October 31, 2008

Lampung Bisa Jadi Pelaksana Temu Sastra

Bandarlampung, 30/10 (ANTARA) - Para sastrawan Lampung berharap, daerahnya dapat menjadi tuan rumah pelaksanaan Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) yang diikuti sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia.

Sastrawan kondang Lampung, Isbedy Stiawan ZS, di Bandarlampung, Kamis, menyatakan agenda pertemuan sastrawan seperti itu, diharapkan dapat semakin memacu tumbuh dan berkembang dinamika bersastra di kalangan para sastrawan muda maupun meningkatkan apresiasi sastra di kalangan pelajar dan generasi muda daerahnya.

Pemda dan dinas teknis terkait pengembangan seni, budaya dan pariwisata di Lampung harus ikut bertanggungjawab untuk ikut mengembangkan gairah sastra yang terus bertumbuh di daerahnya ini.

"Mungkin tahun depan, kalau Pemda Provinsi Lampung memberi dukungan, teman-teman sastrawan Lampung bersama Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan dibantu Disbudpar siap menjadi tuan rumahnya," kata Isbedy pula.

Apalagi tahun 2009 nanti, Lampung mencanangkan program Visit Lampung Year 2009.

Menurut "Paus" Sastra Lampung itu, kesempatan menjadi tuan rumah berbagai kegiatan berskala nasional di daerahnya akan bagus buat mendatangkan wisatawan lokal ke daerah ini

Temu Sastra MPU itu melibatkan sastrawan dari 10 provinsi peserta Mitra Praja Utama, yaitu Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.

Pertama kali Temu Sastra itu digagas oleh Provinsi Banten, kemudian Bali menjadi tuan rumah pada MPU kedua, dan tahun 2008 ini Jabar menjadi tuan rumah.

Karena itu, Isbedy menyayangkan adanya kabar bahwa utusan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Lampung yang tidak bisa hadir, sehingga akan sulit menyanggupi sekiranya Lampung ditunjuk sebagai tuan rumah tahun 2009 nanti.

"Tapi saya tetap berharap dari Disbudpar Lampung ada yang mewakili," kata Isbedy pula.

Dia juga tetap berharap Pemda Provinsi Lampung maupun Pemda Kota Bandarlampung--selain Disparbud dan Dewan Kesenian Lampung/DKL--tetap memiliki kepedulian untuk mendukung keberangkatan mereka mengikuti Temu Sastra di Lembang itu.

Sebanyak empat orang sastrawan dari Lampung diundang mengikuti Temu Sastra MPU ke-3 yang akan berlangsung di Lembang, Jawa Barat, 4-6 November 2008 mendatang.

Selain tampil membacakan karya sastra masing-masing, juga diisi dengan diskusi.

Sastrawan dari Lampung yang diundang dan telah merencanakan hadir dalam Temu Sastra MPU ke-3 tersebut adalah Isbedy Stiawan ZS (koordinator), Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, dan Agit Yoga Subhandi.

Temu Sastra MPU III ini mengangkat tema `Peran Karya Sastra dalam Meningkatkan Kesadaran dan Kecintaan Masyarakat terhadap Lingkungan Hidup`.

Para pembicara yang akan dihadirkan dalam sesi diskusi, antara lain Dr Safrina Noorman ("Puisi Indonesia, Manusia dan Alam"), Dr Maman S Mahayana ("Jejak Alam dan Manusia dalam Prosa Indonesia"), Prof Bambang Sugiharto ("Manusia Indonesia Kontemporer dalam Sastra Indonesia"), dan Prof Jakob Sumardjo ("Manusia Sunda, Pantun sunda, dan Sistem Sosial").

Namun Isbedy mengeluhkan, keberangkatan para sastrawan Lampung benar-benar dalam kondisi serba prihatin, mengingat undangan yang ditujukan ke Disbudpar Provinsi Lampung yang semestinya dapat memfasilitasi para sastrawan yang diundang untuk menghadirinya, ternyata dinas tersebut beralasan tidak memiliki anggaran untuk program tersebut.

"Tapi karena kegiatan ini juga difasilitasi Disbudpar Jabar, semestinya tetap berupaya bisa memberangkatkan sastrawan Lampung yang diundang itu," kata Isbedy pula.

Rencananya, empat sastrawan Lampung dalam acara itu akan membacakan puisi karya masing-masing pada malam pembacaan karya sastra.

Mereka sudah mengirimkan karya sebanyak 5-10 buah puisi, selain dibacakan juga akan dibukukan oleh panitia Temu Sastra itu.

Sumber: Antara, Sabtu, 31 Oktober 2008

Lampung Kembangkan Wisata Minat

Bandarlampung, 30/10 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung akan terus mengembangkan wisata minat yang banyak digandrungi turis asing.

"Dari berbagai lokasi, turis mancanegara lebih senang dengan wisata minat seperti di pantai dan ekowisata," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung, M Natsir Ari, di Bandarlampung, Kamis.

Ia mencontohkan, lokasi yang banyak dikunjungi yakni daerah pantai yang memiliki kekhasan seperti di Teluk Kiluan, Kabupaten Tanggamus, karena masih ada ikan lumba-lumba yang dapat dilihat atau muncul ke permukaan, serta lokasi memancing yang ideal.

Kemudian, di daerah Krui, Lampung Barat dengan ombak yang cocok untuk kegiatan selancar dan lainnya.

"Selain itu, daerah yang banyak dikunjungi juga Taman Nasional Way Kambas, dengan flora dan faunanya yang menarik wisatawan asing," terang dia.

Namun, Natsir mengatakan, perlunya pembenahan infrastruktur serta adanya tim medis yang tidak jauh dari lokasi.

"Kalau soal penginapan, turis asing tidak cerewet, yang penting ada tempat tidur dan kelambu guna menghindari serangga, serta MCK yang bagus," kata dia.

Terkait target wisatawan yang datang ke Lampung dalam rangka tahun kunjungan wisata daerah tersebut atau Visit Lampung Year 2009, ia mengatakan sekitar dua juta orang, baik wisatawan mancanegara maupun domestik.

"Target tersebut berpijak pada kehadiran wisatawan ke Lampung tahun 2007 yang mencapai 1,5 juta lebih. Jadi kalau kita menargetkan dua juta pada tahun 2009 itu kan wajar," katanya.

Menyinggung pengembangan potensi pariwisata di Lampung yang sepertinya stagnan, ia mengakui bahwa banyaknya potensi, namun belum tersentuh dan tergarap secara optimal.

"Akibatnya, wisatawan yang datang hanya mereka yang benar-benar berminat. Karena itu, perlu upaya yakni promosi ke daerah lain dan ke mancanegara melalui berbagai agen perjalanan wisata," kata dia.

Sumber: Antara, 30 Oktober 2008

October 27, 2008

Kebudayaan Lampung Kurang Diperhatikan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kalangan seniman Lampung menilai Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya Lampung.

Penyair Lampung Udo Z. Karzi, Sabtu (25-10), mengatakan ketidakpedulian pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota terbukti dengan tidak adanya anggaran untuk seni dan kebudayaan. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) habis untuk kepentingan politik. Dalam APBD Lampung tahun 2007 dan 2008 tidak ada alokasi untuk seni dan budaya.

Ketidakpedulian pemerintah daerah di Lampung, kata Udo, juga dilihat dengan tidak didukungnya kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Beberapa kegiatan seni dan budaya diselenggarakan dengan dana swadaya dari para seniman.

"Paus Sastra Indonesia H.B. Jasin pernah mengungkapkan koran wajib menyediakan halaman untuk seni dan budaya. Demikian juga dengan pemerintah harus lebih peduli terhadap kebudayaan," kata Udo.

Menurut Udo, Pemprov Lampung harusnya bisa mencontoh apa yang dilakukan pemerintah Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta. Pemerintah daearah Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta mengangarkan dana untuk seni dan budaya daerah dalam APBD. Selain itu, para pejabat di tiga daerha tersebut secara rutin menghadiri kegiatan seni dan budaya.

"Para pejabat itu hadir bukan untuk memberikan sambutan, tetapi hadir untuk menyaksikan pergelaran seni dan budaya. Bahkan ada yang hadir untuk membacakan puisi. Pejabat di Yogyakarta duduk bersama para seniman untuk menyaksikan pagelaran seni dan budaya," kata dia.

Kondisi tersebut, menurut Udo, sangat berbeda dengan pejabat daerah di Lampung. Pejabat di Lampung hadir dalam acara seni dan budaya hanya untuk memberikan sambutan. Pejabat di Lampung hadir dalam acara seni budaya jika diundang penyelengara. "Bagaimana Lampung mau maju jika tidak ada dukungan terhadap seni dan budaya," kata penyair Lampung yang pernah meraih Hadiah Sastra Rancage itu. n */K-2 (PADLI RAMDAN)

Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Oktober 2008

October 26, 2008

Teknokra Unila Segera Terbitkan Buku Perjuangan Persma

UNIT Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) melewati usia ke-31 pada 2008, akan menerbitkan buku sejarah perjuangan pers mahasiswa itu di tengah kiprah pers mahasiswa (persma) secara nasional.

Pemimpin Umum UKPM Teknokra Unila, Edi Prasetio, di Bandarlampung, Minggu, membenarkan bahwa penyusunan buku yang telah beberapa tahun ini digagas itu, diharapkan dapat segera direalisasikan pada akhir tahun ini.

"Tim kerja penulis dan penyusun buku itu telah terbentuk dan bekerja, mudah-mudahan target untuk bisa terbit pada November atau Desember tahun 2008 ini tercapai dengan baik," kata Edi.

Mantan Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unila, Drs M Thoha MS Jaya MS, yang juga sekaligus lulusan Unila pernah aktif mengelola Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra itu, juga mendukung segera diterbitkan buku sejarah persma Teknokra Unila dan perkembangan geliat persma secara nasional oleh UKPM Teknokra Unila tersebut.

"Ini pekerjaan besar dan strategis bagi kepentingan gerakan mahasiswa khususnya persma di Lampung dan Indonesia," kata Thoha pula.

Dukungan juga disampaikan beberapa lulusan (alumni) Unila yang pernah aktif mengelola dan memimpin SKM Teknokra itu, diantaranya Hapris Jawodo yang kini bekerja mengelola pula penerbitan khusus di salah satu pabrik gula besar di Lampung, dan Machsus Thamrin, alumni Unila yang pernah memimpin Teknokra dan kini menjadi jurnalis profesional di Jakarta.

Hapris dan Machsus secara terpisah, menyatakan mendukung penerbitan buku yang diharapkan akan menjadi dokumen penting dan meruntut kembali benang merah gerakan pers mahasiswa di Lampung dan Indonesia umumnya.

Apalagi, menurut Hapris, SKM Teknokra Unila, merupakan salah satu dari sedikit pers mahasiswa berbasis di PTN/PTS di Indonesia yang sejak awal berdiri hingga sekarang, dapat secara rutin menerbitkan produk jurnalistiknya di tengah berbagai kendala, ancaman, dan keterbatasan yang dimiliki.

"Biasanya mahasiswa itu, apalagi yang aktivis akan lebih banyak berdemo dan berteriak-teriak untuk pintar berdebat saja. Tapi kalau aktivis pers mahasiswa khususnya yang pernah aktif di Teknokra Unila akan juga memiliki pengalaman praktis dan ideologis mengelola pers mahasiswa secara nyata dengan produk yang jelas," kata Hapris.

Menurut Pemimpin Umum UKPM Teknokra Unila, Edi Prasetio, sampai saat ini selain terus rutin menerbitkan Majalah Teknokra (dulu berupa buletin), mereka juga menerbitkan newsletter dan juga mengelola media Teknokra Online serta secara terprogram menggelar berbagai pelatihan dan diskusi kejurnalistikan maupun menerbitkan buku dan produk penerbitan lainnya.

