-- Budi P. Hatees*
JANGAN pernah membuang ampas kopimu, karena kau bisa memanfaatkannya menjadi sesuatu yang sangat pantas dipajang di ruang tamu rumahmu, sesuatu yang bernilai estetika tinggi.
Itulah moral yang ingin disampaikan delapan perupa Lampung yang menggelar pameran lukisan bertajuk Me-rupa-kan Ampas Kopi di Ruang Seni Rupa Taman Budaya Lampung (29 Maret--2 April 2008). Mereka memanfaatkan ampas kopi sebagai pengganti cat, menggoreskan ragam bentuk rupa di atas medium kanvas, hingga terbentuk lukisan yang mewacanakan lokalitas Lampung.
Sebagai sebuah gagasan, kerja artistik para pelukis Lampung pantas mendapat apresiasi. Namun, kalau diandaikan bahwa kreativitas ini dapat mengatasi masalah sampah ampas kopi, jelas terlalu mengada-ada. Sebab, ampas kopi relatif tidak pernah menimbulkan masalah bagi masyarakat. Tidak sebanding dengan masalah akibat kafeina yang dikandungnya. Di samping mudah larut dalam air, produksi ampas kopi cenderung rendah. Apalagi di era sekarang, orang bisa menikmati secangkir kopi tanpa meninggalkan sebutir ampas pun.
Lantas, bagaimana memberi apresiasi atas kerja kreatif kedelapan perupa Lampung ini?
Ampas kopi bukan sekadar sebagai materi lukisan alternatif untuk menjawab mahalnya harga cat, bukan pula sebuah solusi untuk mengatasi persoalan sampah ampas kopi. Lebih dari semua itu, pameran lukisan yang digelar dalam rangka memperingati 44 tahun usia Provinsi Lampung ini, juga menjadi semacam gugatan atas kebijakan perkopian yang digerakkan pemerintah daerah.
Lukisan ampas kopi menjadi sangat kontekstual. Lampung sebagai salah satu produsen biji kopi di negeri ini, sudah lama sekali tidak lagi menjadi produsen. Pesona biji-biji kopi yang di pengujung abad 19 mengundang kolonialisme Belanda untuk mengeruknya, juga membuat petani dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam datang untuk belajar budi daya kopi, kini tinggal sepenggal sejarah pahit tentang betapa buruknya pemerintah daerah mengatasi persoalan perkopian.
Perekonomian Lampung yang selama puluhan tahun sangat bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan, tidak diimbangi pemerintah daerah dengan membuat kebijakan yang mampu menstimulasi para petani kopi. Sebaliknya, pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dengan memberi izin kepada asosiasi itu untuk menarik iuran dari setiap butir kopi yang dijual petani. Padahal, petani sudah menjadi sapi perah para pengekspor dengan mengendalikan harga kopi. Petani sebagai produsen kopi kini tidak merasa diuntungkan oleh budi daya kopi yang dilakukannya selama bertahun-tahun itu.
Riwayat pohon kopi di Lampung, riwayat masa depan petani kopi yang sehitam warna kopi. Petani menebangi pohon kopi, mengganti dengan tanaman produksi lainnya seperti kakao. Ini membuat Lampung tidak lagi menjadi produsen kopi, sehingga sejumlah produsen bubuk kopi di daerah ini mengandalkan bahan baku dari petani-petani kopi di Sumatera Selatan. Kopi tidak lagi bisa mensejahterakan rakyat Lampung seperti pada dekade 1980-an.
Sebab itu, kerja kreatif para pelukis yang memosisikan ampas kopi sebagai materi penting dari lukisannya, mestinya memunculkan persoalan perkopian Lampung pada tataran tema lukisan. Dengan begitu, apa yang dilakukan para pelukis dapat meramaikan "pasar wacana" seni rupa Lampung, sesuatu yang makin jarang terdengar akhir-akhir ini. Sayangnya, lukisan-lukisan itu condong lebih mengutamakan "wacana pasar", di mana sangat kuat orientasi untuk menghasilkan lukisan-lukisan yang diminati oleh pasar.
Antara "pasar wacana" dengan "wacana pasar" mestinya mendapat perhatian yang sama dari para pelukis. Pertemuan "pasar wacana" dengan "wacana pasar" akan mengangkat para pelukis Lampung sebagai seniman yang mampu menghasilkan karya berkualitas artistik sekaligus berkualitas komersial. Kedua wacana ini hampir tidak bisa ditemukan tampil bersamaan dalam dunia seni rupa Lampung.
Padahal kedelapan pelukis, Ari Susiwa Manangisi, Bambang Irianto, Joni Putra, Koliman, Rosmedi Jamaluddin, Sutanto, Tince Megawati Johnson, dan Yulius Benardi, sudah malang melintang berpameran di sejumlah kota di Nusantara. Pengalaman berpameran tampaknya tidak begitu memengaruhi pada aras pemikiran tentang bagaimana menyejajarkan antara estetika dengan pasar. Setidaknya bisa dimulai dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya wacana karya.
