WAPRES Jusuf Kalla mengatakan, "Tiga puluh persen dari 745 bahasa daerah di Indonesia sudah hampir punah dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini," (Metro TV, 22-7). Sebagaimana bahasa Lampung, yang termasuk di dalamnya tersirat tingginya kualitas peradaban tempo dahulu, setidaknya menjadi keprihatinan kita bersama ketika salah satu aset kebudayaan ini secara laten dan subaltern punah.
Komentar Wapres setidaknya ketika dijadikan referensi untuk mendedah peta pembumian bahasa Lampung yang hanya dituturkan 20 persen dari total masyarakat se-Sumatera bagian selatan, memperkuat analisis sebuah pertanyaan mendasar, akankah bisa punah bahasa Lampung?
Perlu pemetaan yang lebih komprehensif untuk menjawab permasalahan ini. Pertama, sebuah bahasa sebagai alat komunikasi tidak mungkin akan punah ketika penuturnya masih ada, bukan selama orang Lampung sebagai bagian entitas sosial ada karena sudah banyak orang suku Lampung asli justru dalam komunikasi di tengah keluarganya menggunakan bahasa Melayu, bahasa resmi Indonesia.
Inilah yang kemudian akan penulis urai dalam sebuah potret anomali dan penggerusan nasionalisasi, dan sebenarnya tidak akan berpengaruh apa- apa ketika empunya tidak eksklusif dan cenderung menyosialisasikan. Tentu, yang paling bertanggung jawab ialah pemerintah, kita ketahui, perkembangan terakhir, pascadiberlakukannya muatan lokal (mulok) dalam setiap mata pelajaran dari SD sampai SMA, bahasa Lampung sedikit meningkat, minimal tidak mungkin punah. Ketika menjadi anasir persoalan kedua, yaitu bahasa Lampung menunggu waktu kepunahannya.
Sebuah kemampuan pencerapan, infiltrasi, dan kefasihan yang langka serta multiguna ketika seseorang bisa berbicara dan menulis dalam banyak bahasa. Akan tetapi, hal ini menjadi sebuah kemampuan paradoks ketika sebuah komunitas, tidak memiliki bahasa sendiri atau sekadar penggabungan dan mengimpor berbagai vokabuler luar komunitasnya sebagai sarana komunikasi.
Maka kita sebagai orang Lampung patut berbangga dengan warisan nenek moyang yang adiluhung, yaitu bahasa sekaligus aksaranya. Ironisnya, tataran kepahaman berbahasa kini menjadi kemampuan subaltern.
Kelas 'Subaltern' untuk Bahasa Ibu
Sejenak kita coba mengeksplorasi lebih dahulu gagasan tentang subaltern; apa itu subaltern, dari mana datangnya, dan kemudian apa pentingnya gagasan ini bagi bahasa Lampung.
Istilah subaltern pertama kali digunakan Antonio Gramsci untuk "kelompok inferior", yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan, dinamakan sebagai kelas subaltern karena selalu menjadi objek hegemonik, tidak pernah menjadi subjek.
Bahasa Lampung yang hanya dipertuturkan sedikit sekali jika dibanding dengan total masyarakat yang tinggal di Sang Bumi Ruwa Jurai ini menjadi menarik untuk di-"bebaskan" dari belenggu dominasi bahasa- bahasa lain yang subur dipertuturkan penduduk. Belum lagi, sedikit penutur bahasa Lampung itu pun, menurut Dr. Van Royen, terklasifikasikan dalam dua subdialek, yaitu dialek Belalau atau dialek api dan dialek nyow.
Menurut Dr. Van Royen, pertama dialek api, yang kemudian terbagi lagi menjadi subdialek; logat Belalau, logat Krui, Melinting, Pubian, Sungkai, Jelema Daya atau Komering, dan logat Way Kanan. Kedua, dialek Abung (dialek nyow), terbagi menjadi subdialek: Logat Abung dan logat Menggala.
Dari banyaknya dialek itu, bahasa Lampung makin sulit terlestarikan karena perlu dijaga dengan mentradisikan komunitas penutur (yang berlogat banyak itu) agar berpegang teguh pada khasanah bahasa ibunya. Mungkin di sinilah pentingnya peraturan daerah (perda) bahasa Lampung diberlakukan.
Persoalan banyak logat, belum lagi ditabah dengan menipisnya lapangan kerja yang memaksa anak-anak muda usia kerja merantau ke Jabodetabek, secara otomatis pula bagi generasi "perantau" ini ada masa yang dapat mencerabut tutur katanya dari sejarah berdialek etnik asli akibat jarang dipergunakan, terhambatlah regenerasi penutur.
Integrasi Budaya; Suku Asli dan Pendatang
Ketakutan akan punahnya bahasa Lampung hingga menstimulan munculnya perda merupakan langkah efektif memang, tetapi harus dilihat substansi dari tujuan pembumian bahasa itu sendiri.
Bahasa Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting, antara lain, pertama, sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat. Kedua, sebagai lambang identitas. Ketiga, sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat. Keempat, sebagai pendukung sastra daerah. Dan kelima, sebagai sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia.
Jika salah satu saja hilang dari kelima fungsinya itu, sebuah bahasa dapat dipertanyakan untuk apa dipertahankan.