Unila memiliki 20.000 lebih mahasiswa tersebar pada delapan fakultas, dengan sekitar 1.200 dosen, serta mempunyai ratusan unit kegiatan mahasiswa (UKM) termasuk UKPM Teknokra.

Unila mencanangkan menjadi sepuluh perguruan tinggi terbaik nasional (Top Ten University) pada 2025 mendatang.

Sumber: Antara, Minggu, 26 Oktober 2008

October 25, 2008

Seniman Lampung Tampilkan Sastra Lisan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Untuk memperkenalkan budaya Lampung seperti sastra lisan kepada dunia Internasional, Jung Foundation akan mengikuti Konferensi Internasional Kota-Kota Warisan Dunia (Euro Asia Heritage Cities Conference & Expo) di Solo, 25--30 Okober 2008 mendatang.

"Meski tak dibantu pendanaan dari pemda, kami akan tetap berangkat dan mengikuti konferensi ini. Pasalnya, ini sebuah event bergengsi yang sangat penting untuk memperkenalkan Lampung agar masuk dalam jejaring Internasional," kata Direktur Eksekutif Jung Foundation, Christian Heru, di Bandar Lampung, kemarin.

Dalam konferensi yang mengusung tema Perlindungan Warisan Budaya Takbenda dan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan itu, Jung Foundation yang diundang sebagai utusan Lampung akan mengangkat persoalan sastra lisan ragam hias.

"Kalau di Jawa punya batik dan wayang. Lampung punya warisan budaya takbenda berupa sastra lisan (folklore) dan ragam hias yang bisa diangkat sebagai ikon Lampung," ujar Christian yang juga peneliti folklore pada Sekelek Institute Publishing House ini.

Christian menambahkan sudah sejak beberapa tahun lalu pihaknya dari Jung Foundation bermitra dengan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung menyosialisasikan dan menumbuhkembangkan sastra lisan Lampung dan ragam hias kepada pelajar.

"Tetapi, saat ini persoalannya Subdin Kebudayaan sudah dilikuidasi dan dihilangkan dari Dinas Pendidikan. Jadi dengan siapa kami harus bermitra," kata dia.

Padahal, kata Christian Heru, sastra lisan dan ragam hias dapat diaplikasikan jadi cendera mata dan ikon Lampung. "Mudah-mudahan UNESCO melirik potensi yang dimiliki Lampung dan bisa menjadi funding untuk pelestariannya," kata Christian.

Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hj. Syafariah Widianti mengatakan anggaran untuk Dewan Kesenian Lampung yang dikucurkan dari APBD amat minim. Bahkan anggaran yang diajukan dalam APBD dan APBD Perubahan ini untuk DKL dicoret.

"Bagaimana kami akan membantu seniman, kalau dana untuk masing-masing komite saja dipangkas," kata Syafariah Widianti. n RLS/K-2

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Oktober 2008

Jung Foundation Ikuti Konferensi Kota Warisan Dunia

Bandarlampung, 24/10 (ANTARA) - Kendati tanpa didukung pendanaan oleh Pemda di Lampung, Jung Foundation Lampung tetap memastikan diri bisa mewakili daerah ini untuk mengikuti Konferensi Internasional Kota-Kota Warisan Dunia "Euro Asia Heritage Cities Conference & Expo" yang siap dilaksanakan di Solo, Jawa Tengah, 25-30 Oktober 2008 mendatang.

Christian Heru Cahyo Saputro dari Jung Foundation, di Bandarlampung, Jumat, menyatakan, dirinya berupaya tetap hadir dalam Konferensi Internasional yang dinilai cukup bergengsi, penting dan strategis bagi pengembangan kebudayaan dan pergaulan masyarakat Lampung maupun Indonesia di dunia internasional.

Padahal keberangkatan itu, menurut Heru yang juga pimpinan Jung Foundation, nyaris tak didukung pendanaan, baik dari Pemda Provinsi Lampung maupun Pemda Kota Bandar Lampung.

"Meski tak dibantu pendanaan dari pemda, kami akan tetap berangkat dan mengikuti konferensi itu, mengingat merupakan event bergengsi yang sangat penting untuk memperkenalkan Lampung agar masuk dalam jejaring internasional," ujar Heru pula.

Menurut dia, dapat memaklumi kalau pemda di daerahnya tidak bisa membantu, mungkin karena terkena dampak krisis finansial di Amerika Serikat.

"Tapi bisa jadi pula alasan sebenarnya adalah karena kesenian dan kebudayaan bukan agenda penting bagi para birokrat di daerah ini," ujar Heru yang juga Direktur Eksekutif Jung Foundation itu lagi.

Dalam konferensi yang mengusung tema "Perlindungan Warisan Budaya Takbenda dan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan", Jung Foundation yang diundang sebagai utusan Lampung, akan mengangkat persoalan sastra lisan dan ragam hias.

"Kalau di Jawa punya batik dan wayang, Lampung punya warisan budaya takbenda berupa sastra lisan (folklore) dan ragam hias yang bisa diangkat sebagai ikon Lampung," ujar pegiat seni budaya serta sastrawan Lampung yang juga peneliti folklore pada Sekelek Institute Publishing House ini.

Dia menambahkan, sejak beberapa tahun lalu, pihaknya dari Jung Foundation bermitra dengan Subdin Kedudayaan Dinas Pendidikan Lampung menyosialisasikan dan menumbuhkembangkan sastra lisan Lampung dan ragam hias kepada para pelajar di daerahnya.

"Tetapi, saat ini persoalannya Subdin Kebudayaan sudah dilikuidasi dan dihilangkan dari Dinas Pendidikan di Lampung. Jadi dengan siapa kami harus bermitra lagi," ujar pegiat pelestarian warisan budaya yang sering mengikuti pertemuan heritage baik nasional maupun internasional itu pula.

Padahal, lanjut Heru, sastra lisan dan ragam hias Lampung itu dapat diaplikasikan menjadi cenderamata dan ikon Lampung.

"Mudah-mudahan UNESCO bisa melirik potensi yang dimiliki Lampung dan bisa menjadi `funding` untuk pelestariannya," kata dia mengharapkan.

DKL Minim Dana

Jung Foundation, menurut dia, saat mengajukan dukungan dari Dewan Kesenian Lampung (DKL) untuk keikutsertaan dalam konferensi di Solo itu, mendapatkan tanggapan dari Ketua Umum DKL Hj Syafariah Widianti bahwa anggaran untuk DKL yang dikucurkan dari APBD Lampung jumlahnya amat minim.

Bahkan pengajuan untuk penganggaran melalui APBD Perubahan (APBD-P) Lampung tahun 2008 untuk DKL juga dicoret.

"Bagaimana kami akan membantu seniman, kalau dana untuk masing-masing komite saja dipangkas," cetus Heru, mengucapkan tanggapan Ketua Umum DKL itu lagi.

Menurut seorang perupa Lampung, David, dunia kesenian di daerahnya masih dipandang sebelah mata oleh kalangan birokrat.

Padahal, nama Lampung di luaran terangkat oleh prestasi kesenian yang ditorehkan para seniman dan pegiat kebudayaan di Lampung.

"Jadi apa yang dikerjakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata selama ini hanya menggelar acara-acara rutin. Mereka tak pernah menyokong seniman," ujar David yang juga anggota Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung itu.

David menambahkan, Visit Lampung Year (VLY) 2009 atau Tahun Kunjungan Lampung 2009 yang telah dicanangkan, juga dinilai cenderung hanya sekadar jargon belaka.

"Disbudpar Lampung terlihat hanya menunggu tidak pernah mau jemput bola dan bekerjasama dengan seniman untuk menggagas peristiwa kesenian yang menarik untuk wisatawan," kata David pula.

Sumber: Antara, Jumat, 24 Oktober 2008

October 24, 2008

Pencemaran: Teluk Lampung Sudah Tercemar Berat

Pesawaran, Kompas - Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung atau BBPBL Lampung memastikan, berbagai aktivitas yang diikuti pembuangan limbah langsung ke Teluk Lampung sudah mencemari perairan tersebut. Teluk Lampung diketahui mengandung bahan organik dan unsur-unsur nitrogen berkadar tinggi sehingga berbahaya bagi ikan dan udang.

Kepala BBPBL Lampung M Murdjani, Kamis (23/10); pada Seminar Tripartit yang dihadiri pelaku usaha perikanan, udang, dan kerapu; Dinas Kelautan dan Perikanan; serta Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kabupaten Pesawaran; mengatakan, kegiatan-kegiatan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas air di perairan Teluk Lampung adalah kegiatan industri, rumah tangga, pertanian, dan pertambakan. Berbagai kegiatan itu memberi kontribusi masuknya limbah yang cukup tinggi serta terus-menerus ke Teluk Lampung.

Untuk mengetahui kualitas air Teluk Lampung, petugas BBPBL Lampung mengambil contoh air di enam titik yang tersebar di Teluk Lampung dan menelitinya mulai Januari-Agustus 2008. Enam titik itu di Tanjung Putus, Puhawang, Ringgung, Teluk Hurun, Tarahan, dan Kalianda.

Di enam titik tersebut, selain aktivitas rumah tangga dan industri, aktivitas yang paling banyak adalah aktivitas pertambakan udang intensif dan keramba jaring apung (KJA) dengan budidaya utama kerapu. Contoh air dari enam titik di Teluk Lampung diuji di laboratorium untuk mengukur kadar pencemaran. (HLN)

Sumber: Kompas, Jumat, 24 Oktober 2008

October 22, 2008

Warisan Budaya: Naskah Kuno Lampung di Luar Negeri

Bandar Lampung, Kompas - Museum Lampung memastikan, sebanyak 400 naskah kuno Lampung tersimpan di museum-museum di luar negeri, sedangkan yang tersimpan di Museum Lampung hanya sekitar 34 buah. Hal itu menyulitkan bagi para peneliti yang hendak melakukan pengkajian tentang budaya atau kehidupan Lampung masa lalu.

Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, Selasa (21/10), mengatakan, dari inventarisasi koleksi dan dari penelusuran mengenai naskah-naskah kuno Lampung di luar negeri, diketahui naskah kuno Lampung tersimpan di 20 perpustakaan milik museum atau lembaga penelitian di luar negeri.

Beberapa negara yang diketahui menyimpan naskah kuno Lampung antara lain Belanda, Denmark, Inggris, dan Jerman. Di Belanda, naskah kuno Lampung tersimpan di lembaga penelitian Koninklijk Instituut Voor de Tropen, Amsterdam, dan di lembaga penelitian Koninklijk Instituut voor Taal di Leiden.

Di Denmark, naskah kuno Lampung diketahui disimpan di Museum Nasional atau Nationalmuseet. Di Inggris, naskah kuno Lampung disimpan di Brynmor Jones Library, University of Hull. Adapun di Jerman, naskah kuno Lampung tersimpan di Museum fur Volkerkunde, Berlin; Museum fur Volkerkunde, Leipzig; Bayerische Staatsbibliothek, Muenchen; dan di Linden Museum, Stuttgart. (HLN)

Sumber: Kompas, Rabu, 22 Oktober 2008

October 20, 2008

Satwa Liar: Konflik Gajah-Manusia Terus Terjadi

Bandar Lampung, Kompas - Sepanjang periode Januari-Oktober 2008, kawanan gajah sumatera atau Elephas maximus sumatranus liar di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, sudah keluar kawasan sebanyak 45 kali dan berkonflik dengan manusia. Keluarnya gajah dan konflik terjadi setelah gajah-gajah liar semakin terdesak oleh perambahan, kebakaran hutan, dan rebutan pakan dengan kerbau gembala milik warga sekitar kawasan.

Giyo, aktivis lingkungan dari Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) yang bertugas di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung Timur, Sabtu (18/10), mengatakan, TNWK yang memiliki luas 130.000 hektar berbatasan langsung dengan 37 desa pada 10 kecamatan di dua kabupaten.

