BANDAR LAMPUNG--"Nabi Penyair Lampung" Edy Samudera Kertagama mengikuti Pesta Penyair Nusantara 2008 di Taman Budaya Sumber Air Cakar Wesi, Kediri, Jawa Timur. Acara yang berlangsung mulai 26 Juni sampai 2 Juli ini diikuti sastrawan Indonesia dan luar negeri, antara lain Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.
Pesta Penyair Nusantara 2008 bertema Sempena The2nd Kediri Jatim Internasional Poetry Gathering.
Acara ini juga diisi empat rangkaian kegiatan seminar dan dialog sastra, di antaranya bertajuk Peranan perempuan dalam kesusastraan. Dari Malaysia, hadir sebagai narasumber Dr. Kasima A. Hamid dan Mawar Safei. Kemudian Jepri Arif dari Brunei, Jamal Tukimin (Singapura), dan Korrie Layun Rampan (Indonesia).
Dari Lampung, selain Edy Samudera, penyair Inggit Putria Marga dan Isbedy Stiawan Z.S. juga diundang. Kepada Lampung Post, Kamis (26-6), Edy mengatakan Pesta Penyair Nusantara menjadi wahana apresiasi penambah wawasan sastra. "Ilmu yang kita terima nanti bisa diaktualisasikan kepada bakal sastrawan Lampung agar makin bergairah dengan dunia sastra," kata dia.n CR-2/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008
June 29, 2008
Apresiasi: Dari Bahasa sebagai Sarana menuju Karya sebagai Capaian Estetis
PUISI-PUISI Udo Z. Karzi yang terkumpul dalam Mak Dawah Mak Dibingi maupun Momentum adalah puisi modern yang ditulis dalam bahasa Lampung. Ini disadari sepenuhnya oleh Udo, seperti dikemukakan pada diskusi Selasa (24-6) malam di Lampung Post.
Sebagai penyair, Udo tidak hendak mengeksplorasi bahasa Lampung atau mencari diksi-diksi Lampung yang bernilai rasa tinggi. Bagi Udo, bahasa ujaran sehari-hari bahkan bahasa gaulnya Lampung juga bisa dijadikan sarana berpuisi. Dan ini yang dilakukan Udo Z. Karzi.
Kesadaran berkarya ini yang membuat sejumlah pengamat sastra Lampung menyatakan Udo Karzi membebaskan diri dari keketatan bentuk--bait, rima, maupun baris--sastra tradisional Lampung semacam pattun/segata/adi-adi atau paradinei/paghadini.
Kita baca pattun berjudul Bukundang Kalah Sahing (Pacaran Kalah Saingan) yang biasa dibawakan dalam acara-acara muda mudi: Numpang pai nanom peghing/Titanom banjagh capa/Numpang pai ngulih-ulih/Jama kutti sai dija//Adek kesaka dija/Kuliak nambi dibbi/Adek gelagh ni sapa/Nyin mubangik ngughau ni// Budaghak dipa dinyak/Pullan tuha mak lagi/Bukundang dipa dinyak/Anak tuha mak lagi//(wikipedia).
Pantun yang memiliki struktur bunyi teratur ini (a-b-a-b) dengan pola khas dua baris sampiran dua baris isi ini mencirikan keunikan tradisi lisan Lampung. Ada kelincahan berujar, ekspresif, dan kata-kata singkat dalam aliran irama yang cepat.
Ciri ini yang membuat penyair Isbedy Stiawan Z.S. menyatakan sastra Lampung itu mengandalkan lisan, anonim, erat kaitannya dengan kebiasaan, tradisi, dan adat-istiadat. "Sastra Lampung itu bertutur, tidak ada yang tertulis. Harus ada yang membatasi dan menghentikannya kalau orang atau penyair sedang menuturkannya. Susah berhenti," ujar Isbedy kepada Lampung Post, Jumat (27-6).
Sayangnya, sifat-sifat kesusastraan Lampung ini tidak terlihat dalam karya sastra modern Lampung, khususnya puisi. Begitu juga pada Mak Dawah Mak Dibingi. Padahal, ciri-ciri inilah yang menghadirkan keunikan tersendiri.
Namun sayang, hingga kini potensi tersebut belum mentas secara nasional.
Jika keluar dari bentuk, puisi juga tidak terlepas dari resapan-resapan estetis yang terbangun dari citraan-citraan, metafor, imaji, maupun refleksi si penyair. Ia bisa dibangun dari sebuah nilai, kesadaran pada sebuah ideologi, atau penyikapan budaya--meminjam istilah penyair Iswadi Pratama pada komentarnya di antologi Operasi Kebun Lada karya Y. Wibowo (matakata; 2005).
Dalam konteks ini, "Lampung" bisa dimaknai sebagai perspektif atau paradigma berkarya. "Lampung" sebagai paradigma menjadi jiwa dalam karya atau budaya--jika disandingkan dengan masyarakat.
Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni Julizarsyah yang terbit di rubrik "sajak" Lampung Post hari ini, misalnya, terasa kental dengan "Lampung" sebagai jiwa dalam karya. Atau sajak Ziarah Muasal-nya Ramdhoni: tujuh manusia loreng emas/terpekur di makam kuno//para punggawa halus bersetia/sejak ratusan abad tertakluknya tanah ini/mitologi silang sengkarut/menghablur dari masa yang tak tercatat//di tempat leluhur menutup mata terakhir kali/sudah masanya menziarahi waktu/beramah tamah dengan/moyang dan para sahabat/untuk menjumpai hakikat kita//
Bahwa puisi juga curahan kesadaran, bukan sebatas "rasa" yang bergetar ketika bersentuhan dengan sesuatu, yang tremendum, tampaknya juga tidak bisa diabaikan. Jika Iswadi Pratama berharap Udo Z. Karzi menjadi penanda bangkitnya susastra Lampung, mungkin saja capaian-capaian estetis dalam karya, seperti disampaikan direktur artistik Teater Satu ini, ada benarnya menjadi kesadaran seorang Udo Z. Karzi. n RAHMAT SUDIRMAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008
Sebagai penyair, Udo tidak hendak mengeksplorasi bahasa Lampung atau mencari diksi-diksi Lampung yang bernilai rasa tinggi. Bagi Udo, bahasa ujaran sehari-hari bahkan bahasa gaulnya Lampung juga bisa dijadikan sarana berpuisi. Dan ini yang dilakukan Udo Z. Karzi.
Kesadaran berkarya ini yang membuat sejumlah pengamat sastra Lampung menyatakan Udo Karzi membebaskan diri dari keketatan bentuk--bait, rima, maupun baris--sastra tradisional Lampung semacam pattun/segata/adi-adi atau paradinei/paghadini.
Kita baca pattun berjudul Bukundang Kalah Sahing (Pacaran Kalah Saingan) yang biasa dibawakan dalam acara-acara muda mudi: Numpang pai nanom peghing/Titanom banjagh capa/Numpang pai ngulih-ulih/Jama kutti sai dija//Adek kesaka dija/Kuliak nambi dibbi/Adek gelagh ni sapa/Nyin mubangik ngughau ni// Budaghak dipa dinyak/Pullan tuha mak lagi/Bukundang dipa dinyak/Anak tuha mak lagi//(wikipedia).
Pantun yang memiliki struktur bunyi teratur ini (a-b-a-b) dengan pola khas dua baris sampiran dua baris isi ini mencirikan keunikan tradisi lisan Lampung. Ada kelincahan berujar, ekspresif, dan kata-kata singkat dalam aliran irama yang cepat.
Ciri ini yang membuat penyair Isbedy Stiawan Z.S. menyatakan sastra Lampung itu mengandalkan lisan, anonim, erat kaitannya dengan kebiasaan, tradisi, dan adat-istiadat. "Sastra Lampung itu bertutur, tidak ada yang tertulis. Harus ada yang membatasi dan menghentikannya kalau orang atau penyair sedang menuturkannya. Susah berhenti," ujar Isbedy kepada Lampung Post, Jumat (27-6).
Sayangnya, sifat-sifat kesusastraan Lampung ini tidak terlihat dalam karya sastra modern Lampung, khususnya puisi. Begitu juga pada Mak Dawah Mak Dibingi. Padahal, ciri-ciri inilah yang menghadirkan keunikan tersendiri.
Namun sayang, hingga kini potensi tersebut belum mentas secara nasional.
Jika keluar dari bentuk, puisi juga tidak terlepas dari resapan-resapan estetis yang terbangun dari citraan-citraan, metafor, imaji, maupun refleksi si penyair. Ia bisa dibangun dari sebuah nilai, kesadaran pada sebuah ideologi, atau penyikapan budaya--meminjam istilah penyair Iswadi Pratama pada komentarnya di antologi Operasi Kebun Lada karya Y. Wibowo (matakata; 2005).
Dalam konteks ini, "Lampung" bisa dimaknai sebagai perspektif atau paradigma berkarya. "Lampung" sebagai paradigma menjadi jiwa dalam karya atau budaya--jika disandingkan dengan masyarakat.
Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni Julizarsyah yang terbit di rubrik "sajak" Lampung Post hari ini, misalnya, terasa kental dengan "Lampung" sebagai jiwa dalam karya. Atau sajak Ziarah Muasal-nya Ramdhoni: tujuh manusia loreng emas/terpekur di makam kuno//para punggawa halus bersetia/sejak ratusan abad tertakluknya tanah ini/mitologi silang sengkarut/menghablur dari masa yang tak tercatat//di tempat leluhur menutup mata terakhir kali/sudah masanya menziarahi waktu/beramah tamah dengan/moyang dan para sahabat/untuk menjumpai hakikat kita//
Bahwa puisi juga curahan kesadaran, bukan sebatas "rasa" yang bergetar ketika bersentuhan dengan sesuatu, yang tremendum, tampaknya juga tidak bisa diabaikan. Jika Iswadi Pratama berharap Udo Z. Karzi menjadi penanda bangkitnya susastra Lampung, mungkin saja capaian-capaian estetis dalam karya, seperti disampaikan direktur artistik Teater Satu ini, ada benarnya menjadi kesadaran seorang Udo Z. Karzi. n RAHMAT SUDIRMAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008
Apresiasi: 'Mak Dawah Mak Dibingi', Persembahan Seorang Udo Z. Karzi
UDO Z. Karzi membuka babakan baru kesusastraan Lampung. Penyair kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970 ini menerima hadiah Sastra Rancage 2008 atas puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku Mak Dawah Mak Dibingi, terbitan BE Press, Bandar Lampung, 2007. Akankah ini menjadi tonggak pengembangan sastra dan budaya Lampung ke depan? Akankah Udo Karzi terus menabalkan diri sebagai "penyair Lampung" di tengah peta susastra Indonesia, mungkin dunia?
"Ke depan, sajak karya Udo bisa mendorong para pengarang muda lainnya lebih peduli pada bahasa ibu dalam berkarya." Demikian sambutan Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi pada acara penyerahan penghargaan Sastra Rancage 2008 di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 14 Juni lalu.
Pemberian hadiah untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali ini yang pertama. Hadiah itu jatuh pada 50 puisi berbahasa Lampung karya Udo Karzi yang terbukukan dalam Mak Dawah Mak Dibingi.
Udo tercatat sebagai sastrawan pertama di luar Jawa dan Bali yang mendapat hadiah tersebut sejak Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan pada 1989. Semula Rancage hanya memberikan hadiah pada sastrawan Sunda. Mulai tahun 1994, anugerah diberikan pada sastrawan yang menulis karya dengan bahasa Jawa. Lalu, tahun 1997 diberikan pada sastrawan Bali.
"Saya sebagai warga Lampung sangat bangga karena bisa mewakili daerah menerima Hadiah Sastra Rancage," ujar lelaki kelahiran Lampung 38 tahun silam, yang kini tengah ditugaskan sebagai redaktur Borneo News (grup Lampung Post), Kalimantan Tengah.
Selain Udo, ada tiga sastrawan lain yang menerima penghargaan Rancage yang sudah berlangsung selama 20 tahun, yakni Godi Suwarna (karya berbahasa Sunda berjudul Sandekala), Turiyo Ragilputra (karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul), dan I Nyoman Manda (karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-kayang).
Penghargaan serupa juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali atau disebut Bali Simbar.
Karena keterbatasan dana, Ajip mengatakan untuk Lampung hadiah hanya diberikan untuk karya. Ke depan, Ajip berharap bisa memberikan hadiah untuk orang atau lembaga yang berjasa melestarikan dan mengembangkan bahasa Lampung.
Bukan Lagi Wacana
Udo memang bukan yang pertama menggaungkan sastra Lampung. Namun, untuk sastra Lampung modern, Udo yang konsisten menulis sajak berbahasa Lampung ini adalah penyair pertama yang diakui lembaga berkompeten sekelas Rancage. Untuk konteks pengembangan sastra-budaya Lampung, keseriusan Udo Z. Karzi setidaknya bisa disejajarkan dengan Masnuna (sastra lisan), Harry Jayaningrat (seni tari), dan para seniman tradisi lainnya seperti Sapril Yamin.
Jejak kepenyairan Udo Z. Karzi setidaknya dimulai ketika ia kuliah di FISIP Unila era 90-an. Udo mewarnai geliat sastra kampus bersama Iswadi Pratama, Ahmad Julden Erwin, dan Panji Utama.
Kesadaran Udo pada khazanah Lampung bisa dipahami, setidaknya jika melihat latar belakangnya sebagai putra asli Liwa. Namun, puisi-puisi yang ditulisnya dalam bahasa Lampung bukanlah sebuah pilihan tanpa alasan apalagi sebatas asal beda. Etnik-etnikan biar dibilang paham cultural studies dan sebagainya. Bagi Udo, ini adalah pilihan atas nama kesadaran yang berhadap-hadapan dengan globalisasi.
Kesadaran ini juga yang mengantar Udo Karzi serius menelurkan puisi-puisi berbahasa Lampung seperti yang diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tahun 2002 melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung. Ada 25 puisi Udo dalam antologi berjudul Momentum itu.
Energi kreatif Udo juga yang kemudian mempertemukannya dengan penyair Budi Hutasuhut dan Y. Wibowo. Berangkat dari kesamaan visi, akhirnya puisi-puisi berbahasa Lampung Udo Karzi diterbitkan dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi. Dari sinilah jejak susatra Lampung di ranah sastra nasional mulai ditapai Udo Karzi hingga 14 Juni lalu ia menerima penghargaan Sastra Rancage 2008.
Diakui penikmat sastra Kuswinarto (puitika.Net), penghargaan Sastra Rancage 2008 yang diraih Udo Z. Karzi menghapus gugatannya selama ini tentang keberadaan sastrawan Lampung yang konsisten dengan khazanah lokal. Dan ini membuktikan sastra Lampung bukan lagi wacana di tangan Udo Z. Karzi!
Pencapaian Estetik
Harapan--juga tanggung jawab--pada Udo Karzi pun bergulir. Anugerah Sastra Rancage 2008 adalah awal, bukan akhir perjalanan Udo Karzi. Apalagi susatra Lampung. Muncul harapan agar Udo Karzi tidak sebatas menelurkan karya-karya berbahasa Lampung. Lebih dari itu, Udo harus menandai jagat kesusatraan lokal di negeri ini.
Harapan ini disampaikan penyair cum teaterwan Iswadi Pratama. Saat diskusi di kantor harian ini, Selasa (24-6) malam, Iswadi menyatakan Udo Karzi bisa menandai jagat kesusastraan daerah lewat karya-karyanya. Rancage 2008, sekali lagi, adalah awal yang baik bagi penyair-penyair atau sastrawan Lampung mengukuhkan diri dalam jagat sastra.
Bagi Iswadi, Udo tidak cukup hanya "berpuisi dengan bahasa". Udo juga tidak cukup cuma berkarya dengan bahasa Lampung. Yang lebih penting, Udo harus menemukan capaian-capaian estetik hingga puisinya memiliki kekhasan dan kekuatan sebagai karya sastra itu sendiri. Tidak cukup sebagai puisi berbahasa Lampung.
Dengan sedikit "provokatif", Iswadi yang notabene sejawat Udo saat di Unila maupun ketika aktif di Sumatera Post dan Lampung Post berkata demikian: Udo harus berpikir di tengah konstelasi kesusastraan dunia! Mengapa tidak!
Penyair yang dijuluki Paus Sastra Lampung, Isbedy Stiawan Z.S. pun berharap serupa. Rancage 2008 bukan capaian akhir, ini adalah pembuka bagi penyair-penyair lain di daerah ini serius berkarya. Dan ini adalah pilihan.
Berkarya adalah pilihan. Bagi Isbedy, sangat naif jika penyair seperti dia maupun Iswadi tiba-tiba berkarya dalam bahasa Lampung hanya untuk meneruskan tradisi Rancage. Ini sulit dilakukan apalagi mereka juga dikenal di ranah sastra nasional sebagai penyair yang memiliki "bahasa" dan gaya berpuisi sendiri.
Masalah ini disadari Direktur BE Press Y. Wibowo. Baik sebagai penerbit maupun penyair, Wibowo mengakui sulit mencari penyair yang konsisten berkarya dengan bahasa Lampung. Ini harus dilawan karena anugerah Rancage 2008 yang diterima Udo Karzi "menuntut" sastrawan Lampung menelurkan karya-karyanya dalam bahasa Lampung.
Bagaimanapun, Wibowo menilai Rancage 2008 adalah momentum yang baik bagi pengembangan sastra Lampung. Pertama, di tengah globalisasi ini, ia melihat Rancage adalah lembaga kompeten yang pertama mengembangkan sastra dan budaya daerah. Di tangan sastrawan Ajip Rosidi, Rancage menjadi lembaga yang mampu mengangkat sastra daerah sebagai "bagian sah" kesusastraan di negeri ini.
Kedua, karya-karya berbahasa Lampung apa pun juga harus diciptakan. Jika tidak, sastra-budaya Lampung berhadapan dengan kematian. Langkah Udo Karzi adalah sesuatu yang berarti bagi susastra Lampung.
Ketiga, Wibowo melihat pengembangan sastra daerah harus dibarengi dengan strategi kebudayaan tidak bisa bergerak tanpa konsep atau tanpa arah yang jelas. n MAT/*/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008
"Ke depan, sajak karya Udo bisa mendorong para pengarang muda lainnya lebih peduli pada bahasa ibu dalam berkarya." Demikian sambutan Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi pada acara penyerahan penghargaan Sastra Rancage 2008 di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 14 Juni lalu.
Pemberian hadiah untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali ini yang pertama. Hadiah itu jatuh pada 50 puisi berbahasa Lampung karya Udo Karzi yang terbukukan dalam Mak Dawah Mak Dibingi.
Udo tercatat sebagai sastrawan pertama di luar Jawa dan Bali yang mendapat hadiah tersebut sejak Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan pada 1989. Semula Rancage hanya memberikan hadiah pada sastrawan Sunda. Mulai tahun 1994, anugerah diberikan pada sastrawan yang menulis karya dengan bahasa Jawa. Lalu, tahun 1997 diberikan pada sastrawan Bali.
"Saya sebagai warga Lampung sangat bangga karena bisa mewakili daerah menerima Hadiah Sastra Rancage," ujar lelaki kelahiran Lampung 38 tahun silam, yang kini tengah ditugaskan sebagai redaktur Borneo News (grup Lampung Post), Kalimantan Tengah.
Selain Udo, ada tiga sastrawan lain yang menerima penghargaan Rancage yang sudah berlangsung selama 20 tahun, yakni Godi Suwarna (karya berbahasa Sunda berjudul Sandekala), Turiyo Ragilputra (karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul), dan I Nyoman Manda (karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-kayang).
Penghargaan serupa juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali atau disebut Bali Simbar.
Karena keterbatasan dana, Ajip mengatakan untuk Lampung hadiah hanya diberikan untuk karya. Ke depan, Ajip berharap bisa memberikan hadiah untuk orang atau lembaga yang berjasa melestarikan dan mengembangkan bahasa Lampung.
Bukan Lagi Wacana
Udo memang bukan yang pertama menggaungkan sastra Lampung. Namun, untuk sastra Lampung modern, Udo yang konsisten menulis sajak berbahasa Lampung ini adalah penyair pertama yang diakui lembaga berkompeten sekelas Rancage. Untuk konteks pengembangan sastra-budaya Lampung, keseriusan Udo Z. Karzi setidaknya bisa disejajarkan dengan Masnuna (sastra lisan), Harry Jayaningrat (seni tari), dan para seniman tradisi lainnya seperti Sapril Yamin.
Jejak kepenyairan Udo Z. Karzi setidaknya dimulai ketika ia kuliah di FISIP Unila era 90-an. Udo mewarnai geliat sastra kampus bersama Iswadi Pratama, Ahmad Julden Erwin, dan Panji Utama.
Kesadaran Udo pada khazanah Lampung bisa dipahami, setidaknya jika melihat latar belakangnya sebagai putra asli Liwa. Namun, puisi-puisi yang ditulisnya dalam bahasa Lampung bukanlah sebuah pilihan tanpa alasan apalagi sebatas asal beda. Etnik-etnikan biar dibilang paham cultural studies dan sebagainya. Bagi Udo, ini adalah pilihan atas nama kesadaran yang berhadap-hadapan dengan globalisasi.
Kesadaran ini juga yang mengantar Udo Karzi serius menelurkan puisi-puisi berbahasa Lampung seperti yang diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tahun 2002 melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung. Ada 25 puisi Udo dalam antologi berjudul Momentum itu.
Energi kreatif Udo juga yang kemudian mempertemukannya dengan penyair Budi Hutasuhut dan Y. Wibowo. Berangkat dari kesamaan visi, akhirnya puisi-puisi berbahasa Lampung Udo Karzi diterbitkan dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi. Dari sinilah jejak susatra Lampung di ranah sastra nasional mulai ditapai Udo Karzi hingga 14 Juni lalu ia menerima penghargaan Sastra Rancage 2008.
Diakui penikmat sastra Kuswinarto (puitika.Net), penghargaan Sastra Rancage 2008 yang diraih Udo Z. Karzi menghapus gugatannya selama ini tentang keberadaan sastrawan Lampung yang konsisten dengan khazanah lokal. Dan ini membuktikan sastra Lampung bukan lagi wacana di tangan Udo Z. Karzi!
Pencapaian Estetik
Harapan--juga tanggung jawab--pada Udo Karzi pun bergulir. Anugerah Sastra Rancage 2008 adalah awal, bukan akhir perjalanan Udo Karzi. Apalagi susatra Lampung. Muncul harapan agar Udo Karzi tidak sebatas menelurkan karya-karya berbahasa Lampung. Lebih dari itu, Udo harus menandai jagat kesusatraan lokal di negeri ini.
Harapan ini disampaikan penyair cum teaterwan Iswadi Pratama. Saat diskusi di kantor harian ini, Selasa (24-6) malam, Iswadi menyatakan Udo Karzi bisa menandai jagat kesusastraan daerah lewat karya-karyanya. Rancage 2008, sekali lagi, adalah awal yang baik bagi penyair-penyair atau sastrawan Lampung mengukuhkan diri dalam jagat sastra.
Bagi Iswadi, Udo tidak cukup hanya "berpuisi dengan bahasa". Udo juga tidak cukup cuma berkarya dengan bahasa Lampung. Yang lebih penting, Udo harus menemukan capaian-capaian estetik hingga puisinya memiliki kekhasan dan kekuatan sebagai karya sastra itu sendiri. Tidak cukup sebagai puisi berbahasa Lampung.
Dengan sedikit "provokatif", Iswadi yang notabene sejawat Udo saat di Unila maupun ketika aktif di Sumatera Post dan Lampung Post berkata demikian: Udo harus berpikir di tengah konstelasi kesusastraan dunia! Mengapa tidak!
Penyair yang dijuluki Paus Sastra Lampung, Isbedy Stiawan Z.S. pun berharap serupa. Rancage 2008 bukan capaian akhir, ini adalah pembuka bagi penyair-penyair lain di daerah ini serius berkarya. Dan ini adalah pilihan.
Berkarya adalah pilihan. Bagi Isbedy, sangat naif jika penyair seperti dia maupun Iswadi tiba-tiba berkarya dalam bahasa Lampung hanya untuk meneruskan tradisi Rancage. Ini sulit dilakukan apalagi mereka juga dikenal di ranah sastra nasional sebagai penyair yang memiliki "bahasa" dan gaya berpuisi sendiri.
Masalah ini disadari Direktur BE Press Y. Wibowo. Baik sebagai penerbit maupun penyair, Wibowo mengakui sulit mencari penyair yang konsisten berkarya dengan bahasa Lampung. Ini harus dilawan karena anugerah Rancage 2008 yang diterima Udo Karzi "menuntut" sastrawan Lampung menelurkan karya-karyanya dalam bahasa Lampung.
Bagaimanapun, Wibowo menilai Rancage 2008 adalah momentum yang baik bagi pengembangan sastra Lampung. Pertama, di tengah globalisasi ini, ia melihat Rancage adalah lembaga kompeten yang pertama mengembangkan sastra dan budaya daerah. Di tangan sastrawan Ajip Rosidi, Rancage menjadi lembaga yang mampu mengangkat sastra daerah sebagai "bagian sah" kesusastraan di negeri ini.
Kedua, karya-karya berbahasa Lampung apa pun juga harus diciptakan. Jika tidak, sastra-budaya Lampung berhadapan dengan kematian. Langkah Udo Karzi adalah sesuatu yang berarti bagi susastra Lampung.
Ketiga, Wibowo melihat pengembangan sastra daerah harus dibarengi dengan strategi kebudayaan tidak bisa bergerak tanpa konsep atau tanpa arah yang jelas. n MAT/*/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008
June 28, 2008
Konservasi Satwa: Lima Harimau Sumatera Diterbangkan ke Lampung
Bandar Lampung, Kompas - Departemen Kehutanan melalui Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan memindahkan lima harimau sumatera atau Panthera tigris sumatrae dan seekor buaya dari Nanggroe Aceh Darussalam ke Lampung. Keenam satwa itu dipindahkan ke Kampung Pengekahan, Desa Way Haru, Kecamatan Tampang Belimbing, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan Tonny Soehartono pada acara pemindahan satwa di area Kargo Bandar Udara Raden Intan, Branti, Lampung, Jumat (27/6), mengatakan, kelima harimau itu merupakan tangkapan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nanggroe Aceh Darussalam enam bulan lalu. Harimau-harimau turun ke permukiman manusia karena habitatnya rusak.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Kurnia Rauf mengatakan, berdasarkan survei, hutan di Tampang Belimbing masih alami dan cocok sebagai habitat baru harimau. Di tempat itu masih banyak kijang, rusa, ataupun babi hutan.
