-- Budi P Hatees*
SETELAH karya sastra berbahasa Lampung mendapat Hadiah Rancage 2008, adakah yang bisa menjamin bahasa warisan budaya leluhur Lampung ini tetap memperkaya khazanah bahasa-bahasa ibu di negeri ini dan dunia pada puluhan tahun mendatang.
Pertanyaan itu pantas diajukan terhadap masa depan bahasa Lampung dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional yang ditetapkan PBB setiap 21 Februari. Tentu, masyarakat Lampung-- selaku ahli waris--paling bertanggung jawab untuk menjawabnya sehingga tidak ada lagi keraguan bahwa bahasa Lampung tidak akan pernah punah.
Namun, sebagai pihak yang punya peran membawa bahasa Lampung menerima Rancage 2008, dalam kapasitas selaku pengelola Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung yang menerbitkan Mak Dawah Mak Dibingi, buku kumpulan sajak dalam bahasa Lampung yang ditulis Udo Z Karzi, tidak berlebihan bila saya meragukan pengakuan serupa akan diterima pada tahun yang akan datang.
Sebab, untuk menghasilkan buku Mak Dawah Mak Dibingi, hampir tidak ada kalangan ahli waris bahasa Lampung yang memberikan perhatian serius terhadap program-program kerja penerbitan buku berbahasa Lampung yang digagas Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung dengan mendirikan Penerbit B-Press dan Penerbit MataKata. Beberapa pihak yang diajak bekerja sama untuk menerbitkan buku-buku dengan teks bahasa Lampung tidak memberi tanggapan yang membuat upaya pelestarian bahasa ibu ini berjalan lancar.
Sebuah keprihatinan layak diungkapkan atas rendahnya kepedulian masyarakat Lampung terhadap masa depan bahasa daerahnya. Rancage 2008 yang diperoleh tidak mendapat tanggapan serius dari masyarakat, padahal ini berdampak serius terhadap penerimaan sekaligus pengakuan masyarakat di berbagai pelosok negeri akan eksistensi bahasa Lampung dalam khazanah bahasa-bahasa daerah internasional.
Sebuah pengakuan
Pemberian Rancage 2008 oleh Yayasan Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi merupakan bukti betapa bahasa daerah Lampung mendapat pengakuan sebagai bahasa yang masih eksis di lingkungan masyarakatnya. Hadiah ini sekaligus menaikkan gengsi bahasa Lampung menjadi sejajar dengan gengsi bahasa Sunda, Jawa, dan Bali--tiga bahasa daerah yang selama ini menjadi langganan penerima Rancage.
Sejak digulirkan pada 1989, Rancage belum pernah diberikan untuk karya sastra berbahasa daerah dari luar Pulau Jawa dan Bali. Bahkan, tidak pernah terpikirkan karya sastra berbahasa Lampung akhirnya mengubah tradisi pemberian hadiah itu.
Karena itu, perhatian serius yang diberikan Yayasan Rancage terhadap eksistensi bahasa Lampung mesti ditanggapi masyarakat Lampung dengan menumbuhkan semangat baru untuk menyosialisasikan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan masyarakat pemiliknya. Dengan begitu, bahasa Lampung tidak akan lagi mengalami persoalan krusial terkait krisis penutur, yang selama ini menjadi masalah serius sehingga berdampak terhadap pengajaran bahasa Lampung di sekolah-sekolah.
Bahasa Lampung masuk dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok) sejak dekade 1980-an. Tetapi persoalan bahasa Lampung terkait krisis penutur semakin lama semakin krusial ditandai sulitnya menjumpai masyarakat yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Anak-anak didik yang belajar bahasa Lampung bisa dibilang tak pernah mempergunakan bahasa yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam proses belajar-mengajar, bahasa Lampung sering disampaikan dalam bahasa Indonesia karena sebagian besar guru bahasa Lampung ternyata bukan orang Lampung.
Penyebabnya, bahasa Lampung diajarkan kepada anak-anak didik bukan sebagai pengetahuan. Bahasa Lampung hanya sekadar memenuhi peraturan tentang pentingnya muatan lokal, namun tujuan dari muatan lokal itu tidak membuat generasi muda mencintai warisan leluhur budayanya. Kondisi ini semakin parah setelah Universitas Lampung menutup Jurusan Bahasa Lampung dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, karena minat generasi muda lulusan SMA untuk memasuki jurusan tersebut sangat rendah.
Di tengah-tengah situasi krisis penutur bahasa Lampung, Yayasan Rancage justru memberikan penghargaan terhadap karya sastra berbahasa Lampung. Penghargaan ini tidak akan berarti banyak apabila sikap masyarakat Lampung dalam memperlakukan bahasa daerahnya masih saja seperti sebelumnya, terpaksa berbahasa Lampung karena tuntutan situasi misalnya saat digelar seremoni-seremoni adat.