Masyarakat desa pada 37 desa tersebut sering kali memanfaatkan potensi yang dimiliki TNWK. WCS-IP mencatat kawasan seluas 12.000 hektar di barat daya TNWK sudah dirambah masyarakat desa.

Salah satu desa yang warganya paling sering merambah berasal dari Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Labuhan Ratu. ”Mereka bertanam singkong di kawasan yang merupakan daerah jelajah atau home range gajah-gajah liar,” ujar Giyo.

Wilayah lain di dalam kawasan TNWK yang terpantau juga dimanfaatkan warga desa adalah di kawasan antara Sungai Way Sukadana dan Sungai Way Bungur sepanjang 30 kilometer di Seksi II Way Bungur TNWK, di kawasan antara Sungai Way Penet dan Way Kanan sepanjang 30 kilometer di Seksi III Kuala Penet, dan di kanal sepanjang 29 kilometer yang membatasi wilayah permukiman Labuhan Ratu dengan Seksi III Kuala Penet.

Di titik-titik tersebut, pakan rumput tumbuh subur. Warga memanfaatkan rumput-rumput itu sebagai pakan kerbau dan menggembalakan kerbau-kerbau mereka pada tiga titik tersebut. ”Akibatnya, gajah liar berebut pakan dengan ribuan kerbau di wilayah itu,” ujar Giyo.

Catatan lainnya, ujar Giyo, di kawasan antara Seksi I Way Kanan dan Seksi III Kuala Penet merupakan kawasan kebakaran alang-alang TNWK. Akibatnya, gajah-gajah liar makin kepepet dan kekurangan sumber pakan.

Hal itu menjelaskan keterdesakan gajah-gajah liar di TNWK yang diperkirakan berjumlah 200 ekor sehingga untuk mendapatkan sumber pakan baru, gajah-gajah memperluas daerah jelajah. Salah satunya dengan menjelajah di kawasan perambahan. (hln)

Sumber: Kompas, Senin, 20 Oktober 2008

October 19, 2008

Manuskrip Kitab 'Kuntara Raja Niti', Khazanah yang Hampir Punah

Oleh Susilowati*

KHAZANAH kebudayaan Lampung bagaikan mutiara terpendam di kampung halamannya. Setiap menggali, makin tertantang untuk menemukan mutiara terindah yang masih tersembunyi. Mulai dari adat istiadat, kesenian, sejarah, sampai kitab adat yang sangat banyak jumlahnya. Salah satunya adalah kitab Kuntara Raja Niti.

Kitab Kuntara Raja Niti merupakan kitab adat yang menjadi rujukan bagi adat istiadat orang Lampung. Kitab ini digunakan hampir tiap-tiap subsuku Lampung, baik Pepadun maupun Pesisir. Di masing-masing kebuaian (keturunan) dari subsuku tersebut pun mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab rujukan adat Lampung.

Sayangnya, tidak semua punyimbang (pemangku adat) menyimpan manuskrip kitab tersebut. Apalagi masyarakat Lampung kebanyakan. Karena kekayaan peninggalan adat, baik yang berupa benda maupun tulisan biasanya berada di kediaman pemangku adat dari setiap kebuaian. Jika di tempat pemangku adat tidak ada, kecil kemungkinan akan didapat di tempat lain.

Sebagian para punyimbang di daerah Kotaagung mengakui kalau yang dijadikan rujukan adat istiadat mereka adalah kitab Kuntara Raja Niti, tapi mereka tidak memiliki manuskripnya. Konon manuskrip kitab tersebut telah terbakar di daerah muasal mereka, yaitu Liwa. Mereka menerima peraturan adat istiadat secara turun temurun dari pemangku adat dan tua-tua sebelumnya. Mereka menurunkan kepada generasi berikutnya pun secara lisan pula.

Sedangkan untuk daerah Kurungan Nyawa, adat istiadat mereka, baik tata cara kehidupan sehari-hari maupun acara seremonial merujuk pada kitab Kuntara Raja Niti yang sudah mengalami banyak revisi sesuai dengan tuntutan zaman. Revisi ini dilakukan oleh para pemangku adat demi keberlangsungan adat itu sendiri. Sehingga tidak menyusahkan masyarakat adat sebagai para pelaku adat. Kitab Kuntara Raja Niti yang ada di sana sudah berupa draf peraturan adat yang di ketik dan difotokopi yang sudah mengalami perubahan dan penyesuaian melalui musyawarah-musyawarah adat. Sedangkan manuskripnya tidak ada lagi.

Untuk daerah Krui yang mempunyai 16 marga, para punyimbang juga mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab adat yang berlaku di sana. Tapi hingga kini para punyimbang pun tidak tahu keberadaannya. Adat istiadat yang dipakai selama ini ditularkan melalui lisan secara turun-temurun pula. Selain Kuntara Raja Niti, di Pesisir Krui juga adat istiadatnya berdasarkan Kitab Simbur Cahya yang dipakai masyarakat adat Sumatera bagian Selatan. Para punyimbang di Krui juga tidak tahu keberadaan kitab Simbur Cahya.

Lalu, daerah Pubian Telusuku, menggunakan kitab Ketaro Berajo Sako. Kitab tersebut dialihaksarakan sekaligus diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh H.A. Rifai Wahid (almarhum). Semasa hidupnya, penerjemah mengatakan kitab tersebut juga merujuk kepada Kuntara Raja Niti. Sedang manuskrip Kuntara Raja Niti bisa didapat di kediaman Hasan Basri (alm.), yang bergelar Raden Imba atau secara adat disebut Dalom Kusuma Ratu. Ia merupakan keturunan Ratu Darah Putih, asal muasal dari Raden Intan II. Kediamannya di Desa Kuripan, Penengahan, Lampung Selatan. Manuskrip tersebut bernama lengkap kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda. Ditulis sekitar abad ke-17--18. Ini bisa dilihat dari jenis tulisan yang digunakan.

Meski menjadi kitab rujukan adat, manuskrip ini sekarang lebih mirip dengan benda kuno yang dikeramatkan. Karena lebih banyak disimpan daripada di buka untuk dikaji. Kitab yang bersampul cokelat lusuh, tersimpan pada sebuah kotak khusus yang tidak sembarang orang bisa membukanya. Kitab itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung gaya abad 17 (huruf-hurufnya lebih tidur dari aksara Lampung yang digunakan sekarang). Satu bagian lagi ditulis dengan huruf Arab gundul. Sedang bahasa yang digunakan pada seluruh teks adalah bahasa Jawa pertengahan dengan logat Banten. Masing-masing bagian memuat keseluruhan isi dari kitab Kuntara Raja Niti. Jadi, bagian yang satu dialihaksarakan pada bagian yang lain.

Isi manuskrip tersebut sebenarnya bukan hanya masalah tata cara adat secara seremonial, seperti upacara pernikahan, kematian dll. tapi kitab tersebut memuat peraturan-peraturan kemasyarakatan atau yang lebih tepat disebut perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam manuskrip tersebut, bahwa kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda adalah kitab undang-undang yang berlaku di tiga wilayah, yaitu Majapahit, Padjadjaran, dan Lampung. Sebagai kitab undang-undang atau dasar hukum kemasyarakatan, kitab tersebut ditulis dengan sistematis.

Setiap pembahasan diatur dalam bab-bab. Bab I (pada kitab terjemahan terdapat pada halaman 25), membahas tentang kiyas. Kiyas adalah hal yang mesti pada hukum, yang menyangkut tiga persoalan yaitu 1. Kuntara, 2. Raja Niti, 3. Jugul Muda. Selanjutnya pada kitab tersebut diterangkan, di antara raja-raja yang mempunyai tiga kebijakan itu adalah Prabu Sasmata dari Majapahit, Raja Pakuan Sandikara dari Pajajaran dan Raja Angklangkara dari Lampung.

Bab II memuat sejarah Raja Majapahit dan keagungannya. Dari bab ini bisa simpulkan kitab ini sangat terpengaruh dengan kebesaran Kerajaan Majapahit.

Bab III menyebutkan penjelasan tiga pokok hukum di antara prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Kuntara Raja Niti, yaitu igama, dirgama dan karinah. Igama adalah yang dihukumkan, berarti sesuatu yang nyata dan kasatmata, bisa diakui keberadaan dan kebenarannya oleh semua orang. Dirgama itu hati nurani yaitu hukum-hukum yang ada pada kitab Kuntara Raja Niti sesuai dengan hati nurani. Karinah berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan ketentuan tiga pokok hukum ini, diterangkan bahwa hukum-hukum yang ada bisa diogolongkan; hukum yang bersifat nyata itu kuntara, hukum yang sesuai dengan hati nurani disebut raja niti, sedangkan hukum yang yang berhubungan dengan sebab akibat suatu perbuatan disebut jugul muda.

Bab IV, V, dan VI membahas seputar kaidah hukum yang ada pada Bab III. Produk hukum atau bab yang berisi tentang aturan-aturan secara detail termuat dari Bab VIII sampai Bab XVII. Pada Bab VIII, diterangkan tentang hukum-hukum suami-istri. Bab IX membahas tentang peraturan jual beli. Pada Bab X menerangkan tentang tanah. Bab XI membahas tentang utang. Bab XII tentang gadai dan upah. Bab XIII berisi tata cara bertamu dan menginap. Bab XIV berisi tentang larangan mengungkit-ungkit persoalan. Bab XV membicarakan tentang perjanjian.

Bab XVI tentang talak, sedangkan Bab XVII membahas tentang utang piutang. Kitab tersebut secara perinci mengatur tata cara kemasyarakatan yang termuat dalam pasal-pasal. Dalam pasal-pasal juga diatur tata cara berperahu dan menggunakan air, bahkan sampai tentang cara seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan ketika suaminya tidak ada di rumah. Tiap-tiap pasal tidak hanya memuat peraturan, juga hukuman yang melanggar peraturan tersebut.

Dari isi kitab Kuntara Raja Niti dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lampung, sebelum adanya undang-undang Belanda, telah memiliki undang-undang yang secara lengkap mengatur kemasyarakat. Dan kitab Kuntara Raja Niti bukan hanya kitab yang mengatur acara seremonial seperti dipahami sebagian orang, melainkan kitab yang mengatur segala segi kehidupan.

* Susilowati, Peminat Budaya Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Oktober 2008

Traveling: Teluk Kiluan, Potensi Ekowisata Menakjubkan

TELUK Kiluan memang dikenal kaya dengan ikan-ikannya. Tetapi, sayangnya kondisi terumbu karang di perairan teluk ini mulai banyak yang rusak. Kerusakannya akibat pengeboman dan penggunaan bubu--alat tangkap yang menggunakan terumbu karang hidup untuk menjerat ikan-ikan karang seperti; kerapu dan ikan-ikan hias bernilai mahal. Juga disebabkan penggunaan bius untuk menangkap lobster yang pada akhirnya mematikan terumbu karang.

Hal ini ditemukan ketika Anemon Diving Club mengibarkan bendera di dasar laut Teluk Kiluan. Menurut Rusli Shoheh, Ketua Yayasan Ekowisata Cikal, pihaknya tidak pernah jemu, apalagi menyerah untuk terus mengingatkan pihak-pihak terkait, seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, juga para pengusaha perikanan untuk lebih mengedepankan prinsip-prinsip konservasi dalam menangkap ikan.

"Kalau kami hanya bekerja sendirian tanpa dukungan dari Dinas Perikanan dan Kelautan dan para pengusaha, kami yakin apa yang kami kerjakan selama ini tidak pernah berhasil," tegas Rusli Shoheh.

Saat ini, lanjut Rusli Shoheh, Yayasan Ekowisata Cikal sedang mempersiapkan kerangka rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW). Rencana ini dimaksudkan agar ke depan pengembangan Teluk Kiluan dapat bersinergi dengan program-program dari pemerintah dan swasta untuk menjadikan Teluk Kiluan sebagai wilayah ekowisata di Kabupaten Tanggamus dan Lampung pada umumnya.

