Oleh Indira Rezkisari
MESKI gunung anak Krakatau sering batuk-batuk, kawasan Pulau Krakatau masih aman untuk dikunjungi.
Krakatau. 125 tahun lalu letusannya menewaskan lebih dari 36 ribu jiwa, menyebabkan gelombang tsunami setinggi 40 meter, dan merusak serta menghilangkan 165 desa di sekitarnya. Kini, misteri yang sama masih tetap menyelubungi gunung vulkanik yang masih sangat aktif itu. Setiap hari aktivitas vulkanik menambah ketinggian Gunung Anak Krakatau rata-rata satu centimeter.
Namun, kenyataan itu tidak menggetarkan niat saya menginjakkan kaki ke gunung tersebut. Meski terus tumbuh, sekarang tinggi Anak Krakatau baru sekitar 300 meter, masih jauh dari ketinggian ketika ia meletus pada bulan Agustus 1883, yaitu sekitar 2.000 meter. Setidaknya Anak Krakatau memerlukan waktu 400 tahun lagi untuk memorakporandakan sekitarnya.
Kekhawatiran saya justru lebih pada kenyataan bahwa untuk mencapai gunung itu harus menyeberang laut.
"Bisa berenang, Mbak?" tanya pegawai Krakatoa Nirwana Resort, milik grup Bakrie, tempat saya akan menginap.
Dia tersenyum. "Tidak apa. Nanti pakai pelampung, kok," katanya lagi.
Setelah menginap di resor nyaman berbintang empat yang secara resmi baru akan dibuka Desember nanti saya pun bersiap menuju Krakatau. Ada Festival Krakatau di sana. Festival yang diadakan atas nama peringatan meletusnya Krakatau.
Berpelampung oranye, saya duduk di sisi kiri kapal. Sembari mengucap basmillah saya pun melaut. Mengarungi muara Teluk Lampung dari Kalianda, tempat Krakatoa Nirwana Resort berada, menuju Selat Sunda. Melajulah kami dalam heningnya lautan. Ketika tempat saya menginap dan bangunan di sekelilingnya perlahan tampak mengecil lalu menghilang, hanya ada lautan di sekeliling saya.
Pemandu perjalanan kami, Agung Widodo, seorang peneliti terumbu karang dan ikan dari jurusan biologi Universitas Lampung, mulai bercerita. "Paling aman ke Krakatau itu sebenarnya kalau berangkat dari Lampung," ujarnya. "Selama ini rute populer menuju Krakatau adalah melalui Anyer."
Perjalanan dari Lampung atau dari Kalianda, menurutnya, relatif lebih aman karena adanya pulau-pulau kecil yang menghalangi ombak besar. "Kalau capai bisa mampir dulu di Pulau Sebesi," ucap dia.
Selain Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Rakata. Kecuali Pulau Sebesi, pulau lainnya tidak berpenghuni. Berisi hanya pohon kelapa dan pepohonan lainnya.
Setelah melaut selama dua setengah jam, kapal yang saya tumpangi merapat di Krakatau. Berhubung tidak ada dermaga di sana, satu per satu penumpang kapal harus melinting celana dan bersiap-siap menceburkan diri ke air. Bunyi rebana pun bertabuh. Tari-tarian ala laga pencak silat menyambut kedatangan kami.
Ternyata kami sudah terlambat. Festival yang diawali dengan ruwat laut sudah selesai tiga jam silam. Yang tersisa hanya penduduk Pulau Sebesi dan rebananya. Serta bentangan spanduk kuning bertuliskan Selamat Datang di Festival Gunung Krakatau. Begitu saja. Tanpa hiasan lain yang mewarnai pulau ini. Bahkan para penduduk sebenarnya sudah letih menunggu rombongan dari Jakarta yang tak kunjung tiba.
Tak heran mereka segera bergegas pulang usai menabuhkan lagu bagi rombongan duta besar dari Jakarta yang hanya bisa melambaikan tangannya dari atas kapal feri. Kapal besar itu tentu tidak bisa merapat sedekat kapal kecil yang saya naiki. Jadilah saya dan beberapa orang lainnya menjadi tamu satu-satunya hari itu.
Kedatangan saya tidak dibarengi dengan perjalanan di seputar pulau. M Ikbal, polisi hutan yang menjadi komandan pos, hanya memperbolehkan tur sejauh enam patokan atau 600 meter dari bibir pantai. "Supaya kalau ada letupan mendadak semua bisa langsung keluar pulau," ujarnya.
Hari itu sang gunung memang sedang batuk. Asap hitam dari mulut gunung menyelimuti langit. Belum sampai 300 meter Dodo lalu mengajak seluruh penumpang kembali ke kapal. "Kita mau lihat dari selatan," ujarnya.
Tak sampai setengah jam saya menginjak Krakatau. Harapan melihat kekayaan flora dan faunanya juga tidak kesampaian. Kekecewaan saya sedikit terhapus ketika melihat gumpalan awan hitam keluar dari mulut Anak Krakatau. Bayangan, jika sang gunung itu sudah setinggi 2.000 meter dan awan meletus?
Jangan Lupa Lapor
Kunjungan ke Gunung Krakatau harus disertai izin dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Kondisi sang gunung yang kerap tidak stabil membuat wisata di sekeliling Krakatau tidak bisa dilakukan tanpa pengawasan berwenang.
Petugas BKSDA akan mengeluarkan izin masuk seandainya laporan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memungkinkan pengunjung datang ke sana. Dodo, yang kerap menginap di Krakatau demi keperluan penelitiannya, menambahkan, setelah izin keluar seorang petugas BKSDA lalu ditugaskan untuk mendampingi pemohon izin. Ini diperlukan demi keselamatan wisatawan di gunung yang masih aktif itu.
Sesampainya di Krakatau, masih ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah keharusan membawa kembali sampah yang dibawa. Di pintu masuk pulau memang tersedia tempat sampah, tetapi jangan harap ada petugas sampah yang akan mengangkut sampahnya. Jadi, pilah pilih barang bawaan Anda sebelum mengunjungi Krakatau. Jangan sampai tanda mata yang ditinggalkan adalah seonggok sampah yang membuat cagar alam yang tersohor di dunia ini justru kelihatan buruk.
Karena itu sebelum menyambangi Krakatau ada baiknya menghubungi kantor BKSDA di (0271) 703882 untuk mengurus izin kunjungan. Atau langsung mendatangi petugas di Jalan ZA Pagar Alam 1 B, Bandar Lampung.
Rute Dari Kalianda
Mau bertandang ke Krakatau? Dodo memberikan sejumlah rute alternatif yang bisa dipilih. Cara pertama yang paling mudah adalah dengan menjadi tamu di Krakatao Nirwana Resort. Penginapan ini menyediakan paket kunjungan dengan minimal jumlah peserta.
Atau, bisa mencarter kapal dari Pelabuhan Canti langsung ke Krakatau. Kira-kira memerlukan tiga jam untuk mencapai tempat tujuan. Cara lainnya, kata Dodo, adalah melalui Pelabuhan Canti dan menumpang kapal nelayan atau kapal penduduk yang hendak menuju Pulau Sebesi. Waktu tempuhnya dua jam. "Tarifnya murah. Rp 15 ribu per orang," jelasnya.
Setibanya di Pulau Sebesi Anda bisa menyewa kapal milik penduduk setempat untuk mengantarkan sampai Pulau Anak Krakatau. Rata-rata kapal kayu tersebut berkapasitas maksimal 40 orang. "Tarifnya bervariasi mulai dari Rp 800 ribu sampai Rp 1,2 juta," kata Dodo.
Lumba-lumba di Kiluan
Wisata alam di Lampung Selatan tidak hanya jalan-jalan ke Krakatau. Wisata lumba-lumba pun ada. Tempatnya di Teluk Kiluan. Menurut Dodo, teluk Kiluan bisa dicapai dengan motor selama satu setengah hingga dua jam perjalanan dari Bandar Lampung. Sedangkan pengendara mobil dapat mencapainya dalam waktu dua setengah jam.
Untuk melihat kawanan lumba-lumba Anda masih harus menyewa kapal kecil berkapasitas maksimal tiga orang. ''Kalau kapalnya besar lumba-lumba nggak mau nongol,'' jelas Dodo. "Kapal besar menimbulkan trauma bagi lumba-lumba."
Para pemburu di kapal besar memanfaatkan lumba-lumba yang senang mengikuti kapal atau perahu. Momen tersebut dimanfaatkan pemburu untuk menusukkan tombak ke tubuh lumba-lumba. Mamalia ini lantas dipotong dan diumpankan pada buruan utama mereka, ikan hiu. Hiu yang terpancing daging lumba-lumba kemudian dibunuh dan diambil siripnya untuk dijual.
Jukung atau kapal kecil bisa disewa seharga Rp 200 hingga 250 ribu. Biaya sewa dipastikan Dodo dikenakan sampai puas. Maksudnya sampai penyewa puas melihat lumba-lumba. ''Pokoknya sampai dapat melihat lumba-lumba,'' katanya.
Dari bibir Teluk Kiluan kapal kecil itu tidak mengembara terlalu jauh. Setidaknya hanya perlu lima hingga enam mil dari pantai. ''Tetapi harus bangun pagi kalau mau lihat mereka,'' sambungnya. Lumba-lumba Kiluan memang cuma muncul di pagi hari, sejak pukul 06.00 hingga 10.00 WIB.
Ada dua jenis lumba-lumba di perairan Kiluan, spesies pertama adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus). Lumba-lumba ini memiliki badan yang lebih besar dari spesies lainnya di sini. Ia juga lebih pemalu. Spesies kedua adalah lumba-lumba paruh panjang atau Stenella longirostris. Kendati tubuhnya lebih kecil namun ia lebih senang mempertontonkan dirinya dengan melompat-lompat di atas air laut.
Sumber: Republika, Minggu, 28 September 2008
September 28, 2008
September 25, 2008
Miniatur Kerajaan Tuba Dibangun
MENGGALA (Lampost): Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini meletakkan batu pertama tanda dimulainya pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang di Cakat Nyenyek Menggala, Rabu (24-9).
Acara itu dihadiri Wakil Bupati Agus Mardi Hartono, unsur Muspida, para pejabat, serta tokoh masyarakat. Dari pihak legislatif tak seorang pun terlihat hadir.
Bupati menjelaskan pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang sudah melalui berbagai pertimbangan dan kehati-hatian. Bahkan, untuk meyakinkan kebenaran adanya Kerajaan Tulangbawang, Bupati mengaku telah berkunjung ke museum di Belanda.
Dari hasil peninjauan itu, diyakini bahwa Kerajaan Tulangbawang pernah ada. Karena itu, pemerintah bertekad membangun miniatur kerajaan Tulangbawang. Ke depan, selain untuk taman budaya, juga akan dibangun taman wisata sebagai tempat hiburan rakyat.
Mance, sapaan akrab Bupati Tulangbawang, menambahkan di lokasi miniatur Kerajaan Tulangbawang akan dilengkapi rumah adat dan berbagai fasilitas umum.
Penanggung jawab pelaksana teknis kegiatan, Dr. Sunarto, dari ISI Yogyakarta mengatakan pekerjaan itu memang berat. Pasalnya, berdasarkan sejarah Kerajaan Tulangbawang, tidak ditemukan bentuk fisiknya. Karena memang tidak ada situs yang ditemukan, baik berupa bebatuan ataupun benda-benda lainnya.
Sunarto menjelaskan Kerajaan Tulangbawang diduga berkembang dalam alam yang masih hutan sehingga hasil karya kerajaan diperkirakan sudah hancur.
"Ini sesungguhnya pekerjaan berat, karena harus membangun sesuatu yang memang tidak ada," ujar Sunarto. Untuk itu Sunarto yang juga pengajar di ISI Yogyakarta akan berusaha mencurahkan daya imajinasinya dibantu oleh ahli sejarah.
Guna menyukseskan pembangunan tersebut, diperlukan para ahli seniman dan sejarah, karena nilai sejarah akan dikedepankan. Menurut analisis sementara, Kerajaan Tulangbawang lebih dekat dengan Hinduisme. Karena ada sedikit kemiripan dengan hinduisme yang ada di Jawa, bukan Buddha. Membangun miniatur tanpa ada bukti nyata dari aslinya bukan hal baru di dunia seni. Sebab seorang seniman memang harus mampu melukis sebuah mimpi. Dia mencontohkan, Nabi Isa as. dilukis oleh seorang seniman, padahal masa itu diyakini belum ada teknologi foto. n WID/D-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 September 2008
Acara itu dihadiri Wakil Bupati Agus Mardi Hartono, unsur Muspida, para pejabat, serta tokoh masyarakat. Dari pihak legislatif tak seorang pun terlihat hadir.
Bupati menjelaskan pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang sudah melalui berbagai pertimbangan dan kehati-hatian. Bahkan, untuk meyakinkan kebenaran adanya Kerajaan Tulangbawang, Bupati mengaku telah berkunjung ke museum di Belanda.
Dari hasil peninjauan itu, diyakini bahwa Kerajaan Tulangbawang pernah ada. Karena itu, pemerintah bertekad membangun miniatur kerajaan Tulangbawang. Ke depan, selain untuk taman budaya, juga akan dibangun taman wisata sebagai tempat hiburan rakyat.
Mance, sapaan akrab Bupati Tulangbawang, menambahkan di lokasi miniatur Kerajaan Tulangbawang akan dilengkapi rumah adat dan berbagai fasilitas umum.
Penanggung jawab pelaksana teknis kegiatan, Dr. Sunarto, dari ISI Yogyakarta mengatakan pekerjaan itu memang berat. Pasalnya, berdasarkan sejarah Kerajaan Tulangbawang, tidak ditemukan bentuk fisiknya. Karena memang tidak ada situs yang ditemukan, baik berupa bebatuan ataupun benda-benda lainnya.
Sunarto menjelaskan Kerajaan Tulangbawang diduga berkembang dalam alam yang masih hutan sehingga hasil karya kerajaan diperkirakan sudah hancur.
"Ini sesungguhnya pekerjaan berat, karena harus membangun sesuatu yang memang tidak ada," ujar Sunarto. Untuk itu Sunarto yang juga pengajar di ISI Yogyakarta akan berusaha mencurahkan daya imajinasinya dibantu oleh ahli sejarah.
Guna menyukseskan pembangunan tersebut, diperlukan para ahli seniman dan sejarah, karena nilai sejarah akan dikedepankan. Menurut analisis sementara, Kerajaan Tulangbawang lebih dekat dengan Hinduisme. Karena ada sedikit kemiripan dengan hinduisme yang ada di Jawa, bukan Buddha. Membangun miniatur tanpa ada bukti nyata dari aslinya bukan hal baru di dunia seni. Sebab seorang seniman memang harus mampu melukis sebuah mimpi. Dia mencontohkan, Nabi Isa as. dilukis oleh seorang seniman, padahal masa itu diyakini belum ada teknologi foto. n WID/D-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 September 2008
September 22, 2008
FLP Lampung: Anggota Diminta Aktif Berkarya
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Lampung, Angga Aditya, mengharapkan semua anggota organisasi kepenulisan ini aktif membuat karya. Apalagi, kini FLP memiliki Buletin Litera dan portal www.flplampung.co.cc.
Dengan banyak berkarya, kata Angga, anggota FLP punya peluang untuk menjadi penulis yang sukses. Misalnya, karyanya dipublikasikan di media massa, dibuat dalam bentuk buku, atau disebarkan di dunia maya.
"Dengan adanya buletin dan situs (portal), semua anggota FLP bisa berkarya secara maksimal. Jadikan media ini sebagai wahana belajar menulis," kata Angga, kemarin, dalam acara buka bersama anggota FLP Lampung.
Sedangkan Wakil Ketua FLP Wilayah Lampung, Dessy Ariya Utami, mengatakan anggota FLP harus mencontoh penulis-penulis yang konsisten berkarya. Sebab, kata Dessy, konsistensi itu umumnya membuahkan hasil yang positif.
Dessy juga mengatakan agar anggota FLP mencontoh penasihat FLP, Ika Nurlianawati, yang sudah menulis novel dengan nama pena Anfika Noer. Bahkan novel karya Anfika Noer, Nafsul Mutmainnah, masuk kategori penjualan terbaik atau best seller. Hingga tahun ini, novel karya alumnus FISIP Unila itu sudah masuk cetakan ketujuh. Cerita bersambung Anfika Noer, Prasasti Pasir, juga dimuat Majalah Annida.
"Kita sudah punya Ika Nurlianawati yang berhasil menulis novel dan masuk penjualan terbaik atau best seller. Kini giliran kita mengikuti jejaknya," ujar Dessy memberi motivasi.
FLP Lampung merupakan organisasi pengaderan penulis. Kegiatannya banyak pada pelatihan, workshop, diskusi, kajian, dan seminar tentang kepenulisan. Bahkan, dalam program mereka yang baru, kegiatan pelatihan dibakukan dalam bentuk pertemuan kelas. Ada tiga kelas yang dibuka: kelas menulis cerpen, menulis puisi, dan menulis opini.
Peserta kelas menulis tidak terbatas pada anggota. Yang bukan anggota FLP pun bisa mengikuti kelas yang diminati. Syaratnya tentu saja serius mengikuti materi dalam setiap sesi yang diberikan. */S-1* Padli
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 September 2008
Dengan banyak berkarya, kata Angga, anggota FLP punya peluang untuk menjadi penulis yang sukses. Misalnya, karyanya dipublikasikan di media massa, dibuat dalam bentuk buku, atau disebarkan di dunia maya.
"Dengan adanya buletin dan situs (portal), semua anggota FLP bisa berkarya secara maksimal. Jadikan media ini sebagai wahana belajar menulis," kata Angga, kemarin, dalam acara buka bersama anggota FLP Lampung.
Sedangkan Wakil Ketua FLP Wilayah Lampung, Dessy Ariya Utami, mengatakan anggota FLP harus mencontoh penulis-penulis yang konsisten berkarya. Sebab, kata Dessy, konsistensi itu umumnya membuahkan hasil yang positif.
Dessy juga mengatakan agar anggota FLP mencontoh penasihat FLP, Ika Nurlianawati, yang sudah menulis novel dengan nama pena Anfika Noer. Bahkan novel karya Anfika Noer, Nafsul Mutmainnah, masuk kategori penjualan terbaik atau best seller. Hingga tahun ini, novel karya alumnus FISIP Unila itu sudah masuk cetakan ketujuh. Cerita bersambung Anfika Noer, Prasasti Pasir, juga dimuat Majalah Annida.
"Kita sudah punya Ika Nurlianawati yang berhasil menulis novel dan masuk penjualan terbaik atau best seller. Kini giliran kita mengikuti jejaknya," ujar Dessy memberi motivasi.
FLP Lampung merupakan organisasi pengaderan penulis. Kegiatannya banyak pada pelatihan, workshop, diskusi, kajian, dan seminar tentang kepenulisan. Bahkan, dalam program mereka yang baru, kegiatan pelatihan dibakukan dalam bentuk pertemuan kelas. Ada tiga kelas yang dibuka: kelas menulis cerpen, menulis puisi, dan menulis opini.