Secara esensi-substansi tujuan Perda Bahasa Lampung, penulis setuju, tetapi jangan sampai pemberlakuan Perda Bahasa Lampung justru membuat tumpukan kemarahan dan perlawanan yang membuat warga pendatang (utamanya para PNS) makin berorientasi ke dalam (inward looking) dan lebih terbuka pada ekstrimisme antibahasa Lampung.
Lebih jauh, secara budaya, integrasi multikultur ke dalam budaya Lampung harus diakui sekarang ini stagnan. Integrasi budaya memang harus menjadi agenda utama untuk Lampung karena daerah ini sudah lama dikenal multikultur, di mana beragam budaya tumbuh dan berkembang bersama dan membentuk identitas kolektif.
Saking intensifnya proses ini, secara logat tak mudah membedakan mana orang Lampung asli dan mana pendatang, terkecuali para orang tua yang tinggal di desa-desa transmigrasi. Maka gagasan subaltern akan menjadi bias jika disenyawakan dengan eksklusivisme, integrasi, dan kecintaan penutur untuk intens berbicara dengan bahasa ibu.
Muncul perda juga diikuti pertanyaan besar ketika ranah keseharian yang eklektik dan tenteram mulai dikangkangi hegemoni kekuasaan pemerintah, sungguhkah integrasi itu diperlukan? Atau persamaan yang dipaksakan dengan tidak memperhatikan pluralisme etnik sebuah bentuk kekerasan baru?
Bagaimana dampaknya pada proses integrasi budaya? Atau tepatnya bagaimanakah cara membumikan integrasi budaya Lampung agar keunikan Lampung sebagai daerah berperadapan dengan kandungan gabungan estetikanya tetap terjaga?
Penulis berusaha membuat blueprint agar muncul kekayaan Lampung tanpa didominasi pandangan bahwa masyarakat asli itu berbeda dari lainnya karena soal beda bahasa. Dalam perspektif ini, segala urusan harus dimulai dari komunitasnya sendiri-sendiri. Semua elemen masyarakat dari berbagai kultur yang mengayakan Lampung dengan peradaban estetik harus memikul tanggung jawabnya untuk berhubungan secara langsung dengan komunitas-komunitas lain, selain juga mentradisikan komunitasnya.
Bukan justru mengalihkan tanggung jawab ini kepada apa yang disebut pimpinan komunitas (community leaders) yang biasaya terwakilkan oleh pemda baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Secara kultural, jika sampai muncul perasaan menjadi "komunitas yang terancam" di daerah, bisa menciptakan iklim ketakutan yang ekspresinya sulit dipahami, anomali, dan bisa menciptakan konspirasi yang berbahaya, saling menghujat, mengolok-olok, dan muncul eksklusivitas berlebihan hingga tahapan saling benci.
Mengapa ini penting? Sebab, terkait dengan gagasan konspirasi serupa, gagasan-gagasan ekstrem tampaknya makin luas diterima. Sebuah contoh, masa kanak-kanak penulis, berantem antarkelompok dari Lampung asli dengan Lampung pendatang (baca; suku Jawa) merupakan kebanggaan dan sesuatu yang istimewa jika menang, para orang tua kita juga cenderung membenarkan tindakan kita kalau berhasil memukuli lawan.
Ironisnya lagi, komunitas etnik menjadi komoditas politik. Misalnya, maraknya kelompok, kumpulan, paguyuban, persyarikatan, dll. yang tujuan awal dibentuknya untuk ajang silaturahim antarkerabat atau berbagi suka duka atau kesamaan hidup di rantau, belakangan mulai aktif menjadi lokomotif politik yang cenderung culas, sarat permainan uang, yang sebenarnya juga hanya dimanfaatkan pimpinan komunitasnya. Karena sebuah peraturan, Perda Bahasa Lampung misalnya, ketika ruang lingkup yang digunakan tidak maksimal, justru membuat penyempitan interpretasi yang kemudian berujung pada inefesiensi produk hukum.
KBM Bahasa Lampung
Hasil belajar yang diharapkan cenderung direfleksikan dalam definisi-definisi berbasiskan mutu. Ditinjau dari perspektif pendidikan berdasar pada hak asasi manusia (HAM), bawaan (intake), dan dampak (impact) perlu dimasukkan kerangka kerja standar kegiatan belajar mengajar (KBM) bahasa Lampung. Kalau dahulu standar kerja KBM hanya (masukan-proses-hasil belajar), sekarang harus mulai diubah kerangka kerjanya menjadi bawaan-masukan-proses-hasil belajar-dampak (intake-input-process-outcome-impact).
Proses pendefinisian pendidikan bermutu untuk Mulok Bahasa Lampung selama ini belum memiliki standar jelas, terpublikasi, dan tersistematis, melainkan hanya diserahkan kepada pakar-pakar pendidikan (status pakarnya pun, masih perlu dipertanyakan). Ini seharusnya prioritas pembenahan untuk pembumian bahasa Lampung.
Dari paparan di atas, sebenarnya penulis berusaha sekadar memberikan masukan agar dalam pembuatan peraturan, yang kemudian menjadi hukum positif, jangan mengabaikan kemajemukan Lampung sebagai miniatur Indonesia. Lebih lanjut, jangan sampai pemberlakuan peraturan malah membuat Lampung menjadi terjauhkan dari substansi pelestarian bahasa ibu.
n Endri Y., Ketua Seni Budaya PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 September 2007
No comments:
Post a Comment