"Ini potensi besar yang kita miliki. Seharusnya kita semua wajib menjaga dan memanfaatkan potensi ini dengan kaidah-kaidah pemanfaatan yang baik dan tentu berwawasan lingkungan," jelas Rusli lagi.

Rusli juga menjelaskan beberapa program konservasi yang akan dan telah dijalankan oleh Yayasan Ekowisata Cikal di Teluk Kiluan. Program-program tersebut, antara lain rehabilitasi terumbu karang, hutan mangrove, dan penangkaran penyu yang sudah mulai punah.

Melihat sikap-sikap pengusaha yang hanya mencari untung semata di Teluk Kiluan memang sangat membuat miris. Bahkan, belum lama ini tiga orang turis ikut melihat langsung praktek illegal fishing oleh sejumlah nelayan. Nelayan-nelayan itu sedang mengebom ikan dan memburu lumba-lumba di sekitar Teluk Kiluan.

Sekretaris Yayasan Ekowisata Cikal Fadliansyah berharap pemerintah Kabupaten Tanggamus dapat lebih proaktif untuk bersama-sama mengembangkan potensi yang ada di Teluk Kiluan.

"Selama ini peran Kabupaten Tanggamus masih minim. Padahal, secara geografis Teluk Kiluan berada dalam wilayah Kabupaten Tanggamus. Di Teluk Kilauan ada beberapa program pengembangan ekowisata yang belum tersentuh pihak Provinsi, seperti; rehabilitasi lahan mangrove, juga minimnya sarana pendukung wisata. Hal ini sangat disayangkan karena kunjungan wisatawan baik domestik maupun dari mancanegara ke Teluk Kiluan mulai meningkat," kata Fadliansyah. n MEZA SWASTIKA/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Oktober 2008

Traveling: Rasakan Getar Kedut Ikan Teluk Kiluan

INI adalah event Kiluan Fishing Week (KFW) yang ketiga kalinya yang digelar di teluk eksotis yang terletak di Pekon Kiluannegeri, Kelumbayan, Tanggamus. Tetapi pengalaman fantastisnya selalu menjadi seperti baru untuk pertama kali. Seru!

Melempar mata kail yang telah diisi umpan di belantara air Teluk Kiluan adalah gereget pertama yang ingin segera dilakukan saat berada di tengah arena. Sebab, kejutan-kejutan mendebarkan akan menjadi hari-hari paling menyenangkan selama dalam petualangan.

Kail sudah dilempar. Umpan tenggelam seolah mencari pemangsa terbesar yang ingin diajak bergabung bersama tuannya di geladak kapal. Cukup lama memang. Memancing memang butuh kesabaran dan penghayatan. Mungkin, ini yang membuat setiap kejutan yang berkedut di tangan selalu menjadi spektakuler. Sebab, di tengah penantian yang sunyi, tiba-tiba harapan itu muncul.

Ya, tiba-tiba saya merasakan sebuah pengalaman pertama yang fantastis manakala dengan setengah mati harus menarik joran dengan perlawanan sengit ikan sejenis giant treavally atau Simba, seukuran anak bayi.

Gila!. Ini teluk yang benar-benar menyajikan petualangan memancing yang benar-benar menguras tenaga. Besarnya potensi perikanan di teluk yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia ini seperti pelepas dahaga buat para mancing mania.

Selama tiga hari pada Agustus lalu, berada di Teluk Kiluan, para mancing mania memang langsung dihadapkan dengan cerita-cerita para nelayan setempat tentang ikan blue marlin atau layaran seberat 70 kg yang tidak akan pernah lelah menguras tenaga para pemancing.

"Rasakan sendiri bagaimana kuatnya perlawanan ikan-ikan di sini," ujar Mang Lihin. Dia hendak menggugah penasaran para pemancing yang sudah tidak sabar melempar joran ke tengah laut.

Hari pertama tiba di Teluk Kiluan, Panitia dari Yayasan Ekowisata Cikal menyajikan berbagai macam persembahan, mulai dari tarian Rudhat atau tarian selamat datang kepada para peserta KFW.

Tarian ini murni berasal dari penduduk setempat yang didominasi suku Lampung, Bali, Sulawesi, dan Sunda. Rudhat merupakan tari yang diciptakan dengan mengacu pada ajaran-ajaran Islam. Ini terlihat dari busana tari dan gerakan serta ucapan para penari yang lebih menonjolkan pesan-pesan dan keagungan Tuhan. Salah satunya selawat Nabi Muhammad saw.

Suguhan tidak hanya berhenti pada satu kesenian saja. Pada malam harinya, lagi-lagi Yayasan Ekowisata Cikal menyuguhkan film-film bertema lingkungan untuk mengisi pesta rakyat yang diselingi tari-tarian dari Bali dan Sunda.

Misi Cikal ini sebenarnya bisa dianggap mulia. Dalam event ini mereka menyisipkan betapa pentingnya kelestarian lingkungan bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Teluk Kiluan.

Cikal adalah yayasan yang pertama kali menyuguhkan konsep pengembangan ekowisata di Teluk Kiluan. Bahkan, bisa jadi yang pertama di Lampung. Dari sekian banyak objek wisata konsepsional yang menjemukan, ekowisata yang ditawarkan Cikal di Teluk Kiluan berupaya mengajak pengunjung di teluk ini untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat. Mulai dari tinggal bersama di rumah penduduk sampai mengajak wisatawan ikut peduli terhadap lingkungan. Bahkan termasuk hal yang kecil sekalipun, seperti tidak membuang sampah sembarangan. Bandingkan dengan wisata lain yang cenderung menjadi tempat mesum, pengelola yang hanya berorientasi pada tiket masuk, dan segala macam yang cenderung menguras habis kocek pengunjung. Sedangkan pengunjung tidak memperoleh manfaat kecuali melihat objek wisata dan pulang tanpa ada "bekas".

Hari kedua, peserta sudah tidak sabar untuk memancing. Sejak pagi mereka sudah mempersiapkan perlengkapan memancing, termasuk panitia yang telah menyiapkan 15 perahu ketinting (perahu khas Teluk Kiluan). Peserta dari Gelora Fishing Club tidak satu perahu, mereka sudah menyiapkan kapal khusus. Ini adalah keikutsertaan Gelora Fishing Club yang pertama kali. Mereka tergiur dengan cerita-cerita tentang ikan di Teluk Kiluan yang terkenal "ganas" dengan pancing.

Karena pelaksanaan KFW ini bertepatan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia, panitia yang bekerja sama dengan Anemon Diving Club dari Unila melakukan "penghormatan" kepada bangsa dengan cara yang tidak lazim. Mereka mengibarkan bendera merah putih di dasar laut Teluk Kiluan tepat pukul 10.00 WIB. Pada tahun 1945 lampau, pukul 10.00 merupakan detik-detik Soekarno-Hatta membacakan teks proklamasi.

Perlombaan memancing ini seolah-olah menjadi ajang pertarungan antara pemancing profesional dengan nelayan setempat. Bayangkan pemancing profesional yang dilengkapi dengan alat pancing yang serba modern dengan nelayan yang hanya mengandalkan alat pancing tradisional.

Spot memancing pun dibagi. Umumnya dominasi lokasi pemancing berada tidak jauh dari Teluk Kiluan. Bahkan masih beberapa mil jauhnya dari Samudera Hindia.

Sekitar pukul 13.00 siang, Saiman, nelayan setempat tiba-tiba berteriak dari atas ketinting. Badannya tertarik pancing, seperti hendak jatuh ke laut. Raut wajahnya juga mulai berubah serius. Peserta lain pun terhenyak melihat Saiman yang mulai berkonsentrasi ke pancingnya.

Dua puluh menit lebih Saiman bergelut dengan pancingnya. Ia seperti mulai kewalahan menarik pancingnya yang bergerak kian kemari oleh ikan lemadang (dolphin head) seberat 10 kilogram lebih. Peluhnya mulai bercucuran. Tapi, semakin dekat senar pancing, Saiman semakin bersemangat. Ikan sebesar anak usia dua tahun itu meloncat kuat dari dasar laut.

Tak berapa lama, lagi-lagi nelayan setempat yang umpannya disantap ikan lemadang seberat 12 kilogram lebih. Tetapi Mang Egod, pemegang joran pancing itu, tetap santai. Ini wajar, karena umumnya nelayan di sana adalah nelayan pancing yang terbiasa menarik ikan dengan berat di atas 10 kilo, bahkan lebih.

Sore harinya, Mang Egod dinyatakan sebagai pemenang pertama. Ikan lemadang seberat 12 kilogram menjadi alasannya. Selanjutnya, Abraham, juga warga Teluk Kiluan, menyusul di peringkat kedua dengan ikan lemadang seberat 11 kilogram. Dan Saiman di urutan ketiga yang juga berhasil menaklukan lemadang seberat 10 kilogram.

Sementara itu, pemancing dari luar Teluk Kiluan tidak berhasil menyaingi warga setempat. Meskipun demikian, mereka mengaku takjub dengan besarnya potensi perikanan di Teluk Kiluan.

"Saya berharap acara ini dapat dikelola lebih baik lagi. Karena, potensi untuk wisata memancingnya dibandingkan daerah lain jauh lebih baik. Bahkan sangat layak dijadikan spot memancing di Lampung," kata Andre dari Gelora Fishing Club. n MEZA SWASTIKA/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Oktober 2008

Pariwisata: Lampung Tidak Masuk 10 Tujuan Wisata Unggulan

SUNGAILIAT (Ant): Pemerintah menetapkan sepuluh daerah di Indonesia yang menjadi tujuan (destinasi) pariwisata unggulan untuk memacu pembangunan kepariwisataan nasional agar mampu bersaing dengan negara lain. Namun, Provinsi Lampung tidak masuk dalam sepuluh daerah dimaksud.

"Penetapan sepuluh daerah destinasi pariwisata unggulan akan mendorong masing-masing daerah meningkatkan kinerjanya dalam membangun dan mengembangkan seluruh potensi wisata yang dimilikinya," ujar Wakil Dirjen pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Wibowo, di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Sabtu (18-10).

Ia menjelaskan sepuluh daerah destinasi wisata unggulan tersebut, adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya Barat.

"Setiap tahun kami memberikan penilaian terhadap daerah yang akan ditetapkan menjadi destinasi unggulan, dengan memperhatikan berbagai aspek, yaitu potensi alam, infrastruktur, dan pola pikir masyarakatnya," ujarnya.

Ia menjelaskan Indonesia memiliki 33 daerah destinasi wisata yang tersebar mulai dari provinsi paling barat yaitu Aceh hingga paling Timur yaitu Provinsi Papua. Namun hanya 10 daerah yang ditetapkan sebagai destinasi pariwisata unggulan.

"Dari jumlah 33 daerah destinasi wisata tersebut, hanya 16 daerah destinasi wisata yang menyerap 90 persen wisatawan domestik dan mancanegara, termasuk di antaranya 10 daerah destinasi pariwisata unggulan tersebut," ujarnya.

Ia menjelaskan ke-16 destinasi wisata yang mampu menyerap wisatawan dalam dan luar negeri mencapai 90 persen, adalah Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Batam, Bali, Toba, Karakatau, Tana Toraja, Lombok, Semarang, Jawa, Sumbar, Manado, Sangalaki, Komodo, dan Kupang.

"Angka tersebut menunjukkan bahwa masih terjadi kesenjangan destinasi. Untuk itu, perlu arah dan kebijakan pengembangan destinasi pariwisata nasional yang konkret sehingga memiliki daya saing," ujarnya.

Menurut dia, untuk mendukung program pengembangan destinasi pariwisata diperlukan pemahaman dan persepsi yang kondusif untuk meningkatkan kualitas dan kinerja pembangunan kepariwisataan.