Peserta kelas menulis tidak terbatas pada anggota. Yang bukan anggota FLP pun bisa mengikuti kelas yang diminati. Syaratnya tentu saja serius mengikuti materi dalam setiap sesi yang diberikan. */S-1* Padli
Sumber: Lampung Post, Senin, 22 September 2008
September 21, 2008
Fokus: Fenomena Kerajaan Tulangbawang dan Obsesi Mance
KERAJAAN Tulangbawang belum diketemukan situsnya, baik berupa peninggalan berupa candi, ataupun peninggalan lainnya, khususnya di Tulangbawang. Padahal, para peneliti dari Ikatan Arkheologi Indonesia terus melakukan kajian berdasarkan benda-benda peninggalan bersejarah. Namun, para arkeolog mengaku kerajaan Tulangbawang memang ada.
Dalam penelusuran Lampung Post, melalui situs wikipedia.com dijelaskan bahwa Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini.
Dari catatan musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang (Tulangbawang), suatu kerajaan di pedalaman (Sumatera). Namun, Tulangbawang lebih merupakan satu kesatuan adat Tulangbawang yang pernah mengalami kejayaan pada abad VII M.
Sampai kini, belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulangbawang. Namun, ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulangbawang (antara Menggala dan Pagardewa), kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat Kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulangbawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini, yang ada cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat. Namun, karena Tulangbawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka pemimpin adat yang berkuasa selalu berganti-ganti trah. Hingga kini, belum diketemukan benda-benda arkeologi yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.
Kemudian, dari buku Ikatan Arkheologi Indonesia 2002, dijelaskan bahwa Tulangbawang merupakan salah satu lokasi yang banyak disebut dalam sumber sejarah, khususnya berita asing. Di dalam kitab sejarah Dinasti Liang, terdapat keterangan bahwa antara tahun 430--475 datang di China beberapa kali utusan dari To-lang Po-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang Po-hwang dalam dialek China dapat disamakan dengan Tulangbawang. R.M. Ng. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang Po-hwang yang disebut dalam Dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Sungai Tulangbawang, Lampung.
Kerajaan ini pada suatu saat di taklukan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita China hanya sekali saja menyebut kerajaan ini. Kemudian, Tome Pires pengembara dari Portugis, dalam perjalanannya mencari rempah-rempah di kepulauan Nusantara pada tahun 1512--1515, juga menyebut-nyebut Tulangbawang. Berkaitan dengan inilah maka sejak beberapa tahun Ikatan Arkheologi Indonesia, terus melakukan penelitian berkenaan dengan Kerajaan Tulangbawang.
Kajian sejarah belum juga menemukan konstruksi kerajaan Tulangbawang. Namun, seolah tidak sabar, Bupati Tulangbawang Abdurrahman Sarbini bertekat membuat miniatur kerajaan yang masih dalam khayalan banyak sejarawan ini.
Mance, sapaan akrab Abdurrahman Sarbini, memang dikenal sebagai Bupati dengan segudang ide "gila". Namun dengan ide-idenya, dalam enam tahun kepemimpinannya, Tulangbawang melesat mengejar ketertinggalan. Pro-kontra, bagi Mance adalah dinamika yang harus terus dijaga agar tetap bergairah.
Pembangunan infrastruktur dari mulai jalan, rumah sakit, perkantoran dan Universitas, adalah bukti keberaniannya mengekplor kemampuan demi kemajuan Tulangbawang. Pemindahan Gedung DPRD Tulangbawang pada 2007, juga merupakan keputusan yang sangat mengagetkan semua kalangan pejabat dan DPRD. Namun, dengan yakin dan alasan yang kuat pemindahan gedung wakil rakyat itu yang sebelumnya kontroversial menjadi kenyataan. Bahkan, ia berencana memindahkan Kantor Bupati ke Jalan Lintas Timur.
Kini, ada yang lebih "gila" lagi. Ia berniat membangun Kerajaan Tulangbawang. Tujuannya, untuk memajukan daerahnya. Tahun 2008, tepatnya sekitar Oktober, peletakan batu pertama pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang bakal dilakukan. Hanya ada satu tujuan, dengan pembangunan tersebut yaitu untuk menunjukkan bahwa benar zaman dahulu kala Kerajaan Tulangbawang memang ada. Dan, gambaran itulah yang akan dibangun dengan melibatkan Dr. Sunarto Dari ISI Yogyakarta sebagai pelaksana. n WIDODO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
Dalam penelusuran Lampung Post, melalui situs wikipedia.com dijelaskan bahwa Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini.
Dari catatan musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang (Tulangbawang), suatu kerajaan di pedalaman (Sumatera). Namun, Tulangbawang lebih merupakan satu kesatuan adat Tulangbawang yang pernah mengalami kejayaan pada abad VII M.
Sampai kini, belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulangbawang. Namun, ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulangbawang (antara Menggala dan Pagardewa), kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat Kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulangbawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini, yang ada cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat. Namun, karena Tulangbawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka pemimpin adat yang berkuasa selalu berganti-ganti trah. Hingga kini, belum diketemukan benda-benda arkeologi yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.
Kemudian, dari buku Ikatan Arkheologi Indonesia 2002, dijelaskan bahwa Tulangbawang merupakan salah satu lokasi yang banyak disebut dalam sumber sejarah, khususnya berita asing. Di dalam kitab sejarah Dinasti Liang, terdapat keterangan bahwa antara tahun 430--475 datang di China beberapa kali utusan dari To-lang Po-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang Po-hwang dalam dialek China dapat disamakan dengan Tulangbawang. R.M. Ng. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang Po-hwang yang disebut dalam Dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Sungai Tulangbawang, Lampung.
Kerajaan ini pada suatu saat di taklukan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita China hanya sekali saja menyebut kerajaan ini. Kemudian, Tome Pires pengembara dari Portugis, dalam perjalanannya mencari rempah-rempah di kepulauan Nusantara pada tahun 1512--1515, juga menyebut-nyebut Tulangbawang. Berkaitan dengan inilah maka sejak beberapa tahun Ikatan Arkheologi Indonesia, terus melakukan penelitian berkenaan dengan Kerajaan Tulangbawang.
Kajian sejarah belum juga menemukan konstruksi kerajaan Tulangbawang. Namun, seolah tidak sabar, Bupati Tulangbawang Abdurrahman Sarbini bertekat membuat miniatur kerajaan yang masih dalam khayalan banyak sejarawan ini.
Mance, sapaan akrab Abdurrahman Sarbini, memang dikenal sebagai Bupati dengan segudang ide "gila". Namun dengan ide-idenya, dalam enam tahun kepemimpinannya, Tulangbawang melesat mengejar ketertinggalan. Pro-kontra, bagi Mance adalah dinamika yang harus terus dijaga agar tetap bergairah.
Pembangunan infrastruktur dari mulai jalan, rumah sakit, perkantoran dan Universitas, adalah bukti keberaniannya mengekplor kemampuan demi kemajuan Tulangbawang. Pemindahan Gedung DPRD Tulangbawang pada 2007, juga merupakan keputusan yang sangat mengagetkan semua kalangan pejabat dan DPRD. Namun, dengan yakin dan alasan yang kuat pemindahan gedung wakil rakyat itu yang sebelumnya kontroversial menjadi kenyataan. Bahkan, ia berencana memindahkan Kantor Bupati ke Jalan Lintas Timur.
Kini, ada yang lebih "gila" lagi. Ia berniat membangun Kerajaan Tulangbawang. Tujuannya, untuk memajukan daerahnya. Tahun 2008, tepatnya sekitar Oktober, peletakan batu pertama pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang bakal dilakukan. Hanya ada satu tujuan, dengan pembangunan tersebut yaitu untuk menunjukkan bahwa benar zaman dahulu kala Kerajaan Tulangbawang memang ada. Dan, gambaran itulah yang akan dibangun dengan melibatkan Dr. Sunarto Dari ISI Yogyakarta sebagai pelaksana. n WIDODO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
Fokus: Mimpi Bangkitnya Kerajaan Tulangbawang
IBARAT tidak ada hujan tidak ada angin, satu berita tentang rencana pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang tayang di beberapa koran. Apakah ini hanya khayalan Abdurrachman Sarbini, bupati Tulangbawang?
Tanda tanya besar hadir setiap benak warga Lampung atas berita yang hanya terbit sekali dan habis itu. Sebaris judul berita itu "Pemkab akan Membangun Miniatur Kerajaan Tulangbawang" di Kampung Cakat Raya, Menggala.
Studi sejarah tentang Kerajaan Tulangbawang memang sudah bertebar di mana-mana dan sudah mendunia. Tetapi, hingga kini, di mana dan bagaimana bentuk kerajaan yang disebut dalam risalah-risalah kuno Cina dan Belanda dengan sebutan To-lang Po-hwang itu tidak ditemukan. Maka, wajar jika masyarakat, terutama warga Lampung asal Menggala, diliputi pertanyaan segudang. Pertanyaan utamanya, bagaimana merekonstruksi suatu bentuk yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
Rencana yang disodorkan Mance, sapaan akrab Abdurrachman Sarbini, dinilai suatu ide nyentrik. Memunculkan sesuatu yang abstrak, khayalan, mimpi, tidak biasa, dan aneh itu bahkan bisa dibilang ide gila. Namun, bagaimana Mance menerangkan "kegilaannya" itu? Kepada Widodo, wartawan Lampung Post, Mance menjelaskan hal ikhwal rencananya, Kamis (18-9), di Menggala.
Bagaimana rencana mendirikan miniatur Kerajaan Tulangbawang itu muncul?
Pertanyaan di mana, kapan, dan seperti apa Kerajaan Tulangbawang yang terkenal itu tidak pernah mendapat jawaban kuat. Sementara, keyakinan bahwa kerajaan itu ada, semua sejarawan mengakui. Maka, saya sebagai pemangku daerah ini merasa berkewajiban untuk setidaknya mendapatkan jawaban yang lebih konkret.
Lalu, saya bersama Pak Askari, tokoh adat yang juga anggota DPRD Tulangbawang, difasilitasi Duta Besar Belanda Nadjib Ripat yang juga putra Lampung berkunjung ke Belanda. Di sana, kami mencari informasi tentang kerajaan Tulangbawang ke sebuah museum terkenal. Di situ, saya mendapati sebuah gambar potret yang menunjukkan adanya sebuah Kerajaan Tulangbawang.
Bagaimana penjelasan dari pihak museum?
Semula, kepala museum tidak terlalu detail menjelaskan. Namun, setelah saya memperkenalkan diri sebagai bupati tempat kerajaan itu berada, dia menjelaskan secara detail. Termasuk menunjukkan benda-benda peninggalan kerajaan.
Bagaimana penjelasannya?
Kepala museum itu mengatakan Kerajaan Tulangbawang sesungguhnya dibuat oleh orang Belanda pada abad ke-14, tapi rajanya dari orang Tulangbawang. Bentuk bangunan istananya mirip dengan Candi Borobudur. Lokasinya, di antara Menggala dan Pagar Dewa. Saat ini, situsnya tidak ada lagi, tetapi monumen (pendiriannya) ada di sekitar Menggala-Pagar Dewa.
Baik! Okelah ada. Yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya yang ingin dicapai dengan mendirikan miniatur?
Sebenarnya tidak ada niat lain kecuali hanya untuk menunjukan bahwa benar Kerajaan Tulangbawang pernah ada di Tulangbawang. Apalagi dibuktikan dengan sejarah yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan kerajaan itu sempat di kenal di seluruh dunia. Nah untuk mengenang sejarah masa lalu maka kita akan buat ikon (kenang-kenangan) agar bisa dikenang oleh masyarakat dan generasi mendatang.
Bentuk dari Kerajaan Tulangbawang yang ada di potret museum Belanda itu cukup kuat sebagai acuan membangun?
Untuk bentuk detail, menurut kacamata saya belum cukup. Tetapi, untuk gambaran konstruksi awal, ini sudah bisa direkonstruksi.
Sampai sekarang memang tidak diketemukan bentuk fisiknya Kerajaan Tulangbawang, tetapi tidak berarti tidak bisa dibuat untuk sebuah pelajaran. Guna menghindari kesalahan persepsi, Pemkab bekerja sama dengan Prof. Sunarto dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Namun, kami tetap akan mengacu pada contoh yang pernah dilihat di museum Belanda. Di museum itu juga ada peninggalan berupa guci, benda pusaka, dan lemari.
Lalu kalau sudah jadi, akan digunakan untuk apa?
Ya tentu untuk kita jadikan taman budaya, yang sekaligus bisa untuk tempat rekreasi masyarakat Tulangbawang. Lampung juga membutuhkan taman budaya yang bernuansa sejarah. Untuk itu lingkungan miniatur Kerajaan Tulangbawang akan dilengkapi dengan contoh-contoh peninggalan zaman kerajaan yang tentu mengacu pada aslinya di Belanda. Jadi masyarakat Tulangbawang dan Lampung pada umumnya bisa melihat dan sekaligus menjadi arena wisata pelajar dan budaya.
Dan pembangunan miniatur ini yakin akan mendapat respons dan dukungan rakyat. Pemkab juga akan memberi penjelasan kepada masyarakat secara rasional.
Bagaimana tahapan-tahapan pembangunanya?
Kita akan mulai sekitar Oktober 2008. Pertama akan dibanguan miniatur istana Kerajaan Tulangbawang, dan setelah itu akan dibangun juga rumah-rumah adat yang ada di Tulangbawang.
Adakah model yang menjadi rujukan pembangunan?
Ya, kita memang harus sangat hati-hati betul. Namun dari hasil kunjungan ke museum Belanda itulah inspirasi mendirikan miniatur bangunan Kerajaan Belanda makin kuat. Sekali lagi pembangunan ini bukan asal jadi, tetapi tetap mengacu pada aslinya yang terekam di museum Belanda.
Studi sejarahnya bagaimana?
Benar, kita harus sangat kuat kajian sejarahnya. Untuk itu untuk menghindari salah tafsir panitia pelaksana bangunan yang diserahkan oleh ISI Yogyakarta-Pemkab Tulangbawang, akan tetap melakukan koordinasi dengan museum Belanda sebagai rujukan.
Yang pasti faktanya ialah Kerajaan Tulangbawang merupakan kerajaan besar dan terkenal di seluruh dunia yang berdiri pada abad 14 Masehi.
Dan dari hasil kajian sejarah di museum Belanda ternyata Candi Borobudur awalnya menyatu atau ada hubungan perkawanan dengan Kerajaan Tulangbawang.
Mengenai pendanaan?
Pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang akan dianggarkan melalui APBD 2008 melalui pos bantuan. Untuk tahap awal dana yang akan dialokasikan Rp400 juta dan jika diperkirakan belum mencukupi, tentu akan dipikirkan pada anggaran 2009.
Proyek ini seolah ingin menjadikan Tulangbawang seperti Yogyakarta?
Bukan mencontoh seperti itu, tapi dengan pembangunan ini mudah-mudahan akan terbentuk daerah yang memberikan suasana bersejarah bagaimana halnya di Yogyakarta. Maka itu dukungan masyarakat Tulangbawang dan Lampung pada umumnya adalah mutlak diperlukan demi tercapainya rencana tersebut. Inilah rencana Pemkab Tulangbawang, mudah-mudahan bisa segera terwujud. n M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
Tanda tanya besar hadir setiap benak warga Lampung atas berita yang hanya terbit sekali dan habis itu. Sebaris judul berita itu "Pemkab akan Membangun Miniatur Kerajaan Tulangbawang" di Kampung Cakat Raya, Menggala.
Studi sejarah tentang Kerajaan Tulangbawang memang sudah bertebar di mana-mana dan sudah mendunia. Tetapi, hingga kini, di mana dan bagaimana bentuk kerajaan yang disebut dalam risalah-risalah kuno Cina dan Belanda dengan sebutan To-lang Po-hwang itu tidak ditemukan. Maka, wajar jika masyarakat, terutama warga Lampung asal Menggala, diliputi pertanyaan segudang. Pertanyaan utamanya, bagaimana merekonstruksi suatu bentuk yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
Rencana yang disodorkan Mance, sapaan akrab Abdurrachman Sarbini, dinilai suatu ide nyentrik. Memunculkan sesuatu yang abstrak, khayalan, mimpi, tidak biasa, dan aneh itu bahkan bisa dibilang ide gila. Namun, bagaimana Mance menerangkan "kegilaannya" itu? Kepada Widodo, wartawan Lampung Post, Mance menjelaskan hal ikhwal rencananya, Kamis (18-9), di Menggala.
Bagaimana rencana mendirikan miniatur Kerajaan Tulangbawang itu muncul?
Pertanyaan di mana, kapan, dan seperti apa Kerajaan Tulangbawang yang terkenal itu tidak pernah mendapat jawaban kuat. Sementara, keyakinan bahwa kerajaan itu ada, semua sejarawan mengakui. Maka, saya sebagai pemangku daerah ini merasa berkewajiban untuk setidaknya mendapatkan jawaban yang lebih konkret.
Lalu, saya bersama Pak Askari, tokoh adat yang juga anggota DPRD Tulangbawang, difasilitasi Duta Besar Belanda Nadjib Ripat yang juga putra Lampung berkunjung ke Belanda. Di sana, kami mencari informasi tentang kerajaan Tulangbawang ke sebuah museum terkenal. Di situ, saya mendapati sebuah gambar potret yang menunjukkan adanya sebuah Kerajaan Tulangbawang.
Bagaimana penjelasan dari pihak museum?
Semula, kepala museum tidak terlalu detail menjelaskan. Namun, setelah saya memperkenalkan diri sebagai bupati tempat kerajaan itu berada, dia menjelaskan secara detail. Termasuk menunjukkan benda-benda peninggalan kerajaan.
Bagaimana penjelasannya?
Kepala museum itu mengatakan Kerajaan Tulangbawang sesungguhnya dibuat oleh orang Belanda pada abad ke-14, tapi rajanya dari orang Tulangbawang. Bentuk bangunan istananya mirip dengan Candi Borobudur. Lokasinya, di antara Menggala dan Pagar Dewa. Saat ini, situsnya tidak ada lagi, tetapi monumen (pendiriannya) ada di sekitar Menggala-Pagar Dewa.
Baik! Okelah ada. Yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya yang ingin dicapai dengan mendirikan miniatur?
Sebenarnya tidak ada niat lain kecuali hanya untuk menunjukan bahwa benar Kerajaan Tulangbawang pernah ada di Tulangbawang. Apalagi dibuktikan dengan sejarah yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan kerajaan itu sempat di kenal di seluruh dunia. Nah untuk mengenang sejarah masa lalu maka kita akan buat ikon (kenang-kenangan) agar bisa dikenang oleh masyarakat dan generasi mendatang.
Bentuk dari Kerajaan Tulangbawang yang ada di potret museum Belanda itu cukup kuat sebagai acuan membangun?
Untuk bentuk detail, menurut kacamata saya belum cukup. Tetapi, untuk gambaran konstruksi awal, ini sudah bisa direkonstruksi.
Sampai sekarang memang tidak diketemukan bentuk fisiknya Kerajaan Tulangbawang, tetapi tidak berarti tidak bisa dibuat untuk sebuah pelajaran. Guna menghindari kesalahan persepsi, Pemkab bekerja sama dengan Prof. Sunarto dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Namun, kami tetap akan mengacu pada contoh yang pernah dilihat di museum Belanda. Di museum itu juga ada peninggalan berupa guci, benda pusaka, dan lemari.
Lalu kalau sudah jadi, akan digunakan untuk apa?