Pesawat Hercules sewaan menerbangkan keenam satwa itu selama 3,5 jam. Satwa-satwa tersebut tiba di Lampung pukul 10.30 dan selanjutnya menuju Tampang Belimbing, dalam tiga shift, dengan pesawat Hercules milik TNI yang berukuran lebih kecil. Pemindahan keenam satwa itu disponsori Taman Safari Indonesia dan Artha Graha Peduli.
Dokter hewan Bongot, salah seorang anggota tim dokter hewan, mengatakan, kelima harimau itu berumur 4-9 tahun dan dalam kondisi sehat.
Menurut Tonny, di Tampang Belimbing harimau tidak langsung dilepasliarkan, tetapi akan terlebih dahulu ditempatkan di dua kandang untuk beradaptasi.
Menurut informasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), harimau sumatera masuk dalam appendix I atau peringkat dengan kekritisan tinggi. Populasi satwa itu di hutan tropis Sumatera diperkirakan tinggal 350-400 ekor. (hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan Tonny Soehartono pada acara pemindahan satwa di area Kargo Bandar Udara Raden Intan, Branti, Lampung, Jumat (27/6), mengatakan, kelima harimau itu merupakan tangkapan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nanggroe Aceh Darussalam enam bulan lalu. Harimau-harimau turun ke permukiman manusia karena habitatnya rusak.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Kurnia Rauf mengatakan, berdasarkan survei, hutan di Tampang Belimbing masih alami dan cocok sebagai habitat baru harimau. Di tempat itu masih banyak kijang, rusa, ataupun babi hutan.
Pesawat Hercules sewaan menerbangkan keenam satwa itu selama 3,5 jam. Satwa-satwa tersebut tiba di Lampung pukul 10.30 dan selanjutnya menuju Tampang Belimbing, dalam tiga shift, dengan pesawat Hercules milik TNI yang berukuran lebih kecil. Pemindahan keenam satwa itu disponsori Taman Safari Indonesia dan Artha Graha Peduli.
Dokter hewan Bongot, salah seorang anggota tim dokter hewan, mengatakan, kelima harimau itu berumur 4-9 tahun dan dalam kondisi sehat.
Menurut Tonny, di Tampang Belimbing harimau tidak langsung dilepasliarkan, tetapi akan terlebih dahulu ditempatkan di dua kandang untuk beradaptasi.
Menurut informasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), harimau sumatera masuk dalam appendix I atau peringkat dengan kekritisan tinggi. Populasi satwa itu di hutan tropis Sumatera diperkirakan tinggal 350-400 ekor. (hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008
June 26, 2008
Sastra: Rancage untuk Lampung
SASTRAWAN asal Lampung Zulkarnain Zubairi mendapat Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk kumpulan sajak Mak Dawah Mak Dibingi, kemarin. Penulis yang selalu mencantumkan nama Udo Z Karzi, dalam karyanya itu menerima penghargaan yang diserahkan di Kampus Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat.
Hadiah Rancage untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali diberikan yang pertama kali. Sebelumnya, penghargaan diberikan hanya untuk karya sastra dari Bali, Jawa, dan Sunda.
"Sebagai warga Lampung, saya bangga terpilih menerima Hadiah Rancage," ujar Zulkarnain, yang juga Redaktur Harian Umum Borneo News, di Kalimantan Tengah ini.
Piagam Rancage diserahkan Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage H S Kartadjoemena. Kegiatan juga dimeriahkan tarian tradisional Sunda, Bali, Jawa, Lampung, dan tarian Jepang.
Rektor Unpad Ganjar Kurnia, tokoh Sunda Erry Riyana Hardjapamekas, dan berbagai utusan budaya dari sejumlah provinsi di Indonesia ikut hadir.
Hadiah Rancage adalah penghargaan yang sangat prestisius bagi sastrawan berbahasa ibu. Yayasan yang dimotori seniman dan budayawan Ajip Rosidi ini memberi penghargaan setiap tahun sejak 1989. (EM/IK/N-4).
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 Juni 2008
Hadiah Rancage untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali diberikan yang pertama kali. Sebelumnya, penghargaan diberikan hanya untuk karya sastra dari Bali, Jawa, dan Sunda.
"Sebagai warga Lampung, saya bangga terpilih menerima Hadiah Rancage," ujar Zulkarnain, yang juga Redaktur Harian Umum Borneo News, di Kalimantan Tengah ini.
Piagam Rancage diserahkan Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage H S Kartadjoemena. Kegiatan juga dimeriahkan tarian tradisional Sunda, Bali, Jawa, Lampung, dan tarian Jepang.
Rektor Unpad Ganjar Kurnia, tokoh Sunda Erry Riyana Hardjapamekas, dan berbagai utusan budaya dari sejumlah provinsi di Indonesia ikut hadir.
Hadiah Rancage adalah penghargaan yang sangat prestisius bagi sastrawan berbahasa ibu. Yayasan yang dimotori seniman dan budayawan Ajip Rosidi ini memberi penghargaan setiap tahun sejak 1989. (EM/IK/N-4).
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 Juni 2008
Sastra: Penghargaan Rancage 2008 Motivasi Penyair Lokal
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mak Dawah Mak Dibingi ala Udo Z. Karzi, nama pena Zulkarnain Zubairi, mengambil bentuk puisi modern yang dituturkan dengan bahasa Lampung. Karya yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2008 itu dipersembahkan sebagai pintu masuk bagi para penyair lokal agar gemar menggeluti sastra Lampung.
Demikian diungkapkan Redaktur Borneonews (grup Lampung Post) itu pada dialog budaya yang digelar di harian umum Lampung Post Selasa (24-6) malam. Kumpulan 50 puisi tersebut adalah jawaban atas minimnya penyair lokal, bahkan orang Lampung sekalipun, yang berminat menggali dan mengangkat potensi bahasa, sastra atau aksara Lampung, ke pentas nasional.
"Orang Lampung itu sebenarnya sambil lalu-lalang saja: Bertemu antara dua orang, bertegur sapa, sindir-sindiran, sebenarnya bisa bersastra. Kalau tahu seperti itu, saya mungkin tidak akan sanggup menulis puisi ini," tutur Zulkarnain.
Puisi-puisi yang diciptakan dalam rentang waktu 1987-2004 itu, menurut dia, memakai bahasa sehari-hari saja. "Pakai bahasa Lampung yang sambil lalu saja, malah bisa dibilang bahasa gaulnya."
"Ini karya kontemporer yang berbahasa Lampung. Mengedepankan isi, tanpa terlalu mementingkan kerangkanya," ujar Pemimpin Umum Harian Lampung Post Bambang Eka Wijaya. Pemimpin Redaksi Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan karya lokal kini harus mendapat perhatian lebih di tengah-tengah desakan arus globalisasi.
'Paus Sastra Lampung' Isbedy Stiawan berharap karya puisi seperti ini tidak hanya lahir dari dialek a (api) saja tetapi juga dialek o (nyow). "Untuk penghargaan ke depan, baiknya muncul juga puisi yang dari Pepadun."
Pemerhati seni dan budaya Anshori Djausal menilai puisi berbahasa Lampung lama-kelamaan akan diminati jika cara membaca dan pelafalannya dipahami dengan baik. Maklum saja, jangankan hendak bersastra Lampung, berbahasa Lampung sehari-hari saja sudah sangat jarang dilakukan orang pribumi sendiri.
Lebih jauh lagi Iswadi Pratama menginginkan para penyair lokal, Udo Z. Karzi khususnya, tidak sekadar menulis puisi dalam bahasa Lampung. "Tapi juga harus bisa menggenggam tafsirnya. Jika harus dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, jangan sampai kekuatan isinya sebagai sastra Lampung itu hilang!"
Raihan Rancage 2008 ini merupakan penghargaan yang pertama bagi penyair dari provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu. Dan mulai tahun ini, Yayasan Kebudayaan Rancage akan memberikah Rancage untuk sastrawan Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. n Yoso Muliawan/U-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Juni 2008
Demikian diungkapkan Redaktur Borneonews (grup Lampung Post) itu pada dialog budaya yang digelar di harian umum Lampung Post Selasa (24-6) malam. Kumpulan 50 puisi tersebut adalah jawaban atas minimnya penyair lokal, bahkan orang Lampung sekalipun, yang berminat menggali dan mengangkat potensi bahasa, sastra atau aksara Lampung, ke pentas nasional.
"Orang Lampung itu sebenarnya sambil lalu-lalang saja: Bertemu antara dua orang, bertegur sapa, sindir-sindiran, sebenarnya bisa bersastra. Kalau tahu seperti itu, saya mungkin tidak akan sanggup menulis puisi ini," tutur Zulkarnain.
Puisi-puisi yang diciptakan dalam rentang waktu 1987-2004 itu, menurut dia, memakai bahasa sehari-hari saja. "Pakai bahasa Lampung yang sambil lalu saja, malah bisa dibilang bahasa gaulnya."
"Ini karya kontemporer yang berbahasa Lampung. Mengedepankan isi, tanpa terlalu mementingkan kerangkanya," ujar Pemimpin Umum Harian Lampung Post Bambang Eka Wijaya. Pemimpin Redaksi Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan karya lokal kini harus mendapat perhatian lebih di tengah-tengah desakan arus globalisasi.
'Paus Sastra Lampung' Isbedy Stiawan berharap karya puisi seperti ini tidak hanya lahir dari dialek a (api) saja tetapi juga dialek o (nyow). "Untuk penghargaan ke depan, baiknya muncul juga puisi yang dari Pepadun."
Pemerhati seni dan budaya Anshori Djausal menilai puisi berbahasa Lampung lama-kelamaan akan diminati jika cara membaca dan pelafalannya dipahami dengan baik. Maklum saja, jangankan hendak bersastra Lampung, berbahasa Lampung sehari-hari saja sudah sangat jarang dilakukan orang pribumi sendiri.
Lebih jauh lagi Iswadi Pratama menginginkan para penyair lokal, Udo Z. Karzi khususnya, tidak sekadar menulis puisi dalam bahasa Lampung. "Tapi juga harus bisa menggenggam tafsirnya. Jika harus dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, jangan sampai kekuatan isinya sebagai sastra Lampung itu hilang!"
Raihan Rancage 2008 ini merupakan penghargaan yang pertama bagi penyair dari provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu. Dan mulai tahun ini, Yayasan Kebudayaan Rancage akan memberikah Rancage untuk sastrawan Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. n Yoso Muliawan/U-2
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Juni 2008
June 24, 2008
Opini: Peranan DKL dalam Pengembangan Kesenian (di) Lampung
-- Isbedy Stiawan Z.S.*
DEWAN Kesenian Lampung (DKL), sebagaimana dewan kesenian yang tersebar hampir di setiap daerah di Tanah Air, dibentuk atas dasar Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5.A Tahun 1993 untuk membantu pemerintah memajukan dan mengembangkan (kegiatan) kesenian.
Di Lampung, DKL dibentuk dan pengurusnya dikukuhkan Gubernur Lampung--saat itu--Poedjono Pranjoto pada September 1993. Artinya, DKL saat ini sudah mendekati usia 15 tahun. Ibarat manusia, tengah meminang masa remaja. Tetapi untuk ukuran suatu organisasi, usia tersebut sudah (seharusnya) banyak yang telah dikerjakan.
Hanya saja, persoalan kesenian sekaligus mengurus kegiatan kesenian di negara yang kurang memiliki sense of culture terlihat bukan saja minimnya gedung pertunjukan seni, namun juga political will pemerintah bagi kemajuan kesenian dan nasib seniman yang sangat kurang. Dampak itu sangat terasa di tubuh Dewan Kesenian yang notabene sebagai perpanjangan tangan pemerintah karena dikukuhkan dan didanai pemerintah.
Era Soekarno, banyak buku sastra dan budaya di luar Lekra diberangus, para seniman/budayawan pencetus Manikebu diburu dan dimasukkan ke bui. Sikap pemerintahan Orde Lama seakan berlanjut pada era Soeharto: kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, saat itu, para pakar budaya berulang mengusulkan masalah kebudayaaan hendaknya diurus departemen tersendiri.
Sampai Soeharto diturunkan "paksa" oleh gerakan reformasi pada 1998, Departemen Kebudayaan yang dipimpin seorang menteri sebagaimana diharapkan para pakar budaya tidak pernah terlahir dari rahim Orde Baru. Bahkan, sejarah mencatat, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa masalah kebudayaan dimarginalkan.
Sikap represif pemerintahan Soeharto terhadap keberlangsungan kesenian sangat terasa. Banyak seniman diburu dan dicekal, tak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan.
Sejak era Soeharto pula, kalau tak salah, kebudayaan disatukan dengan pariwisata yang dikepalai seorang menteri: Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan--di dalamnya kesenian, adat istiadat, dll.--dipandang tak lebih sebagai kata benda. Maka kebudayaan didekati dengan teknik "penyelamatan budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.
Kebudayaan, pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara. Apabila hasil kebudayaan tak mampu dijual di pasar pariwisata dengan sendirinya akan mati--atau sekadar dilestarikan. Akibatnya, kesenian tradisi, bagaimana upayanya direvitalisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan mancanegara. Terutama sekali kesenian tradisi di Bali dan daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata (DTW) diangkat hanya untuk dijual di depan para bule yang dikemas melalui festival-festival (dan pekan) kesenian setiap tahun dengan anggaran (APBD) yang tak kecil pula dikucurkan. Belum lagi, di dalamnya, kesenian-kesenian yang diperlombakan atau dipertandingkan.
Sehingga kesenian (karya seni) yang serius dan yang dinilai mencerahkan kalau tidak dibiarkan hidup sendiri maka akan dikucilkan. Terutama kesenian semacam teater, seni rupa, dan sastra; jika tidak dibiarkan, tentulah dicurigai karena dinilai dapat mengganggu stabilitas negara. Padahal, apakah ada bukti bahwa karya seni mampu menggerakkan massa merongrong kekuasaan?
Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan (di dalamnya ada kesenian) akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Betapa pun, di saat daerah memiliki otonomi sendiri, ternyata kepercayaan yang dikasih setengah-tengah oleh pusat makin membuat segalanya tergantung "paket" dari pusat.
Jangan heran ketika Depdiknas memangkas Direktorat Kesenian dan menggabungkan ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah pun latah harus menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Bisa dibayangkan, 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak dididik di SMA yang dianggap potensial dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing pada kebudayaannya sendiri.
Pasalnya, sebagaimana sudah saya singgung di atas, Departemen (Kementerian) Kebudayaan dan Pariwisata hanya berpandangan bagaimana "menjual" kebudayaan di pasar pariwisata. Bukan menjadikan, sejatinya inilah yang diharapkan kita, kebudayaan sebagai transformasi nilai-nilai, norma, dan penanda.
Kebuadayaan massa menjadi cepat terserap dan diterima generasi muda--dari kalangan SMA--ketimbang pemahaman dan penghargaan (apresiasi) pada kebudayaan yang lahir dari rahim budaya-budaya yang beragam dan menjadi kebanggaan lantaran sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pemerintah pusat yang kurang peduli pada kebudayaan, kemudian "terpaketkan" ke daerah-daerah. Dari gubernur hingga bupati/wali kota terlihat sekali tidak memiliki rumusan strategi kebudayaan dan politik kebudayaan. Hal ini bisa dibuktikan berapa rupiah dikucurkan dari APBD untuk memfasilitasi, menghidupi, dan mengembangkan kesenian (kebudayaan) dibanding anggaran untuk politik.
Minimnya kepedulian pemerintah, dalam hal ini Pemprov Lampung, terhadap kesenian bisa dibuktikan di DKL, lembaga yang dibentuk untuk membantu gubernur dalam memajukan kesenian, nyatanya pernah tidak mendapat kucuran dana APBD beberapa tahun. Selain itu, pernah dianggarkan di dalam APBD tidak lebih Rp100 juta. Dengan dana sekecil itu, juga pengalaman dengan dana nol rupiah, DKL yang nyaris megap-megap hidupnya tetap melakukan "kewajibannya" mengembangkan kesenian di Lampung.
Memang pemerintah bukan "sinterklas", tapi kesenian bukan semata sebagai benda yang harus diukur dan dinilai dengan materi. Kesenian adalah juga harus dipandang sebagai karya kreasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai filosofi dan simbol-simbol (penanda)--atau meminjam seorang Ocatavio Pazz sebagai "suara lain" dari zaman--karenanya ia hanya bisa dihayati dalam pembelajaran proses "menjadi" sehingga tak mungkin dapat dihargai oleh materi (uang). Dus kesenian macam ini tidak akan memberi (menyumbang) bagi dunia pariwisata.
Di sinilah, sesungguhnya peran yang diambil--dilakoni--DKL dalam pengembangan kesenian (di) Lampung. DKL tidak melakukan apa yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan dan Taman Budaya, meskipun adakalanya bisa saja sama objeknya. Karena visi dan misi yang berbeda antara DKL dan instansi pemerintah yang juga mengurus bidang kesenian (kebudayaan), maka sasaran dan output bisa saja tidak sama. Sebab bila Dinas Kebudayaan dan Pariwisata--berpandangan--bagaimana kesenian (dan kebudayaan) mempunyai nilai jual di dunia wisata, sementara (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan beriorientasi kepada anak didik (SMA) sedangkan Taman Budaya mungkin menjadikan dirinya sebagai laboratorium kesenian, maka DKL akan menempatkan dirinya untuk fasilitator, katalisator, serta menyediakan "ruang" kreasi secara bebas dan independen.
DKL--terdiri dari 7 komite plus Penelitian dan Pengembangan (Litbang): Seni Rupa, Musik, Sastra, Film, Tari, Teater, dan Seni Tradisi--setiap tahun (anggaran) memproyeksikan kegiatan kesenian, baik tingkat Lampung, regional, maupun nasional. Selain itu menggadangkan program unggulan DKL seperti Lampung Arts Festival (Festival Kesenian Lampung) dan program unggulan komite.
Misalnya Komite Sastra pernah menghelat Kongres Cerpen Indonesia 3 Tahun 2003, Temu Penyair Se-Sumatera-Jawa-Bali, Temu Penyair Ujung Pulau. Di samping anugerah terhadap karya terbaik (puisi dan cerpen) tingkat nasional melalui Krakatau Award.
Kini yang sedang berlangsung Lomba Menulis Cerpen Mini Se-Provinsi Lampung--selain, tentu saja, penerbitan buku (antologi) cerpen dan puisi karya sastrawan Lampung. Sementara Komite Musik pernah mendatangkan musisi nasional dan luar negeri, kemudian Komite Seni Rupa menggagas Pameran Seni Rupa Se-Sumatera dan Se-Nasional. Di samping itu, Komite Tari pernah menggelar pertemuan koreografer nasional serta tetap mengembangkan seni tari di basis sendiri.
Komite Seni Tradisi, baru-baru ini, menggelar Lomba Berbalas Pantun dan meluncurkan CD/VCD sastra tutur (tradisi) Lampung. Sedangkan Komite Musik, selain pernah merilis album CD/VCD lagu-lagu Lampung dalam irama keroncong, dan kini tengah siap mengikuti Suraba Fill Musik (SFM), 18--22 Juni 2008.
Lalu Komite Teater melalui program pembinaannya dan pengembangan berupaya terus mencari (dan melahirkan?) bibit aktor dan sutradara dengan gelar festival teater dan monolog. Begitu pula Komite Film yang selain memproduksi film independen (indie), juga mengadakan Festival Film Indie (independen) dalam rangka mengembangkan dan memajukan minat para sineas muda di Lampung.
Lalu, bagaimana melihat seni (di) Lampung dalam peta seni di Indonesia? Bukan maksud hati "air laut asin sendiri", tetapi realitasnya bahwa kesenian (di) Lampung sudah diperhitungkan keberadaannya di kancah nasional. Sejumlah seniman Lampung dikenal di tingkat nasional—terlepas apakah itu merupakan bagian kerja pengembangan dari DKL ataukah berjuang secara individu, harus diakui bahwa DKL punya andil setidaknya menumbuhkan dan membuka ruang-ruang kreativitas individu seniman. Misalnya, sekadar menyebut beberapa nama seperti Subardjo, Salvator Yen Joenaedy, Joko Irianta, Pulung Swandaru, Eddy Suherli, Dana E. Rachmat, Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Achmad Zilalin, Imas Sobariah, Abdul Salam, M. Arman A.Z., Ibrahim (Boim), Budi P. Hutasuhut, Oyos Saroso H.N., Edy Samudra Kertagama, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Udo Z. Karzi, Y. Wibowo, Dahta Gautama, Sapril Yamin, Sutarko, I Nyomaan Arsana, M. Harri Jayaningrat, Ipung, Ponco Pujiraharto, Djuwita Novrida, Nani Rahayu, Gandung Hartadi, Rusli A. Syukur, Imas Sobariah, Liza, Achmad Jusmar, dan lain-lain.
Musim Anggur
Barangkali, tiga tahun belakangan, kesenian (di) Lampung tengah menikmati musim anggur. Semenjak daerah ini dipimpin Sjachroedin Z.P., dunia kesenian (kebudayaan) di daerah ini bagai memanen. Itu sebabnya, salah seorang kolega saya di eksekutif melontarkan gurauan: "enak ya sekarang seniman, sudah dapat uang saku, transportasi pun ditanggung, lalu jalan pun bersama Gubernur Sjachroedin."
Lontaran gurauan itu ketika rombongan seniman dari DKL dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) anjangsana ke Cirebon dan Banten. Gurauan teman saya di eksekutif itu, saya cuma menjawab: "Ya ada waktu, sekarang inilah, seniman (budayawan) diwonge oleh pemerintah, jangan hanya eksekutif dan olahragawan."
Mengelola lembaga kesenian semacam DKL memang harus ada strategi. Entah ini bagian dari strategi dan berpolitik (jangan dibaca bermain politik) para seniman Lampung, ketika mendapuk Syafariah Widianti (Atu Ayi)--kita tahu kakak Gubernur Sjachroedin--sebagai ketua umum DKL periode 2007--2010. Sebab sejak kepemimpinan Atu Ayi, selain anggaran DKL di APBD lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya, juga mendapat perhatian plus dari Pemprov Lampung. Inilah yang saya maksud musim anggur.
Mengelola kesenian (dan seniman) tentu berbeda mengurus organisasi lain karena "watak" seniman yang ditengarai "individualistis", "bebas", dan acap "sulit diorganiasi" (bukan sulit diatur). Akan tetapi, seniman mempunyai elan vital, tanggung jawab, dan kerap sampai lupa waktu jika dihadapkan suatu pekerjaan. Jelas ini modal tak ternilai untuk mendapatkan hasil kerja yang tak saja selesai melainkan sukses.
DKL ke depan, saya berharap, dapat merumuskan (rencana) strategi pengembangan kesenian yang lebih konkret, demi kemajuan berkesenian sekaligus seniman Lampung bik bagi daerah maupun nasional. Misalnya, lembaga ini dapat menciptakan "father-father" di masing-masing jurai (komite) seni. DKL juga berupaya mengusul dan meyakinkan Pemprov Lampung untuk memberi penghargaan bagi seniman (budayawan) berprestasi atau karena jasanya memberi inspirasi bagi kehidupan kesenian di Lampung.
Saya, sebenarnya menunggu, apa yang (akan) dilakukan DKL (juga MPAL, LKDL) terhadap seorang Udo Z. Karzi--penulis puisi berbahasa Lampung--yang dianugerahi Hadiah Sastera Rancage 2008 dari Yayasan Kebudayaan Rancage karena bukunya Mak Dawah Mak Dibingi di Bandung, 14 Juni 2008. Ternyata, sampai tulisan ini saya buat, tidak ada. ***
* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Juni 2008
DEWAN Kesenian Lampung (DKL), sebagaimana dewan kesenian yang tersebar hampir di setiap daerah di Tanah Air, dibentuk atas dasar Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5.A Tahun 1993 untuk membantu pemerintah memajukan dan mengembangkan (kegiatan) kesenian.
Di Lampung, DKL dibentuk dan pengurusnya dikukuhkan Gubernur Lampung--saat itu--Poedjono Pranjoto pada September 1993. Artinya, DKL saat ini sudah mendekati usia 15 tahun. Ibarat manusia, tengah meminang masa remaja. Tetapi untuk ukuran suatu organisasi, usia tersebut sudah (seharusnya) banyak yang telah dikerjakan.
Hanya saja, persoalan kesenian sekaligus mengurus kegiatan kesenian di negara yang kurang memiliki sense of culture terlihat bukan saja minimnya gedung pertunjukan seni, namun juga political will pemerintah bagi kemajuan kesenian dan nasib seniman yang sangat kurang. Dampak itu sangat terasa di tubuh Dewan Kesenian yang notabene sebagai perpanjangan tangan pemerintah karena dikukuhkan dan didanai pemerintah.
Era Soekarno, banyak buku sastra dan budaya di luar Lekra diberangus, para seniman/budayawan pencetus Manikebu diburu dan dimasukkan ke bui. Sikap pemerintahan Orde Lama seakan berlanjut pada era Soeharto: kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, saat itu, para pakar budaya berulang mengusulkan masalah kebudayaaan hendaknya diurus departemen tersendiri.
Sampai Soeharto diturunkan "paksa" oleh gerakan reformasi pada 1998, Departemen Kebudayaan yang dipimpin seorang menteri sebagaimana diharapkan para pakar budaya tidak pernah terlahir dari rahim Orde Baru. Bahkan, sejarah mencatat, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa masalah kebudayaan dimarginalkan.
Sikap represif pemerintahan Soeharto terhadap keberlangsungan kesenian sangat terasa. Banyak seniman diburu dan dicekal, tak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan.
Sejak era Soeharto pula, kalau tak salah, kebudayaan disatukan dengan pariwisata yang dikepalai seorang menteri: Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan--di dalamnya kesenian, adat istiadat, dll.--dipandang tak lebih sebagai kata benda. Maka kebudayaan didekati dengan teknik "penyelamatan budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.
Kebudayaan, pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara. Apabila hasil kebudayaan tak mampu dijual di pasar pariwisata dengan sendirinya akan mati--atau sekadar dilestarikan. Akibatnya, kesenian tradisi, bagaimana upayanya direvitalisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan mancanegara. Terutama sekali kesenian tradisi di Bali dan daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata (DTW) diangkat hanya untuk dijual di depan para bule yang dikemas melalui festival-festival (dan pekan) kesenian setiap tahun dengan anggaran (APBD) yang tak kecil pula dikucurkan. Belum lagi, di dalamnya, kesenian-kesenian yang diperlombakan atau dipertandingkan.
Sehingga kesenian (karya seni) yang serius dan yang dinilai mencerahkan kalau tidak dibiarkan hidup sendiri maka akan dikucilkan. Terutama kesenian semacam teater, seni rupa, dan sastra; jika tidak dibiarkan, tentulah dicurigai karena dinilai dapat mengganggu stabilitas negara. Padahal, apakah ada bukti bahwa karya seni mampu menggerakkan massa merongrong kekuasaan?
Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan (di dalamnya ada kesenian) akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Betapa pun, di saat daerah memiliki otonomi sendiri, ternyata kepercayaan yang dikasih setengah-tengah oleh pusat makin membuat segalanya tergantung "paket" dari pusat.
Jangan heran ketika Depdiknas memangkas Direktorat Kesenian dan menggabungkan ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah pun latah harus menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Bisa dibayangkan, 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak dididik di SMA yang dianggap potensial dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing pada kebudayaannya sendiri.
Pasalnya, sebagaimana sudah saya singgung di atas, Departemen (Kementerian) Kebudayaan dan Pariwisata hanya berpandangan bagaimana "menjual" kebudayaan di pasar pariwisata. Bukan menjadikan, sejatinya inilah yang diharapkan kita, kebudayaan sebagai transformasi nilai-nilai, norma, dan penanda.
Kebuadayaan massa menjadi cepat terserap dan diterima generasi muda--dari kalangan SMA--ketimbang pemahaman dan penghargaan (apresiasi) pada kebudayaan yang lahir dari rahim budaya-budaya yang beragam dan menjadi kebanggaan lantaran sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pemerintah pusat yang kurang peduli pada kebudayaan, kemudian "terpaketkan" ke daerah-daerah. Dari gubernur hingga bupati/wali kota terlihat sekali tidak memiliki rumusan strategi kebudayaan dan politik kebudayaan. Hal ini bisa dibuktikan berapa rupiah dikucurkan dari APBD untuk memfasilitasi, menghidupi, dan mengembangkan kesenian (kebudayaan) dibanding anggaran untuk politik.
Minimnya kepedulian pemerintah, dalam hal ini Pemprov Lampung, terhadap kesenian bisa dibuktikan di DKL, lembaga yang dibentuk untuk membantu gubernur dalam memajukan kesenian, nyatanya pernah tidak mendapat kucuran dana APBD beberapa tahun. Selain itu, pernah dianggarkan di dalam APBD tidak lebih Rp100 juta. Dengan dana sekecil itu, juga pengalaman dengan dana nol rupiah, DKL yang nyaris megap-megap hidupnya tetap melakukan "kewajibannya" mengembangkan kesenian di Lampung.
Memang pemerintah bukan "sinterklas", tapi kesenian bukan semata sebagai benda yang harus diukur dan dinilai dengan materi. Kesenian adalah juga harus dipandang sebagai karya kreasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai filosofi dan simbol-simbol (penanda)--atau meminjam seorang Ocatavio Pazz sebagai "suara lain" dari zaman--karenanya ia hanya bisa dihayati dalam pembelajaran proses "menjadi" sehingga tak mungkin dapat dihargai oleh materi (uang). Dus kesenian macam ini tidak akan memberi (menyumbang) bagi dunia pariwisata.
Di sinilah, sesungguhnya peran yang diambil--dilakoni--DKL dalam pengembangan kesenian (di) Lampung. DKL tidak melakukan apa yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan dan Taman Budaya, meskipun adakalanya bisa saja sama objeknya. Karena visi dan misi yang berbeda antara DKL dan instansi pemerintah yang juga mengurus bidang kesenian (kebudayaan), maka sasaran dan output bisa saja tidak sama. Sebab bila Dinas Kebudayaan dan Pariwisata--berpandangan--bagaimana kesenian (dan kebudayaan) mempunyai nilai jual di dunia wisata, sementara (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan beriorientasi kepada anak didik (SMA) sedangkan Taman Budaya mungkin menjadikan dirinya sebagai laboratorium kesenian, maka DKL akan menempatkan dirinya untuk fasilitator, katalisator, serta menyediakan "ruang" kreasi secara bebas dan independen.
DKL--terdiri dari 7 komite plus Penelitian dan Pengembangan (Litbang): Seni Rupa, Musik, Sastra, Film, Tari, Teater, dan Seni Tradisi--setiap tahun (anggaran) memproyeksikan kegiatan kesenian, baik tingkat Lampung, regional, maupun nasional. Selain itu menggadangkan program unggulan DKL seperti Lampung Arts Festival (Festival Kesenian Lampung) dan program unggulan komite.
Misalnya Komite Sastra pernah menghelat Kongres Cerpen Indonesia 3 Tahun 2003, Temu Penyair Se-Sumatera-Jawa-Bali, Temu Penyair Ujung Pulau. Di samping anugerah terhadap karya terbaik (puisi dan cerpen) tingkat nasional melalui Krakatau Award.
Kini yang sedang berlangsung Lomba Menulis Cerpen Mini Se-Provinsi Lampung--selain, tentu saja, penerbitan buku (antologi) cerpen dan puisi karya sastrawan Lampung. Sementara Komite Musik pernah mendatangkan musisi nasional dan luar negeri, kemudian Komite Seni Rupa menggagas Pameran Seni Rupa Se-Sumatera dan Se-Nasional. Di samping itu, Komite Tari pernah menggelar pertemuan koreografer nasional serta tetap mengembangkan seni tari di basis sendiri.
Komite Seni Tradisi, baru-baru ini, menggelar Lomba Berbalas Pantun dan meluncurkan CD/VCD sastra tutur (tradisi) Lampung. Sedangkan Komite Musik, selain pernah merilis album CD/VCD lagu-lagu Lampung dalam irama keroncong, dan kini tengah siap mengikuti Suraba Fill Musik (SFM), 18--22 Juni 2008.
Lalu Komite Teater melalui program pembinaannya dan pengembangan berupaya terus mencari (dan melahirkan?) bibit aktor dan sutradara dengan gelar festival teater dan monolog. Begitu pula Komite Film yang selain memproduksi film independen (indie), juga mengadakan Festival Film Indie (independen) dalam rangka mengembangkan dan memajukan minat para sineas muda di Lampung.
Lalu, bagaimana melihat seni (di) Lampung dalam peta seni di Indonesia? Bukan maksud hati "air laut asin sendiri", tetapi realitasnya bahwa kesenian (di) Lampung sudah diperhitungkan keberadaannya di kancah nasional. Sejumlah seniman Lampung dikenal di tingkat nasional—terlepas apakah itu merupakan bagian kerja pengembangan dari DKL ataukah berjuang secara individu, harus diakui bahwa DKL punya andil setidaknya menumbuhkan dan membuka ruang-ruang kreativitas individu seniman. Misalnya, sekadar menyebut beberapa nama seperti Subardjo, Salvator Yen Joenaedy, Joko Irianta, Pulung Swandaru, Eddy Suherli, Dana E. Rachmat, Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Achmad Zilalin, Imas Sobariah, Abdul Salam, M. Arman A.Z., Ibrahim (Boim), Budi P. Hutasuhut, Oyos Saroso H.N., Edy Samudra Kertagama, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Udo Z. Karzi, Y. Wibowo, Dahta Gautama, Sapril Yamin, Sutarko, I Nyomaan Arsana, M. Harri Jayaningrat, Ipung, Ponco Pujiraharto, Djuwita Novrida, Nani Rahayu, Gandung Hartadi, Rusli A. Syukur, Imas Sobariah, Liza, Achmad Jusmar, dan lain-lain.
Musim Anggur
Barangkali, tiga tahun belakangan, kesenian (di) Lampung tengah menikmati musim anggur. Semenjak daerah ini dipimpin Sjachroedin Z.P., dunia kesenian (kebudayaan) di daerah ini bagai memanen. Itu sebabnya, salah seorang kolega saya di eksekutif melontarkan gurauan: "enak ya sekarang seniman, sudah dapat uang saku, transportasi pun ditanggung, lalu jalan pun bersama Gubernur Sjachroedin."
Lontaran gurauan itu ketika rombongan seniman dari DKL dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) anjangsana ke Cirebon dan Banten. Gurauan teman saya di eksekutif itu, saya cuma menjawab: "Ya ada waktu, sekarang inilah, seniman (budayawan) diwonge oleh pemerintah, jangan hanya eksekutif dan olahragawan."
Mengelola lembaga kesenian semacam DKL memang harus ada strategi. Entah ini bagian dari strategi dan berpolitik (jangan dibaca bermain politik) para seniman Lampung, ketika mendapuk Syafariah Widianti (Atu Ayi)--kita tahu kakak Gubernur Sjachroedin--sebagai ketua umum DKL periode 2007--2010. Sebab sejak kepemimpinan Atu Ayi, selain anggaran DKL di APBD lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya, juga mendapat perhatian plus dari Pemprov Lampung. Inilah yang saya maksud musim anggur.
Mengelola kesenian (dan seniman) tentu berbeda mengurus organisasi lain karena "watak" seniman yang ditengarai "individualistis", "bebas", dan acap "sulit diorganiasi" (bukan sulit diatur). Akan tetapi, seniman mempunyai elan vital, tanggung jawab, dan kerap sampai lupa waktu jika dihadapkan suatu pekerjaan. Jelas ini modal tak ternilai untuk mendapatkan hasil kerja yang tak saja selesai melainkan sukses.
DKL ke depan, saya berharap, dapat merumuskan (rencana) strategi pengembangan kesenian yang lebih konkret, demi kemajuan berkesenian sekaligus seniman Lampung bik bagi daerah maupun nasional. Misalnya, lembaga ini dapat menciptakan "father-father" di masing-masing jurai (komite) seni. DKL juga berupaya mengusul dan meyakinkan Pemprov Lampung untuk memberi penghargaan bagi seniman (budayawan) berprestasi atau karena jasanya memberi inspirasi bagi kehidupan kesenian di Lampung.
Saya, sebenarnya menunggu, apa yang (akan) dilakukan DKL (juga MPAL, LKDL) terhadap seorang Udo Z. Karzi--penulis puisi berbahasa Lampung--yang dianugerahi Hadiah Sastera Rancage 2008 dari Yayasan Kebudayaan Rancage karena bukunya Mak Dawah Mak Dibingi di Bandung, 14 Juni 2008. Ternyata, sampai tulisan ini saya buat, tidak ada. ***
* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Juni 2008
Opini: Membandingkan PKB dengan Gelar Budaya Lampung
-- Endri Y.*
MENARIK membandingkan event-event atas nama seni budaya, baik festival, pawai, pesta, parade, dan atau pagelaran yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung dengan yang diselenggarakan Bali. Perbandingan ini sekaligus menjadi penanda seolah ada pengastaan seni budaya. Ada seni budaya kecil dan ada seni budaya besar.
Juga bukti otentik untuk berkaca, tentang perhatian-penghargaan kita pada orang yang sudah tercerahkan. Yaitu, seniman dan budayawan.
Tulisan ini mengkaji urai sejauh mana masyarakat dan pemerintah di Lampung sungguh-sungguh melakukan dan atau bergumul dengan seni budaya sebagai keseharian yang diberi makna efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain, seni budaya dibahasakan dengan komunikasi intuitif penghayatan, pembaharuan, dan perayaan. Selain hiburan kerakyatan yang mengakar serta tentu saja, dapat menarik wisatawan.
Beberapa hari belakangan ini, selama rentang waktu bulan Juni, Lampung ramai menggelar perhelatan seni budaya sebagai gebyar peringatan hari jadi misalnya HUT ke-326 Kota Bandar Lampung, HUT Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Utara, dan sebelumnya digelar Festival Radin Jambat di Way Kanan.
Hampir bersamaan dengan Gelar Budaya di GOR Saburai pada 18 Juni itu, Bali menggelar Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Badjra Sandhi, Denpasar. PKB yang langsung dibuka Sabtu, 14 Juni oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menelan biaya Rp3,9 miliar. PKB yang diharapkan makin memopulerkan Bali dan Indonesia di dunia internasional dan masyarakat Bali bisa mempertahankan dan mengembangkan kesenian asli agar tidak kalah dari kesenian asing ini bertema Citta wretti nirodha, yakni pengendalian diri menuju keseimbangan dan keharmonisan.
Ada sebanyak 135 atraksi seni dengan melibatkan 13.000 pekerja seni dari dalam maupun luar negeri. Acara ini digelar dari 14 Juni hingga 12 Juli di Taman Budaya Denpasar.
Kita ketahui, PKB yang menjadi acara rutin tahunan ini, pada peringatan ke-29, tahun lalu juga dibuka Presiden SBY. PKB tahun lalu bertema Sura dhira jayeng rat (Aktualisasi kepahlawanan menuju kesejahteraan rakyat). Dalam PKB kali ini, salah satu kesenian asli Lampung, yang diwakili Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Timur, ikut tampil pada acara itu. Tepatnya pada hari ke-3, Senin, 16 Juni 2008 jam 10.00 Wita dalam acara Kesenian Provinsi I di Wantilan.
Semua warga Bali begitu antusias menyambut acara yang ditunggu-tunggu hadirnya setiap tahun ini, seperti ada ikatan emosional dan kebutuhan berhibur pada PKB. Membandingkannya, antara pembukaan PKB dengan pembukaan Gelar Budaya di GOR Saburai pada 18 Juni lalu, misalnya, terjadi kesan yang satu budaya besar yang lainnya budaya kecil. Dinilai dari semua lini, baik pembiayaan maupun penampilan. Padahal sama-sama entitas dan etnisitas nusantara sebagai aset kekayaan bangsa.
Bayangkan, Presiden SBY mengucapkan terima kasih kepada warga Bali yang telah menggelar pesta kesenian setiap tahun. Kecintaan Indonesia terhadap seni budaya menjadi nilai tambah di dunia internasional.
Pesta kesenian itu diharapkan makin memopulerkan Bali dan Indonesia. Hal itu dikemukakan Presiden saat membuka PKB ke-30 dan dilansir hampir semua media, baik internasional, nasional, maupun daerah.
Sedangkan Gelar Budaya Lampung banyak kalangan yang kecewa; selain panggung seni budayanya tidak sesuai dengan tema yang digelar dus tidak mewakili karakter seni budaya Lampung itu sendiri.
Bahkan harian Kompas, (Kamis, 19-6) memuat headline "Pembukaan Festival Begawi yang digandengkan dengan Gelar Budaya Lampung 2008 tidak berjalan seperti yang diharapkan". Selain sepi pengunjung, acara pembukaan tidak menunjukkan keragaman budaya Lampung yang diharapkan muncul sesuai misi acara gelar budaya. Begitu juga beberapa media lokal, memberitakan tentang sepinya pengunjung.
Kekecewaan itu dipertegas oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman, yang mengatakan pembukaan yang sedianya menampilkan keanekaragaman budaya Lampung belum dilakukan maksimal. Ia melihat banyaknya kekurangan.
Secara implisit, dapat disebut gagalnya acara itu. PKB dipuji Presiden dan digandrungi masyarakat setempat, Gelar Budaya Lampung dihujat Dirjen Depbudpar dan dicela masyarakat.
Perlu Patronasi
Secara teoretik ada istilah segitiga; seniman-karya seni-apresian dalam proses manifestasi sebuah produk kesenian. Sebenarnya selain itu ada juga pihak benefactor dalam scema grande pelahiran sebuah karya seni itu sendiri. Yaitu sosok pengayom yang dengan sengaja dan sadar mendevosikan waktu, tenaga, atau kemampuan finansialnya demi eksistensi kesenian dan kebudayaan.
Adalah dekat sekali batasan antara pengelolaan seni budaya dengan pengelolaan politik kepartaian misalnya, jika dilihat dari kemampuan membuat gebyar panggung seremoni. Politik kehilangan roh ingar bingarnya jika tanpa suguhan seni budaya. Pun seni budaya, kehilangan napasnya ketika bergerak tanpa adanya patron (pengayom) yang dapat menstimulan pendanaan dan pembiayaan kreasi-karyanya.
Barangkali ada seniman-budayawan yang mampu melepas ikatan ketergantungan pada orang lain dengan kerja-kerja riilnya di luar mainstream berkarya seni budaya. Persoalannya, tak ada pentas seni budaya tanpa besutan tangan terampil seniman dan budayawan. Kalaupun dipaksakan, hasilnya selain mengeluarkan biaya besar, yang dituai adalah kecaman dan cacian. Sebab konteks menggelar panggung seni budaya, jelas berbeda dengan proyeksi-proyeksi pembangunan yang dilakukan pemerintah. Yang indikator keberhasilannya hanya adanya wujud bangunan.
Dalam sejarah, kita temukan nama Gaius Cilnius Maecenas di Romawi (70--8 B.C.), penasihat politik Oktavian (Kaisar Agustus). Maecenas adalah seorang anggota berpengaruh dari ordo Equestrian. Sedang dari kesaksian Horace (Odes 8, 5) dan juga dari tulisan-tulisan yang merefleksikan selera literaturnya, tampak bahwa Maecenas terdidik dengan didikan yang "terbaik" di zaman itu. Kemampuan finansialnya adalah hereditari, tetapi kemudian kedekatannya dengan rezim berkuasa, membuka gerbang seluas-luasnya untuk menjadi seorang "patron" kesenian di masanya.
Maecenas kemudian dikenang sebagai orang yang "kekayaannya" digunakan untuk patronasi kesenian. Dedikasi dan segala kemampuannya tercurah untuk mengadakan event-event kesenian dan kebudayaan yang akhirnya mampu membawa emperium Romawi terlepas dari banyak "bahaya". Bahkan Marcus Valleius Paterculus (Propertius, 88) merangkum dan menyimpulkan seorang Maecenas sebagai of sleepless vigilance in critical emergencies, far-seeing and knowing how to act, but in his relaxation from business more luxurious and effeminate than a woman. (Esai Greenhill G. Weol, 6-4-2008)
Setelah Maecenas wafat, seluruh kekayaannya dikelola secara khusus oleh sebuah institusi, dan disalurkan sepenuhnya untuk urusan-urusan seni budaya.
Kita, di Lampung memang ada sebagian perusahaan yang konsen membangun ranah seni budaya, semisal di Metro. Dalam peringatan HUT-nya, beberapa di antaranya dibiayai sponsor.
Tetapi alih-alih berperan bak Maecenas, yang ada justu subordinasi seni budaya. Lihat saja lahirnya tugu bersejarah di pusat taman Kota Metro, bukan mencerminkan seni budaya setempat malah melambangkan (iklan) tugu produk rokok.
Di Way Kanan, Lampura, Lamteng, dan Bandar Lampung, yang namanya festival seni budaya justru memindahkan acara 17 Agustus-an ke lain waktu. Bahkan untuk event nasional sekelas Festival Krakatau dan atau Festival Begawi juga. Kebanyakan acaranya di luar substansi pelestarian seni budaya. Apakah APBD yang dalam hal ini pemerintah tidak mampu berperan semacam patronasi seni budaya seperti Maecenas?
Mungkinkah di negeri penyair, daerah kantong sastra, daerah yang tariannya sudah diakui dunia internasional ini sama sekali tidak punya satu pun orang yang berjiwa Maecenas? Atau pengelolanya menyamakan setting acara gelar seni budaya seperti proyek pemindahan pasar malam?
Dan kalau boleh membandingkan, silakan baca jadwal acara PKB, lalu jadwal perlombaan 17-an yang diganti menjadi gelar, festival, panggung, gebyar, pawai atas nama seni budaya. Ada lomba lari, bola voli, catur, jalan sehat, dll. Pertanyaannya, apakah olahraga dengan seni budaya sama?
Meskipun patronasi bukan satu- satunya jalan keluar dari stagnasi dan kesalahkaprahan mengelola panggung seni budaya, setidaknya kesan jika ada bujet atau alokasi dana, khususnya yang diberikan pemerintah untuk para seniman-budayawan, harus terbebas dari belenggu "dalam rangka" agenda proyek pembangunan saja. Dan tentu tidak ada yang lebih tepat mengelola acara seni budaya, selain seniman dan budayawan itu sendiri.
Di Lampung, seni budaya seolah telah terkonsep dan terpola, sehingga melupakan unsur yang paling hakiki dari kesenian itu sendiri yakni, kreativitas dan subjektivitas. Menghibur dan terhibur, membawa nilai dan mengakomodasi makna. Meriah karena masyarakat menemukan katarsis dan oasis ketika menyaksikannya. Semua akibat semarak dan banyak secara kualitatif acara pengatas nama seni budaya, tetapi jauh dari substansi seni budaya itu sendiri. ***
* Endri Y., Pencinta Seni Budaya, tinggal di Kalianda
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Juni 2008
MENARIK membandingkan event-event atas nama seni budaya, baik festival, pawai, pesta, parade, dan atau pagelaran yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung dengan yang diselenggarakan Bali. Perbandingan ini sekaligus menjadi penanda seolah ada pengastaan seni budaya. Ada seni budaya kecil dan ada seni budaya besar.
Juga bukti otentik untuk berkaca, tentang perhatian-penghargaan kita pada orang yang sudah tercerahkan. Yaitu, seniman dan budayawan.
Tulisan ini mengkaji urai sejauh mana masyarakat dan pemerintah di Lampung sungguh-sungguh melakukan dan atau bergumul dengan seni budaya sebagai keseharian yang diberi makna efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain, seni budaya dibahasakan dengan komunikasi intuitif penghayatan, pembaharuan, dan perayaan. Selain hiburan kerakyatan yang mengakar serta tentu saja, dapat menarik wisatawan.
Beberapa hari belakangan ini, selama rentang waktu bulan Juni, Lampung ramai menggelar perhelatan seni budaya sebagai gebyar peringatan hari jadi misalnya HUT ke-326 Kota Bandar Lampung, HUT Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Utara, dan sebelumnya digelar Festival Radin Jambat di Way Kanan.
Hampir bersamaan dengan Gelar Budaya di GOR Saburai pada 18 Juni itu, Bali menggelar Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Badjra Sandhi, Denpasar. PKB yang langsung dibuka Sabtu, 14 Juni oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menelan biaya Rp3,9 miliar. PKB yang diharapkan makin memopulerkan Bali dan Indonesia di dunia internasional dan masyarakat Bali bisa mempertahankan dan mengembangkan kesenian asli agar tidak kalah dari kesenian asing ini bertema Citta wretti nirodha, yakni pengendalian diri menuju keseimbangan dan keharmonisan.
Ada sebanyak 135 atraksi seni dengan melibatkan 13.000 pekerja seni dari dalam maupun luar negeri. Acara ini digelar dari 14 Juni hingga 12 Juli di Taman Budaya Denpasar.
Kita ketahui, PKB yang menjadi acara rutin tahunan ini, pada peringatan ke-29, tahun lalu juga dibuka Presiden SBY. PKB tahun lalu bertema Sura dhira jayeng rat (Aktualisasi kepahlawanan menuju kesejahteraan rakyat). Dalam PKB kali ini, salah satu kesenian asli Lampung, yang diwakili Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Timur, ikut tampil pada acara itu. Tepatnya pada hari ke-3, Senin, 16 Juni 2008 jam 10.00 Wita dalam acara Kesenian Provinsi I di Wantilan.
Semua warga Bali begitu antusias menyambut acara yang ditunggu-tunggu hadirnya setiap tahun ini, seperti ada ikatan emosional dan kebutuhan berhibur pada PKB. Membandingkannya, antara pembukaan PKB dengan pembukaan Gelar Budaya di GOR Saburai pada 18 Juni lalu, misalnya, terjadi kesan yang satu budaya besar yang lainnya budaya kecil. Dinilai dari semua lini, baik pembiayaan maupun penampilan. Padahal sama-sama entitas dan etnisitas nusantara sebagai aset kekayaan bangsa.
Bayangkan, Presiden SBY mengucapkan terima kasih kepada warga Bali yang telah menggelar pesta kesenian setiap tahun. Kecintaan Indonesia terhadap seni budaya menjadi nilai tambah di dunia internasional.
Pesta kesenian itu diharapkan makin memopulerkan Bali dan Indonesia. Hal itu dikemukakan Presiden saat membuka PKB ke-30 dan dilansir hampir semua media, baik internasional, nasional, maupun daerah.
Sedangkan Gelar Budaya Lampung banyak kalangan yang kecewa; selain panggung seni budayanya tidak sesuai dengan tema yang digelar dus tidak mewakili karakter seni budaya Lampung itu sendiri.
Bahkan harian Kompas, (Kamis, 19-6) memuat headline "Pembukaan Festival Begawi yang digandengkan dengan Gelar Budaya Lampung 2008 tidak berjalan seperti yang diharapkan". Selain sepi pengunjung, acara pembukaan tidak menunjukkan keragaman budaya Lampung yang diharapkan muncul sesuai misi acara gelar budaya. Begitu juga beberapa media lokal, memberitakan tentang sepinya pengunjung.
Kekecewaan itu dipertegas oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman, yang mengatakan pembukaan yang sedianya menampilkan keanekaragaman budaya Lampung belum dilakukan maksimal. Ia melihat banyaknya kekurangan.
Secara implisit, dapat disebut gagalnya acara itu. PKB dipuji Presiden dan digandrungi masyarakat setempat, Gelar Budaya Lampung dihujat Dirjen Depbudpar dan dicela masyarakat.
Perlu Patronasi
Secara teoretik ada istilah segitiga; seniman-karya seni-apresian dalam proses manifestasi sebuah produk kesenian. Sebenarnya selain itu ada juga pihak benefactor dalam scema grande pelahiran sebuah karya seni itu sendiri. Yaitu sosok pengayom yang dengan sengaja dan sadar mendevosikan waktu, tenaga, atau kemampuan finansialnya demi eksistensi kesenian dan kebudayaan.
Adalah dekat sekali batasan antara pengelolaan seni budaya dengan pengelolaan politik kepartaian misalnya, jika dilihat dari kemampuan membuat gebyar panggung seremoni. Politik kehilangan roh ingar bingarnya jika tanpa suguhan seni budaya. Pun seni budaya, kehilangan napasnya ketika bergerak tanpa adanya patron (pengayom) yang dapat menstimulan pendanaan dan pembiayaan kreasi-karyanya.
Barangkali ada seniman-budayawan yang mampu melepas ikatan ketergantungan pada orang lain dengan kerja-kerja riilnya di luar mainstream berkarya seni budaya. Persoalannya, tak ada pentas seni budaya tanpa besutan tangan terampil seniman dan budayawan. Kalaupun dipaksakan, hasilnya selain mengeluarkan biaya besar, yang dituai adalah kecaman dan cacian. Sebab konteks menggelar panggung seni budaya, jelas berbeda dengan proyeksi-proyeksi pembangunan yang dilakukan pemerintah. Yang indikator keberhasilannya hanya adanya wujud bangunan.