"Ada sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk memajukan sektor kepariwisataan, yaitu dilaksanakan secara profesional, terpadu, memiliki konsep yang jelas, sistem, jasa dan layanan yang andal, strategi pemasaran aktif (promosi), intesif, dan program yang dilaksanakan secara fokus," ujarnya. n R-2

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Oktober 2008

October 18, 2008

Napak Tilas Ryacudu untuk Bangkitkan Nasionalisme Pemuda

BANDAR LAMPUNG (Ant): Wakil Bupati Way Kanan, Provinsi Lampung, Bustami Zainuddin, menyatakan bahwa Napak Tilas Ryacudu (NTR)ke-2 tingkat nasional tahun 2008, bertujuan untuk menumbuhkembangkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda saat ini.

"Upaya tersebut, selain merefleksikan semangat perlawanan para pejuang dalam mengusir penjajah, juga mengajak masyarakat khususnya generasi muda untuk selalu mengingat sejarah, kebudayaan dan bangga dengan kekayaan nasional yang dimiliki," kata dia, di Bandar Lampung, Sabtu (.

Napal tilas yang digelar kalangan generasi muda di Kabupaten Way Kanan yang didukung Pemda Kabupaten setempat itu, menurut Bustami, juga memberikan ruang bagi generasi muda untuk mengisi aktivitas secara positif serta mendorong terus berbuat kreatif dan inovatif.

Bustami menjelaskan, Mayjen TNI (Purn) Ryacudu adalah seorang tokoh dan sekaligus sosok ideal bagi warga Lampung khususnya masyarakat Way Kanan, tempat kelahiran pejuang itu.

Cerita heroik tentangnya menjadi kisah kepahlawanan yang memperkaya khazanah pahlawan bagi bangsa ini.

"Bahkan namanya diabadikan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lampung Utara, dan jalan di beberapa kota di Lampung," kata dia lagi.

Napak Tilas Ryacudu ke-2 yang diselenggarakan bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan tanggal 9-10 November 2008 mendatang, merupakan kegiatan kedua kalinya, dengan target peserta 1.000 orang dari seluruh penjuru nusantara.

Rute yang akan dilalui sepanjang 40 kilometer, dimulai di Tanjung Bulan yang dulu menjadi markas Ryacudu, kemudian menyusuri jalan setapak, mendaki bukit, menyeberangi sungai dan melintasi hutan.

Pada 10 November 2008, dilakukan upacara penutupan yang direncanakan dihadiri oleh Menegpora, dilanjutkan peresmian Tugu Mayjen Ryacudu serta peletakkan batu pertama pembangunan Gedung Pemuda Way Kanan. (K-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Oktober 2008

October 14, 2008

Lampung Angkat Ragam Hias dan Sastra Lisan

Bandar Lampung, Kompas - Lampung akan mengikuti Konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia yang direncanakan berlangsung di Solo, Jawa Tengah, 25-30 Oktober 2008. Pada konferensi tersebut, Lampung akan mengetengahkan sastra lisan dan ragam hias sebagai kekayaan budaya Lampung yang membutuhkan perhatian untuk pelestarian.

Ch Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Foundation atau yayasan yang bergerak di bidang pelestarian budaya Lampung, Senin (13/10), mengatakan, berdasarkan penjelasan dari Ketua Panitia Pelaksana Konferensi Sri Sumaryati, forum tersebut didedikasikan untuk pelestarian terintegrasi warisan dunia benda dan takbenda pada kota-kota bersejarah.

Kota-kota tersebut, lanjut Heru, terutama kota-kota yang tercantum dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO atau kota-kota yang memiliki warisan budaya takbenda yang diakui UNESCO. Sebagai bagian dari daftar UNESCO, kawasan Euro-Asia dari Organisasi Kota-kota Warisan Dunia Zona Euro-Asia (The Organization of World Heritage Cities of Euro-Asia Section), akan menjadi penyelenggara utama konferensi tersebut.

Konferensi akan menggunakan Bahasa Indonesia, Inggris, dan Rusia sebagai bahasa resmi. Sementara sejumlah pembicara yang hadir, seperti Rieks Smeets (Ketua Divisi Warisan Budaya Takbenda UNESCO), Eugeneo Yunis (Ketua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Badan Pariwisata Dunia (WTO)), dan Walter Santagata (Guru Besar Keuangan Publik dan Ekonomi Budaya Universitas Turin, Italia).

Hal yang menarik, lanjut Heru, konferensi tersebut akan menjadi konferensi yang pertama kalinya mengangkat isu perlindungan warisan budaya takbenda dan pemanfaatannya dalam meningkatkan pembangunan ekonomi kota. Bentuk warisan budaya takbenda itu, misalnya seperti adat istiadat dan upacara, perayaan, tradisi oral, dan keterampilan atau kerajinan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

”Sebagai pelengkap, isu tersebut akan disertai pelatihan yang mengangkat dua topik, yaitu keterampilan tradisional dan seni pertunjukan,” ujar Heru.

Lebih lanjut, Heru mengatakan, Jung Foundation memiliki kesempatan untuk mengikuti konferensi tersebut karena selama ini Jung Foundation banyak bergerak di bidang pelestarian dan pengembangan budaya Lampung. Jung Foundation bekerjasama dengan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung banyak memberikan pelatihan kepada siswa-siswa SMA di Lampung mengenai kesenian dan budaya Lampung. Di antaranya, seperti sastra lisan dan pengenalan ragam hias Lampung.

”Beberapa waktu lalu, kami bahkan sudah mengembangkan ragam hias Lampung sebagai alternatif cendera mata bagi wisatawan yang datang ke Lampung. Siswa-siswa itu kami ajari membuat kreasi ragam hias Lampung,” ujar Heru, yang pada konferensi itu akan didampingi Sekretaris Eksekutif Jung Foundation Hari Jayaningrat.

Menurut Heru, konferensi tersebut memiliki nilai penting. Hal itu karena pengajaran mengenai warisan budaya takbenda saat ini juga tengah digalakkan Departemen Pendidikan. Lebih jauh, Lampung bisa mengangkat kekuatan lokal warisan budaya takbenda sebagai ikon wisata budaya. (hln)

Sumber: Kompas, Selasa, 14 Oktober 2008

October 13, 2008

Kegiatan Seni Budaya Lampung Minim Dukungan Pemda

Bandarlampung, 12/10 (ANTARA) - Sejumlah seniman di Provinsi Lampung mengeluhkan dukungan terhadap kegiatan seni dan budaya di daerahnya yang masih minim, sehingga dinilai kurang mendukung bagi pengembangan berkesenian dan kreativitas mereka.

Beberapa seniman itu, di Bandarlampung, Minggu, menyebutkan sejumlah kegiatan kesenian dan kebudayaan pada tingkat lokal di daerahnya maupun nasional dan mancanegara selama ini masih minim dukungan nyata dari jajaran pemerintahan daerah maupun dinas teknis terkait di dalamnya, sehingga membuat banyak pegiat seni budaya seolah berjalan sendirian.

Menurut Ch Heru Cahyo Saputro, salah satu seniman di Lampung, selama ini banyak kegiatan seni dan budaya yang digelar para seniman dan pegiat budaya di daerahnya minim dukungan biaya maupun berbagai fasilitas diperlukan dari pemda setempat.

Namun kegiatan itu umumnya tetap dapat berjalan kendati tersendat sendat, antara lain berkat kegigihan tekad seniman bersangkutan.

"Ya, saya juga merasakannya secara langsung, berjuang dalam urusan seni dan budaya di Lampung ini memang agak susah," ujar Direktur Eksekutif Jung Foundation dan peneliti folklore pada Sekelek Institute Publihsing House itu pula.

Tidak sedikit kegiatan penting seni dan budaya, terutama yang berlangsung di luar daerah --apalagi di luar negeri-- terpaksa ditinggalkan oleh utusan seniman dan pegiat budaya dari Lampung, akibat ketiadaan dukungan nyata yang diperlukan dari pemda di daerahnya itu.

Sejumlah seniman tari, lukis, teater, dan sastra di Lampung juga menyampaikan keluhan senada, sehingga mengharapkan agar perlu ada komitmen dan dukungan politik dari para pejabat publik terkait di daerahnya, untuk benar-benar memberikan kepedulian nyata pada kegiatan kesenian dan kebudayaan di daerah itu.

Apalagi kegiatan seni dan budaya itu juga dapat menjadi tolok ukur dinamika seni dan budaya di daerahnya, termasuk menjadi ajang promosi bagi daerah Lampung ke daerah atau negara lain.

Sayangnya, dukungan nyata yang diperlukan bagi berbagai aktivitas kesenian dan kebudayaan di Lampung itu hingga kini dinilai kebanyakan seniman setempat, masih minim dan dikhawatirkan dapat menyurutkan dinamika berkarya dan kerja kreatif para seniman dan pegiat kebudayaan daerahnya ini.

Dalam waktu dekat, Kota Solo, Jawa Tengah juga bakal menjadi tuan rumah penyelenggara Konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia "Euro-Asia World Heritage Cities Conference & Expo" yang mengusung tema "Perlindungan Warisan Budaya Takbenda dan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, 25-30 Oktober 2008.

Utusan dari Provinsi Lampung yang diundang antara lain Ch Heru Cahyo Saputro dan Hari Jayaningrat.

Heru mengharapkan, dalam event itu daerah Lampung dapat ikut berperan aktif, sehingga perlu dukungan dari pemda di daerahnya untuk dapat memenuhi undangan panitia di sana.

Minimnya dukungan pemda termasuk para pejabat penting di daerah Lampung terhadap aktivitas seni dan budaya itu, menurut beberapa seniman Lampung, mendorong mereka harus sampai 'berjibaku' mengumpulkan dana dan berbagai persiapan lain setiap kali akan menggelar kegiatan seni dan budaya yang menjadi inisiatif mereka sendiri dan bukan merupakan program atau 'proyek' pemda atau instansi terkait di daerahnya secara resmi.

Para seniman itu secara individu harus melobi atau menemui pejabat penting tertentu untuk membantu mereka, termasuk memastikan adanya dukungan pemda dan pejabat dimaksud sehingga bisa mendukung pembiayaan kegiatan dan pengiriman utusan Lampung ke luar daerah.

Padahal menurut mereka, seharusnya kepedulian dan dukungan nyata pemda dan dinas teknis terkait bagi kegiatan seni dan budaya itu semestinya menjadi tanggung jawab dan komitmen yang tidak perlu, sampai membuat para seniman dan pegiat budaya menjadi seperti "meminta-minta" bantuan kepada pemda dan para pejabatnya.

Sumber: Antara, 12 Oktober 2008

October 12, 2008

Apresiasi: Pelampung Bahasa Letusan Krakatau

Oleh Binhad Nurrohmat*

Orang banyak nyatalah tentu,
Bilangan lebih daripada seribu,
Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api, dan abu.

Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.


(Petikan Syair Lampung Karam, Mohammad Saleh, 1883)

SIAPA menyangka, Mohammad Saleh menulis kitab Syair Lampung Karam dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab-Melayu yang menceritakan bencana letusan Krakatau pada Agustus 1883 itu. Mohammad Saleh mengungsi dari Tanjungkarang (Lampung) ke Singapura setelah letusan Krakatau. Mohammad Saleh menyelesaikan kitab syair itu dan menerbitkannya di kota pengungsian itu pada November 1883.

Syair-syair Mohammad Saleh itu menjadi pelampung bagi tubuh bahasa yang menyimpan peristiwa tenggelamnya puluhan ribu manusia di Lampung akibat letusan Krakatau sehingga kesaksian dan ingatan tentang petaka itu tak karam. Peneliti bernama Suryadi menemukan lembaran-lembaran syair itu di Belanda, Rusia, Inggris, Jerman, Indonesia, dan Malaysia dan dikabarkan ke khalayak dunia pada September 2008.

Siapakah Mohammad Saleh? Kini sulit merunut riwayatnya kembali. Tapi namanya bakal terkenang lebih lama lantaran syairnya, melampaui seluruh usianya. Melalui syair-syair itu, petaka akibat letusan Krakatau itu tidak lenyap dan menjadi bahan berharga dan berguna bagi generasi manusia di Lampung atau di tempat lain setelah bencana itu berlalu.