Ya tentu untuk kita jadikan taman budaya, yang sekaligus bisa untuk tempat rekreasi masyarakat Tulangbawang. Lampung juga membutuhkan taman budaya yang bernuansa sejarah. Untuk itu lingkungan miniatur Kerajaan Tulangbawang akan dilengkapi dengan contoh-contoh peninggalan zaman kerajaan yang tentu mengacu pada aslinya di Belanda. Jadi masyarakat Tulangbawang dan Lampung pada umumnya bisa melihat dan sekaligus menjadi arena wisata pelajar dan budaya.
Dan pembangunan miniatur ini yakin akan mendapat respons dan dukungan rakyat. Pemkab juga akan memberi penjelasan kepada masyarakat secara rasional.
Bagaimana tahapan-tahapan pembangunanya?
Kita akan mulai sekitar Oktober 2008. Pertama akan dibanguan miniatur istana Kerajaan Tulangbawang, dan setelah itu akan dibangun juga rumah-rumah adat yang ada di Tulangbawang.
Adakah model yang menjadi rujukan pembangunan?
Ya, kita memang harus sangat hati-hati betul. Namun dari hasil kunjungan ke museum Belanda itulah inspirasi mendirikan miniatur bangunan Kerajaan Belanda makin kuat. Sekali lagi pembangunan ini bukan asal jadi, tetapi tetap mengacu pada aslinya yang terekam di museum Belanda.
Studi sejarahnya bagaimana?
Benar, kita harus sangat kuat kajian sejarahnya. Untuk itu untuk menghindari salah tafsir panitia pelaksana bangunan yang diserahkan oleh ISI Yogyakarta-Pemkab Tulangbawang, akan tetap melakukan koordinasi dengan museum Belanda sebagai rujukan.
Yang pasti faktanya ialah Kerajaan Tulangbawang merupakan kerajaan besar dan terkenal di seluruh dunia yang berdiri pada abad 14 Masehi.
Dan dari hasil kajian sejarah di museum Belanda ternyata Candi Borobudur awalnya menyatu atau ada hubungan perkawanan dengan Kerajaan Tulangbawang.
Mengenai pendanaan?
Pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang akan dianggarkan melalui APBD 2008 melalui pos bantuan. Untuk tahap awal dana yang akan dialokasikan Rp400 juta dan jika diperkirakan belum mencukupi, tentu akan dipikirkan pada anggaran 2009.
Proyek ini seolah ingin menjadikan Tulangbawang seperti Yogyakarta?
Bukan mencontoh seperti itu, tapi dengan pembangunan ini mudah-mudahan akan terbentuk daerah yang memberikan suasana bersejarah bagaimana halnya di Yogyakarta. Maka itu dukungan masyarakat Tulangbawang dan Lampung pada umumnya adalah mutlak diperlukan demi tercapainya rencana tersebut. Inilah rencana Pemkab Tulangbawang, mudah-mudahan bisa segera terwujud. n M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
Apresiasi: Kesenian Pasca-Pilgub, GK 16 Tahun Kemudian
-- Isbedy Stiawan ZS*
Sejauh mana pemerintah (daerah) punya kepedulian terhadap kehidupan (apalagi pengembangan) kesenian dan kebudayaan? Jangan-jangan kesenian (kebudayaan) cuma diperhatikan dan diberdayakan saat kekuasaan membutuhkan, sebagaimana Lekra menjadi kekuatan lain di bawah pentas politik (PKI) era 1960-an.
------------
SUDAH keliwat capai Dewan Kesenian Lampung (DKL) berpindah-pindah gedung (sekretariat). Layaknya kucing beranak, layaknya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak 1993 berpindah-pindah dan mengangkut barang dari satu gedung ke gedung lain: (tepatnya) mengikuti arah dan kehendak pemerintah (daerah).
Gedung Kesenian (GK) yang dijanjikan Gubernur Lampung--saat itu Poedjono Pranyoto--pada pengukuhan pengurus DKL tahun 1993 tidak juga terealisasi sekaligus menjadi "utang budaya" Pemprov Lampung. Meski begitu, kepemimpinan Poedjono tergolong apresiatif bagi kesenian (dan kebudayaan) di daerah ini, utamanya membuka "keran" pada bantuan rutin APBD.
Akan tetapi, (nasib) DKL kian miris seiring BE-1 ditinggalkan Poedjono. Sempat beberapa tahun DKL tak memperoleh anggaran APBD pada kepemimpinan Oemarsono. Bahkan, suhu politik elite di Lampung mengimbas ke DKL.
Kala itu, sejumlah "orang penting DKL" ikut bermain dalam kancah perpolitikan dengan membuat pernyataan dukungan pada ketua umum DKL (alm. Herwan Ahmad) yang mau berlaga di pilgub.
Persoalan "utang budaya" Pemprov Lampung untuk membangun GK seakan dilupakan. DKL tetap sebagai partner pemda, sedangkan pemprov "sekadarnya" mengapresiasinya. Tiada tanda niat baik pemda untuk membangun GK yang sangat dinanti para seniman (dan budayawan) di Lampung. Padahal, dari ranah seni budaya tingkat nasional, Lampung sudah berbicara dan mencatat prestasi tak memalukan. Lalu mengapa GK saja, Lampung tidak (belum) memiliki?
Politik pascapilgub waktu itu dengan tidak dilantiknya M. Alzier Dianis Thabranie yang terpilih sebagai gubernur ibarat "prahara" dalam perpolitikan di Lampung. Pemilihan ulang pun digelar: Kemudian kita tahu Sjahroedin berpasangan dengan Syamsurya Ryacudu terpilih. Selanjutnya dilantik melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Awal kepemimpinan Sjahroedin, terus terang, saya ragu pada apresiasinya bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung. Kebimbangan saya sederhana saja: Sjahroedin dari kepolisian, waktunya banyak di luar Lampung sehingga (mungkin) spirit(ual)nya pada seni budaya Lampung akan berjarak--walau ia terlibat di Lampung Sai tapi belum cukup meyakinkan. Keraguan saya kiranya dibuktikannya: DKL harus meninggalkan sekretariat di Wisma Atlet milik KONI Lampung dan meminjam ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL).
Kebijakan Pemprov Lampung yang saya tengara mengecilkan arti DKL memicu polemik cukup panjang di Lampung Post waktu itu. Barangkali saya salah satu dari para seniman Lampung "bersuara kencang" menolak sekretariat DKL hengkang dari Wisma Atlet di Pahoman.
Pada acara peluncuran dan pelelangan buku kumpulan karya-karya para korban gempa Aceh di Balaikeratun, Sjachroedin mengeluarkan statement yang mengagetkan sekaligus menggembirakan seniman (budayawan) Lampung. Masih dalam ingatan saya, ia mengatakan mengusir DKL dari Pahoman; karena gedung itu milik KONI. Ia berjanji akan membangun gedung sekretariat DKL sekaligus gedung pertunjukan (pentas, pameran) seni.
"Kalaupun harus sekarang, saya siap meletakkan batu pertama pembangunan," ia menantang. Sjahroedin menunjuk lahan kosong di kompleks PKOR/LKDL Way Halim.
Dari sini, saya dengan sangat hati-hati "membaca" visi-misi Sjachroedin bagi pengembangan dan kemajuan dunia seni budaya (di) Lampung. Terasa lagi manakala ia memimpin langsung para penyimbang adat (MPAL) dengan melibatkan pengurus (seniman) DKL beranjangsana budaya ke Cirebon dan Banten. Dalam perjalanan Lampung-Cirebon-Banten-Lampung kian mengukuhkan keyakinan saya bahwa "janji" membangun gedung kesenian dan sekretariat DKL tak lama lagi jadi kenyataan.
Sayang seribu sayang, harapan dan impian para seniman memiliki gedung kesenian terhalang pemilihan langsung Gubernur yang dilaksanakan 3 September lalu. Saat diwawancarai salah satu media cetak Lampung pada 2007 soal pembangunan GK, saya katakan kalau Sjachroedin benar-benar mau mewujudkannya jangan sampai 2008. Alasannya, fokusnya bukan lagi pada pembangunan GK melainkan persiapan, penggalangan, lalu masuk kampanye memenangkan Pilgub 2008.
Maaf beribu maaf, asumsi saya itu meleset. Sejak 3 bulan lalu, di depan sekretariat DKL sekarang, yakni di lahan kosong yang dijanjikan telah dimulai pekerjaan pembangunan Gedung Kesenian Lampung berikut sekretariat DKL yang representatif. Tanpa seremoni diiringi peletakan batu pertama oleh Gubernur Lampung, yang sejatinya bisa saja dilakukan Sjachroedin untuk mendapatkan simpati dari para seniman dan budayawan Lampung dalam rangka Pilgub 2008. Aneh pula, Atu Ayi--ketua umum DKL--baru tahu setelah mendapat laporan dari staf DKL.
Dari ruang tamu atau teras DKL, kini saya bisa menatap bagaimana kesibukan para pekerja membangun GK Lampung. Mungkin saja saat memandang itu pernah pula mengangan-angankan tegak dan megahnya GK tersebut, sebagaimana tergambar dalam bingkai foto dan cukup lama dipajang di dinding sekretariat DKL. Saya membayangkan berlangsungnya berbagai kesenian dan pameran seni rupa terjadwal di gedung itu. Para seniman (budayawan) Lampung dan luar serta mancanegara berpacu-padu mempertunjukkan karya terbaiknya.
***
Impinan Gedung Kesenian Lampung terwujud 16 tahun kemudian, memang, bukan waktu yang cepat--bahkan teramat lama. Tetapi, tiada kata terlambat daripada tidak berbuat sama sekali. Mungkin kalimat ini belum cukup tepat untuk menggambarkan betapa panjang penantian para seniman bagi terwujudnya Gedung Kesenian, dan bagi pemda sendiri merupakan "pelunasan utang budaya" yang akan bermakna besar dan bersejarah bagi kehidupan serta pengembangan seni budaya di daerah ini.
Adalah (di tangan) Sjachroedin pula (bisa) diselesaikan. Ini juga penanda bahwa putra mantan Gubernur Lampung (alm.) Zainal Abidin Pagaralam itu telah menoreh sejarah yang tak akan pernah dilupakan. Sebagaimana Ali Sadikin yang "menyulap kebun binatang" di Cikini, Jakarta, menjadi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) telah menyejarah bagi peradaban seni budaya di Tanah Air.
Pembangunan GK di PKOR Way Halim menegaskan pula tak perlu lagi rencana pemusatan kegiatan seni budaya di kawasan Kemiling dengan mengorbankan GOR Saburai yang sempat menuai polemik. Untuk ke depan dan selamanya, saya berharap, soal ruilslag GOR Saburai jangan digulirkan lagi.
Alasannya, kebijakan tersebut tidak populis: Pemda akan menuai protes sebagai biang pelenyapan ikon (penanda) suatu kota. Apatah lagi GOR Saburai sudah tersohor sebagai ruang hijau publik, justru manakala Bandar Lampung sudah kehabisan ruang terbuka sebab pembangunan besar-besaran tapi tak juga mengindahkan tata ruang kota.
Saya tetap yakin, seniman (budayawan) tak perlu cemas pada "tirani" politik. Tentu seniman tidak lalu apolitik (antipolitik) atau jadi anomali di ranah politik, melainkan keterlibatan seniman (dan karya seni) sebagai pencerah(an) sekiranya politik(us) tampak pekat.
Meminjam pendapat mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, jika politik kotor, maka seni yang menyucikan; bukan sebaliknya kesenian (seniman) ikut berlumur lumpur. Cukuplah sejarah kelabu yang dilakukan sebagian seniman Indonesia yang tergabung dalam Lekra menggerakkan arus dari dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat terjalu jauh keterlibatan seniman dalam panggung politik--kendati berpolitik bagi seniman tidak haram—netralitasnya bisa terusik.
Berpijak pada hasil quick count, dan mungkin saja tak mencolok bedanya dari hasil penghitungan manual KPU Lampung, Sjachroedin akan kembali memimpin Lampung periode 2009--2014. Dengan begitu, pengembangan dan kemajuan kesenian (kebudayaan) di Lampung memuara di tampuk Udin-Joko. Tidak berlebihan--apalagi muluk-muluk--sudah saatnya, musim cerah bagi kesenian dan kebudayaan (di) Lampung yang telah dinanti 16 tahun lamanya diharap bukan lagi mimpi di siang hari. Meskipun dalam visi-misi jelang Pilgub 2008 lalu ihwal kebudayaan tidak tercanangkan oleh pasangan Udin-Joko (termasuk 6 pasang kandidat lainnya), tapi mencermati keseriusan Sjachroedin membangun dan mengembangkan seni budaya di daerah sudah terasa.
Tinggal lagi ke depan, maukah ia memberdayakan kedua organisasi tersebut, MPAL dan DKL, sebagai fasilitator dan katalisator sekaligus mitra pemda di bidang masing-masing (adat/budaya dan seni). Pemberdayaan bagi kedua organisasi adat dan kesenian yang diakui sebagai mitra pemerintah, bukan lantas sebagai pedati kelanggengan jabatan. Kalau ini terjadi, pemerintah telah memperdayakan kebudayaan!
Memberdayakan yang saya maksud di sini, ialah bagaimana menyediakan ruang kreativitas yang cerdas seluas-luasnya pada seniman-budayawan: memberi ruang bagi munculnya pemikiran ihwal pengembangan seni budaya yang akan dijadikan acuan renstra pemerintah. Misalnya, memberi masukan (saran) pada pemda betapa pentingnya pengenalan apresiasi seni budaya di tingkat pendidikan menengah (SMA), sehingga tak telanjur Subdin Kebudayaan dihilangkan dari struktur Dinas Pendidikan. Ataupun bersama instansi terkait melakukan penelitian dan penggalian potensi seni budaya leluhur yang masih maupun nyaris dilupakan masyarakat setempat untuk dihidupkan kembali serta dijaga keasliannya jika penting.
* Isbedy Stiawan ZS, seniman
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
Sejauh mana pemerintah (daerah) punya kepedulian terhadap kehidupan (apalagi pengembangan) kesenian dan kebudayaan? Jangan-jangan kesenian (kebudayaan) cuma diperhatikan dan diberdayakan saat kekuasaan membutuhkan, sebagaimana Lekra menjadi kekuatan lain di bawah pentas politik (PKI) era 1960-an.
------------
SUDAH keliwat capai Dewan Kesenian Lampung (DKL) berpindah-pindah gedung (sekretariat). Layaknya kucing beranak, layaknya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak 1993 berpindah-pindah dan mengangkut barang dari satu gedung ke gedung lain: (tepatnya) mengikuti arah dan kehendak pemerintah (daerah).
Gedung Kesenian (GK) yang dijanjikan Gubernur Lampung--saat itu Poedjono Pranyoto--pada pengukuhan pengurus DKL tahun 1993 tidak juga terealisasi sekaligus menjadi "utang budaya" Pemprov Lampung. Meski begitu, kepemimpinan Poedjono tergolong apresiatif bagi kesenian (dan kebudayaan) di daerah ini, utamanya membuka "keran" pada bantuan rutin APBD.
Akan tetapi, (nasib) DKL kian miris seiring BE-1 ditinggalkan Poedjono. Sempat beberapa tahun DKL tak memperoleh anggaran APBD pada kepemimpinan Oemarsono. Bahkan, suhu politik elite di Lampung mengimbas ke DKL.
Kala itu, sejumlah "orang penting DKL" ikut bermain dalam kancah perpolitikan dengan membuat pernyataan dukungan pada ketua umum DKL (alm. Herwan Ahmad) yang mau berlaga di pilgub.
Persoalan "utang budaya" Pemprov Lampung untuk membangun GK seakan dilupakan. DKL tetap sebagai partner pemda, sedangkan pemprov "sekadarnya" mengapresiasinya. Tiada tanda niat baik pemda untuk membangun GK yang sangat dinanti para seniman (dan budayawan) di Lampung. Padahal, dari ranah seni budaya tingkat nasional, Lampung sudah berbicara dan mencatat prestasi tak memalukan. Lalu mengapa GK saja, Lampung tidak (belum) memiliki?
Politik pascapilgub waktu itu dengan tidak dilantiknya M. Alzier Dianis Thabranie yang terpilih sebagai gubernur ibarat "prahara" dalam perpolitikan di Lampung. Pemilihan ulang pun digelar: Kemudian kita tahu Sjahroedin berpasangan dengan Syamsurya Ryacudu terpilih. Selanjutnya dilantik melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Awal kepemimpinan Sjahroedin, terus terang, saya ragu pada apresiasinya bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung. Kebimbangan saya sederhana saja: Sjahroedin dari kepolisian, waktunya banyak di luar Lampung sehingga (mungkin) spirit(ual)nya pada seni budaya Lampung akan berjarak--walau ia terlibat di Lampung Sai tapi belum cukup meyakinkan. Keraguan saya kiranya dibuktikannya: DKL harus meninggalkan sekretariat di Wisma Atlet milik KONI Lampung dan meminjam ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL).
Kebijakan Pemprov Lampung yang saya tengara mengecilkan arti DKL memicu polemik cukup panjang di Lampung Post waktu itu. Barangkali saya salah satu dari para seniman Lampung "bersuara kencang" menolak sekretariat DKL hengkang dari Wisma Atlet di Pahoman.
Pada acara peluncuran dan pelelangan buku kumpulan karya-karya para korban gempa Aceh di Balaikeratun, Sjachroedin mengeluarkan statement yang mengagetkan sekaligus menggembirakan seniman (budayawan) Lampung. Masih dalam ingatan saya, ia mengatakan mengusir DKL dari Pahoman; karena gedung itu milik KONI. Ia berjanji akan membangun gedung sekretariat DKL sekaligus gedung pertunjukan (pentas, pameran) seni.
"Kalaupun harus sekarang, saya siap meletakkan batu pertama pembangunan," ia menantang. Sjahroedin menunjuk lahan kosong di kompleks PKOR/LKDL Way Halim.
Dari sini, saya dengan sangat hati-hati "membaca" visi-misi Sjachroedin bagi pengembangan dan kemajuan dunia seni budaya (di) Lampung. Terasa lagi manakala ia memimpin langsung para penyimbang adat (MPAL) dengan melibatkan pengurus (seniman) DKL beranjangsana budaya ke Cirebon dan Banten. Dalam perjalanan Lampung-Cirebon-Banten-Lampung kian mengukuhkan keyakinan saya bahwa "janji" membangun gedung kesenian dan sekretariat DKL tak lama lagi jadi kenyataan.
Sayang seribu sayang, harapan dan impian para seniman memiliki gedung kesenian terhalang pemilihan langsung Gubernur yang dilaksanakan 3 September lalu. Saat diwawancarai salah satu media cetak Lampung pada 2007 soal pembangunan GK, saya katakan kalau Sjachroedin benar-benar mau mewujudkannya jangan sampai 2008. Alasannya, fokusnya bukan lagi pada pembangunan GK melainkan persiapan, penggalangan, lalu masuk kampanye memenangkan Pilgub 2008.
Maaf beribu maaf, asumsi saya itu meleset. Sejak 3 bulan lalu, di depan sekretariat DKL sekarang, yakni di lahan kosong yang dijanjikan telah dimulai pekerjaan pembangunan Gedung Kesenian Lampung berikut sekretariat DKL yang representatif. Tanpa seremoni diiringi peletakan batu pertama oleh Gubernur Lampung, yang sejatinya bisa saja dilakukan Sjachroedin untuk mendapatkan simpati dari para seniman dan budayawan Lampung dalam rangka Pilgub 2008. Aneh pula, Atu Ayi--ketua umum DKL--baru tahu setelah mendapat laporan dari staf DKL.