Joni Putra, misalnya, yang dalam banyak karya sangat ekspresif dengan kemampuan luar biasa menampilkan aura tersembunyi dari objek-objek lukis yang sebagian besar manusia. Dalam pameran kali ini, lukisannya berjudul "Introspeksi", mewacanakan pentingnya membangun tradisi "berkaca". Di tengah persoalan deindividuasi yang merebak sebagai dampak kehadiran budaya massa, tradisi berkaca secara personal tidak lagi dianggap penting. Individu-individu lebih memilih "berkaca" pada massa, di mana dirinya bukan lagi sebagai individu, melainkan sebagai bagian dari massa.
Pentingnya wacana karya telah membuat banyak perupa mendulang sukses kerja. Apa yang dilakukan pelukis-pelukis di Bandung, misalnya, dengan mengubah arus pemikiran dalam kerja kesenian membuat karya-karya mereka diterima secara terbuka baik oleh pasar komersial maupun kritikus. Sebut saja yang dialami Ay Tjoe Christine, Dikdik Sayahdikumulloh, dan Arin Dwihartanto, di mana pasar menerima mereka dengan gempita, yang akhirnya membuat pergeseran pada estetika para pelukis lain di Bandung.
Dunia seni rupa Lampung sampai pada Sumatranformatif yang melibatkan kurator almarhum Mamannoor dalam ajang Lampung Art Festival 2004, bisa dikatakan kehilangan perspektif wacana. Event-event pameran yang digelar para perupa di Lampung, sering digarap tanpa kehadiran sebuah tema yang memadai. Bahkan, event pameran di luar Lampung yang diikuti para pelukis terkesan tidak meningalkan jejak pada tingkat pemikiran, sehingga kerja seni yang dijalani para pelukis terkesan sebagai kerja tradisi. Mereka hanya melanjutkan kebiasaan, di mana yang diandalkan cuma keterampilan menampilkan gambar rupa di atas kanvas.
Begitu juga yang bisa ditangkap dari event Me-rupa-kan Ampas Kopi. Titik tolak berupa "ampas kopi" sesungguhnya bisa bicara banyak hal seandainya mengkristal dalam tema-tema garapan lukisan. Sayangnya, ampas kopi hanya menunjukkan satu hal yang justru kurang bisa mendukung penguatan wacana rupa, yakni upaya "memanfaatkan ampas kopi" atau "kerja alternatif menjawab mahalnya harga cat".
Sebab itu, terhadap para pelukis yang sudah malang-melintang, ikut dalam pameran Me-rupa-kan Ampas Kopi menjadi semacam fenomena filsafat: di mana bobot pengalaman mereka dihadirkan dalam ajang ini?
Masyarakat awan tentu akan sangat kagum, ampas kopi dapat diubah menjadi lukisan yang layak dipanjang di ruang tamu rumahnya. Di sini, yang bermain adalah selera publik yang dibentuk oleh minim pengalaman atas estetika seni rupa. Nmaun, kekaguman masyarakat awam tidak ada kaitannya dengan bobot kehadiran seni rupa. Cat minyak, arang, akrilik, cat air, pensil, tanah, kopi, darah, dan lain-lain bisa dipahami pada tingkat permainan media dengan ragam perluasan kemungkinan estetik dari konvensi yang ada. Artinya, persoalan materi dalam seni rupa tidak terlalu mempengaruhi kualitas estetika seni, karena semua itu hanya persoalan media.
Pascamunculnya dadaisme di Barat, apa pun dapat menjadi media dan apa pun adalah media. Koko Bae di Palembang melukis dengan darah, tak berbeda dengan pelukis yang melukis dengan kopi. Yang paling pokok bukan darah atau kopi, tetapi bagaimaa otoritas si seniman yang berfilsafat dengan materi-materi seni rupa itu.
Dalam hal inilah setiap pelukis perlu menyadari bahwa seni rupa bukan sekadar wahana untuk mengekspresikan egosentrisme sempit guna menciptakan monumen-monumen estetik paripurna, melainkan terjemahan langsung dari kegiatan si seniman di tengah masyarakatnya. Sebab itu, seni rupa harus menjadi sebuah perayaan atas ragam kemungkinan dari berbagai persoalan yang berlangsung di lingkungan si seniman, sehingga bisa dipahami bagaimana otorisasi si seniman dalam menyikapi persoalan-persoalan tersebut.
Dalam konteks inilah kedelapan pelukis mestinya bisa mengambil posisi sebagai orang yang berfilsaat dengan bahasa rupa. Apakah mereka akan memberikan pemahaman filsafat atas ampas kopi, sehingga otoritas mereka sebagai seniman menjadi begitu dikenang masyarakat, ataukah mereka tidak lebih bagus dari sekumpulan anak-anak yang baru saja mengikuti lomba mewarnai di halaman rumah dinas Gubernur Lampung?
Ada banyak kemungkinan dari ampas kopi yang bisa dikedepankan sehingga tak sekadar sebagai materi lukis.
* Budi P. Hatees, Esais, tinggal di Depok
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 April 2008
No comments:
Post a Comment