Mohammad Saleh lebih dari sekadar menggubah syair, ia menulis manusia dan kenyataan hidupnya melalui tradisi seni bahasa. Di lantai VIII sebuah penginapan di Seoul, Korea, syair-syair itu menyulut perkabungan saya yang mengerikan dan mengharukan tentang manusia, sejarah, dan kesusastraan. Ketahuilah, hari ini dilahirkan oleh masa silam, maka beruntunglah manusia yang tidak kehilangan jejak sejarah generasi sebelumnya.

Di Korea, saya telah mengunjungi museum-museum kesusastraan yang tidak menyimpan artefak masa lalu serupa tumpukan kertas rombeng di gudang arsip yang senyap dan terancam rayap. Di museum-museum itu suara kesusastraan dihidupkan marwah dan spiritnya di masa kini. Roman Toji karya Park Kyung-Ni misalnya. Roman 21 jilid ini merupakan epik masa lampau dan masa kini Korea. Toji artinya tanah atau daratan.

Generasi sesudah Park Kyung-Ni mendirikan Park Kyong-Ni Literary Park di Wonju, Korea. Taman ini mewujudkan kata-kata elementer dalam roman itu menjadi serangkaian artefak yang menggambarkan dan membangunkan kesadaran manusia Korea tentang masa lalu dan masa kini, serta jati diri bangsanya.

Museum-museum kesusastraan di Korea itu turut menjadi pelampung bagi masa silam Korea sehingga jejaknya tak tenggelam di masa kini. Melalui museum-museum itu, jejak manusia Korea beserta kebudayaan dan kekayaan ekspresi bahasanya bergema hingga ke masa kini meski waktu berlari ke depan meninggalkan kesilaman. Melalui museum-museum itu kesusastraan menjadi lebih dari sebatas seni menulis.

Bagaimana jika roman Arus Balik, Warahan Radin Jambat, puisi Rendra, dan kitab Syair Lampung Karam dibuatkan museum serupa itu? Musium-musium itu akan menghidupkan masa lalu Indonesia melalui gambar atau monumen ihwal kejayaan Nusantara masa silam yang merajai lautan hingga ke belahan bumi utara, petualangan Radin Jambat dari kota ke kota, Rendra dalam penjara, dan bangkai perahu serta jangkarnya yang terdampar di Tanjungkarang akibat letusan Krakatau. Museum-museum itu akan menjaga sejarah kebanggaan dan kesedihan manusia.

***

Setelah seabad lebih Krakatau meletus dan mengaramkan sebagian daratan Lampung beserta penghuninya, di Lampung masih lahir para penyair. Barangkali, leluhur para penyair itu adalah penduduk pribumi yang dilantak letusan Krakatau atau berasal dari daratan lain yang jauh yang datang ke Lampung setelah letusan Krakatau.

Para penyair itu menulis puisi setelah serdadu Kompeni pergi, petualangan Radin Jambat berakhir, bahasa Indonesia merasuk hingga pedalaman, Rendra tidak lagi dipenjara, pendatang dan pribumi berakulturasi, dan Krakatau tampak damai. Seabad lebih setelah Krakatau meletus, apakah manusia di Lampung dan kenyataan hidupnya terekam dalam kata-kata para penyair itu?

Kekuatan bahasa dan daya ekspresinya menulis ihwal manusia dan kenyataan hidupnya membuat puisi bertenaga dan signifikan bagi manusia dan kebudayaannya. Inilah perkara mendasar yang membuat puisi dari masa silam bisa hidup hingga sekarang. Kenapa ada puisi yang ditulis pekan kemarin terasa lenyap hari ini seakan tidak pernah ada atau tak pernah dituliskan? Barangkali, puisi itu bersinar di masa datang seperti harta karun menyembul dari kedalaman lautan. Atau, puisi itu memang selamanya sirna bersama jutaan puisi lain yang pernah ditulis manusia.

Tapi percayalah, bumi ini tidak pernah bosan dihuni para penyair dan planet ini setia menerima puisi karena manusia butuh bahasa untuk mengucapkan pergolakan ihwal keberadaannya di dunia ini atau tentang bayang kehidupan di alam sesudahnya. Puisi penyair di Lampung dan di manapun akan bermakna bila kata-kata menjelma bahasa yang bisa menjadi pelampung bagi manusia di lautan pergumulan kehidupan yang sedih atau bahagia serta bila ekspresi bahasa bisa menarik ujung garis tradisi pengucapan yang sudah ada menuju ke depan, dan bukan sebaliknya.

Puisi (dan juga seni yang lain) tidak bisa merengkuh seisi dunia, begitu juga negara, ekonomi, maupun agama yang tak kuasa menggenggam segalanya. Namun dalam keterbatasannya, puisi bukan benda budaya yang tidak bisa berdaya. Memang bikin pusing kepala membandingkan potensi sebait puisi dengan harga sekarung lada atau rekening tim sukses pemilihan pejabat pemerintahan kota. Puisi tidak bisa seperti manusia membangun dermaga atau menaikkan harga palawija. Bagi "kebergunaan" praktis semacam itu, puisi pasti akan punah di seluruh bumi ini.

Puisi berada di pedalaman batin dan inteligensia yang membangun etos kreativitas yang dibutuhkan oleh mental dan laku penciptaan. Etos kreativitas merupakan fundamen manusia melawan keterbatasannya, serupa siasat penyair menghadapi imajinasi dan kata, seperti kebijakan bupati di tengah kemerosotan pendapatan daerahnya. Ibarat mawar, puisi bukan tangkai, duri, dan kelopak belaka, melainkan keharuman yang bisa dinikmati pancaindra lantaran kesegaran bahasanya menyadap makna gembira atau bencana dunia di suatu masa, misalnya syair Mohammad Saleh itu.

Letusan Krakatau bukan satu-satunya bencana dan perginya serdadu Kompeni bukan akhir sejarah pergulatan manusia. Kini manusia menghadapi persoalan yang berbeda dengan masa sebelumnya, sehingga raut dan debar puisi mestinya tak sama dengan yang sebelumnya. Tanpa Krakatau dan serdadu kompeni, manusia tetap butuh puisi yang membuat mereka bisa mereguk makna dan tidak kehilangan kesegaran bahasa untuk mengucapkan dirinya. Inilah yang membuat sebaris Haiku atau syair bisa lebih bermakna ketimbang sekawanan tokoh terkenal belaka dan hendak dipuja banyak manusia. Beginilah dunia ini, dan puisi belum kunjung sirna dari bumi.

* Binhad Nurrohmat, Penyair, kini tinggal di Seoul, Korea

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008

Lihat juga:
Letusan Krakatau di Mata Pribumi
Ditemukan Naskah Kuno Letusan Krakatau 1883

Traveling: Tambling, Sebuah Wisata Konservasi

NYARIS tidak ada perubahan di kawasan Tampang Belimbing. Jika dulu kawasan ini jadi tempat berburu, sekarang justru berbalik, harimau asal Aceh yang memburu.

Semula kawasan ini dikelola oleh SAC Nusantara yang menjadikan areal seluas 100 hektare yang diperoleh dari hak pengelolaan kawasan sebagai taman buru. Tetapi, tahun 2003 hak pengelolaan lahan beralih ke tangan Tommy Winata melalui PT Adhiniaga Kreasi Nusa (AKN) melalui kerja sama operasional (KSO) dengan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi.

Sejak itu, di kawasan ini mulai dilepas berbagai hewan, seperti berbagai spesies burung, buaya, kerbau liar sampai menjangan. Beberapa satwa memang sudah ada sejak lama. Selain itu, ada juga buaya muara yang dilepas di muara yang mengular melintasi kawasan ini, puluhan tukik juga selalu dilepas di pantai dermaga. Ada juga seekor penyu sisik berukuran besar yang juga siap dilepas. Seorang staf setempat mengatakan pada suatu saat nanti kawasan ini benar-benar ideal disebut sebagai kawasan konservasi dengan beragam hewan dan tumbuhan hutan.

Sayangnya, nyaris tak pernah terlihat secara langsung cerita tentang "hebatnya" satwa-satwa yang ada di kawasan ini. Seperti serombongan menjangan, segerombol kerbau liar atau komunitas burung-burung hutan, termasuk monyet-monyet hutan.

Meski dalam kerja sama operasional itu, PT AKN hanya punya hak kelola seluas 100 hektare, tapi TW mengaku bertanggung jawab atas keseluruhan kawasan TNBBS yang luasnya mencapai 52 ribu hektare. Entah seperti apa bentuk pertanggungjawabannya.

Satu pertanyaan yang agak membingungkan di kalangan jurnalis dan aktivis lingkungan terhadap niat Tommy Winata akan kelanjutan pengembangan kawasan konservasi ini. Karena sampai saat ini pun kawasan ini tidak dibuka untuk umum maupun wisatawan. "Yang biasa datang ke sini paling hanya Pak TW dan keluarganya atau koleganya saja. Di luar itu sama sekali tidak ada tamu lain," ujar salah seorang staf PT AKN.

Sampai kini pun, operasional kawasan itu dalam sebulannya memakan biaya yang sangat besar. Mulai dari gaji karyawan sampai perawatan fasilitas mencapai Rp300 juta.

Secara kasat mata mata kawasan ini memang tidak benar-benar "hijau" di beberapa titik. Bahkan, ada sisa-sisa perkebunan atau lahan yang terlihat gundul dengan belukar luas. Mungkin karena wilayah kelola yang terlalu luas. Sehingga, meski PT AKN sudah mengelola sejak 2003, hasilnya belum terlihat.

Untuk fasilitas penangkaran sebagai wujud proyek besar pengelepasliaran lima harimau asal Aceh, kawasan TNWC juga menyiapkan Rescue Center sebagai tempat penangkaran tiga harimau sumatera lain. Yakni, Ucok, Buyung, dan Panti yang masih dalam perawatan medis akibat penyakit sebelum dilepasliarkan ke alam bebas seperti Pangeran dan Agam.

Demikian halnya dengan fasilitas yang ada, di kawasan ini pun terbilang mewah. Untuk mobilisasi pengunjung dari satu titik ke titik lain yang hanya berjarak beberapa meter saja disiapkan mobil golf. Pengelola tampaknya sangat detil dalam hal menjaga kenyamanan pengunjung sampai untuk mengusir nyamuk atau lalat pun disiapkan alat elektronik khusus penghisap serangga. "Ini bukan lagi kampung, justru kita yang kampungan," ujar seorang teman jurnalis ketika ikut meliput proses penglepasliaran harimau di TWNC beberapa bulan yang lalu. MEZA SWASTIKA/ERLIAN/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008

Traveling: Pulang Kampung ke Tampang Belimbing

KAWASAN Tampang Belimbing (Tambling), bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kecamatan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat, ini dikenal angker. Bukan hanya karena hewan buas, melainkan juga karena polisi kehutanan dengan senjata M-16 semiotomatisnya yang mengawasi pendatang tak dikenal.

----

Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) hanya seluas 100 hektare dari luas lahan TNBBS yang sekitar 52 ribu hektare. Tanah ini meliputi tanah Marga Belimbing.

Kawasan ini agak terpencil karena berada di kaki Pulau Sumatera. Bersama Jaja Subagya, seorang kerabat yang tinggal di Pekon Tampangtua, tak jauh dari lokasi itu, Erlian dan Meza Swastika dari Lampung Post mengisi waktu libur Lebaran dengan berkunjung ke daerah ini beberapa waktu lalu.

Perjalanan dengan kapal motor dari dermaga Kotaagung, Tanggamus, menuju Pekon Tampangtua benar-benar melelahkan. Waktu dua jam habis hanya dengan memandangi lautan luas Teluk Semangka yang dulu dikenal sebagai teluk tempat persinggahan kapal-kapal berbobot besar (very large cruise ship) seperti kapal pengangkut bahan bakar milik Pertamina dan kapal asing lainnya.

Gelombang laut yang besar membuat kami tidak bisa tidur, karena kapal bergoyang ke sana kemari, perut rasanya hendak muntah. Tetapi, Jaja, pemuda abege ini terus meyakinkan kami bahwa setiba di sana situasinya akan jauh berbeda. "Om pasti senang di sana, karena ada pantai yang ada gunungnya. Atau nanti Om juga bisa minum air dugan (kelapa muda, red)," kata Jaja berusaha menghibur kami yang lelah.

Namun, kami berdua sudah benar-benar malas menanggapi Jaja yang terus membuka percakapan dengan kami. Gelombang yang agak tinggi membuat Pulau Tabuan di sisi utara kapal motor kami terlihat timbul tenggelam.

Tepat pukul 12.00 kapal baru sedikit menepi ke pantai Pekon Tampangtua. Karena dasar pantai terlalu dangkal, kapal penumpang tidak bisa langsung bersandar ke tepi pantai. Dan penumpang, termasuk kami, dijemput dengan perahu dayung.

Sambutan penduduk dan suasana sekitar memang menjadi obat lelah buat kami. Penduduk Tampangtua cukup ramah. Jaja menjelaskan jika orang "asing" datang, warga yang mayoritas suku Sunda itu sangat welcome.

Suasana perkampungan di Pekon Tampangtua masih sangat terasa. Rumah-rumah kayu penduduk berjejer tidak beraturan, ada yang menjorok ke dalam dengan pekarangan yang dijadikan perkebunan singkong.

Di rumah Jaja, sambutan keluarganya sangat ramah. Dua piring sekubal (ketan yang dibungkus dengan daun, red) dan semangkuk sambal goreng ati ayam menjadi menu penyambut kedatangan kami. Luar biasa.

Sedikit basa-basi, Mang Uci, kakak tertua Jaja, bercerita kepada kami bahwa banyak ternak warga habis disantap oleh harimau asal Taman Nasional Gunung Leuser Aceh yang dilepas di Tambling. Warga pekon sudah tidak bisa berpikir lagi.

"Terlebih-lebih warga yang tinggal di Way Pengekahan. Padahal, mereka keturunan Marga Belimbing. Sejak dilepaskan harimau, mereka tidak bisa bekerja ke kebun lagi. Dulu, di sini ada kebiasaan menghidupkan obor untuk jalan kampung menjelang magrib. Tetapi sejak harimau dilepas di sini, tradisi itu hilang," cerita Mang Uci.

Meski miris mendengarnya, kami tidak ingin terlalu larut dengan cerita itu. Jaja mengajak kami naik sepeda motor trail keliling kampung. Kemudian menuju ke Tambling Nature Wildlife yang dikelola pengusaha Tomy Winata (TW).

Sepanjang perjalanan, pemandangan kontras ada di dua sisi. Di sisi kanan, gugusan Bukit Barisan yang sudah gundul laksana benteng. Di sisi kiri, ombak besar Samudera Hindia menghempas-hempas ke pantai. Ini sungguh potensi pariwisata yang besar.

Dulu, di kawasan ini menjadi hal yang lumrah menjumpai hewan-hewan liar. Namun, penduduk yang selain penduduk pendatang juga penerus keturunan Marga Belimbing, bisa hidup berdampingan dengan hewan-hewan di sini. Bahkan, harimau asli Sumatera disebut oleh warga sebagai "Tamong" yang berarti buyut buat penduduk setempat. Namun, sebutan itu tidak kepada lima ekor harimau yang ditangkap dari Taman Nasional Gunung Leuser Aceh yang dilepaskan di kawasan ini.

Kini, ada dilema lain yang terjadi. Sekitar 200 kepala keluarga kini mulai waswas beraktivitas. Mereka yang tinggal di Desa Way Pengekahan dan Desa Way Haru harus menjaga jiwa raganya dari ancaman hewan buas itu. "Sekarang kami yang harus menyesuaikan dengan harimau-harimau yang dilepas itu agar tidak jadi mangsa para 'Tamong' dari Aceh itu," ujar salah seorang warga Way Pengekahan yang kami temui.

Dengan suasana yang serba tidak jelas itu, warga berharap segera direlokasi. Meski itu tanah keturunan mereka dari Marga Belimbing, salah satu marga tertua di Kabupaten Lampung Barat.

Akhirnya, kunjungan ini tak lebih sebagai silaturahmi, tidak ada sisipan wisata yang menarik. Hanya obor-obor yang dipasang di jalan-jalan kampung (saat Lebaran), yang membuat ada nostalgia. Bukan keunggulan, memang, tetapi karena listrik belum ada di sini. n M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008

October 11, 2008

Lampung Ikuti Konferensi Internasional Warisan Dunia

Bandarlampung, 11/10 (ANTARA) - Provinsi Lampung mengikuti Konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia yang diagendakan berlangsung di Solo, Jawa Tengah, 25-30 Oktober 2008 mendatang.

Salah satu utusan Lampung itu, Ch Heru Cahyo Saputro, didampingi utusan lainnya, Hari Jayaningrat, kepada ANTARA Lampung, Sabtu, menjelaskan, dalam Konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia "Euro-Asia World Heritage Cities Conference & Expo" akan mengusung tema "Perlindungan Warisan Budaya Takbenda dan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan".

Heru yang juga Direktur Eksekutif Jung Foundation, peneliti folklore pada Sekelek Institute Publishing House menyampaikan pula penjelasan dari Ketua Panitia Pelaksana konferensi itu, Dra Sri Sumaryati MM bahwa forum tersebut didedikasikan untuk pelestarian terintegrasi warisan budaya benda dan takbenda pada kota-kota bersejarah.

Kota itu, utamanya yang tercantum dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO, atau kota-kota yang memiliki warisan budaya takbenda yang diakui oleh UNESCO atau Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan.

Konferensi yang digelar setiap dua tahun sekali ini mengumpulkan para pakar perekonomian kota, juga para walikota, politikus dan birokrat yang serta memberikan kesempatan guna bertukar pengalaman dan mendiskusikan berbagai masalah terkait.

Kawasan Euro-Asia dari organisasi Kota-kota Warisan Dunia Zona Euro-Asia (The Organization of World Heritage Cities of Euro-Asia Section), yang didirikan pada tahun 2003, adalah penyelenggara utama konferensi ini.

Konferensi yang pertama diselenggarakan di Kazan tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005 konferensi diselenggarakan di Safranbolu (Turki) dan di Lijiang (Cina) tahun 2006.

Pada konferensi itu akan tampil sebagai keynote speaker antara lain Rieks Smeets (Ketua Divisi Warisan Budaya Takbenda UNESCO), Eugeneo Yunis (Ketua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Badan Pariwisata Dunia (WTO), dan Walter Santagata (Guru Besar Keuangan Publik dan Ekonomi Budaya, Universitas Turin, Italia).

Dalam konferensi Internasional yang menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, dan Rusia sebagai bahasa resmi ini, juga akan digelar workshop tentang warisan budaya takbenda yang mengusung dua topik: Ketrampilan Tradisional dan Seni Pertunjukan.

Workshop wayang dengan pengarah Prof Dr Sutarno, workshop keris dengan pengarah Dr Haryo Guritno, Workshop Gamelan dengan pengarah Prof Dr Rahayu Supanggah, dan Workshop Batik akan menghadirkan Dr Darsono.

Selain itu, juga digelar poster session dan field trip to world heritage ke Candi Borobudur, Prambanan, Kraton Kasunan, Kampung Wisata Kauman dan Laweyan serta Galeri Batik Kuno.

Pada konferensi ini, Organisasi Kota-kota Warisan Dunia (OWHC) untuk pertama kalinya mengangkat isu perlindungan warisan budaya takbenda dan pemanfaatannya dalam meningkatkan pembangunan ekonomi kota.

Konsep warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) meliputi adat istiadat dan upacara, perayaan, tradisi oral dan ketrampilan atau kerajinan dikenal sebagai bagian dari warisan budaya dan diwariskan dari generasi ke generasi.

"Dewasa ini seiring perkembangan kota dan globalisasi tradisi unik setiap kebudayaan ini menghadapi resiko kepunahan padahal mereka bisa menjadi sumberdaya peningkatan ekonomi," ujar Heru yang juga mendapatkan penjelasan tentang kesiapan Solo melalui Walikotanya, Joko Widodo menjadi tuan rumah perhelatan internasional itu.

Salah satu contoh warisan budaya takbenda paling terkenal di dunia adalah karnaval tahunan di Rio de Janeiro.

Peristiwa ini menyedot perhatian dari ratusan ribu pengunjung ke Brazil setiap tahun.

Adapula tradisi kultural yang tidak asing lagi seperti Matador di Spanyol, teater Jepang Kabuki, dan sebagainya.

Selain menyimbolkan keunikan setiap budaya, mereka juga mengembangkan ekonomi dengan meningkatkan arus kedatangan pengunjung. Interaksi antara warisan budaya dan ekonomi menghasilkan berbagai peluang serta tantangan baru bagi pembangunan.

Masalah perlindungan dan pemanfaatan warisan budaya takbenda ini, sangatlah mendesak dewasa ini, kata dia lagi.

Menurut catatan Konvensi Internasional yang diadopsi oleh UNESCO pada tahun 2003, yaitu "Konvensi untuk perlindungan Warisan Budaya Takbenda" (Convention for The Safeguarding of Intangible Cultural Heritage) membawa isu pelestaraian semacam ini ke tingkat global.

Perlindungan warisan budaya meliputi tindakan-tindakan yang mampu menjamin vitalitas dan dapat memfasilitasi kelangsungannya dalam berbagai aspek.

Implementasi Konvensi ini ditujukan pada terarahnya perhatian publik terhadap masalah ini, terbukanya berbagai metode dan cara pelestarian warisan budaya takbenda serta terkumpulnya dana yang dapat mendukung kegiatan-kegiatan dalam hal ini.

Bersamaan dengan konvensi ini, UNESCO juga mengadopsi tiga dokumen penting lain, yaitu Proclamation of Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.

Dokumen-dokumen ini berisi 90 fenomena cultural yang diakui sebagai warisan budaya takbenda bagi kemanusiaan.

Sumber: Antara, Sabtu, 11 Oktober 2008

October 10, 2008

Dinas Siapkan Gebyar Pesona Lombok Ranau II

LIWA (Lampost): Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat bersama Masyarakat Peduli Danau Ranau (MPDR) Lambar mempersiapkan pelaksanaan Gebyar Pesona Lombok Ranau II 2008 yang akan dilaksanakan 25--26 Oktober.

Ketua MPDR Lambar Rusdi Effendi mengatakan demi memeriahkan dan menykseskan Gebyar Pesona Lombok Ranau kali ini, pihaknya tengah melakukan persiapan bersama Dinas Pariwisata Lampung Barat. Di antaranya menata lokasi lomba di sekitar Kawasan Wisata Terpadu Seminung Lumbok Resort.

Kegiatan tersebut, kata dia, sebagai wujud kesadaran masyarakat sekitar Danau Ranau wilayah Lampung Barat dalam menunjang program pemerintah di bidang pariwisata, yakni dengan memberikan tontonan dan sajian bagi pengunjung.

Adapun lomba yang akan dilaksanakan di antaranya tarik tambang jukung, memanah (ngera'as) ikan di Danau Ranau, karnaval motor hias, dan triatlon tradisional. "Kami sadar Danau Ranau kekayaan yang tidak ternilai bagi kami. Selain memiliki potensi perikanan, juga ada pesona Danau Ranau dan Gunung Seminung yang banyak menarik wisatawan," kata dia.

Sementara Kabag Pengembangan dan Hubungan Antarlembaga Dinas Pariwisata dan kebudayaan Lambar Surizal Zikri mengatakan kegiatan Gebyar Pesona Lombok Ranau mengambil tema Dengan Gebyar Pesona Lombok Ranau II Tahun 2008, kita galang kebersamaan dalam menyongsong Visit Lampung Year 2009.

Menurut Surizal, dalam kegiatan tersebut, peserta akan memperebutkan berbagai hadiah menarik, seperti uang pembinaan, piagam, dan trofi. Selain itu, pengunjung juga akan mendapatkan door prize dari sejumlah sponsor.

Demi semaraknya kegiatan tahunan dengan objek danau tersebut, pihaknya akan bekerja sama dengan masyarakat sekitar Danau Ranau. "Pengembangan sektor pariwisata bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat, sehingga dalam kegiatan ini kami melibatkan masyarakat," ujarnya. n HEN/D-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 10 Oktober 2008

Hijau Daun Luncurkan Album 'Ikuti Cahaya'

BAND Hijau Daun merilis album perdana Ikuti Cahaya dengan menggandeng label Sony BMG. Dengan mengusung lagu beraliran pop progresif ini, Hijau Daun menyuguhkan nuansa khas di belantika musik.

Grup band asal Lampung yang terdiri dari lima personel, Dide (vokal), Array dan Arya (gitar), Deny (drum), dan Richan (bas), telah dikontrak label Sony BMG sejak 31 April 2008, untuk tiga album, di luar album kompilasi, religi, akuistik, dan soundtrack.

"Syukur alhamdulillah perjalanan kami yang sejak tahun 2001 ini berbuah pada peluncuran album perdana yang telah dirilis akhir Agustus lalu oleh Sony BMG yang untuk tahap awal ini ada sekitar lima ribu kopi," terang Dide didampingi personel dan manajer Hijau Daun saat bertandang ke Lampung Post, Kamis (9-10).

Dide memaparkan pembuatan album perdana ini memakan waktu selama enam bulan yang penggarapannya dilakukan di Bandung. "Memang ada anggapan Hijau Daun ini bandnya Bandung, tetapi kami menyatakan Hijau Daun ini berasal dari Lampung, kota kelahiran kami," papar Dide yang diamini Array, Arya, Deny dan Agung.

Karena itu, Hijau Daun pun telah roadshow ke beberapa radio di Bumi Lampung dan kota lainnya. "Alhamdulillah respons terhadap album kami cukup bagus baik di Lampung maupun di beberapa kota di Tanah Air, bahkan kami menempati peringkat atas," papar vokalis Hijau Daun ini. Untuk mempromosikan albumnya, Hijau Daun pun sudah memiliki jadwal tampil dalam Hip Hip Hura di SCTV pada 12 Oktober mendatang (langsung) pukul 10.00, di Klik ANTV pada 15 Oktober, dan 0 Chanell Jakarta keesokan harinya.

Soal nama bandnya yang cukup unik, Hijau Daun, Dide mengungkapkan filosofinya berasal dari klorofil yang memberikan oksigen bagi kehidupan. Sehingga Hijau Daun dapat memberikan oksigen baru dalam kehidupan musik, pungkasnya. n SAG/L-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 10 Oktober 2008

October 9, 2008

Mahasiswa Lampung Se-Jawa Sosialisasikan Budaya Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mahasiswa asal Lampung yang sedang menempuh studi di Pulau Jawa berkomitmen menyosialisasikan dan mengembangkan seni dan budaya Lampung di tempat mereka kuliah.

Hal tersebut terungkap dalam pertemuan forum mahasiswa Lampung se-Jawa di Lampung Post, Selasa (7-10). Kegiatan dihadiri pengurus Himpunan Mahasiswa Lampung (Hipmala) Yogyakarta, Persatuan Mahasiswa Lampung (Permala) Jakarta, Kamapala Semarang, dan Ikatan Mahasiswa Lampung (Ikamala) Solo.

Ketua Permala Jakarta, Erwin Sanjaya, mengatakan sesuai dengan visi dan misi organisasi mahasiswa Lampung di Jakarta, setiap mahasiswa Lampung yang studi di Jakarta mengemban tugas sebagai duta Lampung, yaitu memperkenalkan seni dan budaya Lampung kepada khalayak ramai, baik dalam bentuk seminar ataupun pergelaran seni.

Dia mencontohkan anjungan Lampung bisa dilihat pengunjung pergelaran seni budaya di Taman Mini Jakarta. "Kami yang berada di luar daerah sangat peduli terhadap seni dan budaya Lampung. Sebab itu, kami miris mengetahui bahasa Lampung masuk salah satu bahasa dan sastra daerah yang terancam punah," kata Erwin.

Ketua Hipmala Yogyakarta, Jaka Mirdinata, mengatakan dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kemarin, penampilan seni dan budaya Lampung dalam pentas Sakura di Yogyakarya meraih peringkat lima besar. Bahkan, Hipmala memiliki sanggar seni budaya Lampung yang selalu tampil dalam berbagai acara kesenian dan peringatan hari besar nasional.

Sementara itu, Humas Kamapala Semarang, Hamdani dan pengurus Ikamala Solo, Alfajri Amin mengatakan pendirian organisasi mahasiswa Lampung di Semarang dan Solo terhitung masih baru. Sebab itu, mereka belajar banyak dari Hipmala Yogyakarta dan Permala Jakarta.

"Lampung tidak akan menjadi besar tanpa ada yang membesarkannya, karena itu kita sebagai mahasiswa Lampung mengemban amanah mengembangkan seni dan budaya Lampung," kata Hamdani.

Sementara itu, salah seorang anggota lembaga penyelamat dan pengembang seni dan budaya Indonesia, Jakarta, Aliza, mengatakan matinya bahasa dan sastra Lampung diakibatkan orang Lampung sendiri.

Selain rasa tidak percaya diri menggunakan bahasa Lampung dalam keseharian, orang Lampung juga memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap orang lain. Ketika dalam sebuah forum terdapat orang bukan Lampung, orang Lampung memilih menggunakan bahasa Indonesia.

Salah satu cara menghidupkan kembali bahasa ibu itu adalah dengan menggunakan bahasa Lampung dalam keseharian. Begitu juga dengan mahasiswa Lampung yang berada di luar daerah, harus melestarikan bahasa, seni, dan budaya Lampung. n RIN/N-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 Oktober 2008

October 8, 2008

Topeng Lampung dalam Pesta Sekura


PESTA SEKURA: Belum diketahui dengan pasti, sejak kapan masyarakat Lampung mengenal topeng yang dapat dijadikan media untuk menggambarkan berbagai karakter dan mimik wajah. Ada sedih, marah, senyum hingga tertawa. Topeng Lampung merupakan salah satu produk seni budaya masyarakat Lampung yang dapat dilihat pada pesta Sekura (Sekuraan) dalam memperingati Idulfitri dan drama tari Tupping. (MI/SULISTIONO)

October 6, 2008

Lebaran: Pengunjung Disuguhi Pesona Danau Ranau

LIWA (Lampost): Libur Lebaran tahun ini dimanfaatkan warga di sejumlah wilayah Lampung Barat untuk menikmati sejumlah objek wisata. Objek wisata yang ramai dikunjungi warga, di antaranya lokasi Pantai Labuhan Jukung, Ngambur, dan Pantai Melasti di wilayah Sumberjaya.

Kawasan rest area dijejaki masyarakat sekitar kecamatan itu. Kawasan Wisata Semining Lumbok Resort yang menawarkan pesona Danau Ranau dan Gunung Seminung, bahkan di Kecamatan Batu Brak, Balik Bukit, dan Sukau menyajikan tontonan panjat pinang dan pawai topeng sakuraan.

Di Danau Ranau, warga memadati wisata andalan Lampung Barat tersebut, yakni dengan mengitari danau menggunakan jasa kapal motor, bahkan ada juga yang bersama keluarganya menikmati susana danau dengan acara makan-makan.

Pengunjung yang datang bersama teman dan keluarganya itu tidak hanya dari wilayah Kecamatan Lampung Barat, tetapi juga dari sejumlah Kecamatan di OKU, Sumatera Selatan. "Di sini lokasinya bagus, dan masih sejuk," kata salah seorang pengunjung.

Manajemen Seminung Lumbok Resort menyajikan sejumlah permainan hingga hiburan untuk membuat betah pengunjung yang datang. "Kami berusaha memberikan pelayanan maksimal untuk memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada pengunjung," kata Marhasan Sama, manajer Seminung Lumbok Resort.

Lomba panjat pinang di sejumlah pekon (desa) di Kecamatan Sukau, Balik Bukit, dan Batu Brak, sangat semarak dan warga menikmati tontonan tersebut. Bahkan tidak jarang di tempat acara menjadi pasar kaget seperti di Pekon Canggu, Batu Brak.

Sementara di wilayah Pesisir, lokasi kapal kargo dari Panama, yang karam di Pantai Melasti dua bulan lalu, menjadi objek tontonan baru bagi warga, sehingga dalam waktu liburan Lebaran bersama keluarganya menyempatkan datang ke lokasi tersebut.

"Informasinya sudah tahu kalau ada kapal besar yang karam, tetapi belum sempat datang, jadi kebetulan lagi kumpul bersama keluarga sekalian aja ke sini," kata Rin, warga setempat, Minggu (5-10).

Budaya berwisata pada Hari Raya Idul Fitri tersebut, memang sudah dilakukan warga Lampung Barat, selain memanfaatkan waktu libur juga karena sedang berkumpul bersama keluarga. n HEN/D-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 6 Oktober 2008

October 4, 2008

Way Kambas Penuh Pengunjung

LABUHANRATU (Lampost): Pusat Latihan Gajah (PLG) menjadi objek wisata terkemuka di Lampung Timur, menjelang Lebaran ke tiga (H+3), ribuan pengunjung memenuhi Taman Nasional Way Kambas tersebut.

Kepala Seksi III Way Kambas Ida Bagus Nyoman Rai mengatakan tiap hari raya keagamaan seperti Idulfitri atau Natal, Way Kambas dijadikan tempat pariwisata paling terfavorit, khususnya di Lampung Timur.

"Bahkan, bukan hari besar keagamaan saja, hari ulang tahun Way Kambas yang jatuh tiap Desember, Way Kambas menjadi objek kaula muda bahkan orang dewasa dan anak-anak. Jika dilihat dari pengalaman kami, puncaknya pengunjung jatuh pada H+7," kata dia, Jumat (3-10).

Menurut dia, guna kenyamanan pengunjung tempat wisata Way Kambas, pihaknya memberikan pengamanan ekstraketat. Selain dari pihak polisi hutan (Polhut) dibantu jajaran Kepolisian Labuhan Ratu.

"Tidak menutup kemungkina dari ribuan pengunjung dan ratusan kendaraan berbagai jenis sepeda motor ataupun kendaraan roda empat yang datang dari berbagai daerah, terjadi lakalantas, perkelahian atapun pemerasan, sehingga kami meminta pihak Polri dan Polhut guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Nyoman.

Sementara itu, selain memberikan kenyamanan dan pengamanan kepada pengunjung, pihaknya menyediakan berbagai jenis hiburan jasa, seperti permainan gajah, dari menari, sepak bola, dan berbagai jenis permainan lainnya.

Nanda salah satu pengunjng dari Kota Metro, mengaku pihak memilih mencari tempat wisata di Way Kambas saat Lebaran karena tertarik dengan berbagai jenis permainan gajah. Selain itu, Way Kambas juga terkesan ramai pengunjung dan terlihat aman.

Di Lampung hanya di sini (Way Kambas), yang memiliki tempat wisata yang luas dan berbagai hiburan yang dimainkan gajah. Selain itu tempatnya juga sejuk dan keamanannya terjamin, kata Nanda usai naik gajah.

Pemantauan Lampung Post, Jumat (3-10), selain di Way Kambas, Danau Way Jepara juga dijadikan tempat wisata beberapa kalangan anak muda, guna menikmati Lebaran sembari membawa pasangannya.n */D-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Oktober 2008