Dalam sejarah, kita temukan nama Gaius Cilnius Maecenas di Romawi (70--8 B.C.), penasihat politik Oktavian (Kaisar Agustus). Maecenas adalah seorang anggota berpengaruh dari ordo Equestrian. Sedang dari kesaksian Horace (Odes 8, 5) dan juga dari tulisan-tulisan yang merefleksikan selera literaturnya, tampak bahwa Maecenas terdidik dengan didikan yang "terbaik" di zaman itu. Kemampuan finansialnya adalah hereditari, tetapi kemudian kedekatannya dengan rezim berkuasa, membuka gerbang seluas-luasnya untuk menjadi seorang "patron" kesenian di masanya.
Maecenas kemudian dikenang sebagai orang yang "kekayaannya" digunakan untuk patronasi kesenian. Dedikasi dan segala kemampuannya tercurah untuk mengadakan event-event kesenian dan kebudayaan yang akhirnya mampu membawa emperium Romawi terlepas dari banyak "bahaya". Bahkan Marcus Valleius Paterculus (Propertius, 88) merangkum dan menyimpulkan seorang Maecenas sebagai of sleepless vigilance in critical emergencies, far-seeing and knowing how to act, but in his relaxation from business more luxurious and effeminate than a woman. (Esai Greenhill G. Weol, 6-4-2008)
Setelah Maecenas wafat, seluruh kekayaannya dikelola secara khusus oleh sebuah institusi, dan disalurkan sepenuhnya untuk urusan-urusan seni budaya.
Kita, di Lampung memang ada sebagian perusahaan yang konsen membangun ranah seni budaya, semisal di Metro. Dalam peringatan HUT-nya, beberapa di antaranya dibiayai sponsor.
Tetapi alih-alih berperan bak Maecenas, yang ada justu subordinasi seni budaya. Lihat saja lahirnya tugu bersejarah di pusat taman Kota Metro, bukan mencerminkan seni budaya setempat malah melambangkan (iklan) tugu produk rokok.
Di Way Kanan, Lampura, Lamteng, dan Bandar Lampung, yang namanya festival seni budaya justru memindahkan acara 17 Agustus-an ke lain waktu. Bahkan untuk event nasional sekelas Festival Krakatau dan atau Festival Begawi juga. Kebanyakan acaranya di luar substansi pelestarian seni budaya. Apakah APBD yang dalam hal ini pemerintah tidak mampu berperan semacam patronasi seni budaya seperti Maecenas?
Mungkinkah di negeri penyair, daerah kantong sastra, daerah yang tariannya sudah diakui dunia internasional ini sama sekali tidak punya satu pun orang yang berjiwa Maecenas? Atau pengelolanya menyamakan setting acara gelar seni budaya seperti proyek pemindahan pasar malam?
Dan kalau boleh membandingkan, silakan baca jadwal acara PKB, lalu jadwal perlombaan 17-an yang diganti menjadi gelar, festival, panggung, gebyar, pawai atas nama seni budaya. Ada lomba lari, bola voli, catur, jalan sehat, dll. Pertanyaannya, apakah olahraga dengan seni budaya sama?
Meskipun patronasi bukan satu- satunya jalan keluar dari stagnasi dan kesalahkaprahan mengelola panggung seni budaya, setidaknya kesan jika ada bujet atau alokasi dana, khususnya yang diberikan pemerintah untuk para seniman-budayawan, harus terbebas dari belenggu "dalam rangka" agenda proyek pembangunan saja. Dan tentu tidak ada yang lebih tepat mengelola acara seni budaya, selain seniman dan budayawan itu sendiri.
Di Lampung, seni budaya seolah telah terkonsep dan terpola, sehingga melupakan unsur yang paling hakiki dari kesenian itu sendiri yakni, kreativitas dan subjektivitas. Menghibur dan terhibur, membawa nilai dan mengakomodasi makna. Meriah karena masyarakat menemukan katarsis dan oasis ketika menyaksikannya. Semua akibat semarak dan banyak secara kualitatif acara pengatas nama seni budaya, tetapi jauh dari substansi seni budaya itu sendiri. ***
* Endri Y., Pencinta Seni Budaya, tinggal di Kalianda
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Juni 2008
June 23, 2008
Empat Sastrawan Terima Hadiah Rancage
TEMPO Interaktif, BANDUNG: Empat sastrawan Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung, menerima penghargaan Sastra Rancage 2008. Penghargaan itu diberikan Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi di Graha Sanusi Universitas Padjajaran, Bandung, Sabtu (14/6).
Keempat sastrawan itu adalah Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi dengan karyanya berupa kumpulan sajak berbahasa Lampung berjudul Mak Dawah Mak Dibingi, Godi Suwarna dengan karya Roman berbahasa Sunda berjudul Sandekala. Lalu Turiyo Ragilputra dengan karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul dan I Nyoman Manda dengan karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-Kayang. “Tahun ini untuk pertama kalinya kami memberi penghargaan kepada sastrawan Lampung,” kata Ajip Rosidi, Sabtu (14/6).
Selain para sastrawan ini, Hadiah Rancage 2008 juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Di antaranya Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali yang disebut Bali Simbar.
Tahun ini, kata Ajip, penghargaan Samsudi juga diberikan kepada penulis buku anak-anak berbahasa Sunda, Ai Koraliati dengan karyanya Catetan Poean Rere. Pemenang masing-masing mendapat piagam dan uang sebesar Rp 5 juta, kecuali Ai Koraliati yang mendapatkan piagam dan uang Rp 2,5 juta.
Hadiah Rancage genap dua puluh tahun pada tahun ini. Tahun 1989, hadiah diberikan hanya kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Namun sejak 1994, penghargaan juga diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa. Tiga tahun kemudian, sastrawan yang menulis dalam bahasa Bali juga bepeluang untuk menerima penghargaan ini.
Rana Akbari Fitriawan
Sumber: Tempo Interaktif, Minggu, 15 Juni 2008
Keempat sastrawan itu adalah Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi dengan karyanya berupa kumpulan sajak berbahasa Lampung berjudul Mak Dawah Mak Dibingi, Godi Suwarna dengan karya Roman berbahasa Sunda berjudul Sandekala. Lalu Turiyo Ragilputra dengan karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul dan I Nyoman Manda dengan karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-Kayang. “Tahun ini untuk pertama kalinya kami memberi penghargaan kepada sastrawan Lampung,” kata Ajip Rosidi, Sabtu (14/6).
Selain para sastrawan ini, Hadiah Rancage 2008 juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Di antaranya Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali yang disebut Bali Simbar.
Tahun ini, kata Ajip, penghargaan Samsudi juga diberikan kepada penulis buku anak-anak berbahasa Sunda, Ai Koraliati dengan karyanya Catetan Poean Rere. Pemenang masing-masing mendapat piagam dan uang sebesar Rp 5 juta, kecuali Ai Koraliati yang mendapatkan piagam dan uang Rp 2,5 juta.
Hadiah Rancage genap dua puluh tahun pada tahun ini. Tahun 1989, hadiah diberikan hanya kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Namun sejak 1994, penghargaan juga diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa. Tiga tahun kemudian, sastrawan yang menulis dalam bahasa Bali juga bepeluang untuk menerima penghargaan ini.
Rana Akbari Fitriawan
Sumber: Tempo Interaktif, Minggu, 15 Juni 2008
Seminar: Perkembangan Seni 'Dikebiri'
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung masih minim lokasi pertunjukan seni. Termasuk minimnya kebijakan pemerintah dalam memajukan kebudayaan. Hal itu berdampak pada kemajuan kesenian dan pengelola kesenian daerah.
Faktor penyebabnya adalah adanya pengebirian terhadap sastra dan seni budaya oleh pemerintah yang dimulai sejak era Soekarno. Ditambah lagi pada Orde Baru, kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan (Depdikbud). Idealnya hal itu diurus departemen sendiri. Dan para pakar budaya protes, tapi tidak digubris.
"Selama 32 tahun era Soeharto, kebudayaan dimarginalkan. Banyak seniman yang diburu dan dicekal, tidak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan," kata Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan Lampung saat menjadi pembicara dalam Seminar Budaya Lampung di Bandar Lampung, Jumat (20-6). Seminar digelar dalam rangka HUT ke-326 Bandar Lampung.
Selama ini Kebudayaan disatukan dengan pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan yang di dalamnya terdapat kesenian dan adat istiadat, dipandang sebagai kata benda. Kebudayan didekati dengan teknik "penyelamat budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.
"Kebudayaan pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara. Dan apabila hasil kebudyaan tidak mampu dijual di pasar pariwisata, dengan sendirinya akan mati atau sekadar dilestarikan," kata dia.
Akibatnya kesenian direvitalisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan. Hanya dijual di depan bule-bule yang dikemas melalui festival-festival, dilombakan, dan dipertandingkan. Akhirnya karya seni yang serius dan dinilai mencerahkan kalau tidak dibiarkan hidup sendiri, akan dikucilkan. Terutama kesenian sejenis teater, seni rupa, dan sastra.
"Bisa dibayangkan 5--10 tahun ke depan, anak-anak SMA yang seharusnya berpotensi dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing dengan kebudayaan sendiri," ujar pengurus Dewan Kesenian Lampung ini.
Isbedy menegaskan hal itu terjadi karena pemerintah hanya berpandangan menjual bagaimana menjual kebudayaan di pasar pariwisata, bukan menjadikan kebudyaan sebagai tranformasi nilai-nilai, norma-norma, dan penanda.
"Kebudayaan massa menjadi cepat terserap generasi muda, ketimbang pemahaman dan penghargaan pada kebudayaan yang lahir dari keragaman budaya bangsa." kata Isbedy, yang kemudian menjelaskan tentang peran DKL Lampung.
Pembicara lain, J. Emmed M. Prioharjo dari Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia banyak berbicara soal letak geografis Provinsi Lampung.
Dia menyatakan kini penduduk Lampung terdiri dari 16% suku Lampung, 30% Jawa, 20% Sunda, 10% Minangkabau, 12% suku asal Sumatera Selatan, dan 12% sisanya adalah Bali, Batak, Aceh, Bugis, Riau, dan China.
"Lampung sangat majemuk dengan pranata adat masyarakat yang mengenal lima prinsip dasar bagi kehidupan sehari-hari, yaitu piil pesenggiri, sakai sambayan, nemui nyimah, nengah nyappur, dan bejulk beadek," ujar J. Emmed.
Menurut dia, dari kelima prinsip dasar itu, nemui nyimah dan nengah nyappur merupakan pranata adat yang diacu ketika masyarakat Lampung berinteraksi sosial, baik dengan sesama penduduk asli maupun pendatang.
"Sikap ramah, membuka diri, toleransi, dan kerja sama ini merupakan komponen penting yang menunjukkan potensi adaptif dari kebudayan Lampung ketika hubungan antarsuku bangsa terwujud," kata J. Emmed.
Mawardi Hari Rama, Ketua Majelis penyimbang Adat Lampung (KPAL), juga tampil menjadi pembicara pada seminar itu. n JUN/K-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2008
Faktor penyebabnya adalah adanya pengebirian terhadap sastra dan seni budaya oleh pemerintah yang dimulai sejak era Soekarno. Ditambah lagi pada Orde Baru, kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan (Depdikbud). Idealnya hal itu diurus departemen sendiri. Dan para pakar budaya protes, tapi tidak digubris.
"Selama 32 tahun era Soeharto, kebudayaan dimarginalkan. Banyak seniman yang diburu dan dicekal, tidak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan," kata Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan Lampung saat menjadi pembicara dalam Seminar Budaya Lampung di Bandar Lampung, Jumat (20-6). Seminar digelar dalam rangka HUT ke-326 Bandar Lampung.
Selama ini Kebudayaan disatukan dengan pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan yang di dalamnya terdapat kesenian dan adat istiadat, dipandang sebagai kata benda. Kebudayan didekati dengan teknik "penyelamat budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.
"Kebudayaan pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara. Dan apabila hasil kebudyaan tidak mampu dijual di pasar pariwisata, dengan sendirinya akan mati atau sekadar dilestarikan," kata dia.
Akibatnya kesenian direvitalisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan. Hanya dijual di depan bule-bule yang dikemas melalui festival-festival, dilombakan, dan dipertandingkan. Akhirnya karya seni yang serius dan dinilai mencerahkan kalau tidak dibiarkan hidup sendiri, akan dikucilkan. Terutama kesenian sejenis teater, seni rupa, dan sastra.
"Bisa dibayangkan 5--10 tahun ke depan, anak-anak SMA yang seharusnya berpotensi dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing dengan kebudayaan sendiri," ujar pengurus Dewan Kesenian Lampung ini.
Isbedy menegaskan hal itu terjadi karena pemerintah hanya berpandangan menjual bagaimana menjual kebudayaan di pasar pariwisata, bukan menjadikan kebudyaan sebagai tranformasi nilai-nilai, norma-norma, dan penanda.
"Kebudayaan massa menjadi cepat terserap generasi muda, ketimbang pemahaman dan penghargaan pada kebudayaan yang lahir dari keragaman budaya bangsa." kata Isbedy, yang kemudian menjelaskan tentang peran DKL Lampung.
Pembicara lain, J. Emmed M. Prioharjo dari Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia banyak berbicara soal letak geografis Provinsi Lampung.
Dia menyatakan kini penduduk Lampung terdiri dari 16% suku Lampung, 30% Jawa, 20% Sunda, 10% Minangkabau, 12% suku asal Sumatera Selatan, dan 12% sisanya adalah Bali, Batak, Aceh, Bugis, Riau, dan China.
"Lampung sangat majemuk dengan pranata adat masyarakat yang mengenal lima prinsip dasar bagi kehidupan sehari-hari, yaitu piil pesenggiri, sakai sambayan, nemui nyimah, nengah nyappur, dan bejulk beadek," ujar J. Emmed.
Menurut dia, dari kelima prinsip dasar itu, nemui nyimah dan nengah nyappur merupakan pranata adat yang diacu ketika masyarakat Lampung berinteraksi sosial, baik dengan sesama penduduk asli maupun pendatang.
"Sikap ramah, membuka diri, toleransi, dan kerja sama ini merupakan komponen penting yang menunjukkan potensi adaptif dari kebudayan Lampung ketika hubungan antarsuku bangsa terwujud," kata J. Emmed.
Mawardi Hari Rama, Ketua Majelis penyimbang Adat Lampung (KPAL), juga tampil menjadi pembicara pada seminar itu. n JUN/K-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2008
Apresiasi: 'Muli-Meranai' Menari dan Menyanyi di Negeri Ginseng
MANUSIA kadang lupa bahwa diri atau kaumnya punya sesuatu yang membuat orang lain terpukau dan ingin ikut memiliki. Kita baru sadar bahwa sesuatu itu sangat bernilai ketika orang lain memberikan apresiasi.
PADA 5--8 Juni lalu, seni dan budaya Lampung mendapatkan pengakuan tinggi di tingkat internasional. Dalam Korean World Travel (Kofta) di Kota Seoul, Kota Bandar Lampung mendapat anugerah sebagai penampil terbaik untuk kategori tari tradisional. Yang lebih membanggakan, Bandar Lampung berada di tempat berkumpulnya sekitar 50 negara ini membawa nama Indonesia.
Memang, Kota Bandar Lampung melalui Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) daerah serta Sanggar Tapis Berseri mendapat mandat dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk mengisi beberapa sesi acara di panggung utama dengan tari dan lagu daerah.
Masing-masing ada tiga tarian dan lagu yang dipersiapan muli-mekhanai Sanggar Tapis Berseri, yakni Melinting, Sigeh Pengunten, dan rempak rebana untuk tari. Sedangkan lagu yang disiapkan adalah Mekhanai Toho, Tanoh Lado, dan Teluk Lampung.
Revan, Selvi, Tanti, Yogi, Adi, dan Rita bertolak ke Negeri Ginseng dengan tiga tarian itu menyatu dalam "darah dan daging" masing-masing. Indra Pradya sudah menyelami dengan sedalam-dalamnya makna ketiga lagu yang harus ia nyanyikan.
Tari Melinting adalah tarian adat pepadun yang merupakan persembahan untuk tamu-tamu terhormat yang datang ke tanah Sai Bumi Ruwa Jurai. Tarian ini dibawakan oleh para muli dengan luwes dan mencirikan keanggunan serta ketinggian mahkota seorang ratu.
Persembahan kepada tamu juga menjadi warna dalam tari Sigeh Pengunten. Wabilkhusus, salah satu muli di akhir tari ini akan mendatangi tamu terhormat dan mempersembahkan sekapur sirih yang terdapat dalam baki.
Rempak rebana adalah tarian modifikasi yang menyadur gerakan-gerakan tari melayu. Tambahan rebana di masing-masing tangan penari menambah kental ciri melayu yang ditampilkan. Tari ini di masa lampau dibawakan untuk menggambarkan kegembiraan muli-mekhanai menyabut musim panen.
Lagu Mekhanai Toho menceritakan kisah seorang jejaka yang tak kunjung mendapatkan kekasih. Segala upaya telah dilakukan, namun pujaan hati yang didambakan tak kunjung datang. Kalimat "segalow makko gonow" di akhir lagu menggambarkan kesedihan si bujang yang putus asa.
Lagu Tanoh Lado mengisahkan betapa tanah Lampung kaya akan hasil alam yang berlimpah. Sedangkan lagu Teluk Lampung menceritakan keindahan Teluk Lampung di waktu sore hari.
Penuh Perhatian
Berbekal pengetahuan dan persiapan yang matang, muli mekhanai Kota Bandar Lampung itu tampil di depan khalayak pengunjung Kofta, baik peserta ekspo maupun pengunjung yang setiap harinya mencapai ribuan orang.
Perhatian khalayak terhadap seni budaya Lampung sudah terlihat sebelum pentas. Keunikan busana tradisional ternyata menarik minat mereka untuk setidaknya berfoto bersama. Meski kepayahan dengan tapis dan siger yang berat, muli mekhanai Bandar Lampung tetap mengulas senyum demi menyenangkan hati mereka.
Di kala pentas, setiap tarian yang ditampilkan mendapatkan sambutan sangat positif dari penonton. Nyaris tak ada dari mereka yang beranjak dari tempat masing-masing. Lagu-lagu mendayu yang dilantunkan Indra di setiap pergantian tarian pun tak sampai menggerakkan kaki-kaki mereka untuk melangkah pergi.
Tari rampak rebana adalah tarian yang paling memukau penonton. Bersifat dinamis, tarian ini seolah mengajak semua orang untuk ikut menari. Gerakan-gerakan cepat para penari seolah menyihir semua orang untuk menanti ending tarian.
Sesi terakhir menjelang penutupan acara menjadi saat-saat paling membahagiakan dan membanggakan. Menjelang tampil, panitia melalui stan Indonesia telah memberitahu bahwa muli mekhanai Kota Bandar Lampung memperoleh award sebagai penampil terbaik untuk kategori tari tradisional.
Ini di luar ekspektasi bahkan oleh para pejabat Depbudpar sekalipun. Sebab, negara-negara lain seperti Guam, Malaysia, India, juga menampilkan tarian tradisional yang tidak kalah menarik. "Kami tak pernah menyangka sama sekali bakal dapat penghargaan ini," kata Ketua Dekranasda Kota Bandar Lampung yang juga mengasuh Sanggar Tapis Berseri, Nurpuri Eddy Sutrisno.
Kesan bangga juga datang dari Dirjen Depbudpar Sapta Nirwandar yang dengan setia menyaksikan setiap penampilan muli mekhanai Kota Bandar Lampung. "Mungkin ini pertama kalinya Indonesia mendapat penghargaan untuk acara serupa di luar negeri," ungkapnya.
Penghargaan panitia hanya selembar kertas sebagai penegasan dari keterpukauan massa dari bahwa apa yang ditampilkan muli mekhanai Kota Bandar Lampung telah menyita perhatian bangsa lain.
Padahal di Lampung sendiri, banyak mata akan mengantuk, banyak bibir beradu tutur kala ketiga tarian dan ketiga nyanyian itu ditampilkan. Memang, kita seringkali lupa bahwa kita memiliki sesuatu yang membuat orang lain ingin menikmati dan memilikinya. n IBRAM H. TARMIZI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2008
PADA 5--8 Juni lalu, seni dan budaya Lampung mendapatkan pengakuan tinggi di tingkat internasional. Dalam Korean World Travel (Kofta) di Kota Seoul, Kota Bandar Lampung mendapat anugerah sebagai penampil terbaik untuk kategori tari tradisional. Yang lebih membanggakan, Bandar Lampung berada di tempat berkumpulnya sekitar 50 negara ini membawa nama Indonesia.
Memang, Kota Bandar Lampung melalui Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) daerah serta Sanggar Tapis Berseri mendapat mandat dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk mengisi beberapa sesi acara di panggung utama dengan tari dan lagu daerah.
Masing-masing ada tiga tarian dan lagu yang dipersiapan muli-mekhanai Sanggar Tapis Berseri, yakni Melinting, Sigeh Pengunten, dan rempak rebana untuk tari. Sedangkan lagu yang disiapkan adalah Mekhanai Toho, Tanoh Lado, dan Teluk Lampung.
Revan, Selvi, Tanti, Yogi, Adi, dan Rita bertolak ke Negeri Ginseng dengan tiga tarian itu menyatu dalam "darah dan daging" masing-masing. Indra Pradya sudah menyelami dengan sedalam-dalamnya makna ketiga lagu yang harus ia nyanyikan.
Tari Melinting adalah tarian adat pepadun yang merupakan persembahan untuk tamu-tamu terhormat yang datang ke tanah Sai Bumi Ruwa Jurai. Tarian ini dibawakan oleh para muli dengan luwes dan mencirikan keanggunan serta ketinggian mahkota seorang ratu.
Persembahan kepada tamu juga menjadi warna dalam tari Sigeh Pengunten. Wabilkhusus, salah satu muli di akhir tari ini akan mendatangi tamu terhormat dan mempersembahkan sekapur sirih yang terdapat dalam baki.
Rempak rebana adalah tarian modifikasi yang menyadur gerakan-gerakan tari melayu. Tambahan rebana di masing-masing tangan penari menambah kental ciri melayu yang ditampilkan. Tari ini di masa lampau dibawakan untuk menggambarkan kegembiraan muli-mekhanai menyabut musim panen.
Lagu Mekhanai Toho menceritakan kisah seorang jejaka yang tak kunjung mendapatkan kekasih. Segala upaya telah dilakukan, namun pujaan hati yang didambakan tak kunjung datang. Kalimat "segalow makko gonow" di akhir lagu menggambarkan kesedihan si bujang yang putus asa.
Lagu Tanoh Lado mengisahkan betapa tanah Lampung kaya akan hasil alam yang berlimpah. Sedangkan lagu Teluk Lampung menceritakan keindahan Teluk Lampung di waktu sore hari.
Penuh Perhatian
Berbekal pengetahuan dan persiapan yang matang, muli mekhanai Kota Bandar Lampung itu tampil di depan khalayak pengunjung Kofta, baik peserta ekspo maupun pengunjung yang setiap harinya mencapai ribuan orang.
Perhatian khalayak terhadap seni budaya Lampung sudah terlihat sebelum pentas. Keunikan busana tradisional ternyata menarik minat mereka untuk setidaknya berfoto bersama. Meski kepayahan dengan tapis dan siger yang berat, muli mekhanai Bandar Lampung tetap mengulas senyum demi menyenangkan hati mereka.
Di kala pentas, setiap tarian yang ditampilkan mendapatkan sambutan sangat positif dari penonton. Nyaris tak ada dari mereka yang beranjak dari tempat masing-masing. Lagu-lagu mendayu yang dilantunkan Indra di setiap pergantian tarian pun tak sampai menggerakkan kaki-kaki mereka untuk melangkah pergi.
Tari rampak rebana adalah tarian yang paling memukau penonton. Bersifat dinamis, tarian ini seolah mengajak semua orang untuk ikut menari. Gerakan-gerakan cepat para penari seolah menyihir semua orang untuk menanti ending tarian.
Sesi terakhir menjelang penutupan acara menjadi saat-saat paling membahagiakan dan membanggakan. Menjelang tampil, panitia melalui stan Indonesia telah memberitahu bahwa muli mekhanai Kota Bandar Lampung memperoleh award sebagai penampil terbaik untuk kategori tari tradisional.
Ini di luar ekspektasi bahkan oleh para pejabat Depbudpar sekalipun. Sebab, negara-negara lain seperti Guam, Malaysia, India, juga menampilkan tarian tradisional yang tidak kalah menarik. "Kami tak pernah menyangka sama sekali bakal dapat penghargaan ini," kata Ketua Dekranasda Kota Bandar Lampung yang juga mengasuh Sanggar Tapis Berseri, Nurpuri Eddy Sutrisno.
Kesan bangga juga datang dari Dirjen Depbudpar Sapta Nirwandar yang dengan setia menyaksikan setiap penampilan muli mekhanai Kota Bandar Lampung. "Mungkin ini pertama kalinya Indonesia mendapat penghargaan untuk acara serupa di luar negeri," ungkapnya.
Penghargaan panitia hanya selembar kertas sebagai penegasan dari keterpukauan massa dari bahwa apa yang ditampilkan muli mekhanai Kota Bandar Lampung telah menyita perhatian bangsa lain.
Padahal di Lampung sendiri, banyak mata akan mengantuk, banyak bibir beradu tutur kala ketiga tarian dan ketiga nyanyian itu ditampilkan. Memang, kita seringkali lupa bahwa kita memiliki sesuatu yang membuat orang lain ingin menikmati dan memilikinya. n IBRAM H. TARMIZI/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2008
June 19, 2008
Lomba Cerpen: 'Nasi Aking' Sisihkan 167 Cerita Pendek
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Cerpen Nasi Aking menjadi cerpen terbaik dalam Sayembara Penulisan Cerpen se-Provinsi Lampung 2008 yang digelar Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Cerpen karya Miftakhul Lutfiana, siswa SMA Negeri 1 Metro itu menyisihkan 167 cerpen hasil karya 126-an peserta.
Juara kedua diraih Yasmine Papusuny, juga dari SMA 1 Metro, dengan cerpen berjudul Sepatu Haram. Juara ketiga dan harapan pertama direbut Merta Arum Prastika dari SMA 1 Gadingrejo dengan cerpen Reinkarnasi Plot Pegasus dan Muhammad Amin, siswa SMA 1 Kotaagung, Tanggamus, dengan cerpen berjudul Tangisan Umak Tiap Tengah Malam.
Para juara mendapatkan hadiah masing-masing Rp1 juta, Rp750 ribu, Rp500 ribu, dan Rp300 ribu. Karya para pemenang juga berhak diikutkan sayembara penulisan cerpen nasional yang diselenggarakan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B).
Dewan juri yang terdiri Agus Sri Danardana, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., dan A.M. Zulqornain, memutuskan kualitas karya pemenang di atas rata-rata cerpen lain yang diikutkan sayembara.