Berbahasa Lampung tidak membanggakan bagi masyarakat Lampung. Sebaliknya, orang yang berbahasa Lampung acap dinilai kolot dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Padahal, di tengah-tengah lingkungan masyarakat Lampung dengan mudah dijumpai masyarakat Jawa yang tetap berbahasa Jawa. Bahkan, di wilayah Kota Metro, bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari masyarakat, tidak saja di kalangan masyarakat Jawa tetapi juga di kalangan masyarakat Lampung, Palembang, Batak, dan etnik lainnya yang membentuk Kota Metro.
Sebuah tantangan
Rancage 2008 bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya. Membudayakan berbahasa Lampung harus menjadi satu-satunya cara untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa warisan leluhur budayanya ini.
Jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Pulau Sumatra, sebetulnya bahasa Lampung tidak layak mendapat Rancage 2008. Jangankan menjadi bahan cetakan, yang merupakan salah satu syarat pemberian Rancage, sebagai kelisanan saja bahasa Lampung sukar ditemukan. Penutur bahasa warisan leluhur budaya Lampung ini tidak sebanyak penutur bahasa Batak atau Minangkabau.
Masyarakat Batak dan masyarakat Minangkabau memiliki fanatisme luar biasa dalam berbahasa daerah. Bagi masyarakat Batak, berbahasa daerah berarti menunjukkan bangsa. Sebab itu, di mana pun mereka, bahasa Batak tidak akan pernah diabaikan, senantiasa dituturkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat Minangkabau, selalu akan berbahasa Minangkabau. Konon lagi di daerah masing-masing, yang bahasa warisan leluhur masih menjadi bahasa pengantar dalam percakapan sehari-hari, bukan cuma dalam kegiatan-kegiatan seremonial kebudayaan.
Hal yang hampir sama juga terjadi di lingkungan masyarakat Aceh. Fanatisme masyarakat Aceh dalam berbahasa daerah bukan saja menunjukkan kecintaan dan kepedulian atas pelestarian bahasa ibu, tetapi juga menunjukkan eksistensi suku bangsa Aceh. Sebagai daerah yang lama hidup dalam tekanan rezim Orde Baru, sangat penting bagi masyarakat Aceh untuk menunjukkan eksistensi kedaerahannya sebagai bagian terpenting dari wilayah Nusantara.
Berbeda dengan bahasa daerah yang berkembang di wilayah Sumatra Selatan, Jambi, dan Riau. Pada ketiga daerah di Pulau Sumatra yang merupakan wilayah pesisir ini, bahasa Melayu berkembang sangat pesat, sehingga menghasilkan dialek-dialek yang khas daerah masing-masing. Memang, di beberapa daerah di Sumatra Selatan, ada bahasa daerah yang sangat khas seperti bahasa Rejang yang bisa ditemukan jejak-jejaknya di lingkungan masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Musi. Tapi, nasib bahasa-bahasa daerah khas Sumatra Selatan ini tidak berbeda jauh dengan nasib bahasa Lampung, sama-sama mengalami krisis penutur.
Sebab itu, karya sastra dalam bahasa Batak maupun Minangkabau jauh lebih pantas mendapatkan Hadiah Rancage ketimbang karya sastra berbahasa Lampung. Karena, fanatisme masyarakat Batak dan Minangkabau dalam berbahasa daerah hampir sebanding dengan fanatisme masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali. Bukan persoalan bagi mereka berada dalam lingkungan siapa, yang terpenting berbahasa daerah mengandung spirit kedaerahan yang mesti dijaga dan dilestarikan. Karena itu, tidak sulit menemukan masyarakat penutur bahasa Batak di lingkungan masyarakat yang bukan dominan masyarakat Batak. Sama mudahnya dengan menemukan penutur bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Minangkabau di berbagai pelosok negeri ini.
Sebaliknya, di Lampung sulit menemukan penutur bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya sendiri, seolah-olah bahasa warisan budaya leluhur ini bukanlah bahasa ibu yang lahir dan berkembang dalam lingkungan budaya Lampung. Konon lagi mengharapkan ada barang cetakan dalam bahasa Lampung yang secara kontinu akan muncul tiap tahun, sehingga Yayasan Rancage merasa layak memberi hadiah kepada karya sastra yang ditulis dalam bahasa Lampung ini.
Inilah tantangan yang harus dihadapi masyarakat Lampung. Agar Rancage bisa diperoleh setiap tahun yang akhirnya berdampak pada pelestarian bahasa Lampung, sebuah keharusan jika setiap tahun ada buku teks berbahasa Lampung yang dicetak dan diterbitkan. Buku-buku ini dapat menjadi bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, sehingga anak didik menjadi yakin bahwa bahasa daerah yang mereka pelajari telah menjadi pengetahuan bagi masyarakat di negeri ini.
* Budi P Hatees, Peneliti di Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment