LAMPUNG adalah negerinya para penyair. Karena di daerah ini bermunculan penyair-penyair baru yang bermunculan dengan karyanya yang mampu meramaikan kancah kepenyairan nasional sejak era 80-an hingga saat ini.
Tahun 1980-an merupakan masa keemasannya A.M. Zulkarnaen dan Isbedy Stiawan Z.S. Kemudian disusul Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka. Setelah itu, di era awal tahun 1990-an, muncul berbagai nama yang berasal dari kampus seperti Iswadi Pratama, A.J. Erwin, dan Panji Juperta Utama.
Kemudian dilanjutkan era 2000-an, merupakan masa kemunculan Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga. Lalu terdapat Lupita Lukman, Anton Kurniawan, Hendri Rosevelt, hingga yang terbaru adalah Fitriyani.
Namun ternyata meski banyak bermunculan nama-nama baru dalam kepenyairan di Lampung, pembelajaran akan dunia sastra terutama puisi bagi para pelajar masih sangat lemah. Sehingga dunia kepenyairan yang sepertinya sudah menjadi ikon bagi Lampung, sepertinya tidak tertularkan keilmuannya.
Hal ini paling tidak terlihat dari gelaran Pekan Seni Pelajar Lampung (Peksipel) yang baru saja usai pekan lalu, terutama lewat tangkai lomba penulisan puisi dan pembacaan puisi. Penyair perempuan, Inggit Putria Marga, usai melakukan penjurian lomba penulisan puisi mengemukakan pemahaman pelajar terhadap puisi masih sangat terbatas pada pengungkapan perasaan saja.
Dia mengatakan kondisi tersebut sangat terlihat dari karya-karya puisi yang dikirimkan para siswa. Kondisi ini, menurut Inggit, disebabkan karena guru bahasa Indonesia yang ada saat ini masih memiliki keterbatasan dalam melakukan sosialisasi terhadap dunia sastra terutama puisi dan metode penulisan puisi di sekolah.
"Secara kuantitas, jumlah peserta yang mengikuti lomba penulisan puisi ini sangat banyak karena mencapai jumlah ratusan karya. Namun memang bila berbicara kualitas, masih sangat jauh dari yang diharapkan," kata Inggit.
Bahkan pada umumnya, karya puisi para siswa yang diikutkan dalam perlombaan tersebut, masih terbatas pada pengungkapan perasaan yang dirasa para pelajar itu sendiri. "Karya mereka masih sangat telanjang dan sangat remaja. Diksi-diksi yang digunakan masih sangat verbal, bahkan kalau bisa dikatakan lebih mirip seperti curahan hati atau curhat."
Belum lagi bila itu berkaitan dengan susunan kalimat dan penggunaan kalimat yang masih sangat lemah sekali. "Tidak hanya terdapat pada pemilihan metafora terhadap karya yang diambil, tapi malahan kesalahan dasar bahasa banyak diketemukan. Misalnya masih bingungnya pelajar pada persoalan imbuhan, penempatan kata sifat dan benda, awalan yang kesemuanya masih sangat berantakan," ujar Inggit.
Padahal bila melihat dari kuantitas peserta, penulisan puisi mendapatkan apresiasi yang besar dari para pelajar. "Artinya pihak sekolah mesti melihat bahwa minat dari para pelajar dalam penulisan puisi yang lebih kreatif dan mengarah pada sastra lumayan besar. Sehingga dibutuhkan sosialisasi dan pembelajaran yang lebih terhadap dunia sastra terutama puisi lewat pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah."
Hal yang sama juga dikemukakan Iin Mutmainah, juri lomba baca puisi Peksipel. Dia mengatakan sangat miris saat melihat para peserta yang membacakan puisi. "Mengapa harus menjadi makhluk asing bahkan alien ketika membaca puisi. Padahal saat membacakan puisi, para pelajar lebih mengedepankan diri sendiri, tidak perlu menjadi orang lain."
Selain itu juga, dia melihat bahwa banyak pelajar yang malahan melakukan berbagai visualisasi atau gerakan untuk menggambarkan dari puisi yang dibawakan. "Padahal seharusnya masih ada ruang imajinasi yang mesti disisakan. Dan gerakan yang dilakukan para peserta saat membaca puisi seharusnya dilakukan dengan motivasi serta emosi yang terjalin haruslah tidak terputus," tambah Iin.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Edy Samudra Kertagama dan Christopan Dewansyah yang juga menjadi juri lomba membaca puisi. Keduanya masih melihat kelemahan hampir semua peserta yang mengikuti perlombaan karena masih merasa sangat asing dengan puisi terutama bahasa Indonesia. Sehingga penginterpretasian terhadap isi puisi tidak ada.
Dan ini tentu saja mendatangkan satu kemirisan tersendiri di tengah subur dan tumbuhnya para penyair, tetapi ternyata para anak muda yang seyogianya bisa menjadi penerus masa depan dunia kepenyairannya, ternyata masih sangat minim pengetahuannya. Sehingga diibaratkan ini bagaikan seekor tikus yang mati di dalam lumbung padi.
Peranan Dewan Kesenian
Namun, bila mau berbicara jujur, tentu saja persoalan keminiman pemahaman pelajar akan dunia sastra terutama puisi tidak hanya dilimpahkan kepada dewan guru. Terutama guru bahasa Indonesia ataupun guru kesenian di sekolah.
Sebab, para guru pun memiliki banyak tugas dan beban tersendiri. Di mana mereka harus mengajarkan apa yang sudah ada pada kurikulum pengajaran yang ada. Sehingga setiap mata ajar yang akan disampaikan, sudah diatur secara nasional. Tentunya ini menjadi persoalan tersendiri.
Apalagi ditambah dengan persoalan SDM yakni berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki para guru terhadap dunia kepenyairan yang sangat terbatas. Sehingga sangat wajar bila kemudian yang diajarkan kepada para siswa adalah apa yang diketahuinya tentang dunia sastra.
Terlebih bagi guru yang berasal dari daerah, kondisi ini semakin diperparah dengan sedikitnya akses dan informasi yang bisa didapat para guru. Sebab, sangat jarang adanya event seni budaya yang digelar yang bisa dijadikan ruang apresiasi bagi para guru bahasa Indonesia dan juga kesenian untuk menambah wawasan dan pengetahuannya, juga para pelajar tentunya.
Karena kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Kota Bandar Lampung. Ruang akses begitu lebar terbentang karena begitu banyak event seni budaya bahkan hingga perlombaan yang banyak digelar. Sehingga para guru dan juga pelajar bisa mendapatkan ruang apresiasi yang sangat luas dan ini menjadi media pembelajaran yang sangat efektif tersendiri bagi para guru dan siswa. Makanya terlihat adanya perbedaan yang membentang antarkota dan daerah.
Dan inilah yang seharusnya coba diretas oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL) yang merupakan wadah para seniman Lampung berkumpul dan beraktivitas. Sehingga pemahaman akan dunia sastra oleh para pelajar dan guru terutama di daerah bisa berkembang, yang nantinya juga akan meningkatkan jumlah pengapresiasi dunia sastra itu sendiri, atau malah akan melahirkan para penayir-penyair masa depan.
Ini bisa dilakukan dengan menggelar semacam workshop yang ditujukan para guru dan pelajar dengan menghadirkan para seniman yang tentunya sangat mumpuni dan paham akan metode pengajaran, sehingga targetan yang akan dicapai bisa tercapai. Tentu saja, dalam pelatihan ataupun workshop juga dibarengi dengan dilakukannya pementasan pembacaan puisi yang menghadirkan penyair kaliber nasional misalnya, untuk memperlebar ruang apresiasi.
Namun hendaknya, workshop ataupun pelatihan ini tidak hanya dipandang oleh DKL sebatas program ataupun proyek an sich semata-mata. Sehingga pelaksanaanya sekenanya dan tidak kena sasaran. Karena dilakukan hanya sebatas melaksanakan program semata-mata saja apalagi untuk mencoba mengambil keuntungan semata-mata. Tapi kegiatan ini memang harus dilakukan dengan satu niatan tulus serta keinginan untuk membumikan dunia sastra terutama puisi di Lampung.
Atau juga dengan membentuk satu komunitas kecil yang bisa menjadi embrio bagi terbentuknya wadah bagi pelajar dan guru untuk belajar di daerah-daerah. Sebab ternyata cara ini sangat efektif untuk melahirkan rasa kecintaan dan keinginan untuk berinteraksi lebih intens dengan dunia kesusastraan. Sehingga siapa tahu, dari kelompok-kelompok kecil ini akan muncul para penyair besar yang kemudian akan membesarkan komunitas kecil tersebut menjadi sebuah kantung kesenian yang akan menyemarakan dunia seni di Lampung, juga nasional. Semoga. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2008
No comments:
Post a Comment