Dari ruang tamu atau teras DKL, kini saya bisa menatap bagaimana kesibukan para pekerja membangun GK Lampung. Mungkin saja saat memandang itu pernah pula mengangan-angankan tegak dan megahnya GK tersebut, sebagaimana tergambar dalam bingkai foto dan cukup lama dipajang di dinding sekretariat DKL. Saya membayangkan berlangsungnya berbagai kesenian dan pameran seni rupa terjadwal di gedung itu. Para seniman (budayawan) Lampung dan luar serta mancanegara berpacu-padu mempertunjukkan karya terbaiknya.
***
Impinan Gedung Kesenian Lampung terwujud 16 tahun kemudian, memang, bukan waktu yang cepat--bahkan teramat lama. Tetapi, tiada kata terlambat daripada tidak berbuat sama sekali. Mungkin kalimat ini belum cukup tepat untuk menggambarkan betapa panjang penantian para seniman bagi terwujudnya Gedung Kesenian, dan bagi pemda sendiri merupakan "pelunasan utang budaya" yang akan bermakna besar dan bersejarah bagi kehidupan serta pengembangan seni budaya di daerah ini.
Adalah (di tangan) Sjachroedin pula (bisa) diselesaikan. Ini juga penanda bahwa putra mantan Gubernur Lampung (alm.) Zainal Abidin Pagaralam itu telah menoreh sejarah yang tak akan pernah dilupakan. Sebagaimana Ali Sadikin yang "menyulap kebun binatang" di Cikini, Jakarta, menjadi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) telah menyejarah bagi peradaban seni budaya di Tanah Air.
Pembangunan GK di PKOR Way Halim menegaskan pula tak perlu lagi rencana pemusatan kegiatan seni budaya di kawasan Kemiling dengan mengorbankan GOR Saburai yang sempat menuai polemik. Untuk ke depan dan selamanya, saya berharap, soal ruilslag GOR Saburai jangan digulirkan lagi.
Alasannya, kebijakan tersebut tidak populis: Pemda akan menuai protes sebagai biang pelenyapan ikon (penanda) suatu kota. Apatah lagi GOR Saburai sudah tersohor sebagai ruang hijau publik, justru manakala Bandar Lampung sudah kehabisan ruang terbuka sebab pembangunan besar-besaran tapi tak juga mengindahkan tata ruang kota.
Saya tetap yakin, seniman (budayawan) tak perlu cemas pada "tirani" politik. Tentu seniman tidak lalu apolitik (antipolitik) atau jadi anomali di ranah politik, melainkan keterlibatan seniman (dan karya seni) sebagai pencerah(an) sekiranya politik(us) tampak pekat.
Meminjam pendapat mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, jika politik kotor, maka seni yang menyucikan; bukan sebaliknya kesenian (seniman) ikut berlumur lumpur. Cukuplah sejarah kelabu yang dilakukan sebagian seniman Indonesia yang tergabung dalam Lekra menggerakkan arus dari dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat terjalu jauh keterlibatan seniman dalam panggung politik--kendati berpolitik bagi seniman tidak haram—netralitasnya bisa terusik.
Berpijak pada hasil quick count, dan mungkin saja tak mencolok bedanya dari hasil penghitungan manual KPU Lampung, Sjachroedin akan kembali memimpin Lampung periode 2009--2014. Dengan begitu, pengembangan dan kemajuan kesenian (kebudayaan) di Lampung memuara di tampuk Udin-Joko. Tidak berlebihan--apalagi muluk-muluk--sudah saatnya, musim cerah bagi kesenian dan kebudayaan (di) Lampung yang telah dinanti 16 tahun lamanya diharap bukan lagi mimpi di siang hari. Meskipun dalam visi-misi jelang Pilgub 2008 lalu ihwal kebudayaan tidak tercanangkan oleh pasangan Udin-Joko (termasuk 6 pasang kandidat lainnya), tapi mencermati keseriusan Sjachroedin membangun dan mengembangkan seni budaya di daerah sudah terasa.
Tinggal lagi ke depan, maukah ia memberdayakan kedua organisasi tersebut, MPAL dan DKL, sebagai fasilitator dan katalisator sekaligus mitra pemda di bidang masing-masing (adat/budaya dan seni). Pemberdayaan bagi kedua organisasi adat dan kesenian yang diakui sebagai mitra pemerintah, bukan lantas sebagai pedati kelanggengan jabatan. Kalau ini terjadi, pemerintah telah memperdayakan kebudayaan!
Memberdayakan yang saya maksud di sini, ialah bagaimana menyediakan ruang kreativitas yang cerdas seluas-luasnya pada seniman-budayawan: memberi ruang bagi munculnya pemikiran ihwal pengembangan seni budaya yang akan dijadikan acuan renstra pemerintah. Misalnya, memberi masukan (saran) pada pemda betapa pentingnya pengenalan apresiasi seni budaya di tingkat pendidikan menengah (SMA), sehingga tak telanjur Subdin Kebudayaan dihilangkan dari struktur Dinas Pendidikan. Ataupun bersama instansi terkait melakukan penelitian dan penggalian potensi seni budaya leluhur yang masih maupun nyaris dilupakan masyarakat setempat untuk dihidupkan kembali serta dijaga keasliannya jika penting.
* Isbedy Stiawan ZS, seniman
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
September 17, 2008
Arief Rubiyanto: Protector of Sumatran rhinoceros
-- Oyos Saroso H.N., The Jakarta Post, Bandarlampung
A DISCUSSION about the conservation of the Sumatran rhinoceros wouldn't be complete without mentioning Arief Rubiyanto, who for the past 15 years has been working hard to save the species from extinction.
ARIEF RUBIYANTO (JP/Oyos Saroso H.N.)
Thanks to Arief and his Rhino Protection Unit (RPU), the threat against the Sumatran rhinoceros has been reduced. The past few years have even seen an increase in population numbers of the species in the Lampung area thanks to intensive patrols conducted by the RPU team.
Arief, 38, is one of only a few experts in the country willing to work in the forest. Born in Bandung in 1970, he studied at the animal health department of the Bogor Institute of Agriculture. After graduating in 1993, Arief worked in rhinoceros conservation as a surveyor in the Sumatra Rhino Survey program at Kerinci Seblat National Park (BTNKS).
He has been involved in the preservation of the threatened species ever since.
He was a program volunteer at the anti-poaching unit of Friends of Rhino Foundation in Bengkulu from 1994 to 1995, patrol coordinator of the RPU at BTNKS from 1995 to 1997, field coordinator of the RPU in Way Kambas National Park from 1997 to 1998, field coordinator of the RPU in Bukit Barisan Selatan National Park from 1998 to 1999, supervisor of the RPU Lampung from 1999 to 2003, and field manager for Save the Sumatran Rhinoceros Program at BTNKS from 2004 to 2005.
Arief is now the coordinator of the intelligence and law enforcement unit of the RPU.
"In the 1980s there were some 500 Sumatran rhinoceros at Kerinci Seblat National Park. But in 1994, it was estimated that there were only about 20 left," Arief told The Jakarta Post recently.
"And they were found in different habitats, not only in the protected forest areas.
"Poaching and illegal logging in the 1990s threatened the Sumatran rhinoceros population. Their habitat had dwindled due to the deforestation and poaching. The hunters used steel wires to trap the rhinoceros."
Because of his dedication in saving the species, in 2007 he received the Disney Conservation Hero Award from the Disney Wildlife Conservation Fund in the United States, beating 12 other candidates from all over the world.
"The award was not just for me, but also for my friends in the RPU," he said.
"They have worked very hard and are dedicated to saving the Sumatran rhinoceros."
His best achievement, he said, was when he started the RPU program in Sumatra in 1994. The unit's success in reducing the threats facing Sumatran rhinoceros prompted Arief and his colleagues to make additional efforts to save the Javanese rhinoceros population.
"When we started the program, we got support from the Global Environment Facility and the United Nations Development Program. Later on, we were supported by a number of international agencies under the coordination of the International Rhino Foundation," he said.
As an RPU activist, Arief protects not only the rhinoceros, but also other protected animals such as Sumatran elephants, tigers and orangutans.
Thanks to the RPU's patrol activities, illegal hunters now think twice before hunting in the national park area.
According to Arief, after the RPU was established and started to operate, the number of wild rhinoceros killed dropped dramatically, as did illegal hunting activities.
In the Way Kambas National Park, the estimated population of Sumateran rhinoceros in 1988 was between 19 and 22; by 2007, numbers were believed to have increased to between 24 and 30.
In the Bukit Barisan Selatan National Park forest, numbers were estimated to be around 25 to 40 in 1988, but had increased to around 60 by 2007.
RPU team members such as Arief carry with them a letter of assignment from the BTNKS office, which gives them the authority to arrest hunters found operating illegally in the forest.
The RPU team works in coordination with the forest police and civil servants as well as the general police to support law enforcement against illegal hunting and logging as well as other crimes in the forest.
As a guard of the Sumatran rhinoceros, Arief works in the forest between 16 and 20 days per month on average. He leaves his wife, Rinalia, and their three children, Satria Ibnu Rinanto, 11, Farhan Surya Rinanto, 7, and Arya Putra Rinanto, 2, at home in Bandarlampung.
"But I really enjoy my work," he said.
"My wife and children are used to the situation when I go to the forest. My wife fully supports me in my decision to work in this field."
Source: The Jakarta Post | Tue, 09/16/2008
A DISCUSSION about the conservation of the Sumatran rhinoceros wouldn't be complete without mentioning Arief Rubiyanto, who for the past 15 years has been working hard to save the species from extinction.
ARIEF RUBIYANTO (JP/Oyos Saroso H.N.)
Thanks to Arief and his Rhino Protection Unit (RPU), the threat against the Sumatran rhinoceros has been reduced. The past few years have even seen an increase in population numbers of the species in the Lampung area thanks to intensive patrols conducted by the RPU team.
Arief, 38, is one of only a few experts in the country willing to work in the forest. Born in Bandung in 1970, he studied at the animal health department of the Bogor Institute of Agriculture. After graduating in 1993, Arief worked in rhinoceros conservation as a surveyor in the Sumatra Rhino Survey program at Kerinci Seblat National Park (BTNKS).
He has been involved in the preservation of the threatened species ever since.
He was a program volunteer at the anti-poaching unit of Friends of Rhino Foundation in Bengkulu from 1994 to 1995, patrol coordinator of the RPU at BTNKS from 1995 to 1997, field coordinator of the RPU in Way Kambas National Park from 1997 to 1998, field coordinator of the RPU in Bukit Barisan Selatan National Park from 1998 to 1999, supervisor of the RPU Lampung from 1999 to 2003, and field manager for Save the Sumatran Rhinoceros Program at BTNKS from 2004 to 2005.
Arief is now the coordinator of the intelligence and law enforcement unit of the RPU.
"In the 1980s there were some 500 Sumatran rhinoceros at Kerinci Seblat National Park. But in 1994, it was estimated that there were only about 20 left," Arief told The Jakarta Post recently.
"And they were found in different habitats, not only in the protected forest areas.
"Poaching and illegal logging in the 1990s threatened the Sumatran rhinoceros population. Their habitat had dwindled due to the deforestation and poaching. The hunters used steel wires to trap the rhinoceros."
Because of his dedication in saving the species, in 2007 he received the Disney Conservation Hero Award from the Disney Wildlife Conservation Fund in the United States, beating 12 other candidates from all over the world.
"The award was not just for me, but also for my friends in the RPU," he said.
"They have worked very hard and are dedicated to saving the Sumatran rhinoceros."
His best achievement, he said, was when he started the RPU program in Sumatra in 1994. The unit's success in reducing the threats facing Sumatran rhinoceros prompted Arief and his colleagues to make additional efforts to save the Javanese rhinoceros population.
"When we started the program, we got support from the Global Environment Facility and the United Nations Development Program. Later on, we were supported by a number of international agencies under the coordination of the International Rhino Foundation," he said.
As an RPU activist, Arief protects not only the rhinoceros, but also other protected animals such as Sumatran elephants, tigers and orangutans.
Thanks to the RPU's patrol activities, illegal hunters now think twice before hunting in the national park area.
According to Arief, after the RPU was established and started to operate, the number of wild rhinoceros killed dropped dramatically, as did illegal hunting activities.
In the Way Kambas National Park, the estimated population of Sumateran rhinoceros in 1988 was between 19 and 22; by 2007, numbers were believed to have increased to between 24 and 30.
In the Bukit Barisan Selatan National Park forest, numbers were estimated to be around 25 to 40 in 1988, but had increased to around 60 by 2007.
RPU team members such as Arief carry with them a letter of assignment from the BTNKS office, which gives them the authority to arrest hunters found operating illegally in the forest.
The RPU team works in coordination with the forest police and civil servants as well as the general police to support law enforcement against illegal hunting and logging as well as other crimes in the forest.
As a guard of the Sumatran rhinoceros, Arief works in the forest between 16 and 20 days per month on average. He leaves his wife, Rinalia, and their three children, Satria Ibnu Rinanto, 11, Farhan Surya Rinanto, 7, and Arya Putra Rinanto, 2, at home in Bandarlampung.
"But I really enjoy my work," he said.
"My wife and children are used to the situation when I go to the forest. My wife fully supports me in my decision to work in this field."
Source: The Jakarta Post | Tue, 09/16/2008
September 15, 2008
Sorotan: Ketika Menikah di Atas Trailer
KUSNADI (23) dan Rita (19) yang duduk bersebelahan sesekali saling menatap, mereka pun saling melempar senyum mesra. Kemarin adalah hari pernikahan mereka yang terkesan begitu manis, yang tak mudah untuk dilupakan.
Warga Kelurahan Tamin, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, itu hari Sabtu (30/8) mengikuti nikah massal bersama 59 pasang pengantin yang lain, di Bandar Lampung. Nikah massal itu dilaksanakan di atas tiga trailer.
”Bagi kami, pernikahan ini amat unik. Kami senang sekali, kesannya begitu dalam. Apalagi selain ini baru pertama kali diadakan di Indonesia, nikah massal ini juga gratis,” kata Kusnadi.
Kusnadi dan Rita sebenarnya telah menikah tahun 2007 lalu, tetapi karena alasan ekonomi keduanya tak dapat mengurus surat nikah sehingga kemudian Kusnadi memutuskan mengikuti nikah massal tersebut.
Rochman (37) dan Ruminah (30), pasangan pengantin yang lain, warga Kelurahan Sukadanaham, Kecamatan Telukbetung Barat, juga mengungkapkan alasan yang sama mengikuti nikah massal yang digelar oleh perusahaan sigaret kretek tangan (SKT) Rawit Lampung itu.
”Sampai sekarang kami belum mempunyai surat nikah. Lewat nikah massal ini semua biaya ditanggung oleh perusahaan rokok Rawit,” kata Rochman.
Pendapat senada juga diungkapkan pasangan Hasyim (37)-Arkana (34). Pasangan warga Sribhawono, Lampung Timur, yang menikah tahun 1995 dan sudah dikaruniai dua anak itu hingga sekarang belum memiliki surat nikah.
”Kami seperti mengulang pernikahan kami. Bedanya dulu, selang satu bulan setelah menikahkan kami, penghulunya meninggal sehingga tidak sempat menguruskan surat nikah kami. Sekarang nikah sekejap, dalam sesaat kami mendapat surat nikah,” ujar Hasyim sambil tersenyum malu.
Khotbah nikah
Nikah massal itu dilaksanakan di halaman GOR Saburai, Bandar Lampung. Rangkaian acara diawali dengan khotbah nikah, kemudian dilanjutkan akad nikah secara simbolis yang dilakukan di dalam trailer.
Akad nikah secara simbolis itu dilakukan oleh pasangan Rizal (24) dan Anita (21), yang didampingi oleh Kepala Dinas Pariwisata Lampung M Natsir Ari Nur selaku saksi, kemudian penghulu Sudrajat dari Kantor Urusan Agama (KUA) Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung.
Ke-60 pasang pengantin yang mengenakan baju koko warna merah hati untuk pria dan mempelai wanita dengan kebaya warna serupa beserta selendang kuning itu kemudian diarak keliling kota menggunakan tiga trailer.
Semua mempelai pengantin diarak dengan posisi duduk di dalam trailer. Kursi-kursi bagi semua mempelai disiapkan dalam balutan kain putih sebagai perlambang kesucian pernikahan.
Trailer berkeliling kota mulai dari Jalan Tulang Bawang, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Achmad Yani, Jalan Kartini, Jalan Raden Intan, kemudian kembali lagi ke GOR Saburai.
Ketika melintas di daerah pertokoan dan Pasar Bambu Kuning kawasan Jalan Kartini, warga pun menyambut dengan sorak-sorai. Tak mau ketinggalan, semua mempelai membalas dengan lambaian tangan dan senyum ceria.
Digelar
Brand Manager Rawit Venly Ayu Cahya mengemukakan, nikah massal itu merupakan rangkaian acara rutin pesta rakyat yang digelar perusahaan itu.
”Acara ini juga didaftarkan ke Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia). Tahun 2006 melalui acara pesta rakyat juga kami meraih penghargaan rekor Muri untuk kentungan cabai terbesar. Tahun 2007 meraih rekor Muri, yaitu pernikahan massal di atas gajah serta nikah massal di atas perahu di Palembang,” kata Venly Ayu Cahya.
Menurut Venly, nikah massal tersebut kembali digelar mengingat masih banyak warga setempat yang tak mampu atau kesulitan mengurus surat-surat pernikahan mereka.
Kepala Dinas Pariwisata Lampung M Natsir Ari Nur dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kegiatan kreatif nikah massal tersebut meski sebenarnya pernikahan merupakan kegiatan sakral, tetapi ternyata dapat dikemas ke dalam format hiburan yang memberikan hiburan kepada masyarakat luas.
”Kegiatan ini juga turut mendukung Festival Krakatau Ke-18 Tahun ini,” kata Natsir.
Sementara itu, tim dari Muri yang meninjau kegiatan itu kemarin adalah Awan Rahargo dan Yusuf Ngadri.
”Kegiatan ini telah meraih rekor Muri dengan kategori Terunik,” kata Awan.
Semua mempelai akan selalu mengenang pesan Ustad Hafifulloh dalam khotbahnya, ”Biarlah nikah massal di atas trailer itu meninggalkan kenangan yang manis.”
Namun, tak cukup hanya di situ, biarkan perjalanan biduk rumah tangga ke-60 pasang itu ke depan juga langgeng dan manis selamanya. (HLN/SEM)
Sumber: Kompas, Senin, 15 September 2008
Warga Kelurahan Tamin, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, itu hari Sabtu (30/8) mengikuti nikah massal bersama 59 pasang pengantin yang lain, di Bandar Lampung. Nikah massal itu dilaksanakan di atas tiga trailer.
”Bagi kami, pernikahan ini amat unik. Kami senang sekali, kesannya begitu dalam. Apalagi selain ini baru pertama kali diadakan di Indonesia, nikah massal ini juga gratis,” kata Kusnadi.
Kusnadi dan Rita sebenarnya telah menikah tahun 2007 lalu, tetapi karena alasan ekonomi keduanya tak dapat mengurus surat nikah sehingga kemudian Kusnadi memutuskan mengikuti nikah massal tersebut.
