaan besar.
"Mungkin pekan ini dia datang dari Pabelan ke Bandung. Di situ saya berkesempatan menginformasikan komitmen sastrawan Lampung kepadanya. Ini menjadi 'cambuk' bagi perkembangan sastra Lampung," kata Irfan Anshory. n MUSTAAN/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2007
July 2, 2007
Khazanah: UKM Expo dan Lomba Seni
LIWA--Warga Liwa, Lampung Barat dan sekitarnya antusias mengikuti lomba seni budaya khas Lampung yang digelar bersamaan dengan UKM Expo yang dilaksanakan Yayasan Liwa Mandiri (Yalima) bekerja sama dengan Lampung Post sejak Sabtu--Minggu (30-6 hingga 1-7), di GSG Liwa.
Lomba tiga macam seni budaya khas Lampung, hadrah, mawalan, dan nyambai itu diikuti 60 grup. Lomba hadrah kategori laki juara pertama diraih kelompok Gunung Sugih A (Balik Bukit), Canggu (Batu Brak) di tempat kedua, dan Gunung Sugih B (Balik Bukit) menduduki peringkat ketiga.
Sementara kategori putri juara pertama kelompok Kegeringan (Batubrak).
Kemudian lomba seni budaya nyambai untuk kelompok putra dimenangkan grup Gunung Sugih (Balik Bukit). Lomba mawalan dimenangkan grup Gunung Sugih (Balik Bukit).
Para peraih juara itu mendapatkan piala dan piagam serta sejumlah uang dari panitia. Sementara kategori stan untuk juara pertama dimenangkan stan Sambol Mata, juara kedua Dwi Putri, dan juara ketiga stan Melati. Hadiah tersebut dibagikan pada malam penutupan, Minggu malam.
Sebelumnya, UKM Expo itu dilaksanakan dalam rangka menggali potensi lokal dan mempromosikan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang ada untuk mendukung upaya peningkatkan ekonomi masyarakat usaha kecil dan menengah.
UKM Expo itu digelar bersamaan dengan lomba seni budaya Lampung yang tujuanya adalah untuk memadukan antara keduanya karena keduanya saling keterkaitan dalam perkembanganya terutama untuk menghadapi daerah Lampung Barat salah satu daerah tujuan wisata sebagaimana yang telah diprogramkan pemerintah daerah.
Expo UKM dan lomba seni budaya khas Lampung sebagai wujud kepedulian Yalima terhadap perkembangan UKM. Di bidang seni budaya, tujuannya melestarikan seni budaya agar tetap membudaya karena seni budaya itu selama ini seakan-akan selalu berada di bagian belakang sebab itu perlu dimunculkan agar seni budaya tetap diminati, kata Ketua Pelaksana UKM Expo Neti Eryuna. n ELI/D-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 2 Juli 2007
Lomba tiga macam seni budaya khas Lampung, hadrah, mawalan, dan nyambai itu diikuti 60 grup. Lomba hadrah kategori laki juara pertama diraih kelompok Gunung Sugih A (Balik Bukit), Canggu (Batu Brak) di tempat kedua, dan Gunung Sugih B (Balik Bukit) menduduki peringkat ketiga.
Sementara kategori putri juara pertama kelompok Kegeringan (Batubrak).
Kemudian lomba seni budaya nyambai untuk kelompok putra dimenangkan grup Gunung Sugih (Balik Bukit). Lomba mawalan dimenangkan grup Gunung Sugih (Balik Bukit).
Para peraih juara itu mendapatkan piala dan piagam serta sejumlah uang dari panitia. Sementara kategori stan untuk juara pertama dimenangkan stan Sambol Mata, juara kedua Dwi Putri, dan juara ketiga stan Melati. Hadiah tersebut dibagikan pada malam penutupan, Minggu malam.
Sebelumnya, UKM Expo itu dilaksanakan dalam rangka menggali potensi lokal dan mempromosikan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang ada untuk mendukung upaya peningkatkan ekonomi masyarakat usaha kecil dan menengah.
UKM Expo itu digelar bersamaan dengan lomba seni budaya Lampung yang tujuanya adalah untuk memadukan antara keduanya karena keduanya saling keterkaitan dalam perkembanganya terutama untuk menghadapi daerah Lampung Barat salah satu daerah tujuan wisata sebagaimana yang telah diprogramkan pemerintah daerah.
Expo UKM dan lomba seni budaya khas Lampung sebagai wujud kepedulian Yalima terhadap perkembangan UKM. Di bidang seni budaya, tujuannya melestarikan seni budaya agar tetap membudaya karena seni budaya itu selama ini seakan-akan selalu berada di bagian belakang sebab itu perlu dimunculkan agar seni budaya tetap diminati, kata Ketua Pelaksana UKM Expo Neti Eryuna. n ELI/D-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 2 Juli 2007