Dewan juri menilai cerpen Nasi Aking menampilkan teknik bercerita yang memikat, mengalir lancar, penuh kejutan, dan tema yang kontekstual.
"Nasi aking itu sendiri sebenarnya soal biasa, terutama bagi kehidupan rakyat miskin. Namun, dalam cerpen yang ditulis Miftakhul Lutfiana itu nasi aking begitu mengejutkan. Kejutan terjadi saat nasi aking itu bicara dalam lambung orang yang memakannya. Ini luar biasa, layaknya cerpen yang ditulis pengarang profesional," kata Isbedy Stiawan, Senin (16-6).
Teknik bercerita yang sangat memikat juga dilakukan Yasmine Papusuny dalam cerpen Sepatu Haram. Dengan tema yang sederhana, Yasmine mampu mengeksplorasi tema dengan gaya bercerita mengalir lancar dan memikat.
Isbedy Stiawan mengatakan pada umumnya, peserta sayembara belum paham tentang bagaimana cara menulis cerpen. "Masih banyak hal mendasar tentang cerpen yang belum dikuasai. Selain pola belajar-mengajar sastra di SMA harus ditingkatkan kualitasnya pada masa mendatang dan harus ada pembinaan serius. Di sinilah Kantor Bahasa dan lembaga lain bisa berperan," ujar penyair yang juga penulis cerpen ini. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Juni 2008
Juara kedua diraih Yasmine Papusuny, juga dari SMA 1 Metro, dengan cerpen berjudul Sepatu Haram. Juara ketiga dan harapan pertama direbut Merta Arum Prastika dari SMA 1 Gadingrejo dengan cerpen Reinkarnasi Plot Pegasus dan Muhammad Amin, siswa SMA 1 Kotaagung, Tanggamus, dengan cerpen berjudul Tangisan Umak Tiap Tengah Malam.
Para juara mendapatkan hadiah masing-masing Rp1 juta, Rp750 ribu, Rp500 ribu, dan Rp300 ribu. Karya para pemenang juga berhak diikutkan sayembara penulisan cerpen nasional yang diselenggarakan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B).
Dewan juri yang terdiri Agus Sri Danardana, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., dan A.M. Zulqornain, memutuskan kualitas karya pemenang di atas rata-rata cerpen lain yang diikutkan sayembara.
Dewan juri menilai cerpen Nasi Aking menampilkan teknik bercerita yang memikat, mengalir lancar, penuh kejutan, dan tema yang kontekstual.
"Nasi aking itu sendiri sebenarnya soal biasa, terutama bagi kehidupan rakyat miskin. Namun, dalam cerpen yang ditulis Miftakhul Lutfiana itu nasi aking begitu mengejutkan. Kejutan terjadi saat nasi aking itu bicara dalam lambung orang yang memakannya. Ini luar biasa, layaknya cerpen yang ditulis pengarang profesional," kata Isbedy Stiawan, Senin (16-6).
Teknik bercerita yang sangat memikat juga dilakukan Yasmine Papusuny dalam cerpen Sepatu Haram. Dengan tema yang sederhana, Yasmine mampu mengeksplorasi tema dengan gaya bercerita mengalir lancar dan memikat.
Isbedy Stiawan mengatakan pada umumnya, peserta sayembara belum paham tentang bagaimana cara menulis cerpen. "Masih banyak hal mendasar tentang cerpen yang belum dikuasai. Selain pola belajar-mengajar sastra di SMA harus ditingkatkan kualitasnya pada masa mendatang dan harus ada pembinaan serius. Di sinilah Kantor Bahasa dan lembaga lain bisa berperan," ujar penyair yang juga penulis cerpen ini. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Juni 2008
Sastra: DKL Gelar Lomba Cipta Cerpen Mini
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) menggelar lomba cipta cerpen mini untuk masyarakat umum dan pelajar se-Lampung.
Menurut Ketua Komite Sastra DKL Ari Pahala Hutabarat, lomba ini merupakan salah satu program Komite Sastra tahun 2008. Fiksi mikro atau cerpen mini masih merupakan ranah penulisan cerpen, yang jarang dilakukan di Indonesia.
Jika selama ini peminat dan pelaku penulisan cerpen lebih mengenal cerpen umumnya di media massa dan buku, lewat fiksi mikro atau cerpen mini, penulis ditantang memaksimalkan ruang yang tersedia untuk menuangkan atau memadatkan sebuah ide.
Adapun persyaratan lomba, peserta dari masyarakat umum dan pelajar se-Lampung, melampirkan fotokopi kartu identitas, nama peserta tidak boleh dicantumkan dalam naskah cerpen, biodata dilampirkan di kertas tersendiri.
Sedangkan untuk tema cerpen bebas, maksimal dua lembar kuarto/folio, naskah diketik rapi 1,5 spasi. Tiap peserta dapat mengirim maksimal tiga naskah, dan setiap naskah dikirim rangkap empat. Naskah diterima paling lambat 26 Juli 2008 (cap pos), dikirimkan ke Panitia Lomba Cerpen Mini, Dewan Kesenian Lampung, Kompleks GOR Sumpah Pemuda Jalan Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung.
Para pemenang mendapatkan hadiah uang tunai dan piala. Juara I Rp1 juta, juara II (Rp750 ribu), juara III (Rp500 ribu). Karya tiga pemenang dan 17 nominasi akan dibukukan. Selain itu ke-20 nomine akan diikutkan bengkel penulisan cerpen selama tiga hari yang waktunya akan ditentukan kemudian.
"Fasilitas dan akomodasi peserta bengkel penulisan ditanggung sepenuhnya panitia. Ini adalah tindak lanjut dan komitmen kami terhadap kesinambungan sastra di Lampung. Kami ingin para peserta bengkel penulisan cerpen itu bisa terus berproses dan bersaing di tingkat lebih luas." kata Ari Pahala, Ketua Komite Sastra. RLS/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Juni 2008
Menurut Ketua Komite Sastra DKL Ari Pahala Hutabarat, lomba ini merupakan salah satu program Komite Sastra tahun 2008. Fiksi mikro atau cerpen mini masih merupakan ranah penulisan cerpen, yang jarang dilakukan di Indonesia.
Jika selama ini peminat dan pelaku penulisan cerpen lebih mengenal cerpen umumnya di media massa dan buku, lewat fiksi mikro atau cerpen mini, penulis ditantang memaksimalkan ruang yang tersedia untuk menuangkan atau memadatkan sebuah ide.
Adapun persyaratan lomba, peserta dari masyarakat umum dan pelajar se-Lampung, melampirkan fotokopi kartu identitas, nama peserta tidak boleh dicantumkan dalam naskah cerpen, biodata dilampirkan di kertas tersendiri.
Sedangkan untuk tema cerpen bebas, maksimal dua lembar kuarto/folio, naskah diketik rapi 1,5 spasi. Tiap peserta dapat mengirim maksimal tiga naskah, dan setiap naskah dikirim rangkap empat. Naskah diterima paling lambat 26 Juli 2008 (cap pos), dikirimkan ke Panitia Lomba Cerpen Mini, Dewan Kesenian Lampung, Kompleks GOR Sumpah Pemuda Jalan Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung.
Para pemenang mendapatkan hadiah uang tunai dan piala. Juara I Rp1 juta, juara II (Rp750 ribu), juara III (Rp500 ribu). Karya tiga pemenang dan 17 nominasi akan dibukukan. Selain itu ke-20 nomine akan diikutkan bengkel penulisan cerpen selama tiga hari yang waktunya akan ditentukan kemudian.
"Fasilitas dan akomodasi peserta bengkel penulisan ditanggung sepenuhnya panitia. Ini adalah tindak lanjut dan komitmen kami terhadap kesinambungan sastra di Lampung. Kami ingin para peserta bengkel penulisan cerpen itu bisa terus berproses dan bersaing di tingkat lebih luas." kata Ari Pahala, Ketua Komite Sastra. RLS/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Juni 2008
June 17, 2008
Godi Raih "Rancage" Ketiga
BANDUNG (PR)- Sastrawan Godi Suwarna untuk ketiga kalinya mendapat Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Rancage atas karya sastra yang ditulisnya berupa novel yang diberi judul Sandekala. Sebelumnya, Godi mendapat hadiah sastra serupa untuk penulisan buku puisi Blues Kere Lauk dan kumpulan cerita pendek Serat Sarwasatwa, yang ditulisnya dalam bahasa Sunda.
Hadiah Sastra Rancage yang ke-20 untuk bidang penulisan karya sastra berbahasa Sunda ini diterima Godi Suwarna, Sabtu (14/6) di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jln. Dipati Ukur Bandung.
Godi Suwarna menjadi sastrawan Sunda pertama yang mampu menerima hadiah tersebut secara berturut-turut untuk tiga bidang penulisan karya sastra yang berbeda.
Selain Godi, sastrawan lainnya yang menerima hadiah serupa untuk bahasa dan sastra Sunda adalah Grup Teater Sunda Kiwari (TSK) yang diterima oleh R. Dadi Danusubrata. Sedangkan untuk sastra dan bahasa Jawa diterima oleh Turiyo Ragilputra, untuk kumpulan puisi yang diberi judul Bledheg Sagara Kidul, dan kepada Sriyono sebagai tokoh yang mengembangkan bahasa Jawa.
Untuk bahasa dan sastra Bali diberikan kepada I Nyoman Manda untuk karya sastra Depang Tiang Bayang Kayang-kayang dan kepada I Made Suatjana sebagai pengembang bahasa dan sastra Bali.
Hadiah serupa juga diberikan kepada Udo Z. Karzi, penulis puisi dalam bahasa dan sastra Lampung yang diberi judul Mak Dawah Mak Dibingi. Untuk penerima Hadiah Sastra Rancage masing-masing mendapat piagam dan uang tunai sebesar Rp 5 juta.
Selain Hadiah Sastra Rancage, diberikan pula Hadiah Sastra Samsudi untuk penulisan buku cerita kanak-kanak yang diterima oleh Ai Koraliati lewat karya Catatan Poean Rere. Ai menerima piagam dan hadiah uang Rp 2,5 juta.
Pemda Jabar dukung
Pemberian hadiah tersebut ditandai dengan pembacaan surat yang ditulis oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang berhalangan hadir karena pada saat yang sama, gubernur yang baru dilantik tersebut, tengah menghadiri acara pelepasan mantan Gubernur Jabar dan Wakil Gubernur Jabar Danny Setiawan dan Nu`man Abdul Hakim di Gedung Sate.
Inti surat Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang dibacakan oleh Asda III Pemprov Jabar Pery Soeparman, antara lain mengatakan bahwa dirinya selain menyesal tidak bisa menghadiri acara tersebut, tentu saja pihaknya sangat mendukung berbagai upaya yang dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang berupaya menumbuh-kembangkan sastra dan bahasa daerah di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Upaya tersebut sejalan dengan program pemerintah.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Rektor Unpad Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A. Menurut dia, diselenggarakannya acara semacam ini, mempunyai arti penting bagi perkembangan dan pertumbuhan budaya Sunda ke depan.
Untuk itu, Unpad saat ini tengah mengembangkan program kerja menjadi sebuah universitas yang mampu menumbuhkembangkan seni dan budaya Sunda dalam pengertian yang seluas-luasnya. "Selain itu, Unpad juga ingin jadi pusat kajian budaya Sunda di tingkat dunia," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Kebudayaan Rancage, H. Hasan Kartadjoemena mengatakan, apa yang dikerjakan oleh Yayasan Rancage selama ini tiada lain ingin ikut serta menumbuhkembangkan sastra dan bahasa daerah di Indonesia.
Hadir dalam kesempatan itu sejumlah tamu undangan. Pada acara tersebut, Direktur Utama Pikiran Rakyat H. Syafik Umar, menyerahkan Hadiah Sastra Rancage untuk sastrawan Lampung.
Selain Syafik, hadir pula penyair Etty R.S., kolektor buku Sunda Mamat Sasmita, novelis Kang Jamal, Ketua DPD Golkar Jabar H. Uu Rukmana, Ketua KPU Jabar Setia Permana, dan sejumlah tamu undangan lainnya. (A-48)***
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu, 15 Juni 2008
Hadiah Sastra Rancage yang ke-20 untuk bidang penulisan karya sastra berbahasa Sunda ini diterima Godi Suwarna, Sabtu (14/6) di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jln. Dipati Ukur Bandung.
Godi Suwarna menjadi sastrawan Sunda pertama yang mampu menerima hadiah tersebut secara berturut-turut untuk tiga bidang penulisan karya sastra yang berbeda.
Selain Godi, sastrawan lainnya yang menerima hadiah serupa untuk bahasa dan sastra Sunda adalah Grup Teater Sunda Kiwari (TSK) yang diterima oleh R. Dadi Danusubrata. Sedangkan untuk sastra dan bahasa Jawa diterima oleh Turiyo Ragilputra, untuk kumpulan puisi yang diberi judul Bledheg Sagara Kidul, dan kepada Sriyono sebagai tokoh yang mengembangkan bahasa Jawa.
Untuk bahasa dan sastra Bali diberikan kepada I Nyoman Manda untuk karya sastra Depang Tiang Bayang Kayang-kayang dan kepada I Made Suatjana sebagai pengembang bahasa dan sastra Bali.
Hadiah serupa juga diberikan kepada Udo Z. Karzi, penulis puisi dalam bahasa dan sastra Lampung yang diberi judul Mak Dawah Mak Dibingi. Untuk penerima Hadiah Sastra Rancage masing-masing mendapat piagam dan uang tunai sebesar Rp 5 juta.
Selain Hadiah Sastra Rancage, diberikan pula Hadiah Sastra Samsudi untuk penulisan buku cerita kanak-kanak yang diterima oleh Ai Koraliati lewat karya Catatan Poean Rere. Ai menerima piagam dan hadiah uang Rp 2,5 juta.
Pemda Jabar dukung
Pemberian hadiah tersebut ditandai dengan pembacaan surat yang ditulis oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang berhalangan hadir karena pada saat yang sama, gubernur yang baru dilantik tersebut, tengah menghadiri acara pelepasan mantan Gubernur Jabar dan Wakil Gubernur Jabar Danny Setiawan dan Nu`man Abdul Hakim di Gedung Sate.
Inti surat Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang dibacakan oleh Asda III Pemprov Jabar Pery Soeparman, antara lain mengatakan bahwa dirinya selain menyesal tidak bisa menghadiri acara tersebut, tentu saja pihaknya sangat mendukung berbagai upaya yang dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang berupaya menumbuh-kembangkan sastra dan bahasa daerah di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Upaya tersebut sejalan dengan program pemerintah.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Rektor Unpad Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A. Menurut dia, diselenggarakannya acara semacam ini, mempunyai arti penting bagi perkembangan dan pertumbuhan budaya Sunda ke depan.
Untuk itu, Unpad saat ini tengah mengembangkan program kerja menjadi sebuah universitas yang mampu menumbuhkembangkan seni dan budaya Sunda dalam pengertian yang seluas-luasnya. "Selain itu, Unpad juga ingin jadi pusat kajian budaya Sunda di tingkat dunia," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Kebudayaan Rancage, H. Hasan Kartadjoemena mengatakan, apa yang dikerjakan oleh Yayasan Rancage selama ini tiada lain ingin ikut serta menumbuhkembangkan sastra dan bahasa daerah di Indonesia.
Hadir dalam kesempatan itu sejumlah tamu undangan. Pada acara tersebut, Direktur Utama Pikiran Rakyat H. Syafik Umar, menyerahkan Hadiah Sastra Rancage untuk sastrawan Lampung.
Selain Syafik, hadir pula penyair Etty R.S., kolektor buku Sunda Mamat Sasmita, novelis Kang Jamal, Ketua DPD Golkar Jabar H. Uu Rukmana, Ketua KPU Jabar Setia Permana, dan sejumlah tamu undangan lainnya. (A-48)***
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu, 15 Juni 2008
Pariwisata: Festival Budaya Lampung Digelar
Bandar Lampung, Kompas - Direktorat Tradisi Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menggelar Gelar Budaya Lampung di lapangan GOR Saburai, Bandar Lampung, Rabu (18/6) hingga Jumat (20/6).
Acara tersebut diselenggarakan untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya Lampung sekaligus menyambut Visit Indonesia Year 2008.
Kepala Subdirektorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tradisional Direktorat Tradisi Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sudiono kepada wartawan di gedung Kantor Pemkot Bandar Lampung, Selasa (17/6), mengatakan, sebagai bagian dari agenda besar Depbudpar untuk menjaring wisatawan melalui tahun kunjungan wisata Indonesia 2008, gelar budaya merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya dan suku bangsa Indonesia.
”Untuk bisa memperkenalkan kepada masyarakat internasional, masyarakat harus memahami negara kita merupakan negara dengan banyak budaya. Pengenalan multikultur akan membawa masyarakat kita kepada sikap saling menghargai dan menghormati kultur atau suku bangsa lainnya,” ujar Sudiono.
Gelar Budaya Lampung merupakan gelar budaya kelima yang diselenggarakan Depbudpar. Gelar budaya pertama diselenggarakan di Sumenep, Jawa Timur, tahun 2004. Gelar budaya pertama diselenggarakan dengan latar belakang konflik antarsuku bangsa Dayak dan Madura.
”Kami ingin mengantisipasi kesalahpahaman antarsuku. Gelar budaya diselenggarakan untuk menumbuhkan sikap toleransi antara suku bangsa dan saling mencintai,” ujar Sudiono. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 18 Juni 2008
Acara tersebut diselenggarakan untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya Lampung sekaligus menyambut Visit Indonesia Year 2008.
Kepala Subdirektorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tradisional Direktorat Tradisi Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sudiono kepada wartawan di gedung Kantor Pemkot Bandar Lampung, Selasa (17/6), mengatakan, sebagai bagian dari agenda besar Depbudpar untuk menjaring wisatawan melalui tahun kunjungan wisata Indonesia 2008, gelar budaya merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya dan suku bangsa Indonesia.
”Untuk bisa memperkenalkan kepada masyarakat internasional, masyarakat harus memahami negara kita merupakan negara dengan banyak budaya. Pengenalan multikultur akan membawa masyarakat kita kepada sikap saling menghargai dan menghormati kultur atau suku bangsa lainnya,” ujar Sudiono.
Gelar Budaya Lampung merupakan gelar budaya kelima yang diselenggarakan Depbudpar. Gelar budaya pertama diselenggarakan di Sumenep, Jawa Timur, tahun 2004. Gelar budaya pertama diselenggarakan dengan latar belakang konflik antarsuku bangsa Dayak dan Madura.
”Kami ingin mengantisipasi kesalahpahaman antarsuku. Gelar budaya diselenggarakan untuk menumbuhkan sikap toleransi antara suku bangsa dan saling mencintai,” ujar Sudiono. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 18 Juni 2008
June 16, 2008
Penghargaan: Sastrawan Sandekala Raih Rancage
BANDUNG (SINDO) – Sejumlah sastrawan dari beberapa daerah di Indonesia meraih penghargaan dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Aula Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung,kemarin.
Hadiah itu diberikan atas hasil karya sastra yang menggunakan bahasa ibu, yang dibuat sepanjang 2008 ini. Mereka adalah Godi Suwarna dengan karya sastra Sunda Sandekala, Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R Dadi Danu Subrata,Turiyo Ragilputra dengan karya Bledheg Segara Kidul, Sriyono sebagai Pengembang Sastra Jawa, I Nyoman Manda dengan karyanya Depang Tiang Bajang Kayang-kayang, I Made Suatjana dalam kategori Jasa, Udo Z Karzi atas karya kumpulan sajak Mak Dawah Mak Dibingi.
Juga penghargaan Samsudi diberikan kepada Ali Koraliati dengan karyanya Catetan Poen Rere. Awalnya, penghargaan itu hanya untuk bahasa Sunda, tetapi sejak 2008 penghargaan juga diberikan untuk karya sastra berbahasa Jawa,Bali,dan Lampung.Pada saat penyerahan penghargaan dilakukan prosesi tarian yang menggambarkan keragaman budaya di Indonesia, mulai dari tari Sunda, Aceh, Jawa, hingga tari Bali.
Dalam kesempatan itu hadir para pemerhati budaya dari Jabar,seperti Ajip Rosidi,Uu Rukmana, Hassan S. Kartadjoemena, dan Rektor Unpad Ganjar Kurnia. Wakil Ketua Dewan Pengurus Yayasan Rancage Hassan S Kartadjoemena mengatakan, pemberian penghargaan ini diharapkan bisa memacu upaya pelestarian bahasa ibu di tanah air.
Menurutnya, pengembangan bahasa ibu diperlukan mengingat seiring perkembangan zaman, kebudayaan makin dilupakan. ”Yang perlu kita catat, kita jangan merasa enggan atau malu mengambil langkah yang terlihat kecil, karena sekecil apapun, sebenarnya bermanfaat dan sangat berarti untuk budaya bangsa,” ujar Hassan dalam sambutannya. Karena itu,ujar dia,perlu dibuat peta lebih jelas tentang perjalanan bahasa ibu.
Terlebih dengan adanya regenerasi yang setiap tahunnya terjadi makin cepat.Perlu penanganan luwes untuk meregenerasi pelaku budaya.” Peralihan generasi menjadi masalah yang sangat krusial untuk tahun-tahun mendatang. Kita perlu mengambil upaya konkret agar terjadi peralihan generasi, karena banyak di antara kami yang telah berusia lanjut,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu peraih penghargaan asal Lampung Udo Z Karzi dengan kumpulan sajaknya Mak Dawah Mak Dibingi mengatakan, karya yang dibuatnya merupakan upaya untuk melestarikan bahasa ibu, karena saat ini penggunaan bahasa ibu makin ditinggalkan. ”Di Lampung, pemakaian bahasa ibu diperkirakan cuma 20%, selebihnya menggunakan bahasa dari berbagai daerah di Tanah Air,”paparnya.
Dia hanya berharap, dengan semakin dikenalnya karya-karya sastra lokal,masyarakat semakin sadar akan nilai budaya yang dikandungnya. Sajak-sajak Udo merupakan terobosan besar untuk mendobrak tradisi sastra Lampung yang membeku. Dia mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan kekinian. Melalui sajaknya,dia menceritakan keadaan rakyat kecil yang terpuruk dalam kehidupan.
Selain itu, Udo menceritakan tentang demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, lapangan kerja, termasuk menceritakan keresahan jiwa untuk menggapai Sang Pencipta. Sementara Godi Suwarna dalam karyanya Sandekala, menceritakan tentang kondisi sosial ekonomi yang melanda Indonesia selama masa Reformasi.
Dan cerita kehidupan masa kini bersilih tukar dengan kehidupan yang tumbuh dalam kepercayaan yang berakar dalam masyarakat Sunda. Dalam karya tersebut juga ada pertalian dengan cerita perang bubat antara Kerajaan Pajajaran dengan Majapahit Dalam bercerita, Godi lebih banyak mengunakan kata uing (orang pertama) sebagai kata ganti ’saya’ yang sangat akrab digunakan masyarakat pedesaan. (arif budianto)
Sumber: Seputar Indonesia Edisi Jawa Barat, Sabtu, 14 Juni 2008
Hadiah itu diberikan atas hasil karya sastra yang menggunakan bahasa ibu, yang dibuat sepanjang 2008 ini. Mereka adalah Godi Suwarna dengan karya sastra Sunda Sandekala, Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R Dadi Danu Subrata,Turiyo Ragilputra dengan karya Bledheg Segara Kidul, Sriyono sebagai Pengembang Sastra Jawa, I Nyoman Manda dengan karyanya Depang Tiang Bajang Kayang-kayang, I Made Suatjana dalam kategori Jasa, Udo Z Karzi atas karya kumpulan sajak Mak Dawah Mak Dibingi.
Juga penghargaan Samsudi diberikan kepada Ali Koraliati dengan karyanya Catetan Poen Rere. Awalnya, penghargaan itu hanya untuk bahasa Sunda, tetapi sejak 2008 penghargaan juga diberikan untuk karya sastra berbahasa Jawa,Bali,dan Lampung.Pada saat penyerahan penghargaan dilakukan prosesi tarian yang menggambarkan keragaman budaya di Indonesia, mulai dari tari Sunda, Aceh, Jawa, hingga tari Bali.
Dalam kesempatan itu hadir para pemerhati budaya dari Jabar,seperti Ajip Rosidi,Uu Rukmana, Hassan S. Kartadjoemena, dan Rektor Unpad Ganjar Kurnia. Wakil Ketua Dewan Pengurus Yayasan Rancage Hassan S Kartadjoemena mengatakan, pemberian penghargaan ini diharapkan bisa memacu upaya pelestarian bahasa ibu di tanah air.
Menurutnya, pengembangan bahasa ibu diperlukan mengingat seiring perkembangan zaman, kebudayaan makin dilupakan. ”Yang perlu kita catat, kita jangan merasa enggan atau malu mengambil langkah yang terlihat kecil, karena sekecil apapun, sebenarnya bermanfaat dan sangat berarti untuk budaya bangsa,” ujar Hassan dalam sambutannya. Karena itu,ujar dia,perlu dibuat peta lebih jelas tentang perjalanan bahasa ibu.
Terlebih dengan adanya regenerasi yang setiap tahunnya terjadi makin cepat.Perlu penanganan luwes untuk meregenerasi pelaku budaya.” Peralihan generasi menjadi masalah yang sangat krusial untuk tahun-tahun mendatang. Kita perlu mengambil upaya konkret agar terjadi peralihan generasi, karena banyak di antara kami yang telah berusia lanjut,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu peraih penghargaan asal Lampung Udo Z Karzi dengan kumpulan sajaknya Mak Dawah Mak Dibingi mengatakan, karya yang dibuatnya merupakan upaya untuk melestarikan bahasa ibu, karena saat ini penggunaan bahasa ibu makin ditinggalkan. ”Di Lampung, pemakaian bahasa ibu diperkirakan cuma 20%, selebihnya menggunakan bahasa dari berbagai daerah di Tanah Air,”paparnya.
Dia hanya berharap, dengan semakin dikenalnya karya-karya sastra lokal,masyarakat semakin sadar akan nilai budaya yang dikandungnya. Sajak-sajak Udo merupakan terobosan besar untuk mendobrak tradisi sastra Lampung yang membeku. Dia mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan kekinian. Melalui sajaknya,dia menceritakan keadaan rakyat kecil yang terpuruk dalam kehidupan.
Selain itu, Udo menceritakan tentang demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, lapangan kerja, termasuk menceritakan keresahan jiwa untuk menggapai Sang Pencipta. Sementara Godi Suwarna dalam karyanya Sandekala, menceritakan tentang kondisi sosial ekonomi yang melanda Indonesia selama masa Reformasi.