Rochman (37) dan Ruminah (30), pasangan pengantin yang lain, warga Kelurahan Sukadanaham, Kecamatan Telukbetung Barat, juga mengungkapkan alasan yang sama mengikuti nikah massal yang digelar oleh perusahaan sigaret kretek tangan (SKT) Rawit Lampung itu.
”Sampai sekarang kami belum mempunyai surat nikah. Lewat nikah massal ini semua biaya ditanggung oleh perusahaan rokok Rawit,” kata Rochman.
Pendapat senada juga diungkapkan pasangan Hasyim (37)-Arkana (34). Pasangan warga Sribhawono, Lampung Timur, yang menikah tahun 1995 dan sudah dikaruniai dua anak itu hingga sekarang belum memiliki surat nikah.
”Kami seperti mengulang pernikahan kami. Bedanya dulu, selang satu bulan setelah menikahkan kami, penghulunya meninggal sehingga tidak sempat menguruskan surat nikah kami. Sekarang nikah sekejap, dalam sesaat kami mendapat surat nikah,” ujar Hasyim sambil tersenyum malu.
Khotbah nikah
Nikah massal itu dilaksanakan di halaman GOR Saburai, Bandar Lampung. Rangkaian acara diawali dengan khotbah nikah, kemudian dilanjutkan akad nikah secara simbolis yang dilakukan di dalam trailer.
Akad nikah secara simbolis itu dilakukan oleh pasangan Rizal (24) dan Anita (21), yang didampingi oleh Kepala Dinas Pariwisata Lampung M Natsir Ari Nur selaku saksi, kemudian penghulu Sudrajat dari Kantor Urusan Agama (KUA) Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung.
Ke-60 pasang pengantin yang mengenakan baju koko warna merah hati untuk pria dan mempelai wanita dengan kebaya warna serupa beserta selendang kuning itu kemudian diarak keliling kota menggunakan tiga trailer.
Semua mempelai pengantin diarak dengan posisi duduk di dalam trailer. Kursi-kursi bagi semua mempelai disiapkan dalam balutan kain putih sebagai perlambang kesucian pernikahan.
Trailer berkeliling kota mulai dari Jalan Tulang Bawang, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Achmad Yani, Jalan Kartini, Jalan Raden Intan, kemudian kembali lagi ke GOR Saburai.
Ketika melintas di daerah pertokoan dan Pasar Bambu Kuning kawasan Jalan Kartini, warga pun menyambut dengan sorak-sorai. Tak mau ketinggalan, semua mempelai membalas dengan lambaian tangan dan senyum ceria.
Digelar
Brand Manager Rawit Venly Ayu Cahya mengemukakan, nikah massal itu merupakan rangkaian acara rutin pesta rakyat yang digelar perusahaan itu.
”Acara ini juga didaftarkan ke Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia). Tahun 2006 melalui acara pesta rakyat juga kami meraih penghargaan rekor Muri untuk kentungan cabai terbesar. Tahun 2007 meraih rekor Muri, yaitu pernikahan massal di atas gajah serta nikah massal di atas perahu di Palembang,” kata Venly Ayu Cahya.
Menurut Venly, nikah massal tersebut kembali digelar mengingat masih banyak warga setempat yang tak mampu atau kesulitan mengurus surat-surat pernikahan mereka.
Kepala Dinas Pariwisata Lampung M Natsir Ari Nur dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kegiatan kreatif nikah massal tersebut meski sebenarnya pernikahan merupakan kegiatan sakral, tetapi ternyata dapat dikemas ke dalam format hiburan yang memberikan hiburan kepada masyarakat luas.
”Kegiatan ini juga turut mendukung Festival Krakatau Ke-18 Tahun ini,” kata Natsir.
Sementara itu, tim dari Muri yang meninjau kegiatan itu kemarin adalah Awan Rahargo dan Yusuf Ngadri.
”Kegiatan ini telah meraih rekor Muri dengan kategori Terunik,” kata Awan.
Semua mempelai akan selalu mengenang pesan Ustad Hafifulloh dalam khotbahnya, ”Biarlah nikah massal di atas trailer itu meninggalkan kenangan yang manis.”
Namun, tak cukup hanya di situ, biarkan perjalanan biduk rumah tangga ke-60 pasang itu ke depan juga langgeng dan manis selamanya. (HLN/SEM)
Sumber: Kompas, Senin, 15 September 2008
September 14, 2008
Kesenian (di Lampung) Mau ke Mana?
-- Iskandar G.B.*
Idealisme, rasionalitas, spiritualitas berkesenian memang bagus-bagus. Jika tidak segera diwujudkan atau diperjuangkan, semua hanya jadi wacana. Bagaimana di Lampung?
ADA tesis tentang kondisi "global" dari Samuel P. Hutington: Dunia sekarang tidak lagi ditentukan oleh model politik maupun ekonomi tapi oleh kultur. Artinya nilai-nilai seni dan budaya menjadi dominan.
Jadi sekarang kita berhadapan dengan kondisi "perang" kultur atau imajinasi-imajinasi dan tanda-tanda. Benarkah demikian, lalu bagaimana posisi Lampung dalam konteks seni dan budaya?
Sejak beberapa minggu yang lalu saya mengikuti perkembangan wacana yang berkembang di Lampung Post. Isinya beberapa adalah keluh kesah, sumpah serapah, dan beberapa di antaranya adalah petuah, bagaimana menjalani dan menghasilkan seni yang "baik". Sebab itu, saya mengucapkan terima kasih karena bisa belajar tentang hal-hal yang mestinya kami perhatikan ketika berkesenian. Dan saya mohon maaf jika pada kesempatan terbatas ini justru saya ingin menyumbang sedikit rasa khawatir dan beberapa kegundahan yang mungkin sepele dan tak perlu dalam konteks perkembangan kesenian di Lampung.
Saya bingung, apa yang harus saya lakukan setelah membaca esai-esai itu. Saya juga bingung memahami sesungguhnya apa yang ingin disampaikan penulisnya. Misalnya idealisme berkesenian, contoh konkretnya seperti apa sehingga bisa dijadikan teladan bagi kami generasi muda. Kenapa cuma tari yang diserang, bukankah teater, musik, juga mungkin seni rupa juga bisa dipertanyakan idealismenya. Bahkan dewan kesenian di Lampung tentu juga bisa disangsikan idealismenya seperti apa.
Jika idealisme jelas, sikap kita terhadap apa pun akan jelas dan lebih mudah menentukan sikap, mau kerja sama dengan pemerintah atau tidak, mau menerima job atau tidak.
Gagasan tentang idealisme, rasionalitas, spiritualitas berkesenian memang bagus-bagus, keren, tetapi saya kembali menyangsikan soal keberlanjutan statemen-statemen yang telanjur meluncur deras di Lampung Post berminggu-minggu. Dengan kata lain tak kunjung menemukan bentuk konkretnya dalam rangka memperbaiki situasi berkesenian di Lampung yang katanya tak ideal itu.
Tentu jika tak segera diwujudkan atau diperjuangkan wacana itu akan menguap dan hilang begitu saja, bahkan sebelum mampu dicerna pembacanya, yang kebetulan agak lambat memahami karena keterbatasan bacaan dan pengalaman.
Kami terkejut, tercengang, dan akhirnya duduk dengan pikiran tak menentu. Sungguh betapa pun saya juga mungkin teman-teman yang lain tak mengerti betul bagaimana menjalani proses berkesenian kami dengan "benar". Lantas jika berkaca dari karya-karya yang kami hasilkan, saya juga tak kunjung menemukan ideologi yang kami anut seperti apa rupanya. Kami bahkan menyangsikan apakah kami memiliki ideologi atau ideologi kami adalah tanpa ideologi. Entahlah.
Di sektor lain, jika kami bersastra kami seperti dianjurkan menghasilkan karya-karya yang agak spiritualis. Ini benar. Tetapi memaksakan agar setiap karya itu agak spiritualis kan susah juga, karena mungkin pengalaman kami yang belum sampai ke sana. Apalagi persepsi tentang spiritualitas setiap orang berbeda.
Meskipun begitu saya bersepakat dengan pemikiran Bang Isbedy tentang pentingnya spiritualitas karya seni sehingga sebuah karya tidak kehilangan daya magis-metaforiknya, lantas jatuh sekadar aktivisme yang kelewat harafiah belaka.
Singkatnya, permasalahan seni di Lampunng terletak pada narsismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekadar rangkaian sensasi, hilangnya sisi "keindahan" dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Setiap seniman mesti tetap menaruh perhatian pada aspek keindahan dan kekuatan metaforik sebuah karya. Bahwa keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekadar keindahan kompositoris atau bentuk visual, tetapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan efektif dalam membuka kesadaran.
Mungkin ini masih ada hubungan dengan esai Bang Asarpin yang isinya banyak menyampaikan kepiawaian Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelangi sebagai alternatif bagi seniman Lampung menghasilkan karya canggih. Selancar bahasa versi Andrea Hirata yang dibilang mampu mengawinkan dunia sains dan sastra dalam novel-novelnya. Tentu ini agak melebar dari topik sebelumnya jika oleh Lampung Post sengaja dibuat berseri dan memiliki keterkaitan antara satu esai ke esai selanjutnya.
Menurut saya realitas, pengalaman, persolan-persoalan yang saya hadapi berbeda dengan Andrea Hirata. Benar bahwa ia canggih, keren tetapi mungkin tidak tepat untuk karya-karya yang saya hasilkan misalnya. Nanti malah snobis.
Tentu bukan hal yang mustahil muncul kata hidrogen, sulfur, gulma, neptunus, zodiac, dan lain-lain dalam puisi, cerpen atau novel jika ada yang mampu membuatnya, akan tetapi kalau tidak kontekstual kan hanya banal saja. Bukankah karya yang baik, yang mungkin otentik, adalah karya yang dihasilkan benar-benar merupakan serapan sang seniman atau sastrawan atas relita, bukan sekadar wisata bahasa.
***
Mungkin kami, atau lebih tepatnya saya adalah generasi gelembung-gelembung sabun yang takut kehilangan tradisi juga takut menampak realitas yang disesaki ikon-ikon globalisasi. Sebuah istilah dari kawan saya yang penyair itu, kami seperti berdiri di sebuah persimpangan yang hibuk, dengan segala lintasan peristiwa, informasi dan dan teknologi komunikasi yang begitu cepat dan serentak. Kami berjarak dengan tradisi dan budaya luar. Jadilah kami generasi skizoprenia.
Ah, ya, sayang saya lupa menanyakan sibuknya seperti apa, persimpangan itu lokusnya di mana, sehingga bisa saya jadikan bahan kajian atau sedikit perenungan di sela-sela dering handphone dan iklan televisi yang tiada henti.
Pada titik tertentu saya lelah menatap konsep-konsep ideal yang kemudian diabaikan itu. Konsep-konsep laiknya mimpi-mimpi sebab esoknya saya sering menjumpai konsep-konsep ideal (mimpi-mimpi) itu begitu murung dan lesu karena ditinggalkan penggagasnya.
Akhirnya kami tertunduk lesu dan bingung karena tak ada teladan yang bisa kami jadikan sandaran, tidak ada rambu-rambu yang bisa memberikan arah yang terang bagi perjalanan kami. Kami melangkah tanpa pegangan, terus-menerus bingung mencari bentuk tradisi yang katanya bagian dari diri kami; dan memilih idealisme yang hendak kami perjuangkan seperti apa, sementara di kampus-kampus sulit menemukan orang yang memiliki kejelasan ideologi, apatah lagi di mal-mal.
Soal budaya instan yang katanya marak menggejala generasi muda sekarang pasti ada sebabnya. Mungkin salah satu sebabnya adalah orang-orang tua atau sekolah-sekolah tidak pernah mengajarkan bagaimana menghasilkan karya yang tidak instan atau malah orang-orang tua atau senior belomba-lomba mengintanisasi karya-karyanya juga. Sebab betapa pun instan sebuah karya tetap membutuhkan usaha dan kerja keras, membutuhkan jerih payah meski tidak terlalu berdarah, dan sesungguhnya jika ada yang berkarya tidak instan ga perlu terganggu toh jika ada karya instan efeknya juga instan, sebentar ada kemudian menghilang begitu saja.
Saya rasa di sinilah peran para anggota Dewan Kesenian, seniman senior, budayawan duduk satu meja memikirkan arah kesenian di Lampung mau ke mana? Akan tetapi jika Dewan Kesenian sendiri tidak mimiliki program dan orientasi jelas, idealismenya diragukan. Kalau sampai tidak mengetahui apa yang hendak diperjuangkan, lebih rumit masalahnya.
Kabarnya selain Dewan Kesenian Lampung, ada juga Dewan Kesenian Metro, DK Tanggamus, DK Lampung Utara, DK Lampung Timur, Way Kanan, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Way Kanan, Tulangbawang, dan semuanyalah. Jika semua anggota dewan dikumpulkan, berdiskusi secara serius mencari jalan keluar agar kesenian di Lampung lebih berkembang, saya rasa akan ketemu juga akar persoalannya, apa solusinya, bagaimana agar karya-karya kesenian di Lampung lebih berkualitas di kemudian hari. Lebih keren di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tidak ada lagi plagiat dan seniman-seniman karbitan di ranah Lampung.
Hingga detik ini saya rasa belum pernah seluruh anggota Dewan Kesenian di Lampung duduk satu meja membincangkan nasib kesenian. Tentu sebagai anggota dewan terhormat punya kapasitas mengembalikan seni pada hakikatnya. Memberikan rambu-rambu agar pelaku seni itu menghasilkan karya bukan karena pesanan, bagaimana belajar kesenian secara sistematis atau lebih rasional, bagaimana menghasilkan karya yang otentik.
Maksudnya langkah konkret dari keluh kesah berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun lalu tentang nasib kesenian di Lampung itu mana? Sehingga saya juga pelaku kesenian yang masih muda ini mendapat contoh yang baik, kemudian mendapat arah yang jelas dalam menjalani proses berkesenian di masa mendatang, bisa memperkaiki sikap dan karya kami dikemudian hari bukan sekadar mencaci maki. ***
* Iskandar G.B., Aktor, pemerhati budaya pop
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2008
Idealisme, rasionalitas, spiritualitas berkesenian memang bagus-bagus. Jika tidak segera diwujudkan atau diperjuangkan, semua hanya jadi wacana. Bagaimana di Lampung?
ADA tesis tentang kondisi "global" dari Samuel P. Hutington: Dunia sekarang tidak lagi ditentukan oleh model politik maupun ekonomi tapi oleh kultur. Artinya nilai-nilai seni dan budaya menjadi dominan.
Jadi sekarang kita berhadapan dengan kondisi "perang" kultur atau imajinasi-imajinasi dan tanda-tanda. Benarkah demikian, lalu bagaimana posisi Lampung dalam konteks seni dan budaya?
Sejak beberapa minggu yang lalu saya mengikuti perkembangan wacana yang berkembang di Lampung Post. Isinya beberapa adalah keluh kesah, sumpah serapah, dan beberapa di antaranya adalah petuah, bagaimana menjalani dan menghasilkan seni yang "baik". Sebab itu, saya mengucapkan terima kasih karena bisa belajar tentang hal-hal yang mestinya kami perhatikan ketika berkesenian. Dan saya mohon maaf jika pada kesempatan terbatas ini justru saya ingin menyumbang sedikit rasa khawatir dan beberapa kegundahan yang mungkin sepele dan tak perlu dalam konteks perkembangan kesenian di Lampung.
Saya bingung, apa yang harus saya lakukan setelah membaca esai-esai itu. Saya juga bingung memahami sesungguhnya apa yang ingin disampaikan penulisnya. Misalnya idealisme berkesenian, contoh konkretnya seperti apa sehingga bisa dijadikan teladan bagi kami generasi muda. Kenapa cuma tari yang diserang, bukankah teater, musik, juga mungkin seni rupa juga bisa dipertanyakan idealismenya. Bahkan dewan kesenian di Lampung tentu juga bisa disangsikan idealismenya seperti apa.
Jika idealisme jelas, sikap kita terhadap apa pun akan jelas dan lebih mudah menentukan sikap, mau kerja sama dengan pemerintah atau tidak, mau menerima job atau tidak.
Gagasan tentang idealisme, rasionalitas, spiritualitas berkesenian memang bagus-bagus, keren, tetapi saya kembali menyangsikan soal keberlanjutan statemen-statemen yang telanjur meluncur deras di Lampung Post berminggu-minggu. Dengan kata lain tak kunjung menemukan bentuk konkretnya dalam rangka memperbaiki situasi berkesenian di Lampung yang katanya tak ideal itu.
Tentu jika tak segera diwujudkan atau diperjuangkan wacana itu akan menguap dan hilang begitu saja, bahkan sebelum mampu dicerna pembacanya, yang kebetulan agak lambat memahami karena keterbatasan bacaan dan pengalaman.
Kami terkejut, tercengang, dan akhirnya duduk dengan pikiran tak menentu. Sungguh betapa pun saya juga mungkin teman-teman yang lain tak mengerti betul bagaimana menjalani proses berkesenian kami dengan "benar". Lantas jika berkaca dari karya-karya yang kami hasilkan, saya juga tak kunjung menemukan ideologi yang kami anut seperti apa rupanya. Kami bahkan menyangsikan apakah kami memiliki ideologi atau ideologi kami adalah tanpa ideologi. Entahlah.
Di sektor lain, jika kami bersastra kami seperti dianjurkan menghasilkan karya-karya yang agak spiritualis. Ini benar. Tetapi memaksakan agar setiap karya itu agak spiritualis kan susah juga, karena mungkin pengalaman kami yang belum sampai ke sana. Apalagi persepsi tentang spiritualitas setiap orang berbeda.
Meskipun begitu saya bersepakat dengan pemikiran Bang Isbedy tentang pentingnya spiritualitas karya seni sehingga sebuah karya tidak kehilangan daya magis-metaforiknya, lantas jatuh sekadar aktivisme yang kelewat harafiah belaka.
Singkatnya, permasalahan seni di Lampunng terletak pada narsismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekadar rangkaian sensasi, hilangnya sisi "keindahan" dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Setiap seniman mesti tetap menaruh perhatian pada aspek keindahan dan kekuatan metaforik sebuah karya. Bahwa keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekadar keindahan kompositoris atau bentuk visual, tetapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan efektif dalam membuka kesadaran.
Mungkin ini masih ada hubungan dengan esai Bang Asarpin yang isinya banyak menyampaikan kepiawaian Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelangi sebagai alternatif bagi seniman Lampung menghasilkan karya canggih. Selancar bahasa versi Andrea Hirata yang dibilang mampu mengawinkan dunia sains dan sastra dalam novel-novelnya. Tentu ini agak melebar dari topik sebelumnya jika oleh Lampung Post sengaja dibuat berseri dan memiliki keterkaitan antara satu esai ke esai selanjutnya.
Menurut saya realitas, pengalaman, persolan-persoalan yang saya hadapi berbeda dengan Andrea Hirata. Benar bahwa ia canggih, keren tetapi mungkin tidak tepat untuk karya-karya yang saya hasilkan misalnya. Nanti malah snobis.
Tentu bukan hal yang mustahil muncul kata hidrogen, sulfur, gulma, neptunus, zodiac, dan lain-lain dalam puisi, cerpen atau novel jika ada yang mampu membuatnya, akan tetapi kalau tidak kontekstual kan hanya banal saja. Bukankah karya yang baik, yang mungkin otentik, adalah karya yang dihasilkan benar-benar merupakan serapan sang seniman atau sastrawan atas relita, bukan sekadar wisata bahasa.
***
Mungkin kami, atau lebih tepatnya saya adalah generasi gelembung-gelembung sabun yang takut kehilangan tradisi juga takut menampak realitas yang disesaki ikon-ikon globalisasi. Sebuah istilah dari kawan saya yang penyair itu, kami seperti berdiri di sebuah persimpangan yang hibuk, dengan segala lintasan peristiwa, informasi dan dan teknologi komunikasi yang begitu cepat dan serentak. Kami berjarak dengan tradisi dan budaya luar. Jadilah kami generasi skizoprenia.
Ah, ya, sayang saya lupa menanyakan sibuknya seperti apa, persimpangan itu lokusnya di mana, sehingga bisa saya jadikan bahan kajian atau sedikit perenungan di sela-sela dering handphone dan iklan televisi yang tiada henti.
Pada titik tertentu saya lelah menatap konsep-konsep ideal yang kemudian diabaikan itu. Konsep-konsep laiknya mimpi-mimpi sebab esoknya saya sering menjumpai konsep-konsep ideal (mimpi-mimpi) itu begitu murung dan lesu karena ditinggalkan penggagasnya.
Akhirnya kami tertunduk lesu dan bingung karena tak ada teladan yang bisa kami jadikan sandaran, tidak ada rambu-rambu yang bisa memberikan arah yang terang bagi perjalanan kami. Kami melangkah tanpa pegangan, terus-menerus bingung mencari bentuk tradisi yang katanya bagian dari diri kami; dan memilih idealisme yang hendak kami perjuangkan seperti apa, sementara di kampus-kampus sulit menemukan orang yang memiliki kejelasan ideologi, apatah lagi di mal-mal.
Soal budaya instan yang katanya marak menggejala generasi muda sekarang pasti ada sebabnya. Mungkin salah satu sebabnya adalah orang-orang tua atau sekolah-sekolah tidak pernah mengajarkan bagaimana menghasilkan karya yang tidak instan atau malah orang-orang tua atau senior belomba-lomba mengintanisasi karya-karyanya juga. Sebab betapa pun instan sebuah karya tetap membutuhkan usaha dan kerja keras, membutuhkan jerih payah meski tidak terlalu berdarah, dan sesungguhnya jika ada yang berkarya tidak instan ga perlu terganggu toh jika ada karya instan efeknya juga instan, sebentar ada kemudian menghilang begitu saja.
Saya rasa di sinilah peran para anggota Dewan Kesenian, seniman senior, budayawan duduk satu meja memikirkan arah kesenian di Lampung mau ke mana? Akan tetapi jika Dewan Kesenian sendiri tidak mimiliki program dan orientasi jelas, idealismenya diragukan. Kalau sampai tidak mengetahui apa yang hendak diperjuangkan, lebih rumit masalahnya.
Kabarnya selain Dewan Kesenian Lampung, ada juga Dewan Kesenian Metro, DK Tanggamus, DK Lampung Utara, DK Lampung Timur, Way Kanan, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Way Kanan, Tulangbawang, dan semuanyalah. Jika semua anggota dewan dikumpulkan, berdiskusi secara serius mencari jalan keluar agar kesenian di Lampung lebih berkembang, saya rasa akan ketemu juga akar persoalannya, apa solusinya, bagaimana agar karya-karya kesenian di Lampung lebih berkualitas di kemudian hari. Lebih keren di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Tidak ada lagi plagiat dan seniman-seniman karbitan di ranah Lampung.
Hingga detik ini saya rasa belum pernah seluruh anggota Dewan Kesenian di Lampung duduk satu meja membincangkan nasib kesenian. Tentu sebagai anggota dewan terhormat punya kapasitas mengembalikan seni pada hakikatnya. Memberikan rambu-rambu agar pelaku seni itu menghasilkan karya bukan karena pesanan, bagaimana belajar kesenian secara sistematis atau lebih rasional, bagaimana menghasilkan karya yang otentik.
Maksudnya langkah konkret dari keluh kesah berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun lalu tentang nasib kesenian di Lampung itu mana? Sehingga saya juga pelaku kesenian yang masih muda ini mendapat contoh yang baik, kemudian mendapat arah yang jelas dalam menjalani proses berkesenian di masa mendatang, bisa memperkaiki sikap dan karya kami dikemudian hari bukan sekadar mencaci maki. ***
* Iskandar G.B., Aktor, pemerhati budaya pop
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 September 2008
September 12, 2008
Tuba Bangun Miniatur Kerajaan Tulangbawang
MENGGALA (Lampost): Masyarakat Kabupaten Tulangbawang (Tuba) akan dapat menikmati kemegahan Kerajaan Tulangbawang tempo dulu. Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini berencana membangun miniatur Kerajaan Tulangbawang di Kampung Cakat Raya, Menggala.
Untuk mempercepat maksud tersebut, Rabu (10-9), Bupati yang didampingi Wakil Bupati Agus Mardi Hartono, Camat Menggala Desia Kusuma Yuda, dan Dr. Sunarto yang ditunjuk Bupati sebagai perancang, berkunjung ke lokasi pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang tersebut.
Mance, panggilan akrab Abdurrachman Sarbini, menjelaskan maksud didirikannya miniatur kerajaan berupa sebuah candi itu agar masyarakat Tulangbawang dapat mengingat kembali kemegahan dan sejarahnya. Selain itu, dapat dijadikan pusat rekreasi di Tulangbawang.
"Kami akan buat tempat tersebut menjadi tempat rekreasi dengan nilai edukasi bagi masyarakat terutama anak-anak muda dan arena bermain bagi anak-anak," kata Mance.
Dia menjelaskan selain miniatur Kerajaan Tulangbawang, di lokasi yang sama juga akan didirikan bangunan rumah adat. Di antaranya, rumah adat Batak Toba, rumah joglo (Jawa), dan rumah adat minang (Sumatera Barat). "Nanti menyusul rumah adat yang lain," kata dia.
Mance juga menjelaskan peletakan batu pertama bangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang itu akan dilakukan pertengahan September 2008. "Sedangkan pembangunannya sehabis Lebaran. Kami ambil berkahnya peletakan batu pertamanya bulan puasa ini," ujar Bupati.
Sementara, Dr. Sunarto, yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI), sebagai perancang miniatur Kerajaan Tulangbawang tersebut, mengatakan bangunan untuk candi itu berlokasi 3,5 hektare. "Namun, khusus untuk pendirian candi itu seluas 9 x 10 meter dan tinggi bangunan candi sekitar 12 meter," kata dia.
Bangunan candi itu, tambah dia, sepenuhnya dari batu dan semen cetakan yang dibuat di Jawa. Bentuk keseluruhan bangunan candi tersebut terpengaruh dengan kebudayaan Hindu Mataram. "Kami dapatkan bentuk bangunan tersebut dari imajinasi dan literatur kebudayaan Mataram, karena Kerajaan Tulangbawang mirip dengan Mataram," kata Sunarto.
Kini, tambah Sunarto, bahan yang sudah siap adalah material untuk membangun candi miniatur Kerajaan Tulangbawang dan rumah joglo. "Sedangkan untuk yang lainnya menyusul," ujar dia.
Sedangkan pengerjaan bangunan tersebut, kata Sunarto, akan menggunakan tenaga para mahasiswa dari ISI.
Sementara, biaya untuk pembangunan tersebut dianggarkan dari APBD 2008 sebesar Rp1,6 miliar. "Jadi, tiap rumah adat mendapat dana Rp400 juta," kata dia.
Sunarto juga menargetkan pengerjaan pusat rekreasi yang dikemas dalam bentuk bangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang dan rumah adat suku-suku yang ada di Kabupaten Tulangbawang itu dibutuhkan waktu empat tahun.
Nantinya, setelah semua bangunan itu sudah selesai, lokasi tersebut akan dilengkapi dengan guest house bagi tamu yang datang di Kabupaten Tulangbawang. Selain itu, bagi anak-anak disediakan arena bermain. "Bahkan, kami akan buat kereta api mini yang akan berputar di sekitar lokasi," kata dia. n UAN/D-3
Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 September 2008
Untuk mempercepat maksud tersebut, Rabu (10-9), Bupati yang didampingi Wakil Bupati Agus Mardi Hartono, Camat Menggala Desia Kusuma Yuda, dan Dr. Sunarto yang ditunjuk Bupati sebagai perancang, berkunjung ke lokasi pembangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang tersebut.
Mance, panggilan akrab Abdurrachman Sarbini, menjelaskan maksud didirikannya miniatur kerajaan berupa sebuah candi itu agar masyarakat Tulangbawang dapat mengingat kembali kemegahan dan sejarahnya. Selain itu, dapat dijadikan pusat rekreasi di Tulangbawang.
"Kami akan buat tempat tersebut menjadi tempat rekreasi dengan nilai edukasi bagi masyarakat terutama anak-anak muda dan arena bermain bagi anak-anak," kata Mance.
Dia menjelaskan selain miniatur Kerajaan Tulangbawang, di lokasi yang sama juga akan didirikan bangunan rumah adat. Di antaranya, rumah adat Batak Toba, rumah joglo (Jawa), dan rumah adat minang (Sumatera Barat). "Nanti menyusul rumah adat yang lain," kata dia.
Mance juga menjelaskan peletakan batu pertama bangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang itu akan dilakukan pertengahan September 2008. "Sedangkan pembangunannya sehabis Lebaran. Kami ambil berkahnya peletakan batu pertamanya bulan puasa ini," ujar Bupati.
Sementara, Dr. Sunarto, yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI), sebagai perancang miniatur Kerajaan Tulangbawang tersebut, mengatakan bangunan untuk candi itu berlokasi 3,5 hektare. "Namun, khusus untuk pendirian candi itu seluas 9 x 10 meter dan tinggi bangunan candi sekitar 12 meter," kata dia.
Bangunan candi itu, tambah dia, sepenuhnya dari batu dan semen cetakan yang dibuat di Jawa. Bentuk keseluruhan bangunan candi tersebut terpengaruh dengan kebudayaan Hindu Mataram. "Kami dapatkan bentuk bangunan tersebut dari imajinasi dan literatur kebudayaan Mataram, karena Kerajaan Tulangbawang mirip dengan Mataram," kata Sunarto.
Kini, tambah Sunarto, bahan yang sudah siap adalah material untuk membangun candi miniatur Kerajaan Tulangbawang dan rumah joglo. "Sedangkan untuk yang lainnya menyusul," ujar dia.
Sedangkan pengerjaan bangunan tersebut, kata Sunarto, akan menggunakan tenaga para mahasiswa dari ISI.
Sementara, biaya untuk pembangunan tersebut dianggarkan dari APBD 2008 sebesar Rp1,6 miliar. "Jadi, tiap rumah adat mendapat dana Rp400 juta," kata dia.
Sunarto juga menargetkan pengerjaan pusat rekreasi yang dikemas dalam bentuk bangunan miniatur Kerajaan Tulangbawang dan rumah adat suku-suku yang ada di Kabupaten Tulangbawang itu dibutuhkan waktu empat tahun.
Nantinya, setelah semua bangunan itu sudah selesai, lokasi tersebut akan dilengkapi dengan guest house bagi tamu yang datang di Kabupaten Tulangbawang. Selain itu, bagi anak-anak disediakan arena bermain. "Bahkan, kami akan buat kereta api mini yang akan berputar di sekitar lokasi," kata dia. n UAN/D-3
Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 September 2008
September 11, 2008
Letusan Krakatau di Mata Pribumi
-- Yurnaldi*
Orang banyak nyatalah tentu,
Bilangan lebih daripada seribu,
Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api, dan abu.
Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.
Rupanya mayat tidak dikatakan,
Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan,
Harapkan rahmat Allah balaskan.
Halaman penutup Syair Lampung Karam, yang ditulis Muhammad Saleh, tentang kesaksian meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Letusan gunung tersebut menimbulkan tsunami dan gelombang laut setinggi 40 meter, serta mengakibatkan setidaknya 36.000 orang tewas. (Repro Suryadi)
BERITA ditemukannya satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 mengejutkan banyak orang. Dalam tempo 48 jam, berita yang dimuat pertama kali di Kompas online (www.kompas.com) itu diunduh sekitar 14.000 orang dari berbagai belahan dunia. Kemudian berita itu dikutip berbagai media.
Menariknya, tidak hanya ditemukan 125 tahun setelah gunung tersebut meletus, tetapi ditemukan terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Adalah ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, yang mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alih aksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis.
”Laporan orang asing yang selama ini ada tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883 itu lebih menekankan aspek geologisnya. Letusan itu menewaskan lebih dari 36.000 orang. Adapun laporan Muhammad Saleh lebih pada aspek humanis, kemanusiaan, akibat letusan itu,” kata Suryadi yang sebelumnya juga menemukan bagian sejarah Dinasti Kerajaan Gowa yang hilang.
Kesaksian langka
Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksian yang amat langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam yang tiga bait di antaranya telah dikutipkan di atas.
Menurut Suryadi, kajian-kajian ilmiah dan bibliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau pada tahun 1883 itu. ”Dua tahun penelitian saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis,” katanya.
Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, Gunung Krakatau telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer, tsunami setinggi 40 meter, dan menewaskan sekitar 36.000 orang.
Sebelum meletus pada 1883 Gunung Krakatau di Selat Sunda pernah meletus sekitar tahun 1680. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan, Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata.
Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society (London, 1888).
Adapun sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman).
”Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884),” paparnya.
Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman) yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam.
”Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888),” ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Terdapat variasi
Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara Arab-Melayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paruh kedua abad ke-19.
Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh. Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di Singapura.
”Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu,” katanya.
Revitalisasi
Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai ”syair kewartawanan” karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, serta hujan abu dan batu.
Pengarang menceritakan betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau-balau itu orang masih mau saling menolong satu sama lain. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa musibah.
Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam aksara Latin.
”Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau,” tutur Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khazanah budaya dan sastra daerah Lampung.
* Yurnaldi, wartawan Kompas
Sumber: Kompas, Jumat, 12 September 2008
Orang banyak nyatalah tentu,
Bilangan lebih daripada seribu,
Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api, dan abu.
Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.
Rupanya mayat tidak dikatakan,
Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan,
Harapkan rahmat Allah balaskan.
Halaman penutup Syair Lampung Karam, yang ditulis Muhammad Saleh, tentang kesaksian meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Letusan gunung tersebut menimbulkan tsunami dan gelombang laut setinggi 40 meter, serta mengakibatkan setidaknya 36.000 orang tewas. (Repro Suryadi)
BERITA ditemukannya satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 mengejutkan banyak orang. Dalam tempo 48 jam, berita yang dimuat pertama kali di Kompas online (www.kompas.com) itu diunduh sekitar 14.000 orang dari berbagai belahan dunia. Kemudian berita itu dikutip berbagai media.
Menariknya, tidak hanya ditemukan 125 tahun setelah gunung tersebut meletus, tetapi ditemukan terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Adalah ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, yang mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alih aksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis.
”Laporan orang asing yang selama ini ada tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883 itu lebih menekankan aspek geologisnya. Letusan itu menewaskan lebih dari 36.000 orang. Adapun laporan Muhammad Saleh lebih pada aspek humanis, kemanusiaan, akibat letusan itu,” kata Suryadi yang sebelumnya juga menemukan bagian sejarah Dinasti Kerajaan Gowa yang hilang.
Kesaksian langka
Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksian yang amat langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam yang tiga bait di antaranya telah dikutipkan di atas.
Menurut Suryadi, kajian-kajian ilmiah dan bibliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau pada tahun 1883 itu. ”Dua tahun penelitian saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis,” katanya.
Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, Gunung Krakatau telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer, tsunami setinggi 40 meter, dan menewaskan sekitar 36.000 orang.
Sebelum meletus pada 1883 Gunung Krakatau di Selat Sunda pernah meletus sekitar tahun 1680. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan, Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata.
Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society (London, 1888).
Adapun sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman).
”Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884),” paparnya.
Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman) yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam.
”Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888),” ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Terdapat variasi
Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara Arab-Melayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paruh kedua abad ke-19.
Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh. Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di Singapura.
”Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu,” katanya.
Revitalisasi
Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai ”syair kewartawanan” karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, serta hujan abu dan batu.
Pengarang menceritakan betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau-balau itu orang masih mau saling menolong satu sama lain. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa musibah.
Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam aksara Latin.
”Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau,” tutur Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khazanah budaya dan sastra daerah Lampung.
* Yurnaldi, wartawan Kompas
Sumber: Kompas, Jumat, 12 September 2008
September 10, 2008
Lambar Bangun Kebun Raya Liwa
LIWA (Lampost): Rencana Pemerintah Kabupaten Lampung Barat yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi, pusat, dan Kebun Raya Bogor membangun Kebun Raya Liwa, saat ini terus dilakukan.
Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat Warsito saat diminta komentar mengatakan tindak lanjut rencana pembangunan Kebun Raya Liwa (KRL) itu, saat ini pihak Kebun Raya Bogor (KRB) tengah mempersiapkan penyemaian bibit. Lokasi penyemaian bibit akan dilaksanakan di sekitar lokasi Hamtebiu.
Adapun jenis tanaman yang akan dilakukan pembibitan itu adalah tanaman berupa kayu maupun tanaman hias. Yang jelas, kata Warsito, tanaman itu nantinya merupakan tanaman ciri khas Lampung Barat, seperti tanaman pakis dan anggrek. Untuk menjaga keaslian aneka tanaman tersebut, bibit akan diambilkan dari kawasan hutan, baik hutan lindung maupun TNBBS.
Di tempat terpisah, Kabid Fisik Bapeda Lampung Barat, Armand Ahcyuni, menjelaskan selain sedang dilakukan proses penyemaian oleh pihak KRB itu, tindak lanjut pembangunan KRL baru akan memasuki tahap sosialisasi masterplan oleh Departemen PU yang rencananya dilakukan setelah bulan puasa.
Selain itu, kata dia, pada 2009 tindak lanjut rencana pembangunan KRL baru akan dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Untuk pembuatan amdal, pihaknya telah mengusulkan dana sebesar Rp300 juta. Kemudian pada 2009 juga akan diusulkan dana pendamping untuk pembibitan. n ELI/D-3
Sumber: Lampung Post, Rabu, 10 September 2008
Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat Warsito saat diminta komentar mengatakan tindak lanjut rencana pembangunan Kebun Raya Liwa (KRL) itu, saat ini pihak Kebun Raya Bogor (KRB) tengah mempersiapkan penyemaian bibit. Lokasi penyemaian bibit akan dilaksanakan di sekitar lokasi Hamtebiu.
Adapun jenis tanaman yang akan dilakukan pembibitan itu adalah tanaman berupa kayu maupun tanaman hias. Yang jelas, kata Warsito, tanaman itu nantinya merupakan tanaman ciri khas Lampung Barat, seperti tanaman pakis dan anggrek. Untuk menjaga keaslian aneka tanaman tersebut, bibit akan diambilkan dari kawasan hutan, baik hutan lindung maupun TNBBS.
Di tempat terpisah, Kabid Fisik Bapeda Lampung Barat, Armand Ahcyuni, menjelaskan selain sedang dilakukan proses penyemaian oleh pihak KRB itu, tindak lanjut pembangunan KRL baru akan memasuki tahap sosialisasi masterplan oleh Departemen PU yang rencananya dilakukan setelah bulan puasa.