Dan cerita kehidupan masa kini bersilih tukar dengan kehidupan yang tumbuh dalam kepercayaan yang berakar dalam masyarakat Sunda. Dalam karya tersebut juga ada pertalian dengan cerita perang bubat antara Kerajaan Pajajaran dengan Majapahit Dalam bercerita, Godi lebih banyak mengunakan kata uing (orang pertama) sebagai kata ganti ’saya’ yang sangat akrab digunakan masyarakat pedesaan. (arif budianto)
Sumber: Seputar Indonesia Edisi Jawa Barat, Sabtu, 14 Juni 2008
Anugerah Sastra : Zulkarnain Zubairi Raih Rancage 2008
BANDUNG (Lampost): Sastrawan asal Lampung yang juga redaktur Lampung Post, Udo Z. Karzi, nama pena Zulkarnain Zubairi, menerima Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk kumpulan sajak Mak Dawah Mak Dibingi. Acara pemberian penghargaan itu berlangsung di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14-6).
Foto-foto dari ajip-rosidi.com, 16-06-2008.
Pemberian hadiah untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali ini yang pertama kali karena sebelumnya perhargaan tahunan ini selalu didominasi sastrawan Bali, Jawa, dan Sunda. "Saya sebagai warga Lampung sangat bangga karena bisa mewakili daerah menerima Hadiah Sastra Rancage," ujar lelaki kelahiran Lampung 38 tahun silam yang kini tengah ditugaskan sebagai redaktur Borneo News (grup Lampung Post) di Kalimantan Tengah.
Penghargaan itu diberikan oleh Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage H.S. Kartadjoemena. Dalam acara itu ditampilkan pula tarian tradisional Sunda, Bali, Jawa, Lampung, dan tarian Jepang. Hadir antara lain Rektor Unpad Ganjar Kurnia, Ketua Dewan Pembina Yayasan Rancage Ajip Rosidi, mantan anggota KPK Erry Riyana Hardjapamekas, dan berbagai utusan budaya dari sejumlah provinsi.
Menurut Zulkarnain, hasil karyanya itu tidak terlepas dari karya-karya sastra yang ditulis para sastrawan daerah lain, seperti Sunda, Jawa dan Bali, termasuk Lampung. "Saya berharap kegiatan seperti ini dapat dilaksanakan di daerah lain, agar bahasa daerah bisa eksis, dan tidak mudah terimbas bahasa lain," pinta penyair yang pendiam ini.
Zulkarnain adalah sastrawan pertama di luar Jawa dan Bali yang mendapat hadiah tersebut sejak Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan pada 1989. Semula Rancage hanya memberikan hadiah pada sastrawan Sunda. Mulai tahun 1994 sastrawan yang menulis bahasa daerah Jawa dan tahun 1997 diberikan kepada sastrawan Bali, dan pada 2008 memberikan penghargaan kepada sastrawan daerah terbaik dari luar Jawa dan Bali.
Penulis buku puisi Momentum (2002) itu sejak lama dikenal dengan karya sajak-sajaknya yang kritis, di antaranya mengutarakan tentang kehidupan rakyat kecil, demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan dan pengangguran, hukum, dan korupsi, dengan bahasa asli daerahnya. "Ke depan sajak karya Udo bisa mendorong para pengarang muda lainnya untuk lebih peduli lagi terhadap bahasa ibu dalam berkarya," kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi.
Selain Zulkarnain, ada tiga sastrawan lain yang menerima penghargaan yang sudah berlangsung selama 20 tahun ini, yakni Godi Suwarna (karya berbahasa Sunda berjudul Sandekala), Turiyo Ragilputra (karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul), dan I Nyoman Manda (karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-kayang).
Penghargaan serupa juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali, atau disebut Bali Simbar.
Untuk Hadiah Samsudi, diberikan kepada penulis buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, yaitu Ai Koraliati dengan karya sastra berjudul Catetan Poean Rere.
Menurut Ajip, selama ini kegiatan pemberian Hadiah Sastra Rancage hanya mendapat perhatian pers dan baru kali pemerintah memperhatikan program kebudayaan bahasa daerah ini. Padahal, sebelumnya pemerintah nyaris tidak pernah peduli terhadap budaya daerah. "Untuk itu pemerintah harus mengembangkan perpustakaan (bahasa daerah), lengkap dengan buku yang berisi beragam bahasa daerah di Indonesia. Dan, tidak hanya terfokus di satu tempat," ujarnya.
Adanya perhatian dari pemerintah, Ajip mengharapkan ke depan kegiatan ini lebih berkembang dan tidak hanya melibatkan daerah tertentu saja, seperti Bali, Sunda, Jawa dan Lampung. "Ke depan daerah lain, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon bisa ikut serta dalam kegiatan ini," kata Ajip berharap. n MI/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008
Foto-foto dari ajip-rosidi.com, 16-06-2008.
Pemberian hadiah untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali ini yang pertama kali karena sebelumnya perhargaan tahunan ini selalu didominasi sastrawan Bali, Jawa, dan Sunda. "Saya sebagai warga Lampung sangat bangga karena bisa mewakili daerah menerima Hadiah Sastra Rancage," ujar lelaki kelahiran Lampung 38 tahun silam yang kini tengah ditugaskan sebagai redaktur Borneo News (grup Lampung Post) di Kalimantan Tengah.
Penghargaan itu diberikan oleh Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage H.S. Kartadjoemena. Dalam acara itu ditampilkan pula tarian tradisional Sunda, Bali, Jawa, Lampung, dan tarian Jepang. Hadir antara lain Rektor Unpad Ganjar Kurnia, Ketua Dewan Pembina Yayasan Rancage Ajip Rosidi, mantan anggota KPK Erry Riyana Hardjapamekas, dan berbagai utusan budaya dari sejumlah provinsi.
Menurut Zulkarnain, hasil karyanya itu tidak terlepas dari karya-karya sastra yang ditulis para sastrawan daerah lain, seperti Sunda, Jawa dan Bali, termasuk Lampung. "Saya berharap kegiatan seperti ini dapat dilaksanakan di daerah lain, agar bahasa daerah bisa eksis, dan tidak mudah terimbas bahasa lain," pinta penyair yang pendiam ini.
Zulkarnain adalah sastrawan pertama di luar Jawa dan Bali yang mendapat hadiah tersebut sejak Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan pada 1989. Semula Rancage hanya memberikan hadiah pada sastrawan Sunda. Mulai tahun 1994 sastrawan yang menulis bahasa daerah Jawa dan tahun 1997 diberikan kepada sastrawan Bali, dan pada 2008 memberikan penghargaan kepada sastrawan daerah terbaik dari luar Jawa dan Bali.
Penulis buku puisi Momentum (2002) itu sejak lama dikenal dengan karya sajak-sajaknya yang kritis, di antaranya mengutarakan tentang kehidupan rakyat kecil, demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan dan pengangguran, hukum, dan korupsi, dengan bahasa asli daerahnya. "Ke depan sajak karya Udo bisa mendorong para pengarang muda lainnya untuk lebih peduli lagi terhadap bahasa ibu dalam berkarya," kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi.
Selain Zulkarnain, ada tiga sastrawan lain yang menerima penghargaan yang sudah berlangsung selama 20 tahun ini, yakni Godi Suwarna (karya berbahasa Sunda berjudul Sandekala), Turiyo Ragilputra (karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul), dan I Nyoman Manda (karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-kayang).
Penghargaan serupa juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali, atau disebut Bali Simbar.
Untuk Hadiah Samsudi, diberikan kepada penulis buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, yaitu Ai Koraliati dengan karya sastra berjudul Catetan Poean Rere.
Menurut Ajip, selama ini kegiatan pemberian Hadiah Sastra Rancage hanya mendapat perhatian pers dan baru kali pemerintah memperhatikan program kebudayaan bahasa daerah ini. Padahal, sebelumnya pemerintah nyaris tidak pernah peduli terhadap budaya daerah. "Untuk itu pemerintah harus mengembangkan perpustakaan (bahasa daerah), lengkap dengan buku yang berisi beragam bahasa daerah di Indonesia. Dan, tidak hanya terfokus di satu tempat," ujarnya.
Adanya perhatian dari pemerintah, Ajip mengharapkan ke depan kegiatan ini lebih berkembang dan tidak hanya melibatkan daerah tertentu saja, seperti Bali, Sunda, Jawa dan Lampung. "Ke depan daerah lain, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon bisa ikut serta dalam kegiatan ini," kata Ajip berharap. n MI/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008
Apresiasi: Awalnya Kegelisahan Alumni UKMBS
KOMUNITAS Berkat Yakin (KoBER) berawal dari kegelisahan sejumlah alumnus Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila menjelang akhir 2001. Saat itu, sejumlah alumnus seperti Ari Pahala Hutabarat, Neri Juliawan, Ahmad Zilalin bertemu pada satu kesepakatan: Mereka ingin meneruskan kegiatan berkesenian yang selama ini dilakoni di UKMBS.
Mereka sadar, tidak semua keluaran UKMBS harus jadi seniman. Tapi, mereka ingin kesenian tetap hidup. Paling tidak, punya perhatian pada seni.
Memasuki 2002, dialog makin sering. "Tapi, waktu itu yang intensif orang-orang yang konsentrasinya di teater," kenang Neri, Jumat (6-6) malam di Bandar Lampung.
Sebelum eksis dengan nama Komunitas Berkat Yakin, alumnus UKMBS ini menyebut komunitasnya Kelompok Sandiwara Berkat Yakin. Pada 26 Mei 2002, ditetapkan sebagai hari lahir komunitas tersebut, bertepatan dengan pementasan pertama teater di atas panggung sederhana di halaman belakang sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Teater berlakon Nyanyian Angsa yang disutradarai Iswadi Pratama itu diperankan Jimmy Maruli Alfian dan Ahmad Zilalin.
Mereka pun merubah nama menjadi KoBER akhir 2004. Yang membuat konsistensi KoBER hingga sekarang: Tidak pernah ada seorang orang pun yang menjadi kepala, ketua, koordinator atau apalah sebutan lain sebagai pemimpin. Yang ada hanya berkesenian.
Waktu terus berjalan, geliat berkesenian KoBER tidak tertahan. Beberapa anggota meminta komunitas memperluas cakupan kegiatan. "Tidak hanya teater, yang lain juga pengen ikut," kata Neri yang menjadi direktur produksi di awal berdiri teater tersebut.
Dari sini, KoBER pun terus berproses sebagai medium kreativitas seni. Berkesenian pun bukan lagi sekadar mengisi waktu luang, melainkan seperti jalan hidup. Dari pilihan ini, lahirlah sejumlah penyair kuat seperti Ari Pahala, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, dan Lupita Lukman.
KoBER juga eksis sebagai salah satu komunitas seni yang konsen pada teater, selain Teater Satu yang dibimbing Iswadi Pratama.
Dari awal berdiri hingga berganti nama, KoBER cuma membagi bidang menjadi dua; artistik dengan Ari Pahala selaku direktur dan produksi yang kini digawangi Ahmad Zilalin. Di artistik ada yang namanya penata musik, penata cahaya, dan lainnya. Sementara itu, produksi mengurusi marketing, administrasi, dan keuangan.
Dengan moto seni, belajar, dan sadar, aktivitas KoBER lalu berkembang tidak melulu teknis berseni. KoBER juga menyeriusi bentuk-bentuk pengembangan diri.
Awal Juni lalu, mereka menyelenggarakan Workshop Self Transformation. "Sudah dari September 2007. Sekarang sudah angkatan kesembilan," ujar Neri.
Kini KoBER yang pekan lalu merayakan milad keenam tengah menatap masa depannya. Masa depan sesuai dengan misinya memperkaya seni dan budaya Lampung dan lebih luas lagi Indonesia. Beberapa seniman muda yang kerap menyumbang karya seni menjadi bukti kiprah mereka patut diperhitungkan. Setelah Ari Pahala, Jimmy, Zilalin, Neri, Inggit, juga Lupita, entah siapa lagi esok yang bakal lahir dari sini. n YOSO MULIAWAN/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008
Mereka sadar, tidak semua keluaran UKMBS harus jadi seniman. Tapi, mereka ingin kesenian tetap hidup. Paling tidak, punya perhatian pada seni.
Memasuki 2002, dialog makin sering. "Tapi, waktu itu yang intensif orang-orang yang konsentrasinya di teater," kenang Neri, Jumat (6-6) malam di Bandar Lampung.
Sebelum eksis dengan nama Komunitas Berkat Yakin, alumnus UKMBS ini menyebut komunitasnya Kelompok Sandiwara Berkat Yakin. Pada 26 Mei 2002, ditetapkan sebagai hari lahir komunitas tersebut, bertepatan dengan pementasan pertama teater di atas panggung sederhana di halaman belakang sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Teater berlakon Nyanyian Angsa yang disutradarai Iswadi Pratama itu diperankan Jimmy Maruli Alfian dan Ahmad Zilalin.
Mereka pun merubah nama menjadi KoBER akhir 2004. Yang membuat konsistensi KoBER hingga sekarang: Tidak pernah ada seorang orang pun yang menjadi kepala, ketua, koordinator atau apalah sebutan lain sebagai pemimpin. Yang ada hanya berkesenian.
Waktu terus berjalan, geliat berkesenian KoBER tidak tertahan. Beberapa anggota meminta komunitas memperluas cakupan kegiatan. "Tidak hanya teater, yang lain juga pengen ikut," kata Neri yang menjadi direktur produksi di awal berdiri teater tersebut.
Dari sini, KoBER pun terus berproses sebagai medium kreativitas seni. Berkesenian pun bukan lagi sekadar mengisi waktu luang, melainkan seperti jalan hidup. Dari pilihan ini, lahirlah sejumlah penyair kuat seperti Ari Pahala, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, dan Lupita Lukman.
KoBER juga eksis sebagai salah satu komunitas seni yang konsen pada teater, selain Teater Satu yang dibimbing Iswadi Pratama.
Dari awal berdiri hingga berganti nama, KoBER cuma membagi bidang menjadi dua; artistik dengan Ari Pahala selaku direktur dan produksi yang kini digawangi Ahmad Zilalin. Di artistik ada yang namanya penata musik, penata cahaya, dan lainnya. Sementara itu, produksi mengurusi marketing, administrasi, dan keuangan.
Dengan moto seni, belajar, dan sadar, aktivitas KoBER lalu berkembang tidak melulu teknis berseni. KoBER juga menyeriusi bentuk-bentuk pengembangan diri.
Awal Juni lalu, mereka menyelenggarakan Workshop Self Transformation. "Sudah dari September 2007. Sekarang sudah angkatan kesembilan," ujar Neri.
Kini KoBER yang pekan lalu merayakan milad keenam tengah menatap masa depannya. Masa depan sesuai dengan misinya memperkaya seni dan budaya Lampung dan lebih luas lagi Indonesia. Beberapa seniman muda yang kerap menyumbang karya seni menjadi bukti kiprah mereka patut diperhitungkan. Setelah Ari Pahala, Jimmy, Zilalin, Neri, Inggit, juga Lupita, entah siapa lagi esok yang bakal lahir dari sini. n YOSO MULIAWAN/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008
Apresiasi: Suara Lain dari Bilik KoBER
ADA kegelisahan juga geliat hidup dari lantai dasar gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Unila, Jumat (6-6) malam, minggu lalu. "Benarkah ada spritualitas dalam seni?" tanya Jimmy Maruli Alfian, penyair muda Lampung saat memandu diskusi bertema Spiritualitas dalam Seni malam itu.
Penyair yang juga Direktur Artistik Teater Satu Iswadi Pratama membuka materi diskusi malam itu dengan perenungan panjang. Mulanya, seniman kelahiran Tanjungkarang 1970 itu menebar kesadaran, mungkin semacam penguatan diri tentang pilihan berkesenian, menjadi penyair, atau bergiat di teater.
Dalam pencahayaan redup dengan latar ruang seadanya, Iswadi membacakan materi diskusinya dengan aksentuasi puitik. Ia membaca pelan, kadang menghentak, sesekali seolah berkejaran dengan waktu, sesuai substansi tulisannya yang bertajuk Spiritualitas dalam Seni.
"Spiritualitas bagiku adalah apa yang telah menempaku dalam seluruh cucuran keringat, air mata, doa, getir-bahagia, harapan-kecemasan, jatuh-bangun, maki dan pujian, perjumpaan-kehilangan, semua hal yang pernah kutata dan hancur, atau segala yang pernah menggilasku dan kulawan habis-habisan, sebentang jurang atau seberkas cahaya dalam kegelapan.....," urai penyair yang kerap "bermain" dengan konstruksi eksistensialis-fenomenologis dalam puisi-puisinya ini.
"Semua itulah yang telah membentuk spiritualitasku; sesuatu yang menjadi milikku, khas, bersendiri, dan abai dari keramaian, lepas dari pasar dan industri, hiruk-pikuk politik, dari segala kemegahan teori, ilmu pengetahuan, segala bentuk transaksi," kata dia.
Ia pun menyimpulkan spiritualitas dalam seni itu sebuah bakti. "Ia disebut bakti karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri," kata Iswadi.
Penyampaian Iswadi tentang spiritualitas seni terasa pas untuk konteks seseorang yang baru memilih hidup berkesenian. Dan ini disadari Iswadi; hingga pada awal penyampaiannya ia menyatakan apa yang dibicarakan malam itu khusus ditujukan pada penggiat seni yang baru bergabung dengan Komunitas Berkat Yakin (KoBER). Dan diskusi malam itu memang dalam rangka milad keenam KoBER.
Seni tanpa spiritualitas tentu hal yang mustahil. Sebab seni adalah spiritualitas itu sendiri, seperti disampaikan cerpenis S.W. Teofani, nama pena Susilowati pada diskusi itu.
Dalam paparannya, Iswadi pun menegaskan makna spiritualitas ini dengan mencontohkan kasus pelukis 1890-an, Vincent van Gogh dan adiknya, Theo, yang total memilih jalan berkesenian. Untuk konteks yang luas, Iswadi sepakat dengan Socrates yang menyerukan: Hidup yang tak dapat direfleksikan, tak layak dijalani.
Ya, karena spiritualitas juga yang membuat manusia akrab dengan dirinya, dengan kehidupan, dengan yang Ilahi. Sebab "di atas bakti adalah Tuhan", ujar penyair Ari Pahala Hutabarat, malam itu.
Kebangkrutan Kultural
Permasalahan segera muncul begitu wacana spiritualitas seni yang digaungkan Iswadi dihadapkan pada kenyataan sosial. Bukankah dunia ini tidak satu matra? Ada sosial, budaya, politik, dan medium-medium budaya pop lainnya yang memenuhi realitas sosial. Jika mungkin, bisakah seni dan kalangan seniman di Lampung hadir sebagai kekuatan yang menebarkan spiritualitas itu?
Pertanyaan ini sah-sah saja. Ketika Iswadi menebar kekhawatiran pada zaman yang dikatakannya dalam "kebangkrutan kultural". Tidakkah mungkin spiritualitas seni menjadi kekuatan yang membalik semua itu?
Spiritualitas dalam seni, ujar Iswadi, bukan produk umum. "Dia khas dan bersendiri dalam diri si seniman."
Orang hanya bisa menangkap getaran seni dalam sebuah produk yang dihasilkan seniman. Namun, di zaman yang berkembang ini, seniman berhadapan pula dengan dunia industri. Dunia yang disebut Iswadi penuh pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan ini juga yang menguatkan gerakan romantisme pertengahan abad ke-18 lalu di Eropa. Seniman menggugat sejarah karena Renaisans dan pencerahan ternyata melahirkan kehidupan yang tak berjiwa. Kenyataan dikorup oleh ideologi kapitalisme dan modernisme hingga yang hadir tinggal kehidupan yang kehilangan sifat-sifat dasar manusia.
Namun, elan vital romantisme itu kini harus berhadapan dengan industrialisasi seni. Kekuatannya susah dibalikkan karena "kini semuanya telah menjelma forum (pasar)," seperti kata Zarathustra yang dipetik khusus Iswadi dalam tulisannya. Dan, yang ada sekarang adalah kenyataan yang mempertontonkan "seni tinggi" berdampingan dengan seni populer.
Problematika berkesenian di Tanah Air, begitu juga di Lampung, seperti mengikuti putaran sejarah dan gerakan budaya di belahan bumi sana. Ada semangat art for art seperti kukuh dikemukakan penyair Ari Pahala Hutabarat, ada juga desakan untuk membebaskan diri dari jaring circle of narcistic.
Mungkinkah kesadaran akan seni sebagai jalan, bukan sebagai tujuan an sich, menjadi pilihan yang menjiwai dekonstruksi kehidupan yang oleh Iswadi dikatakan mengalami "kebangkrutan kultural"?
n YOSO MULIAWAN/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008
Penyair yang juga Direktur Artistik Teater Satu Iswadi Pratama membuka materi diskusi malam itu dengan perenungan panjang. Mulanya, seniman kelahiran Tanjungkarang 1970 itu menebar kesadaran, mungkin semacam penguatan diri tentang pilihan berkesenian, menjadi penyair, atau bergiat di teater.
Dalam pencahayaan redup dengan latar ruang seadanya, Iswadi membacakan materi diskusinya dengan aksentuasi puitik. Ia membaca pelan, kadang menghentak, sesekali seolah berkejaran dengan waktu, sesuai substansi tulisannya yang bertajuk Spiritualitas dalam Seni.
"Spiritualitas bagiku adalah apa yang telah menempaku dalam seluruh cucuran keringat, air mata, doa, getir-bahagia, harapan-kecemasan, jatuh-bangun, maki dan pujian, perjumpaan-kehilangan, semua hal yang pernah kutata dan hancur, atau segala yang pernah menggilasku dan kulawan habis-habisan, sebentang jurang atau seberkas cahaya dalam kegelapan.....," urai penyair yang kerap "bermain" dengan konstruksi eksistensialis-fenomenologis dalam puisi-puisinya ini.
"Semua itulah yang telah membentuk spiritualitasku; sesuatu yang menjadi milikku, khas, bersendiri, dan abai dari keramaian, lepas dari pasar dan industri, hiruk-pikuk politik, dari segala kemegahan teori, ilmu pengetahuan, segala bentuk transaksi," kata dia.
Ia pun menyimpulkan spiritualitas dalam seni itu sebuah bakti. "Ia disebut bakti karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri," kata Iswadi.
Penyampaian Iswadi tentang spiritualitas seni terasa pas untuk konteks seseorang yang baru memilih hidup berkesenian. Dan ini disadari Iswadi; hingga pada awal penyampaiannya ia menyatakan apa yang dibicarakan malam itu khusus ditujukan pada penggiat seni yang baru bergabung dengan Komunitas Berkat Yakin (KoBER). Dan diskusi malam itu memang dalam rangka milad keenam KoBER.
Seni tanpa spiritualitas tentu hal yang mustahil. Sebab seni adalah spiritualitas itu sendiri, seperti disampaikan cerpenis S.W. Teofani, nama pena Susilowati pada diskusi itu.
Dalam paparannya, Iswadi pun menegaskan makna spiritualitas ini dengan mencontohkan kasus pelukis 1890-an, Vincent van Gogh dan adiknya, Theo, yang total memilih jalan berkesenian. Untuk konteks yang luas, Iswadi sepakat dengan Socrates yang menyerukan: Hidup yang tak dapat direfleksikan, tak layak dijalani.
Ya, karena spiritualitas juga yang membuat manusia akrab dengan dirinya, dengan kehidupan, dengan yang Ilahi. Sebab "di atas bakti adalah Tuhan", ujar penyair Ari Pahala Hutabarat, malam itu.
Kebangkrutan Kultural
Permasalahan segera muncul begitu wacana spiritualitas seni yang digaungkan Iswadi dihadapkan pada kenyataan sosial. Bukankah dunia ini tidak satu matra? Ada sosial, budaya, politik, dan medium-medium budaya pop lainnya yang memenuhi realitas sosial. Jika mungkin, bisakah seni dan kalangan seniman di Lampung hadir sebagai kekuatan yang menebarkan spiritualitas itu?
Pertanyaan ini sah-sah saja. Ketika Iswadi menebar kekhawatiran pada zaman yang dikatakannya dalam "kebangkrutan kultural". Tidakkah mungkin spiritualitas seni menjadi kekuatan yang membalik semua itu?
Spiritualitas dalam seni, ujar Iswadi, bukan produk umum. "Dia khas dan bersendiri dalam diri si seniman."
Orang hanya bisa menangkap getaran seni dalam sebuah produk yang dihasilkan seniman. Namun, di zaman yang berkembang ini, seniman berhadapan pula dengan dunia industri. Dunia yang disebut Iswadi penuh pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan ini juga yang menguatkan gerakan romantisme pertengahan abad ke-18 lalu di Eropa. Seniman menggugat sejarah karena Renaisans dan pencerahan ternyata melahirkan kehidupan yang tak berjiwa. Kenyataan dikorup oleh ideologi kapitalisme dan modernisme hingga yang hadir tinggal kehidupan yang kehilangan sifat-sifat dasar manusia.
Namun, elan vital romantisme itu kini harus berhadapan dengan industrialisasi seni. Kekuatannya susah dibalikkan karena "kini semuanya telah menjelma forum (pasar)," seperti kata Zarathustra yang dipetik khusus Iswadi dalam tulisannya. Dan, yang ada sekarang adalah kenyataan yang mempertontonkan "seni tinggi" berdampingan dengan seni populer.
Problematika berkesenian di Tanah Air, begitu juga di Lampung, seperti mengikuti putaran sejarah dan gerakan budaya di belahan bumi sana. Ada semangat art for art seperti kukuh dikemukakan penyair Ari Pahala Hutabarat, ada juga desakan untuk membebaskan diri dari jaring circle of narcistic.
Mungkinkah kesadaran akan seni sebagai jalan, bukan sebagai tujuan an sich, menjadi pilihan yang menjiwai dekonstruksi kehidupan yang oleh Iswadi dikatakan mengalami "kebangkrutan kultural"?
n YOSO MULIAWAN/P-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008
Budaya: Sajian Serbahitam Warnai Danau Ranau
SUKAU--Sajian makanan serbahitam menjadi ungkapan rasa syukur dan harapan masyarakat petani keramba Pekon Lombok, Kecamatan Sukau, Lampung Barat, lewat ritual nyanggakh (ruwat) Danau Ranau, Senin (9-6).
Ritual itu merupakan budaya masyarakat setempat dilakukan turun-temurun yang menjadi ungkapan rasa syukur atas kekayaan alam Danau Ranau seperti ikan air tawar dan keindahan alamnya yang banyak menarik pengunjung.
Selain itu nyanggakh juga bermakna doa dan harapan agar usaha karamba ikan air tawar yang kini dilakukan masyarakat serta usaha lain yang berkaitan dengan Danau Ranau bisa berhasil dan mendapatkan keuntungan.
Prosesi ritual yang dipimpin H. Hazkia, tetua kampung di daerah setempat, dimulai dengan pemotongan kambing yang kulitnya berwarna hitam pada pagi hari untuk dimasak sebagai bahan sajian tumpeng.
Bahan sajian lain disiapkan dalam satu wadah seperti ketan hitam, tebu hitam, air kopi hitam, rokok hitam, cucur hitam, serabi hitam, talas hitam, dan ubi hitam.
Selanjutnya sekitar pukul 16.00, prosesi dimulai puluhan petani karamba membawa makanan tersebut ke tempat yang sudah ditentukan, yakni tepi Danau Ranau. Amben disiapkan sebagai tempat sajian-sajian tersebut.
Setelah semuanya siap, tetua kampung diikuti masyarakat tani lain berkumpul tepat menghadap Danau Ranau. Pimpinan prosesi ritual mulai nangguh menyampaikan doa-doa sesuai dengan permintaan yang berhajat melaksanakan ritual tersebut.
Setelah dibiarkan beberapa saat, makanan itu diserahkan kepada orang yang tidak mampu atau orang yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan ritual.
Madin, ketua kelompok petani karamba, mengatakan budaya nyanggakh sudah dilakukkan turun-temurun sebagai ungkapan rasa syukur dan keinginan yang disampaikan melalui doa kepada Allah swt.
"Kami bersyukur karena Danau Ranau memiliki banyak manfaat bagi kami, apalagi sekarang masyarakat sudah mulai memanfaatkannya juga untuk budi daya ikan di karamba." HENDRI ROSADI/D-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Juni 2008
Ritual itu merupakan budaya masyarakat setempat dilakukan turun-temurun yang menjadi ungkapan rasa syukur atas kekayaan alam Danau Ranau seperti ikan air tawar dan keindahan alamnya yang banyak menarik pengunjung.
Selain itu nyanggakh juga bermakna doa dan harapan agar usaha karamba ikan air tawar yang kini dilakukan masyarakat serta usaha lain yang berkaitan dengan Danau Ranau bisa berhasil dan mendapatkan keuntungan.
Prosesi ritual yang dipimpin H. Hazkia, tetua kampung di daerah setempat, dimulai dengan pemotongan kambing yang kulitnya berwarna hitam pada pagi hari untuk dimasak sebagai bahan sajian tumpeng.
Bahan sajian lain disiapkan dalam satu wadah seperti ketan hitam, tebu hitam, air kopi hitam, rokok hitam, cucur hitam, serabi hitam, talas hitam, dan ubi hitam.
Selanjutnya sekitar pukul 16.00, prosesi dimulai puluhan petani karamba membawa makanan tersebut ke tempat yang sudah ditentukan, yakni tepi Danau Ranau. Amben disiapkan sebagai tempat sajian-sajian tersebut.
Setelah semuanya siap, tetua kampung diikuti masyarakat tani lain berkumpul tepat menghadap Danau Ranau. Pimpinan prosesi ritual mulai nangguh menyampaikan doa-doa sesuai dengan permintaan yang berhajat melaksanakan ritual tersebut.
Setelah dibiarkan beberapa saat, makanan itu diserahkan kepada orang yang tidak mampu atau orang yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan ritual.
Madin, ketua kelompok petani karamba, mengatakan budaya nyanggakh sudah dilakukkan turun-temurun sebagai ungkapan rasa syukur dan keinginan yang disampaikan melalui doa kepada Allah swt.
"Kami bersyukur karena Danau Ranau memiliki banyak manfaat bagi kami, apalagi sekarang masyarakat sudah mulai memanfaatkannya juga untuk budi daya ikan di karamba." HENDRI ROSADI/D-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Juni 2008
HUT Bandar Lampung: Digelar Festival Begawai Adat
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Festival Begawai Adat akan meramaikan peringatan HUT ke-326 Kota Bandar Lampung. Event festival budaya tingkat nasional ini akan digelar 18 Juni 2008.
Festival Begawi Adat Bandar Lampung akan dipusatkan di lapangan GOR Saburai, yang akan menampilkan atraksi seni budaya Bandar Lampung.
"Menurut rencana, Menteri Pariwisata dan Menteri Kelautan dan Perikanan akan hadir dalam rangkaian kegiatan peringatan HUT Bandar Lampung yang puncak acaranya jatuh pada 17 Juni 2008," kata Kabag Humas Kota Bandar Lampung Eddyar Saleh.
Ketua Panitia HUT ke-326 Kota Bandar Lampung Sudarno Eddi mengatakan kegiatan yang akan dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, anggaran yang digunakan tidak dialokasikan khusus dalam APBD 2008.
Eddi Sudarno menjelaskan perayaan ini Lampung merupakan sinkronisasi kegiatan setiap satuan kerja (satker) dalam mempromosikan hasil pembangunan. Anggaran yang akan digunakan juga berasal dari bantuan pihak ketiga yang tidak mengikat dan hasil swadaya masyarakat.
Selain lomba festival paduan suara yang digelar PKK Kota Bandar Lampung, dalam waktu dekat juga digelar lomba jalan sehat yang ditargetkan akan diikuti 25 ribu warga Bandar Lampung dengan hadiah utama lima sepeda motor.
"Pada 17 Juni 2008, kami akan menggelar apel paripurna HUT Kota di Stadion Pahoman. Siang harinya, sekitar pukul 10.00, akan digelar paripurna istimewa DPRD Bandar Lampung di ruang sidang," kata Sudarno usai rapat pemantapan HUT ke-326 Kota Bandar Lampung di press room, Rabu (11-6). Rapat dihadiri pihak-pihak terkait.
Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) akan hadir dalam pameran pembangunan memperingati HUT ke-326 Kota Bandar Lampung tahun 2008, dimulai 16--23 Juni mendatang di halaman parkir GOR Saburai.
Kabag Humas Eddyar Saleh mengatakan pada puncak HUT Kota Bandar Lampung akan diselenggarakan berbagai kegiatan. Mulai pelayanan kesehatan gratis, pelayanan administrasi kependudukan, pembuatan SIM, sampai pelayanan publik berupa dibukanya loket Unit PTSP yang dikelola langsung Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP).
Selain kegiatan pelayanan publik, lanjut Eddyar, Panitia Peringatan HUT ke-326 Bandar Lampung yang sudah ditetapkan dalam SK Wali Kota No. 167/02.5/HK/2008 tentang Pembentukan Panitia Penyelenggaraan Pameran Pembangunan juga akan menyelenggarakan berbagai kegiatan.
Selain pameran pembangunan, akan digelar juga pemilihan muli-mekhanai Kota Bandar Lampung dan pawai budaya yang akan dikoordinasi oleh Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kota Bandar Lampung.
Lomba paduan suara, jalan sehat, dan lomba olahraga tradisional oleh PKK dan Perwosi, serta akan dilaksanakan penyerahan penghargaan wajib pajak teladan. n CR-2/KIM/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Juni 2008
Festival Begawi Adat Bandar Lampung akan dipusatkan di lapangan GOR Saburai, yang akan menampilkan atraksi seni budaya Bandar Lampung.
"Menurut rencana, Menteri Pariwisata dan Menteri Kelautan dan Perikanan akan hadir dalam rangkaian kegiatan peringatan HUT Bandar Lampung yang puncak acaranya jatuh pada 17 Juni 2008," kata Kabag Humas Kota Bandar Lampung Eddyar Saleh.
Ketua Panitia HUT ke-326 Kota Bandar Lampung Sudarno Eddi mengatakan kegiatan yang akan dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, anggaran yang digunakan tidak dialokasikan khusus dalam APBD 2008.
Eddi Sudarno menjelaskan perayaan ini Lampung merupakan sinkronisasi kegiatan setiap satuan kerja (satker) dalam mempromosikan hasil pembangunan. Anggaran yang akan digunakan juga berasal dari bantuan pihak ketiga yang tidak mengikat dan hasil swadaya masyarakat.
Selain lomba festival paduan suara yang digelar PKK Kota Bandar Lampung, dalam waktu dekat juga digelar lomba jalan sehat yang ditargetkan akan diikuti 25 ribu warga Bandar Lampung dengan hadiah utama lima sepeda motor.
"Pada 17 Juni 2008, kami akan menggelar apel paripurna HUT Kota di Stadion Pahoman. Siang harinya, sekitar pukul 10.00, akan digelar paripurna istimewa DPRD Bandar Lampung di ruang sidang," kata Sudarno usai rapat pemantapan HUT ke-326 Kota Bandar Lampung di press room, Rabu (11-6). Rapat dihadiri pihak-pihak terkait.
Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) akan hadir dalam pameran pembangunan memperingati HUT ke-326 Kota Bandar Lampung tahun 2008, dimulai 16--23 Juni mendatang di halaman parkir GOR Saburai.
Kabag Humas Eddyar Saleh mengatakan pada puncak HUT Kota Bandar Lampung akan diselenggarakan berbagai kegiatan. Mulai pelayanan kesehatan gratis, pelayanan administrasi kependudukan, pembuatan SIM, sampai pelayanan publik berupa dibukanya loket Unit PTSP yang dikelola langsung Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP).
Selain kegiatan pelayanan publik, lanjut Eddyar, Panitia Peringatan HUT ke-326 Bandar Lampung yang sudah ditetapkan dalam SK Wali Kota No. 167/02.5/HK/2008 tentang Pembentukan Panitia Penyelenggaraan Pameran Pembangunan juga akan menyelenggarakan berbagai kegiatan.
Selain pameran pembangunan, akan digelar juga pemilihan muli-mekhanai Kota Bandar Lampung dan pawai budaya yang akan dikoordinasi oleh Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kota Bandar Lampung.
Lomba paduan suara, jalan sehat, dan lomba olahraga tradisional oleh PKK dan Perwosi, serta akan dilaksanakan penyerahan penghargaan wajib pajak teladan. n CR-2/KIM/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Juni 2008
June 9, 2008
Prestasi: Tari Tradisional Lampung Raih Penghargaan
SEOUL (Lampost): Kota Bandar Lampung mendapatkan penghargaan sebagai penampil tari tradisional terbaik pada Korea World Travel Fair (Kofta) ke-21 di Seoul, yang berlangsung Kamis hingga Minggu (5--8-6).
Dalam event promosi pariwisata yang diikuti sekitar 50 negara itu, Kota Bandar Lampung ditunjuk Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) menjadi salah satu wakil Indonesia.
Kofta 2008 merupakan ajang promosi pariwisata yang digelar Pemerintah Korea Selatan di Coex Building, Seoul, 5--8 Juni. Event ini digelar setiap tahun sejak 1986. Depbudpar menunjuk Kota Bandar Lampung mengisi tiga sesi acara di panggung utama pada Sabtu (7-6) dan Minggu (8-6) serta memamerkan produk kerajinan Lampung di stan Indonesia setiap hari.
Pada setiap sesi acara di panggung utama, Bandar Lampung menampilkan rangkaian tari daerah seperti melinting, siger pengunten, dan tari kreasi rempak rebana. Selain itu, Bandar Lampung juga menampilkan beberapa lagu daerah dan fashion show sulam usus serta kain tapis rancangan desainer Raswan.
Gemulai tarian yang ditampilkan muli-mekhanai sanggar Tapis Berseri mendapat aplaus pengunjung yang setiap hari mencapai ribuan orang, baik masyarakat Korea Selatan maupun turis setempat. Pada Sabtu, Bandar Lampung mengisi dua sesi, pagi dan sore, Sedangkan pada hari terakhir, Minggu, Bandar Lampung mengisi satu sesi di sore hari.
Menjelang penutupan pameran, Sekretaris Jenderal Depbudpar, Sapta Nirwandar, hadir dan menyaksikan penampilan anak-anak Lampung di pentas. Kepada Lampung Post, Sapta mengaku bangga karena sajian budaya Sang Bumi Ruwa Jurai mendapat sambutan positif pengunjung bahkan memperoleh penghargaan khusus dari panitia.
Sementara itu, Ketua Dekranasda Kota Bandar Lampung Nurpuri Eddy Sutrisno, sangat bangga atas penghargaan panitia. "Ini melebihi harapan kami. Mudah-mudahan apa yang Bandar Lampung upayakan selama acara memberi nilai tambah untuk pariwisata Lampung dan Indonesia." n RAM/U-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 9 Juni 2008
Dalam event promosi pariwisata yang diikuti sekitar 50 negara itu, Kota Bandar Lampung ditunjuk Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) menjadi salah satu wakil Indonesia.
Kofta 2008 merupakan ajang promosi pariwisata yang digelar Pemerintah Korea Selatan di Coex Building, Seoul, 5--8 Juni. Event ini digelar setiap tahun sejak 1986. Depbudpar menunjuk Kota Bandar Lampung mengisi tiga sesi acara di panggung utama pada Sabtu (7-6) dan Minggu (8-6) serta memamerkan produk kerajinan Lampung di stan Indonesia setiap hari.
Pada setiap sesi acara di panggung utama, Bandar Lampung menampilkan rangkaian tari daerah seperti melinting, siger pengunten, dan tari kreasi rempak rebana. Selain itu, Bandar Lampung juga menampilkan beberapa lagu daerah dan fashion show sulam usus serta kain tapis rancangan desainer Raswan.
Gemulai tarian yang ditampilkan muli-mekhanai sanggar Tapis Berseri mendapat aplaus pengunjung yang setiap hari mencapai ribuan orang, baik masyarakat Korea Selatan maupun turis setempat. Pada Sabtu, Bandar Lampung mengisi dua sesi, pagi dan sore, Sedangkan pada hari terakhir, Minggu, Bandar Lampung mengisi satu sesi di sore hari.
Menjelang penutupan pameran, Sekretaris Jenderal Depbudpar, Sapta Nirwandar, hadir dan menyaksikan penampilan anak-anak Lampung di pentas. Kepada Lampung Post, Sapta mengaku bangga karena sajian budaya Sang Bumi Ruwa Jurai mendapat sambutan positif pengunjung bahkan memperoleh penghargaan khusus dari panitia.
Sementara itu, Ketua Dekranasda Kota Bandar Lampung Nurpuri Eddy Sutrisno, sangat bangga atas penghargaan panitia. "Ini melebihi harapan kami. Mudah-mudahan apa yang Bandar Lampung upayakan selama acara memberi nilai tambah untuk pariwisata Lampung dan Indonesia." n RAM/U-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 9 Juni 2008
Budaya: Lomba Muli-Mekhanai Lampung Barat Dimulai
LIWA (Lampost): Hari ini, Senin (9-6), perhelatan lomba pemilihan muli-mekhanai Lampung Barat 2008 dimulai. Lomba berlangsung selama tiga hari, hingga Rabu (11-6).
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat Gatot Hudi Utomo mengatakan kegiatan tahunan tersebut bertujuan menggali potensi muli-mekhanai yang mempunyai minat di bidang showbiz, mengembangkan diri, dan mengajak muli-mekhanai Lampung Barat untuk lebih mengenal dan mencintai seni dan budaya daerah, khususnya Lampung Barat.
Selain itu, kegiatan yang juga disponsori Lampung Post ini diharapkan bisa menjadi ajang kreasi bagi muli-mekhanai Lampung Barat untuk mengetahui tentang kepariwisataan daerahnya.
Muli-mekhanai yang terpilih sebagai duta wisata, dapat mempromosikan objek wisata dan budaya Lampung Barat. "Target kami peserta dari berbagai utusan sekitar 40 pasang muli dan mekhanai," kata Gatot di sela-sela persiapan kegiatan itu, Minggu (8-6).
Aspek penilaian meliputi estetika berbusana, catwalk, tata rias, fashion, photostyle. Juga, aspek kecakapan yang meliputi pengetahuan tentang kepariwisataan dan kebudayaan, wawasan dan pengetahuan populer, serta talent show (unjuk bakat). Aspek penilaian lainnya adalah personality meliputi table manner (jamuan makan malam), public speaking, dan etika pergaulan.
Pada hari pertama, peserta akan mengikuti registrasi di Wisma Sindalapai, tes tertulis dan wawancara di Aula Pemkab Lambar, etika kepribadian dan pengembangan diri, beauty class, pembekalan catwalk, dan malam keakraban peserta. "Kami bekerja semaksimal mungkin untuk sukses dan semaraknya kegiatan ini," kata Gatot. n HEN/R-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 9 Juni 2008
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat Gatot Hudi Utomo mengatakan kegiatan tahunan tersebut bertujuan menggali potensi muli-mekhanai yang mempunyai minat di bidang showbiz, mengembangkan diri, dan mengajak muli-mekhanai Lampung Barat untuk lebih mengenal dan mencintai seni dan budaya daerah, khususnya Lampung Barat.
Selain itu, kegiatan yang juga disponsori Lampung Post ini diharapkan bisa menjadi ajang kreasi bagi muli-mekhanai Lampung Barat untuk mengetahui tentang kepariwisataan daerahnya.
Muli-mekhanai yang terpilih sebagai duta wisata, dapat mempromosikan objek wisata dan budaya Lampung Barat. "Target kami peserta dari berbagai utusan sekitar 40 pasang muli dan mekhanai," kata Gatot di sela-sela persiapan kegiatan itu, Minggu (8-6).
Aspek penilaian meliputi estetika berbusana, catwalk, tata rias, fashion, photostyle. Juga, aspek kecakapan yang meliputi pengetahuan tentang kepariwisataan dan kebudayaan, wawasan dan pengetahuan populer, serta talent show (unjuk bakat). Aspek penilaian lainnya adalah personality meliputi table manner (jamuan makan malam), public speaking, dan etika pergaulan.
Pada hari pertama, peserta akan mengikuti registrasi di Wisma Sindalapai, tes tertulis dan wawancara di Aula Pemkab Lambar, etika kepribadian dan pengembangan diri, beauty class, pembekalan catwalk, dan malam keakraban peserta. "Kami bekerja semaksimal mungkin untuk sukses dan semaraknya kegiatan ini," kata Gatot. n HEN/R-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 9 Juni 2008
June 8, 2008
Wisata: Halau Gajah dengan Alat Tradisional
MASYARAKAT DI LAMPUNG TIMUR TERBIASA MENGHALAU GAJAH SETIAP MENJELANG MUSIM TANAM DAN PANEN. KENTUNGAN SAMPAI BOLA API JADI ALAT PENGUSIR.
TRADISI atau kebiasaan menghalau gajah liar yang datang dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan masuk ke perkampungan masyarakat di 22 desa ada di tujuh kecamatan di Kabupaten Lampung Timur sudah merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan warga hampir setiap malam, terutama saat menjelang musim tanaman dan panen.
Tidak ada ritual atau acara khusus yang dilakukan masyarakat untuk mengusir gajah kembali masuk ke TNWK. Alat-alat yang digunakan merupakan perkakas tradisional yang hingga kini masih dipertahankan dan masih ampuh untuk menghalau kawanan gajah tersebut.
Menurut Budiono, warga Desa Tegal Ombo, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten Lampung Timur, pekerjaan menghalau gajah yang dilakukan bersama-sama dengan warga lain sudah dilakukan sejak 1984 hingga kini, yaitu sejak kawanan gajah mulai masuk ke perladangan atau perkampungan. Sementara itu, alat-alat yang digunakan untuk menghalau gajah agar kembali ke hutan adalah obor, kentungan, jeduman (terbuat dari bambu), bloor (lampu besar), dan juga bola api yang dibuat dari gumpalan kain bekas.
“Semua alat tersebut dibawa pada saat akan menghalau gajah, jadi tidak ada ritual khusus yang dilakukan. Yang penting dalam menghalau gajah, kita jangan takut sebab jika takut, justru gajah yang akan mengejar kita,” kata Budiono yang juga koordinator Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Way Lestari yang dibentuk khusus untuk menghalau gajah.
Biasanya gajah liar tersebut mulai datang sekitar pukul 19.00 WIB secara berkelompok, mulai dari 50 ekor hingga paling sedikit delapan ekor. Sebelum masuk ke perladangan, gajah-gajah tersebut akan melalui sungai yang merupakan pembatas.
“Jadi diupayakan jangan sampai gajah-gajah tersebut melewati sungai, sebab kalau sudah melewati sungai, susah mengusirnya. Kentungan dipukul jika kita sudah melihat kawanan gajah yang akan menyeberang sungai, begitu juga dengan bloor ataupun bola api yang bisa dilempar ke arah gajah. Gajah akan takut mendengar suara kentungan dan melihat cahaya api dan akhirnya secara perlahan kembali ke hutan,” tambahnya.
Setelah gajah kembali ke hutan, ia beserta teman-temannya tidak pulang, tetapi tetap menunggu di pos-pos yang ada hingga subuh. Jika ditinggalkan sebelum pagi, kawanan gajah akan kembali keluar dari hutan.
Salah satu teknik yang digunakan dalam mengusir gajah adalah tidak membiarkan sampai ada gajah yang tertinggal, terutama anak atau gajah betina paling besar yang menjadi pemimpin. Sebab kalau tertinggal, gajah-gajah dalam rombongan akan marah dan ngamuk karena memang salah satu sifat gajah adalah memiliki rasa setia kawan yang kuat.
Sugio, Koordinator Wilite Conservation Society (WCS), mengatakan, saat ini jumlah gajah di TNWK berdasarkan data 2002 ialah sekitar 250 ekor dan kini jumlahnya diperkirakan bertambah hingga 300 ekor. Itu bisa terlihat karena dari setiap kelompok gajah yang keluar selalu disertai anak-anak gajah. WCS sendiri kini telah membina masyarakat setempat dengan membentuk KSM di 22 desa yang berbatasan dengan TNWK.
“Salah satu upaya yang kami lakukan adalah membina masyarakat dan membentuk kelompok-kelompok yang bertugas mengusir gajah. Gajah merupakan hewan yang dilindungi, jadi jangan sampai menggunakan benda- benda tajam yang bisa mengancam keselamatan gajah-gajah tersebut ketika pengusiran,” ujarnya.
Saat ini, 22 desa di tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Way Bungur, Probolinggo, Sukadana, Labuhan Ratu, Way Jepara, Braja Selebah, dan Labuhan Maringgai, sudah memiliki 18 kelompok dengan jumlah anggota 20 sampai 30 orang. Kelompok-kelompok itulah yang bertugas secara bergantian setiap malam untuk ronda di pos pengusir gajah.
“Kami bersyukur kesadaran masyarakat sudah baik, buktinya dalam melakukan pengusiran tidak ada gajah yang cedera atau mati, walaupun kadang gajah-gajah liar tersebut merusak tanaman dan lahan perladangan dan sawah mereka,” lanjutnya.
Menurut Sugio, biasanya kawanan gajah tersebut keluar dari kawasan TNWK untuk mencari makanan, sebab makanan yang ada di dalam hutan sudah berkurang. Gajah memiliki penciuman yang sangat tajam, yaitu bisa mencapai jarak sekitar 30 meter. Gajah bisa mengetahui kapan petani mulai menanam atau mulai masuk masa panen sehingga gajah akan keluar pada masa-masa tersebut.
Warga lainnya, Gatot, mengatakan dana pengusiran gajah berasal dari masyarakat sendiri, sedangkan perhatian dari pemerintah daerah sangat minim. Pemerintah seolah-olah tidak memikirkan nasib warganya yang setiap malam selalu dihantui rasa takut akan terjadinya serangan gajah.
“Sebenarnya tugas mengusir gajah adalah tanggung jawab pemerintah mulai dari kabupaten, provinsi dan juga pusat. Namun buktinya, tidak ada perhatian sama sekali. Untuk ronda setiap malam, kami mengeluarkan dana sendiri dengan iuran. Yang jelas, kami tidak tahu sampai kapan serangan gajah di sini akan berakhir,” tegasnya. (VI/M-3)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 8 Juni 2008
TRADISI atau kebiasaan menghalau gajah liar yang datang dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan masuk ke perkampungan masyarakat di 22 desa ada di tujuh kecamatan di Kabupaten Lampung Timur sudah merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan warga hampir setiap malam, terutama saat menjelang musim tanaman dan panen.
Tidak ada ritual atau acara khusus yang dilakukan masyarakat untuk mengusir gajah kembali masuk ke TNWK. Alat-alat yang digunakan merupakan perkakas tradisional yang hingga kini masih dipertahankan dan masih ampuh untuk menghalau kawanan gajah tersebut.
Menurut Budiono, warga Desa Tegal Ombo, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten Lampung Timur, pekerjaan menghalau gajah yang dilakukan bersama-sama dengan warga lain sudah dilakukan sejak 1984 hingga kini, yaitu sejak kawanan gajah mulai masuk ke perladangan atau perkampungan. Sementara itu, alat-alat yang digunakan untuk menghalau gajah agar kembali ke hutan adalah obor, kentungan, jeduman (terbuat dari bambu), bloor (lampu besar), dan juga bola api yang dibuat dari gumpalan kain bekas.
“Semua alat tersebut dibawa pada saat akan menghalau gajah, jadi tidak ada ritual khusus yang dilakukan. Yang penting dalam menghalau gajah, kita jangan takut sebab jika takut, justru gajah yang akan mengejar kita,” kata Budiono yang juga koordinator Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Way Lestari yang dibentuk khusus untuk menghalau gajah.
Biasanya gajah liar tersebut mulai datang sekitar pukul 19.00 WIB secara berkelompok, mulai dari 50 ekor hingga paling sedikit delapan ekor. Sebelum masuk ke perladangan, gajah-gajah tersebut akan melalui sungai yang merupakan pembatas.
“Jadi diupayakan jangan sampai gajah-gajah tersebut melewati sungai, sebab kalau sudah melewati sungai, susah mengusirnya. Kentungan dipukul jika kita sudah melihat kawanan gajah yang akan menyeberang sungai, begitu juga dengan bloor ataupun bola api yang bisa dilempar ke arah gajah. Gajah akan takut mendengar suara kentungan dan melihat cahaya api dan akhirnya secara perlahan kembali ke hutan,” tambahnya.
Setelah gajah kembali ke hutan, ia beserta teman-temannya tidak pulang, tetapi tetap menunggu di pos-pos yang ada hingga subuh. Jika ditinggalkan sebelum pagi, kawanan gajah akan kembali keluar dari hutan.
Salah satu teknik yang digunakan dalam mengusir gajah adalah tidak membiarkan sampai ada gajah yang tertinggal, terutama anak atau gajah betina paling besar yang menjadi pemimpin. Sebab kalau tertinggal, gajah-gajah dalam rombongan akan marah dan ngamuk karena memang salah satu sifat gajah adalah memiliki rasa setia kawan yang kuat.