Selain itu, kata dia, pada 2009 tindak lanjut rencana pembangunan KRL baru akan dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Untuk pembuatan amdal, pihaknya telah mengusulkan dana sebesar Rp300 juta. Kemudian pada 2009 juga akan diusulkan dana pendamping untuk pembibitan. n ELI/D-3
Sumber: Lampung Post, Rabu, 10 September 2008
September 8, 2008
Editorial: Man or beast
OF the country's hundreds of ethnic groups and tribes, there are some most of us have never heard of. When we do hear of them, it is when their members cry out in fear of extinction. Such is the case with a community in Lampung called the Belimbing clan -- a name which Indonesians associate only with star fruit.
The tribe's representatives have protested the decision to move two Sumatran tigers from Aceh to Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung, which overlaps with their area.
A village chief, quoted in this newspaper Thursday, said the authorities had not discussed the decision with them.
The majority of people on this planet are in favor of saving tigris panthera sumatrae from extinction. The tribes people were merely concerned about their own protection. Authorities working with activists, a private management agency, the Zoological Society of London and Safari Park Indonesia joined hands to transport the two tigers, aged 9 and 4, to their new home.
Can Indonesia ensure their mutual existence? Obviously, not yet.
Another clan leader cited the Constitution, which guarantees protection for traditional communities. Despite the offer of land and financial compensation, A. Zulqomain Syarif said, "we certainly refuse to lose our identity."
Authorities and the tiger minders are trying to convince villagers that they are safe from the beasts, who have consumed their goats and chickens and earlier, villagers in Aceh.
In Riau, 13 elephants and two people have been killed since 2007 in conflicts involving the protected species and forest squatters in Tesso Nila National park in Pelalawan regency.
On a daily basis, the issue of man versus beast plagues the country's more than 50 national parks and the communities around them. All are endangered, whether it is man-eating tigers, stomping elephants, traditional communities or poor farmers.
The failure to provide space for all is yet another reflection on the country's ills, such as mismanagement and poor law enforcement, apart from the sheer recklessness and apathy regarding the wellbeing of the people and animal and plant species, which we're supposed to protect.
The laws and regulations have their flaws; for instance, the rights of traditional communities are not explicitly addressed in rules on national parks, researchers say.
In Riau, the few thousand families living near some 80 elephants are labeled squatters while an official said their occupied land had been certified by local authorities.
Big businesses eager to bank on their public image instead risk being dragged into the disputes: Riau Andalan Pulp and Paper is planning to contribute almost 20,000 hectares to the expansion of the national park in Pelalawan, while a subsidiary of the Artha Graha group is managing the tiger conservation area in Lampung.
Forest depletion and illegal logging, which have resulted in millions of hectares of vanishing forest each year, are among the realities on the ground, coupled with animals wandering into human settlements for food.
Regarding the mismanagement that is currently characteristic of regions and the central government, carrying out public consultation should be the very minimum for authorities, which have been known to try to avoid resistance for their own selfish ends. They must not, however, implement the one-way, top-down "consultation" approach of the Soeharto years.
"People-based" conservation is today's watchword. Without local assistance in conserving areas home to endangered species for their own interests, the perception remains that authorities hamper and even endanger their livelihoods, while providing the green light for the exploitation of resource-rich forests by big business.
Projections of tourism revenue could be an extra incentive for the national and local administrations, as shown by the few thousand visitors enjoying the cool air, sights and sounds of the Mount Gede and Pangrango national parks just outside Jakarta each weekend.
Without the animals, the next generations will only hear tall tales of Indonesia's tigers "burning bright, in the forest of the night."
Resource: The Jakarta Post, Fri, 09/05/2008 | Opinion
The tribe's representatives have protested the decision to move two Sumatran tigers from Aceh to Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung, which overlaps with their area.
A village chief, quoted in this newspaper Thursday, said the authorities had not discussed the decision with them.
The majority of people on this planet are in favor of saving tigris panthera sumatrae from extinction. The tribes people were merely concerned about their own protection. Authorities working with activists, a private management agency, the Zoological Society of London and Safari Park Indonesia joined hands to transport the two tigers, aged 9 and 4, to their new home.
Can Indonesia ensure their mutual existence? Obviously, not yet.
Another clan leader cited the Constitution, which guarantees protection for traditional communities. Despite the offer of land and financial compensation, A. Zulqomain Syarif said, "we certainly refuse to lose our identity."
Authorities and the tiger minders are trying to convince villagers that they are safe from the beasts, who have consumed their goats and chickens and earlier, villagers in Aceh.
In Riau, 13 elephants and two people have been killed since 2007 in conflicts involving the protected species and forest squatters in Tesso Nila National park in Pelalawan regency.
On a daily basis, the issue of man versus beast plagues the country's more than 50 national parks and the communities around them. All are endangered, whether it is man-eating tigers, stomping elephants, traditional communities or poor farmers.
The failure to provide space for all is yet another reflection on the country's ills, such as mismanagement and poor law enforcement, apart from the sheer recklessness and apathy regarding the wellbeing of the people and animal and plant species, which we're supposed to protect.
The laws and regulations have their flaws; for instance, the rights of traditional communities are not explicitly addressed in rules on national parks, researchers say.
In Riau, the few thousand families living near some 80 elephants are labeled squatters while an official said their occupied land had been certified by local authorities.
Big businesses eager to bank on their public image instead risk being dragged into the disputes: Riau Andalan Pulp and Paper is planning to contribute almost 20,000 hectares to the expansion of the national park in Pelalawan, while a subsidiary of the Artha Graha group is managing the tiger conservation area in Lampung.
Forest depletion and illegal logging, which have resulted in millions of hectares of vanishing forest each year, are among the realities on the ground, coupled with animals wandering into human settlements for food.
Regarding the mismanagement that is currently characteristic of regions and the central government, carrying out public consultation should be the very minimum for authorities, which have been known to try to avoid resistance for their own selfish ends. They must not, however, implement the one-way, top-down "consultation" approach of the Soeharto years.
"People-based" conservation is today's watchword. Without local assistance in conserving areas home to endangered species for their own interests, the perception remains that authorities hamper and even endanger their livelihoods, while providing the green light for the exploitation of resource-rich forests by big business.
Projections of tourism revenue could be an extra incentive for the national and local administrations, as shown by the few thousand visitors enjoying the cool air, sights and sounds of the Mount Gede and Pangrango national parks just outside Jakarta each weekend.
Without the animals, the next generations will only hear tall tales of Indonesia's tigers "burning bright, in the forest of the night."
Resource: The Jakarta Post, Fri, 09/05/2008 | Opinion
September 7, 2008
Pustaka: Bangkit Bersama 100 Tokoh Terkemuka Lampung
Judul Buku: 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional
Penerbit : Lampung Post, Bandar Lampung
Tahun : 2008
Tebal : xxiv + 430 hlm.; 14 cm x 21 cm
TAMPILAN buku ini cukup meyakinkan. Di halaman muka yang memuat seratus foto tokoh berhasil mengonfirmasikan roh buku ini. Cetakan yang berkelas juga membuat makin menarik. Maklum, ternyata 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional dicetak oleh PT Gramedia Jakarta.
Penomoran halaman buku juga tampak cerdas dan centil. Buku lain biasanya bernomor halaman di pojok kanan atas atau pojok kanan bawah, buku ini tidak demikian. Nomor halaman 1 sampai 430, ditulis menggantung di sepertiga kanan bawah.
Lebih jauh, buku ini boleh jadi membawa kabar baru bagi sebagian orang. Setelah membaca buku ini, mungkin orang baru tahu bahwa sang tokoh nun populer, ternyata lahir dan berasal dari Lampung. Misalnya, Bob Sadino lahir di Tanjung Karang, Motinggo Busye (Telukbetung), Imron Rosadi (Pringsewu), Bagir Manan (Kalibalangan, Lampung Utara), Tursandi Alwi (Sukau, Lampung Barat), Henry Yosodiningrat (Krui, Lampung Barat), atau Sri Mulyani Indrawati (Tanjungkarang).
Hal semacam itu juga diakui Surya Paloh dalam kata pengantarnya. Ia mengaku baru tahu kalau entrepreneur tangguh dan amat kreatif, Bob Sadino, ternyata juga putra Lampung. Juga ekonom cerdas yang dikenal luas dunia internasional, Sri Mulyani.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang kini juga merangkap Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, dilahirkan di Tanjungkarang dan pernah sekolah di SMP Negeri 2.
Selain itu, tampaknya 100 tokoh yang dipilih dalam buku juga sudah cukup representatif. Tokoh-tokoh itu bahkan berhasil dibentangkan dari masa sebelum hingga setelah kemerdekaan.
Padahal, tentu saja sulit menentukan seseorang dinobatkan sebagai tokoh. Menyaring seratus tokoh di antara ratusan lain yang tersedia, juga tidak gampang. Kesulitan itu kian terasa karena jejak rekam sang tokoh terkadang terputus. Sumber informasi susah diperoleh.
Gerilya dan perburuan 100 tokoh yang ditempuh penerbit buku ini memang layak diapresiasi positif. Misalnya, terlebih dulu menerbitkan 100 tokoh edisi koran pada 29 Mei 2008. Kemudian, berulang-ulang menjaring tokoh lewat rubrik surat pembaca di harian ini. Juga menurut Djadjat Sudradjat, Pemimpin Redaksi Lampung Post, penerbit harus menunjuk Prof. Sudjarwo, Oyos Saroso H.N., dan Firman Sponada sebagai orang luar yang menjadi "penunjuk jalan" agar penerbit tidak "tersesat arah" menentukan 100 tokoh Lampung.
Hasilnya, membanggakan. Sepertinya tidak ada lagi tokoh yang tercecer yang tidak dimuat dalam buku. Adapun tokoh yang diangkat, memang layak dipilih.
Kelebihan lain buku ini terletak dalam penulisan bahasa yang enak dibaca lagi komunikatif. Maklum, buku ini ditulis oleh para jurnalis sekaliber Lampung Post.
Menggali Mental Ketokohan
Disayangkan uraian tentang ketokohan yang disajikan hanya hasil akhirnya. Tapi proses untuk meraih ketokohan itu kurang digali. Sehingga pembaca tidak bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari sang tokoh.
Padahal, itulah kiranya salah satu makna pokok yang mustinya ditonjolkan buku ini. 100 tahun kebangkitan nasional ditandai dengan menampilkan 100 tokoh. Orang-orang Lampung harus bangkit sebagaimana yang telah dilakukan para tokohnya itu. Lantas, bagaimana kebangkitan itu akan muncul jika mental dan jiwa ketokohan tidak dimiliki masyarakat Bumi Ruwa Jurai ini.
Kelemahan lain buku ini, yaitu foto/gambar tokoh di halaman dalam tidak diberi nomor urut. Kekurangan ini tidak begitu berarti, tapi sekiranya pada foto itu ada nomornya, akan sangat membantu pembaca dalam mengurutkan tokoh.
Jika hal itu dilakukan, pembaca mengetahui bahwa ketika sedang membaca ketokohan Zainal Abidin Pagar Alam berarti ia sudah sampai kepada tokoh Lampung yang ke-8. Dari 100 tokoh, maka di buku ini Bob Sadino merupakan tokoh di nomor urut 28.
Selanjutnya, masalah teknis buku ini terletak di penulisan judul di cover yang berpotensi bisa mengecoh pembaca. Pada halaman sampul itu, tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional berada di atas 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Sehingga seolah-olah judul buku ini adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional-100 Tokoh Terkemuka Lampung. Padahal, judul yang benar sebagaimana ditulis di halaman Katalog dalam Terbitan (KDT): 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional.
Kemudian ada ketidaksesuain antara jumlah halaman yang disebutkan di KDT dengan jumlah halaman sesungguhnya. Kalau menurut hitungan halaman seluruhnya, yang benar dan tersedia yaitu xxiv + 430. Tapi di KDT ditulis xxiv + 434.
Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini menjadi sangat penting dilihat dari aspek keteladanan. Kendati aspek ini kurang dieksploitasi, tapi masih diketemukan dari beberapa tokoh yang diangkat.
Misalnya dari seorang Achmad Bakrie, yang semula hanya berdagang hasil bumi di Telukbetung, kini bisnis Grup Bakrie merentang hingga luar negeri dari sektor pertambangan, pertelelevisian, telekomunikasi, properti, jalan tol, dll.
Semua itu ia raih dengan memberikan keteladanan mental yang ulet dan sungguh-sungguh. Katanya, "Saya senang kamu gagal. Kau harus tahu arti kegagalan agar nanti berhasil...!" (hal. 35)
Atau dari Motinggo Busye, pria kelahiran Telukbetung, 21 November 1937, seorang yang dikenal luas ketokohan seninya. Ia sastrawan yang menulis banyak novel, sutradara, dan melukis.
Mental ketokohannya yang layak dicontoh bahwa ia cinta Lampung. Siapa yang tidak kenal naskah dramanya yang berjudul Malam Jahanam. Di situ Motinggo Busye mengangkat aroma perkampungan nelayan di kawasan Telukbetung. Atau dalam novel Harimau-Harimau yang kemudian difilmkan menjadi Manusia Harimau, ia mengambil latar peristiwa Lampung.
Selanjutnya, Sutrisno yang lahir di Natar. Seorang atlet dari ndeso tapi berkelas dunia. Sutrisno merupakan pemegang rekor dunia angkat berat kelas 60 kg dengan angkatan total 743,5 kg.
Ia dapat mengharumkan Lampung dan Indonesia seperti itu lewat mental disiplin yang tinggi, sekaligus tahan banting walau dibawah kepelatihan Imron Rosadi yang terkenal keras.
Menyebut beberapa mental ketokohan itu saja, sepertinya bisa menjadi modal potensial untuk kebangkitan orang Lampung. Diyakini kelak akan lebih banyak tokoh yang muncul, jika makin banyak orang yang berjiwa ulet dan sungguh-sungguh seperti Achmad Bakrie, berdisiplin tinggi dan pekerja keras bak Sutrisno, dst.
Dengan begitu, 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional, memang perlu!
Sutiyo, Ketua Jurusan di Stisipol Dharma Wacana Metro
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 September 2008
Penerbit : Lampung Post, Bandar Lampung
Tahun : 2008
Tebal : xxiv + 430 hlm.; 14 cm x 21 cm
TAMPILAN buku ini cukup meyakinkan. Di halaman muka yang memuat seratus foto tokoh berhasil mengonfirmasikan roh buku ini. Cetakan yang berkelas juga membuat makin menarik. Maklum, ternyata 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional dicetak oleh PT Gramedia Jakarta.
Penomoran halaman buku juga tampak cerdas dan centil. Buku lain biasanya bernomor halaman di pojok kanan atas atau pojok kanan bawah, buku ini tidak demikian. Nomor halaman 1 sampai 430, ditulis menggantung di sepertiga kanan bawah.
Lebih jauh, buku ini boleh jadi membawa kabar baru bagi sebagian orang. Setelah membaca buku ini, mungkin orang baru tahu bahwa sang tokoh nun populer, ternyata lahir dan berasal dari Lampung. Misalnya, Bob Sadino lahir di Tanjung Karang, Motinggo Busye (Telukbetung), Imron Rosadi (Pringsewu), Bagir Manan (Kalibalangan, Lampung Utara), Tursandi Alwi (Sukau, Lampung Barat), Henry Yosodiningrat (Krui, Lampung Barat), atau Sri Mulyani Indrawati (Tanjungkarang).
Hal semacam itu juga diakui Surya Paloh dalam kata pengantarnya. Ia mengaku baru tahu kalau entrepreneur tangguh dan amat kreatif, Bob Sadino, ternyata juga putra Lampung. Juga ekonom cerdas yang dikenal luas dunia internasional, Sri Mulyani.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang kini juga merangkap Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, dilahirkan di Tanjungkarang dan pernah sekolah di SMP Negeri 2.
Selain itu, tampaknya 100 tokoh yang dipilih dalam buku juga sudah cukup representatif. Tokoh-tokoh itu bahkan berhasil dibentangkan dari masa sebelum hingga setelah kemerdekaan.
Padahal, tentu saja sulit menentukan seseorang dinobatkan sebagai tokoh. Menyaring seratus tokoh di antara ratusan lain yang tersedia, juga tidak gampang. Kesulitan itu kian terasa karena jejak rekam sang tokoh terkadang terputus. Sumber informasi susah diperoleh.
Gerilya dan perburuan 100 tokoh yang ditempuh penerbit buku ini memang layak diapresiasi positif. Misalnya, terlebih dulu menerbitkan 100 tokoh edisi koran pada 29 Mei 2008. Kemudian, berulang-ulang menjaring tokoh lewat rubrik surat pembaca di harian ini. Juga menurut Djadjat Sudradjat, Pemimpin Redaksi Lampung Post, penerbit harus menunjuk Prof. Sudjarwo, Oyos Saroso H.N., dan Firman Sponada sebagai orang luar yang menjadi "penunjuk jalan" agar penerbit tidak "tersesat arah" menentukan 100 tokoh Lampung.
Hasilnya, membanggakan. Sepertinya tidak ada lagi tokoh yang tercecer yang tidak dimuat dalam buku. Adapun tokoh yang diangkat, memang layak dipilih.
Kelebihan lain buku ini terletak dalam penulisan bahasa yang enak dibaca lagi komunikatif. Maklum, buku ini ditulis oleh para jurnalis sekaliber Lampung Post.
Menggali Mental Ketokohan
Disayangkan uraian tentang ketokohan yang disajikan hanya hasil akhirnya. Tapi proses untuk meraih ketokohan itu kurang digali. Sehingga pembaca tidak bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari sang tokoh.
Padahal, itulah kiranya salah satu makna pokok yang mustinya ditonjolkan buku ini. 100 tahun kebangkitan nasional ditandai dengan menampilkan 100 tokoh. Orang-orang Lampung harus bangkit sebagaimana yang telah dilakukan para tokohnya itu. Lantas, bagaimana kebangkitan itu akan muncul jika mental dan jiwa ketokohan tidak dimiliki masyarakat Bumi Ruwa Jurai ini.
Kelemahan lain buku ini, yaitu foto/gambar tokoh di halaman dalam tidak diberi nomor urut. Kekurangan ini tidak begitu berarti, tapi sekiranya pada foto itu ada nomornya, akan sangat membantu pembaca dalam mengurutkan tokoh.
Jika hal itu dilakukan, pembaca mengetahui bahwa ketika sedang membaca ketokohan Zainal Abidin Pagar Alam berarti ia sudah sampai kepada tokoh Lampung yang ke-8. Dari 100 tokoh, maka di buku ini Bob Sadino merupakan tokoh di nomor urut 28.
Selanjutnya, masalah teknis buku ini terletak di penulisan judul di cover yang berpotensi bisa mengecoh pembaca. Pada halaman sampul itu, tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional berada di atas 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Sehingga seolah-olah judul buku ini adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional-100 Tokoh Terkemuka Lampung. Padahal, judul yang benar sebagaimana ditulis di halaman Katalog dalam Terbitan (KDT): 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional.
Kemudian ada ketidaksesuain antara jumlah halaman yang disebutkan di KDT dengan jumlah halaman sesungguhnya. Kalau menurut hitungan halaman seluruhnya, yang benar dan tersedia yaitu xxiv + 430. Tapi di KDT ditulis xxiv + 434.
Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini menjadi sangat penting dilihat dari aspek keteladanan. Kendati aspek ini kurang dieksploitasi, tapi masih diketemukan dari beberapa tokoh yang diangkat.
Misalnya dari seorang Achmad Bakrie, yang semula hanya berdagang hasil bumi di Telukbetung, kini bisnis Grup Bakrie merentang hingga luar negeri dari sektor pertambangan, pertelelevisian, telekomunikasi, properti, jalan tol, dll.
Semua itu ia raih dengan memberikan keteladanan mental yang ulet dan sungguh-sungguh. Katanya, "Saya senang kamu gagal. Kau harus tahu arti kegagalan agar nanti berhasil...!" (hal. 35)
Atau dari Motinggo Busye, pria kelahiran Telukbetung, 21 November 1937, seorang yang dikenal luas ketokohan seninya. Ia sastrawan yang menulis banyak novel, sutradara, dan melukis.
Mental ketokohannya yang layak dicontoh bahwa ia cinta Lampung. Siapa yang tidak kenal naskah dramanya yang berjudul Malam Jahanam. Di situ Motinggo Busye mengangkat aroma perkampungan nelayan di kawasan Telukbetung. Atau dalam novel Harimau-Harimau yang kemudian difilmkan menjadi Manusia Harimau, ia mengambil latar peristiwa Lampung.
Selanjutnya, Sutrisno yang lahir di Natar. Seorang atlet dari ndeso tapi berkelas dunia. Sutrisno merupakan pemegang rekor dunia angkat berat kelas 60 kg dengan angkatan total 743,5 kg.
Ia dapat mengharumkan Lampung dan Indonesia seperti itu lewat mental disiplin yang tinggi, sekaligus tahan banting walau dibawah kepelatihan Imron Rosadi yang terkenal keras.
Menyebut beberapa mental ketokohan itu saja, sepertinya bisa menjadi modal potensial untuk kebangkitan orang Lampung. Diyakini kelak akan lebih banyak tokoh yang muncul, jika makin banyak orang yang berjiwa ulet dan sungguh-sungguh seperti Achmad Bakrie, berdisiplin tinggi dan pekerja keras bak Sutrisno, dst.
Dengan begitu, 100 Tokoh Terkemuka Lampung-100 Tahun Kebangkitan Nasional, memang perlu!
Sutiyo, Ketua Jurusan di Stisipol Dharma Wacana Metro
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 September 2008
September 5, 2008
Disbudpar Nilai Festival Krakatau Sukses
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Meski banyak mendapat sorotan dari masyarakat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung menganggap penyelanggaraan Festival Krakatau tahun ini sukses. Hal itu terbukti dengan meningkatnya jumlah peserta gelar budaya tahunan itu.
"Event kali ini banyak diikuti grup luar daerah seperti Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Riau mengirimkan grupnya dalam beberapa festival seni. Bunga rampai kesenian tradisi dari berbagai daerah di Nusantara tampil dalam panggung apresiasi," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung M. Natsir Ari Natsir didampingi Kabid Kebudayaannya Suwandidi ruang kerjanya, Kamis (4-9).
Panggung apresiasi seni di FK ini, kata Natsir, ditujukan untuk meningkatkan kreativitas seniman Lampung melalui beberapa perlombaan kreativitas seni tradisi dan modern daerah. Seperti lomba cipta lagu, tari kreasi dan lagu pop Lampung.
Ajang lain di FK 2008 itu juga menunjukkan peningkatan penyelenggaraan acara. Misalnya pada pembukaan acara, selain diikuti 25 kontingen pawai, juga hadir 15 duta besar negara sahabat. "Ini menjadi pertanda FK akan semakin dikenal luas di dunia," kata dia.
Sebelumnya, banyak pelaku seni yang menyoroti ajang yang digelar untuk menyemarakkan FK 2008 itu. Sorotan terutama dalam pelaksanaan lomba seni tradisional modern. "Di sana-sini banyak kekurangan. Sepertinya penyelenggara kurang profesional," kata salah seorang seniman dari Kota Metro, Anthony, yang ditemui beberapa waktu lalu.
Menurut Anthony, hal itu terlihat dari penyediaan sound system pada lomba tari kreasi dan cipta lagu Lampung. Padahal keberadaan sound system sangat menunjang pada ajang itu, di mana salah satu unsur dalam lomba adalah suara. "Kalau begini, peserta banyak dirugikan," kata dia.
Hal senada dikatakan seniman lainnya asal Pesawaran, Tanjung. Menurut dia, panitia yang ditunjuk tidak maksimal dalam menilai. Apalagi tidak ada sama sekali batas penilaian yang diberikan juri. "Ke depan, asal dan rekam jejak juri harus jelas. Jadi tak ada komplain lagi dari peserta," ujar dia. n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 5 September 2008
"Event kali ini banyak diikuti grup luar daerah seperti Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Riau mengirimkan grupnya dalam beberapa festival seni. Bunga rampai kesenian tradisi dari berbagai daerah di Nusantara tampil dalam panggung apresiasi," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung M. Natsir Ari Natsir didampingi Kabid Kebudayaannya Suwandidi ruang kerjanya, Kamis (4-9).
Panggung apresiasi seni di FK ini, kata Natsir, ditujukan untuk meningkatkan kreativitas seniman Lampung melalui beberapa perlombaan kreativitas seni tradisi dan modern daerah. Seperti lomba cipta lagu, tari kreasi dan lagu pop Lampung.
Ajang lain di FK 2008 itu juga menunjukkan peningkatan penyelenggaraan acara. Misalnya pada pembukaan acara, selain diikuti 25 kontingen pawai, juga hadir 15 duta besar negara sahabat. "Ini menjadi pertanda FK akan semakin dikenal luas di dunia," kata dia.
Sebelumnya, banyak pelaku seni yang menyoroti ajang yang digelar untuk menyemarakkan FK 2008 itu. Sorotan terutama dalam pelaksanaan lomba seni tradisional modern. "Di sana-sini banyak kekurangan. Sepertinya penyelenggara kurang profesional," kata salah seorang seniman dari Kota Metro, Anthony, yang ditemui beberapa waktu lalu.
Menurut Anthony, hal itu terlihat dari penyediaan sound system pada lomba tari kreasi dan cipta lagu Lampung. Padahal keberadaan sound system sangat menunjang pada ajang itu, di mana salah satu unsur dalam lomba adalah suara. "Kalau begini, peserta banyak dirugikan," kata dia.
Hal senada dikatakan seniman lainnya asal Pesawaran, Tanjung. Menurut dia, panitia yang ditunjuk tidak maksimal dalam menilai. Apalagi tidak ada sama sekali batas penilaian yang diberikan juri. "Ke depan, asal dan rekam jejak juri harus jelas. Jadi tak ada komplain lagi dari peserta," ujar dia. n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 5 September 2008
September 2, 2008
Masjid Tertua Lampung Rusak Terkena Letusan Krakatau
-- Triono Subagyo
SIANG itu, petugas pemukul bedug di Masjid Jami` Al Anwar bersiap memukul kentungan, yang bunyinya dipakai penanda masuknya waktu shalat.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.57 WIB, atau tiga menit lagi waktu shalat zhuhur dimulai. Sang petugas itu telah siap dengan pemukul kentungan, dan matanya tidak lepas dari jam dinding yang berada di salah satu sudut ruangan masjid tersebut.
Begitu pukul 12.00, ia pun membunyikan kentongan beberapa kali sebelum memukul bedug yang terbuat dari kulit sapi yang dibentangkan pada kayu gelondongan besar berongga.
Selang beberapa waktu, jemaah berdatangan, baik pengurus masjid, warga sekitar, maupun sebagian orang yang melintas berhenti sejenak mengurusi duniawi, untuk menunaikan kewajibannya menghadap Sang Khalik.
Di dalam masjid berukuran sekitar 30 x 35 meter, berdiri di atas tanah wakaf seluas 6.000 meter, yang mampu menampung lebih dari 2.000 orang itu, jemaah melakukan aktivitas yang intinya berpasrah ke Illahi.
Masjid Jami` Al Anwar, begitu nama masjid itu. Masjid itu merupakan salah satu yang tertua di Lampung, yakni dibangun tahun 1888 dan dipugar tahun 1962.
Menurut pengurus masjid H.M. Achmadi Malik, bangunan awal masjid itu merupakan masjid kecil atau mushala, yang dibangun tahun 1839 Masehi.
Ia yang berasal dari Madura-Jawa Timur dan masuk ke Lampung tahun 1962 itu, mengatakan, surau tersebut pembangunannya dimotori seorang ulama keturunan Kesultanan Bone, Sulawesi Selatan, bernama Muhammad Saleh bin Karaeng.
Rombongan Muhammad Saleh diperkirakan orang Bugis pertama yang bermigrasi ke Lampung. Keturunan mereka kini terus berkembang dan umumnya mendiami wilayah teluk atau pesisir.
Surau tersebut, lanjut dia, menjadi pusat peribadatan dan pembinaan agama Islam bagi nelayan, pedagang, serta masyarakat setempat.
Ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883, surau itu pun rusak parah, seperti banyak bangunan di Lampung ketika itu.
Kemudian tahun 1888, tokoh Bugis lainnya, Daeng Sawijaya, mengajak sejumlah saudagar dari Banten, Bugis, Palembang, dan tokoh Lampung membangun kembali dan menjadikan bekas mushala itu sebagai masjid. Bangunan baru itu pun dinamai Masjid Jami` Al Anwar.
"Saya sempat melihat pemugaran tahun 1962 dan terus berkembang hingga kini. Namun, ciri khas yakni tiang penyangga sebanyak enam buah, dan masing-masing setinggi delapan meter masih tetap utuh," kata Achmadi Malik.
Dia menjelaskan, enam tiang yang dibangun tanpa semen tersebut sebagai bentuk simbol rukun Islam yang berjumlah enam.
Bedug dan meriam
Menurut HM Achmadi Malik, masjid tersebut masih menggunakan bedug untuk memanggil orang shalat, tiada lain untuk mempertahankan ciri.
Di dalam masjid tersebut ada dua bedug dengan ukuran berbeda. Bedug pertama lebih besar, dengan kondisi bentangan kulitnya sudah sobek dan tidak digunakan lagi, kecuali pada malam takbiran untuk meramaikan suasana.
Sedangkan bedug yang kini masih bagus berdiameter sekitar satu meter, dan siapa pun boleh memukulnya jika waktu salat telah tiba.
"Bedug ini tidak akan ditinggalkan dan siapa pun boleh memukulnya sepanjang untuk syiar Islam," katanya.
Ia menjelaskan, syiar tersebut yakni ketika hendak masuk waktu salat serta malam takbiran baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Sementara itu, di luar ada dua meriam peninggalan Portugis yang dipajang di halaman.
"Kita sengaja memajangnya untuk mengingatkan kepada siapa pun dan generasi mendatang tentang sejarah bahwa masjid ini memang dibangun pada era penjajahan," kata dia.
Namun ia tidak bisa menjelaskan siapa orang yang merancang model bangunan tersebut karena tidak ada catatan yang bercerita soal itu. Boleh jadi, katanya, bentuk masjd dirancang bersama-sama ketika pembangunan sedang berlangsung.
Guna memakmurkan masjid, pengurus mengagendakan majelis taklim selama empat kali dalam sepekan, kemudian kegiatan pengenalan Bahasa Arab dua kali dalam sepekan dan diberikan secara gratis kepada siapa pun yang ingin mempelajarinya.
Sedangkan setiap Ramadhan, kegiatan keagamaan pun ditingkatkan seperti tadarusan dan diskusi-diskusi seputar keagamaan.
Seperti hari pertama puasa, usai Salat Zuhur, sebagian jemaah berdiskusi membentuk kelompok, serta lainnya membaca Al Quran atau beristirahat sambil merebahkan diri.
Sumber: Antara, Selasa, 2 September 2008
SIANG itu, petugas pemukul bedug di Masjid Jami` Al Anwar bersiap memukul kentungan, yang bunyinya dipakai penanda masuknya waktu shalat.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.57 WIB, atau tiga menit lagi waktu shalat zhuhur dimulai. Sang petugas itu telah siap dengan pemukul kentungan, dan matanya tidak lepas dari jam dinding yang berada di salah satu sudut ruangan masjid tersebut.
Begitu pukul 12.00, ia pun membunyikan kentongan beberapa kali sebelum memukul bedug yang terbuat dari kulit sapi yang dibentangkan pada kayu gelondongan besar berongga.
Selang beberapa waktu, jemaah berdatangan, baik pengurus masjid, warga sekitar, maupun sebagian orang yang melintas berhenti sejenak mengurusi duniawi, untuk menunaikan kewajibannya menghadap Sang Khalik.
Di dalam masjid berukuran sekitar 30 x 35 meter, berdiri di atas tanah wakaf seluas 6.000 meter, yang mampu menampung lebih dari 2.000 orang itu, jemaah melakukan aktivitas yang intinya berpasrah ke Illahi.
Masjid Jami` Al Anwar, begitu nama masjid itu. Masjid itu merupakan salah satu yang tertua di Lampung, yakni dibangun tahun 1888 dan dipugar tahun 1962.
Menurut pengurus masjid H.M. Achmadi Malik, bangunan awal masjid itu merupakan masjid kecil atau mushala, yang dibangun tahun 1839 Masehi.
Ia yang berasal dari Madura-Jawa Timur dan masuk ke Lampung tahun 1962 itu, mengatakan, surau tersebut pembangunannya dimotori seorang ulama keturunan Kesultanan Bone, Sulawesi Selatan, bernama Muhammad Saleh bin Karaeng.
Rombongan Muhammad Saleh diperkirakan orang Bugis pertama yang bermigrasi ke Lampung. Keturunan mereka kini terus berkembang dan umumnya mendiami wilayah teluk atau pesisir.
Surau tersebut, lanjut dia, menjadi pusat peribadatan dan pembinaan agama Islam bagi nelayan, pedagang, serta masyarakat setempat.
Ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883, surau itu pun rusak parah, seperti banyak bangunan di Lampung ketika itu.
Kemudian tahun 1888, tokoh Bugis lainnya, Daeng Sawijaya, mengajak sejumlah saudagar dari Banten, Bugis, Palembang, dan tokoh Lampung membangun kembali dan menjadikan bekas mushala itu sebagai masjid. Bangunan baru itu pun dinamai Masjid Jami` Al Anwar.
"Saya sempat melihat pemugaran tahun 1962 dan terus berkembang hingga kini. Namun, ciri khas yakni tiang penyangga sebanyak enam buah, dan masing-masing setinggi delapan meter masih tetap utuh," kata Achmadi Malik.
Dia menjelaskan, enam tiang yang dibangun tanpa semen tersebut sebagai bentuk simbol rukun Islam yang berjumlah enam.
Bedug dan meriam
Menurut HM Achmadi Malik, masjid tersebut masih menggunakan bedug untuk memanggil orang shalat, tiada lain untuk mempertahankan ciri.
Di dalam masjid tersebut ada dua bedug dengan ukuran berbeda. Bedug pertama lebih besar, dengan kondisi bentangan kulitnya sudah sobek dan tidak digunakan lagi, kecuali pada malam takbiran untuk meramaikan suasana.
Sedangkan bedug yang kini masih bagus berdiameter sekitar satu meter, dan siapa pun boleh memukulnya jika waktu salat telah tiba.
"Bedug ini tidak akan ditinggalkan dan siapa pun boleh memukulnya sepanjang untuk syiar Islam," katanya.
Ia menjelaskan, syiar tersebut yakni ketika hendak masuk waktu salat serta malam takbiran baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Sementara itu, di luar ada dua meriam peninggalan Portugis yang dipajang di halaman.
"Kita sengaja memajangnya untuk mengingatkan kepada siapa pun dan generasi mendatang tentang sejarah bahwa masjid ini memang dibangun pada era penjajahan," kata dia.
Namun ia tidak bisa menjelaskan siapa orang yang merancang model bangunan tersebut karena tidak ada catatan yang bercerita soal itu. Boleh jadi, katanya, bentuk masjd dirancang bersama-sama ketika pembangunan sedang berlangsung.
Guna memakmurkan masjid, pengurus mengagendakan majelis taklim selama empat kali dalam sepekan, kemudian kegiatan pengenalan Bahasa Arab dua kali dalam sepekan dan diberikan secara gratis kepada siapa pun yang ingin mempelajarinya.
Sedangkan setiap Ramadhan, kegiatan keagamaan pun ditingkatkan seperti tadarusan dan diskusi-diskusi seputar keagamaan.
Seperti hari pertama puasa, usai Salat Zuhur, sebagian jemaah berdiskusi membentuk kelompok, serta lainnya membaca Al Quran atau beristirahat sambil merebahkan diri.
Sumber: Antara, Selasa, 2 September 2008
September 1, 2008
Ditemukan Naskah Kuno Letusan Krakatau 1883
Jakarta- Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksiaan yang amat langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam. Peneliti dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda, Suryadi mengatakan hal itu kepada Kompas di Padang, Sumatera Barat, dan melalui surat elektroniknya dari Belanda, Minggu (31/8).
"Kajian-kajian ilmiah dan bibiliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. Dua tahun penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis, " katanya. Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, gunung Krakatau telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 km dan tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan sekitar 36.000 orang.
Sebelum meletus tahun 1883, Gunung Krakatau telah pernah meletus sekitar tahun 1680/1. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan; Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata. Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society (London, 1883).
Sedangkan sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman). " Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884), " paparnya.
Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam. " Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safat 1306 H (16 Oktober 1888)," ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara ArabMelayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan, terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paroh kedua abad ke-19. Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh.
Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di Singapura. " Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura, dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu," katanya.
Bisa direvitalisasi
Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai syair kewartawanan, karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung Menengah, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, dan hujan abu dan batu.
Pengarang menceritakan, betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau balau itu orang masih mau saling tolong menolong satu sama lain. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa musibah. Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam aksara latin.
"Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau," jelas Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya dan sastra daerah Lampung. (Yurnaldi)
Sumber : www.kompas.com, 31 Agustus 2008
"Kajian-kajian ilmiah dan bibiliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. Dua tahun penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis, " katanya. Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, gunung Krakatau telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 km dan tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan sekitar 36.000 orang.
Sebelum meletus tahun 1883, Gunung Krakatau telah pernah meletus sekitar tahun 1680/1. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan; Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata. Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society (London, 1883).
Sedangkan sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman). " Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884), " paparnya.
Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam. " Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safat 1306 H (16 Oktober 1888)," ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara ArabMelayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan, terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paroh kedua abad ke-19. Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh.
Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di Singapura. " Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura, dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu," katanya.
Bisa direvitalisasi
Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai syair kewartawanan, karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung Menengah, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, dan hujan abu dan batu.
Pengarang menceritakan, betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau balau itu orang masih mau saling tolong menolong satu sama lain. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa musibah. Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam aksara latin.
"Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau," jelas Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya dan sastra daerah Lampung. (Yurnaldi)
Sumber : www.kompas.com, 31 Agustus 2008
Tradisi: Belanger, Bersuci Menjelang Ramadan
TRADISI BELANGER. Ratusan warga belanger, tradisi bersuci diri dengan mandi di aliran Kali Akar, Telukbetung Utara, Minggu (31-8). Tradisi bersih diri ini biasanya dilakukan umat muslim menyambut bulan Ramadan. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)