Sugio, Koordinator Wilite Conservation Society (WCS), mengatakan, saat ini jumlah gajah di TNWK berdasarkan data 2002 ialah sekitar 250 ekor dan kini jumlahnya diperkirakan bertambah hingga 300 ekor. Itu bisa terlihat karena dari setiap kelompok gajah yang keluar selalu disertai anak-anak gajah. WCS sendiri kini telah membina masyarakat setempat dengan membentuk KSM di 22 desa yang berbatasan dengan TNWK.
“Salah satu upaya yang kami lakukan adalah membina masyarakat dan membentuk kelompok-kelompok yang bertugas mengusir gajah. Gajah merupakan hewan yang dilindungi, jadi jangan sampai menggunakan benda- benda tajam yang bisa mengancam keselamatan gajah-gajah tersebut ketika pengusiran,” ujarnya.
Saat ini, 22 desa di tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Way Bungur, Probolinggo, Sukadana, Labuhan Ratu, Way Jepara, Braja Selebah, dan Labuhan Maringgai, sudah memiliki 18 kelompok dengan jumlah anggota 20 sampai 30 orang. Kelompok-kelompok itulah yang bertugas secara bergantian setiap malam untuk ronda di pos pengusir gajah.
“Kami bersyukur kesadaran masyarakat sudah baik, buktinya dalam melakukan pengusiran tidak ada gajah yang cedera atau mati, walaupun kadang gajah-gajah liar tersebut merusak tanaman dan lahan perladangan dan sawah mereka,” lanjutnya.
Menurut Sugio, biasanya kawanan gajah tersebut keluar dari kawasan TNWK untuk mencari makanan, sebab makanan yang ada di dalam hutan sudah berkurang. Gajah memiliki penciuman yang sangat tajam, yaitu bisa mencapai jarak sekitar 30 meter. Gajah bisa mengetahui kapan petani mulai menanam atau mulai masuk masa panen sehingga gajah akan keluar pada masa-masa tersebut.
Warga lainnya, Gatot, mengatakan dana pengusiran gajah berasal dari masyarakat sendiri, sedangkan perhatian dari pemerintah daerah sangat minim. Pemerintah seolah-olah tidak memikirkan nasib warganya yang setiap malam selalu dihantui rasa takut akan terjadinya serangan gajah.
“Sebenarnya tugas mengusir gajah adalah tanggung jawab pemerintah mulai dari kabupaten, provinsi dan juga pusat. Namun buktinya, tidak ada perhatian sama sekali. Untuk ronda setiap malam, kami mengeluarkan dana sendiri dengan iuran. Yang jelas, kami tidak tahu sampai kapan serangan gajah di sini akan berakhir,” tegasnya. (VI/M-3)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 8 Juni 2008
June 5, 2008
Digelar Lomba Cipta Lagu Lampung
UNTUK melestarikan dan meningkatkan apresiasi lagu Lampung, Bidang Kebudayaan dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung menggelar lomba cipta lagu Lampung pada 23--25 Juni di teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung.
Kepala Bidang Kebudayaan dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Suwandi menjelaskan tujuan lomba ini menumbuhkembangkan lagu-lagu daerah Lampung dan memperkenalkan nama tempat atau daerah tujuan wista yang ada di provinsi. Lomba ini digelar sekaligus dalam rangka memeringati satu abad Hari Kebangkitan Nasional dan menyambut Visit Lampung Year 2009.
Adapun syair lagu yang diciptakan harus mengisahkan tentang keindahan panorama alam, kenangan cinta, kedamaian masyarakat, kearifan budaya, dan daya tarik lain.
Ketua Pelaksana Ponco Puji Raharto menambahkan syair lagu bisa tentang kota, pemandangan dan tradisi. Persyaratan, peserta minimal berusia 15 tahun, peserta maksimal mengirimkan dua lagu ciptaannya.
Lagu yang dikirimkan asli karya dan aransemen sendiri dan belum pernah dipublikasi dan diikutsertakan dalam lomba sejenis. "Syair lagu berbahasa Lampung boleh dialek 'A' atau 'O'. Karya cipta lagu dikirim dalam bentuk kaset atau CD dengan disertai teks syair beserta not balok atau not angka sebanyak lima lembar," jelas dia, kemarin (4-6).
Kegiatan ini ditutup tanggal 20 Juni 2008. Seleksi lagu akan dilakukan dalam bentuk pementasan pada 23--25 Juni di teater tertutup TBL. Dari semua lagu yang masuk, juri akan menyeleksi menjadi 20 nominasi. Ke-20 nominasi kembali diseleksi dalam pergelaran di Auditorium RRI Bandar Lampung hingga tinggal 10 lagu.
Sepuluh lagu peserta yang terpilih ini bakal mendapat trofi dan dana pembinaan. Bagi peminat, dapat mendaftar ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung di Jalan Jenderal Sudirman, Bandar Lampung. n DWI/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 Juni 2008
Kepala Bidang Kebudayaan dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Suwandi menjelaskan tujuan lomba ini menumbuhkembangkan lagu-lagu daerah Lampung dan memperkenalkan nama tempat atau daerah tujuan wista yang ada di provinsi. Lomba ini digelar sekaligus dalam rangka memeringati satu abad Hari Kebangkitan Nasional dan menyambut Visit Lampung Year 2009.
Adapun syair lagu yang diciptakan harus mengisahkan tentang keindahan panorama alam, kenangan cinta, kedamaian masyarakat, kearifan budaya, dan daya tarik lain.
Ketua Pelaksana Ponco Puji Raharto menambahkan syair lagu bisa tentang kota, pemandangan dan tradisi. Persyaratan, peserta minimal berusia 15 tahun, peserta maksimal mengirimkan dua lagu ciptaannya.
Lagu yang dikirimkan asli karya dan aransemen sendiri dan belum pernah dipublikasi dan diikutsertakan dalam lomba sejenis. "Syair lagu berbahasa Lampung boleh dialek 'A' atau 'O'. Karya cipta lagu dikirim dalam bentuk kaset atau CD dengan disertai teks syair beserta not balok atau not angka sebanyak lima lembar," jelas dia, kemarin (4-6).
Kegiatan ini ditutup tanggal 20 Juni 2008. Seleksi lagu akan dilakukan dalam bentuk pementasan pada 23--25 Juni di teater tertutup TBL. Dari semua lagu yang masuk, juri akan menyeleksi menjadi 20 nominasi. Ke-20 nominasi kembali diseleksi dalam pergelaran di Auditorium RRI Bandar Lampung hingga tinggal 10 lagu.
Sepuluh lagu peserta yang terpilih ini bakal mendapat trofi dan dana pembinaan. Bagi peminat, dapat mendaftar ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung di Jalan Jenderal Sudirman, Bandar Lampung. n DWI/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 Juni 2008
Jalan-Jalan: Eloknya Danau Ranau
-- Mursalin Yasland
TAK kalah, sekiranya bila dibandingkan dengan Danau Toba di Sumatera Utara. Danau Ranau tercatat sebagai danau terbesar kedua di Sumatera, setelah Danau Toba. Danau ini terletak di Desa Lumbok, Kec Sukau, atau 37 km dari kota Liwa, ibukota Kab Lampung Barat (Lambar).
Luas danau ini sekitar 44 kilometer persegi, dikelilingi perbukitan dan berlatar Gunung Seminung yang menjulang. Di danau ini, kita bisa berperahu mengelilingi danau yang airnya jernih. Kita juga bisa berenang, atau memancing ikan di pinggir danau. Bisa juga hanya menikmati kesejukan udaranya sembari menikmati keindahan alam danau yang masih alami.
Kini, pelancong dapat menginap di hotel yang sudah dibangun Pemkab Lambar, di Desa Lumbok. Danau Ranau sudah dijadikan kawasan wisata terpadu (KWT) Lumbok Danau Ranau. Di tempat ini, kita bisa mengadakan rapat dan hiburan, sembari menikmati pesona danau.
Pengunjung dapat pula melihat warga yang menjaring ikan di sekitar danau. Kegiatan ini bisa ditemui pada petang hari hingga menjelang matahari terbenam. Warga sering terlihat menarik jaring dan mendapatkan ikan-ikan segar. Bila kita berminat memakannya, dapat langsung membelinya dengan harga damai. "Ikan-ikannya segar, pasti enak," tutur Maksun, seorang pengunjung.
Keindahan matahari terbenam (sunset) di Danau Ranau sangat diimpikan pengunjung. Petang hari, adalah waktu yang menarik bagi pengunjung untuk menikmati panorama, dengan melihat menghilangnya Gunung Seminung di telan malam.
Kesunyian, keteduhan, dan ketengan air Danau Ranau, yang dilapisi sinar mentari petang hari, membuat benak kita yang stres menjadi segar kembali. Setidaknya, berlibur di danau ini cocok untuk orang yang tinggal di kota dengan rutinitasnya.
Bagi yang ingin sehat kulitnya, di perairan Danau Ranau terdapat kawasan air panas. Untuk berkunjung ke sana harus menggunakan kapal motor warga, karena sulit dijangkau lewat darat, sebab berada di kawasan berhutan dan curam.
Pengunjung bisa merendam kaki, atau membasuh muka. Konon, menurut warga setempat, air panas tersebut dapat menghilangkan penyakit kulit dan dapat melancarkan peredaran darah. Tapi, sayang, kawasan air panas ini masih sederhana, belum digarap maksimal untuk wisata. (mur)
Sumber: Republika, 25 Mei 2008
TAK kalah, sekiranya bila dibandingkan dengan Danau Toba di Sumatera Utara. Danau Ranau tercatat sebagai danau terbesar kedua di Sumatera, setelah Danau Toba. Danau ini terletak di Desa Lumbok, Kec Sukau, atau 37 km dari kota Liwa, ibukota Kab Lampung Barat (Lambar).
Luas danau ini sekitar 44 kilometer persegi, dikelilingi perbukitan dan berlatar Gunung Seminung yang menjulang. Di danau ini, kita bisa berperahu mengelilingi danau yang airnya jernih. Kita juga bisa berenang, atau memancing ikan di pinggir danau. Bisa juga hanya menikmati kesejukan udaranya sembari menikmati keindahan alam danau yang masih alami.
Kini, pelancong dapat menginap di hotel yang sudah dibangun Pemkab Lambar, di Desa Lumbok. Danau Ranau sudah dijadikan kawasan wisata terpadu (KWT) Lumbok Danau Ranau. Di tempat ini, kita bisa mengadakan rapat dan hiburan, sembari menikmati pesona danau.
Pengunjung dapat pula melihat warga yang menjaring ikan di sekitar danau. Kegiatan ini bisa ditemui pada petang hari hingga menjelang matahari terbenam. Warga sering terlihat menarik jaring dan mendapatkan ikan-ikan segar. Bila kita berminat memakannya, dapat langsung membelinya dengan harga damai. "Ikan-ikannya segar, pasti enak," tutur Maksun, seorang pengunjung.
Keindahan matahari terbenam (sunset) di Danau Ranau sangat diimpikan pengunjung. Petang hari, adalah waktu yang menarik bagi pengunjung untuk menikmati panorama, dengan melihat menghilangnya Gunung Seminung di telan malam.
Kesunyian, keteduhan, dan ketengan air Danau Ranau, yang dilapisi sinar mentari petang hari, membuat benak kita yang stres menjadi segar kembali. Setidaknya, berlibur di danau ini cocok untuk orang yang tinggal di kota dengan rutinitasnya.
Bagi yang ingin sehat kulitnya, di perairan Danau Ranau terdapat kawasan air panas. Untuk berkunjung ke sana harus menggunakan kapal motor warga, karena sulit dijangkau lewat darat, sebab berada di kawasan berhutan dan curam.
Pengunjung bisa merendam kaki, atau membasuh muka. Konon, menurut warga setempat, air panas tersebut dapat menghilangkan penyakit kulit dan dapat melancarkan peredaran darah. Tapi, sayang, kawasan air panas ini masih sederhana, belum digarap maksimal untuk wisata. (mur)
Sumber: Republika, 25 Mei 2008
Jalan-Jalan: Pesona Liwa
-- Mursalin Yasland
GEMPA Liwa terjadi pada 14 Februari 1994. Saat itu, Liwa, kota kecil ibukota Kabupaten Lampung Barat (Lambar), sebelah paling Barat Provinsi Lampung, rata dengan tanah. Fasilitas umum dan akses transportasi serta komunikasi lumpuh total.
Bencana alam itu membuat Liwa, dan Lambar pada umumnya, menjadi tersohor sampai ke manca negara. Sejak itu, siapa saja yang berkunjung maupun berlibur ke Lampung tak lengkap bila belum singgah ke Lambar.
Pesona alam Lambar, wilayah seluas 4.950,40 km2, masih memikat. Kabupaten dengan 17 kecamatan yang berpenduduk 383.736 jiwa (tahun 2005) ini menyimpan eksotisme alam yang sangat elok dipandang. Belum lagi, hasil perkebunan kopi Robusta dan Damar yang melimpah.
Kota Liwa terletak di punggung pegunungan Bukit Barisan Selatan. Dari kota Bandar Lampung, ibukota provinsi, untuk ke kota tersebut, harus menempuh jarak 246 km. Pelancong bisa melalui jalan lintas Barat (Jalinbar), atau melalui jalan lintas Sumatera (Jalinsum).
Dengan berkendara pada pagi hingga petang hari, bila melintasi Jalinbar, kita bisa menikmati keaslian hutan dan satwa di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Jika lewat Jalinsum, kita disodori pemandangan yang indah, sejuk nan alami, di balik lereng-lereng perbukitan yang terjal.
Dari Bukit Kemuning, Lampung Utara, sebelum tiba di Liwa, kita akan melewati Sumber Jaya. Di sini, kita bisa beristirahat sebentar di Rest Area. Ini tempat tertinggi di jalan lintas tersebut, seperti di Puncak, Jawa Barat, sekadar untuk menikmati kesunyian alam.
Melanjutkan perjalanan menuju kota Liwa, kita disarankan untuk mematikan AC dan membuka kaca mobil. Soalnya, udara sejuk dan hawa dingin mulai menyelinap di tubuh kita. Sepanjang jalan yang berkelok-kelok penuh jurang, kita masih bisa menikmati panorama alam perbukitan, di Fajar Bulan, Sekincau, dan Kenali.
Baru mendekati kota Liwa, udara dingin dan hawa sejuk bagaikan kawasan Puncak mulai terasa. Apalagi kalau menjelang malam. Memasuki pusat kota Liwa, terdapat Tugu Pohon Arra. Pohon bercabang ini simbol semangat hidup untuk membangun daerah secara total.
Di kota ini udara dingin dan sejuk, enak untuk beristirahat, setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari Bandar Lampung. Di kota ini, pelancong tidak kesulitan untuk menginap. Hotel pun tersedia, namun hampir seluruh kamarnya tidak ber-AC, karena udara sudah dingin menggigilkan.
Ganjar Jationo, warga Liwa, mengingatkan pelancong jangan terkejut. Pasalnya, bila menginap di Liwa, suara seperti mesin hidup di bawah tanah selalu terdengar nyaring. Bahkan, tempat tidur pun bergoyang-goyang, akibat getaran gempa-gempa kecil yang kerap terjadi.
"Warga di sini sudah tidak aneh lagi dengan getaran gempa, bahkan ada yang semakin nyenyak tidur, tidak takut, tidak mau keluar rumah," tutur Ganjar, yang bekerja di Pemkab Lambar.
Udara pada Subuh hari, sangat sejuk. Embun pagi selalu menyelimuti alam Liwa. Sayang, kalau melewati waktu itu hanya di dalam kamar hotel. Bagi yang baru menginjakkan kakinya di Liwa, harus memakai jaket atau sweeter, bila keluar rumah atau hotel.
Untuk mengenang tragedi masa lalu, kita dapat singgah di taman makam di Kec Balik Bukit, Liwa, depan rumah sakit umum daerah. Makam ini bersejarah, karena terdapat tugu Gempa Liwa 1994. Di sini, terdapat kuburan dan tugu berisi nama-nama warga korban gempa yang meninggal dan berhasil dievakuasi.
Pusat wisata
Kota Liwa menjadi pusat wisata Kabupaten Lambar. Dari sini, kita bisa berwisata ke berbagai tempat, dengan panorama alam yang sangat indah dan asli. Bagi yang suka keindahan alam, bisa berkunjung ke Danau Ranau, kawasan pantai Pesisir Barat seperti pantai Selalau, pantai Tanjung Setia, Pulau Pisang, Pantai Penengahan dan Pantai Singing.
Bagi yang senang dengan sumber daya alam, terdapat kawasan gas alam terbesar di Kec Suoh. Selain itu, ada perkebunan damar di Kec Krui. Pohon damar di sini ada yang berusia ratusan tahun. Produksi damar yang termahal dan terkenal di dunia, adalah damar mata kucing.
Di kebun damar kita masih bisa menyaksikan tradisi yang tidak pernah punah: ibu-ibu yang memanjat pohan damar yang tinggi untuk mengambil getah damar. Peralatan yang digunakan ibu-ibu pemberani itu pun sangat sederhana. Sehingga, pada berbagai event, diadakan lomba panjat pohon damar.
Turis asing lebih menyukai singgah di Pantai Tanjung Setia -- sekitar 57 km dari Liwa, atau 25 km dari Kec Krui. Pantai ini memiliki pemandangan alam yang indah. Juga, tempat yang ideal berwisata bahari, berselancar (surfing).
Menurut Damri Alamsyah, mantan Kabag Humas Pemkab Lambar, pada bulan-bulan tertentu, Juni dan Juli, ketinggian ombak mencapai empat meter. Tak heran, bulan-bulan itu, wisatawan asing berbondong-bondong menginap di cottage Pantai Tanjung Setia.
"Ombak pantai ini sangat dikenal ganas dibandingkan pantai lain di dunia. Ini tantangan bagi peselancar," ungkap Damri, yang mendampingi perjalanan Republika ke tempat wisata ini.
James Smith, turis asing asal Belanda, mengaku datang ke Tanjung Setia setelah mendengar cerita dari peselancar asing lainnya. "Ombak di sini sangat bagus untuk berselancar," tutur Smith. Sudah hampir sebulan dia menginap di cottage pantai tersebut.
Memancing di Pulau Pisang
Pelancong yang suka memancing, sebaiknya singgah di Pulau Pisang. Pulau ini berada di laut lepas Samudra Indonesia. Ombaknya pun tinggi juga. Di pulau seluas 200 ha itu terdapat enam desa yang didiami sekita 4.000 jiwa. Pantai pasir putihnya sangat memesona bagi pelancong untuk berjemur atau mandi.
Perairan di sekitar pulau itu sangat menarik untuk aktivitas memancing. Tak jarang, pemancing dunia mendatangi pulau tersebut hanya untuk memancing ikan blue marlin (ikan setuhu), cakalang dan tuna. Sebelum merapat di pulau itu, terdapat dermaga kapal untuk menuju Pulau Pisang. Pelancong pun bisa menikmati dan membeli batu-batu hitam yang cantik dan indah. Batu-batu itu telah dikirim ke berbagai kota di Indonesia, untuk taman dan keindahan rumah.
Berwisata ke Lambar untuk menikmati keindahan alam tidak cukup dengan sehari atau dua hari saja. Masih banyak tempat wisata alam dan pengetahuan umum menarik lainnya. "Paling tidak, berlibur ke Lambar butuh waktu seminggu, baru puas melihat potensi alam di sini," kata Ganjar. (mursalin yasland)
Sumber: Republika, 25 Mei 2008
GEMPA Liwa terjadi pada 14 Februari 1994. Saat itu, Liwa, kota kecil ibukota Kabupaten Lampung Barat (Lambar), sebelah paling Barat Provinsi Lampung, rata dengan tanah. Fasilitas umum dan akses transportasi serta komunikasi lumpuh total.
Bencana alam itu membuat Liwa, dan Lambar pada umumnya, menjadi tersohor sampai ke manca negara. Sejak itu, siapa saja yang berkunjung maupun berlibur ke Lampung tak lengkap bila belum singgah ke Lambar.
Pesona alam Lambar, wilayah seluas 4.950,40 km2, masih memikat. Kabupaten dengan 17 kecamatan yang berpenduduk 383.736 jiwa (tahun 2005) ini menyimpan eksotisme alam yang sangat elok dipandang. Belum lagi, hasil perkebunan kopi Robusta dan Damar yang melimpah.
Kota Liwa terletak di punggung pegunungan Bukit Barisan Selatan. Dari kota Bandar Lampung, ibukota provinsi, untuk ke kota tersebut, harus menempuh jarak 246 km. Pelancong bisa melalui jalan lintas Barat (Jalinbar), atau melalui jalan lintas Sumatera (Jalinsum).
Dengan berkendara pada pagi hingga petang hari, bila melintasi Jalinbar, kita bisa menikmati keaslian hutan dan satwa di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Jika lewat Jalinsum, kita disodori pemandangan yang indah, sejuk nan alami, di balik lereng-lereng perbukitan yang terjal.
Dari Bukit Kemuning, Lampung Utara, sebelum tiba di Liwa, kita akan melewati Sumber Jaya. Di sini, kita bisa beristirahat sebentar di Rest Area. Ini tempat tertinggi di jalan lintas tersebut, seperti di Puncak, Jawa Barat, sekadar untuk menikmati kesunyian alam.
Melanjutkan perjalanan menuju kota Liwa, kita disarankan untuk mematikan AC dan membuka kaca mobil. Soalnya, udara sejuk dan hawa dingin mulai menyelinap di tubuh kita. Sepanjang jalan yang berkelok-kelok penuh jurang, kita masih bisa menikmati panorama alam perbukitan, di Fajar Bulan, Sekincau, dan Kenali.
Baru mendekati kota Liwa, udara dingin dan hawa sejuk bagaikan kawasan Puncak mulai terasa. Apalagi kalau menjelang malam. Memasuki pusat kota Liwa, terdapat Tugu Pohon Arra. Pohon bercabang ini simbol semangat hidup untuk membangun daerah secara total.
Di kota ini udara dingin dan sejuk, enak untuk beristirahat, setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari Bandar Lampung. Di kota ini, pelancong tidak kesulitan untuk menginap. Hotel pun tersedia, namun hampir seluruh kamarnya tidak ber-AC, karena udara sudah dingin menggigilkan.
Ganjar Jationo, warga Liwa, mengingatkan pelancong jangan terkejut. Pasalnya, bila menginap di Liwa, suara seperti mesin hidup di bawah tanah selalu terdengar nyaring. Bahkan, tempat tidur pun bergoyang-goyang, akibat getaran gempa-gempa kecil yang kerap terjadi.
"Warga di sini sudah tidak aneh lagi dengan getaran gempa, bahkan ada yang semakin nyenyak tidur, tidak takut, tidak mau keluar rumah," tutur Ganjar, yang bekerja di Pemkab Lambar.
Udara pada Subuh hari, sangat sejuk. Embun pagi selalu menyelimuti alam Liwa. Sayang, kalau melewati waktu itu hanya di dalam kamar hotel. Bagi yang baru menginjakkan kakinya di Liwa, harus memakai jaket atau sweeter, bila keluar rumah atau hotel.
Untuk mengenang tragedi masa lalu, kita dapat singgah di taman makam di Kec Balik Bukit, Liwa, depan rumah sakit umum daerah. Makam ini bersejarah, karena terdapat tugu Gempa Liwa 1994. Di sini, terdapat kuburan dan tugu berisi nama-nama warga korban gempa yang meninggal dan berhasil dievakuasi.
Pusat wisata
Kota Liwa menjadi pusat wisata Kabupaten Lambar. Dari sini, kita bisa berwisata ke berbagai tempat, dengan panorama alam yang sangat indah dan asli. Bagi yang suka keindahan alam, bisa berkunjung ke Danau Ranau, kawasan pantai Pesisir Barat seperti pantai Selalau, pantai Tanjung Setia, Pulau Pisang, Pantai Penengahan dan Pantai Singing.
Bagi yang senang dengan sumber daya alam, terdapat kawasan gas alam terbesar di Kec Suoh. Selain itu, ada perkebunan damar di Kec Krui. Pohon damar di sini ada yang berusia ratusan tahun. Produksi damar yang termahal dan terkenal di dunia, adalah damar mata kucing.
Di kebun damar kita masih bisa menyaksikan tradisi yang tidak pernah punah: ibu-ibu yang memanjat pohan damar yang tinggi untuk mengambil getah damar. Peralatan yang digunakan ibu-ibu pemberani itu pun sangat sederhana. Sehingga, pada berbagai event, diadakan lomba panjat pohon damar.
Turis asing lebih menyukai singgah di Pantai Tanjung Setia -- sekitar 57 km dari Liwa, atau 25 km dari Kec Krui. Pantai ini memiliki pemandangan alam yang indah. Juga, tempat yang ideal berwisata bahari, berselancar (surfing).
Menurut Damri Alamsyah, mantan Kabag Humas Pemkab Lambar, pada bulan-bulan tertentu, Juni dan Juli, ketinggian ombak mencapai empat meter. Tak heran, bulan-bulan itu, wisatawan asing berbondong-bondong menginap di cottage Pantai Tanjung Setia.
"Ombak pantai ini sangat dikenal ganas dibandingkan pantai lain di dunia. Ini tantangan bagi peselancar," ungkap Damri, yang mendampingi perjalanan Republika ke tempat wisata ini.
James Smith, turis asing asal Belanda, mengaku datang ke Tanjung Setia setelah mendengar cerita dari peselancar asing lainnya. "Ombak di sini sangat bagus untuk berselancar," tutur Smith. Sudah hampir sebulan dia menginap di cottage pantai tersebut.
Memancing di Pulau Pisang
Pelancong yang suka memancing, sebaiknya singgah di Pulau Pisang. Pulau ini berada di laut lepas Samudra Indonesia. Ombaknya pun tinggi juga. Di pulau seluas 200 ha itu terdapat enam desa yang didiami sekita 4.000 jiwa. Pantai pasir putihnya sangat memesona bagi pelancong untuk berjemur atau mandi.
Perairan di sekitar pulau itu sangat menarik untuk aktivitas memancing. Tak jarang, pemancing dunia mendatangi pulau tersebut hanya untuk memancing ikan blue marlin (ikan setuhu), cakalang dan tuna. Sebelum merapat di pulau itu, terdapat dermaga kapal untuk menuju Pulau Pisang. Pelancong pun bisa menikmati dan membeli batu-batu hitam yang cantik dan indah. Batu-batu itu telah dikirim ke berbagai kota di Indonesia, untuk taman dan keindahan rumah.
Berwisata ke Lambar untuk menikmati keindahan alam tidak cukup dengan sehari atau dua hari saja. Masih banyak tempat wisata alam dan pengetahuan umum menarik lainnya. "Paling tidak, berlibur ke Lambar butuh waktu seminggu, baru puas melihat potensi alam di sini," kata Ganjar. (mursalin yasland)
Sumber: Republika, 25 Mei 2008