Oleh Agusta Hidayatullah*
SEPERTI masyarakat Bandar Lampung umumnya, saya termasuk orang yang berbahagia dengan dibukanya kembali bioskop jaringan 21 di Kota Tapis Berseri ini. Cukup banyak alasan yang membuat momen dibukanya kembali bioskop ini sebagai "tertawa bahagia". Salah satu alasan yang masuk akal dan mungkin paling rasional adalah kesempatan menyaksikan film-film terbaru dengan peralatan yang "layak".
Bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran bioskop non-21 di kota tercinta ini. Namun, memang selain 21, tidak cukup tersedia bioskop dengan peralatan pemutar film yang representatif. Kurang layaknya proyektor dan perangkat audio yang dimiliki bioskop non-21 di kota ini otomatis mengganggu "kenikmatan menonton" film yang oleh sutradaranya sudah dibuat maksimal.
Mengenai ketidaknikmatan menonton akibat "infrastruktur" yang tidak memadai ini, saya punya pengalaman tersendiri. Kebetulan, the most waited movie of the year, Laskar Pelangi, diputar di salah satu bioskop di Bandar Lampung. Kebetulan bioskop yang memutar film ini adalah salah satu bioskop tua dan legendaris. Ketidaksabaran yang menggebu-gebu plus kecintaan terhadap novelnya memaksa saya menyaksikan Laskar Pelangi di bioskop tersebut.
Tanpa bermaksud mengecilkan keberadaan bioskop ini, akhirnya saya menganggap memaksakan diri menonton film ini dengan peralatan seadanya adalah sebuah kesalahan. Proyektor yang out of focus, film yang sudah banyak scratch, dan (ini yang betul-betul parah), sound sistem seadanya. Akibatnya jelas, film indah dan banyak mendapat pujian kritikus sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat, berlalu tanpa kesan. Lebih mengecewakan lagi, semuanya disebabkan kendala tehnis "infrastruktur".
Sebelum berbicara lebih jauh, saya ingin menekankan bahwa fokus tulisan ini sama sekali bukan tentang pengultusan bioskop grup 21. Fokus penulisan adalah tentang pentingnya sebuah infrastruktur bioskop yang baik sebagai sarana pembentukan jiwa dan karakter manusia yang lebih beradab. Penggunaan simbol bioskop grup 21 lebih disebabkan sebagai momentum. Sebab hingga kini, baru inilah bioskop dengan infrastruktur baik yang dimiliki kota ini.
Sejarah Bioskop
Sejarah bioskop berawal pada 13 Februari 1895 di Prancis, saat Lumiere bersaudara mematenkan sebuah alat perekam film yang bernama chronophotographic. Di Indonesia, sejarah perbioskopan hanya terpaut lima tahun saja. Menurut catatan Nano Riantiarno dalam artikelnya berjudul Ada Apa dengan Film Indonesia, bioskop pertama di Batavia memperkenalkan diri pada 5 Desember 1900. Ini 5 tahun lebih awal dari Italia yang baru meresmikan gedung bioskop pertamanya pada 1905.
Era 1970--1991 adalah periode yang disebut Haris Jauhari sebagai "periode teknologi canggih". Pada era-era inilah mulai dikenal berbagai tehnologi dalam "industri gambar-idoep". Mulailah dikenal istilah dolby stereo, suround, untuk teknologi suara atau panavision untuk gambar. Era kapitalis bioskop, dengan aturan ala rimba, yang bermodal kuatlah yang dapat menayangkan gambar dengan teknologi mumpuni, dimulai pada era ini.
Inilah era di mana kita mengenal dua jenis bioskop di Indonesia: kelas atas dan kelas bawah. Bioskop dengan modal kuat, tentunya memiliki kualitas infrastruktur yang baik. Kursi yang nyaman, audio yang canggih, proyektor yang update. Sementara itu, bioskop yang modalnya pas-pasan, hanya mampu menyediakan tempat menonton dengan sarana seadanya, suara sember, gambar buram, dan kursi yang banyak binatang bangsat.
Pada era inilah, lahir sebuah kerajaan bisnis bioskop yang melabeli diri dengan nama grup 21. Berawal dari kejelian bisnis seorang Sudwikatmono dan Grup Subentra miliknya yang mengubah Plaza Teater, sebuah gedung bioskop tua, menjadi cikal bakal industri bioskopnya yang kelak menggurita. Siasat jitu mengopi budaya bioskop Amerika Serikat seperti suasana yang eksotik, ruangan yang indah dan nyaman, keamanan yang terjamin dan kebebasan dalam memilih film yang mereka inginkan, membuat bioskop 21 menjadi trendsetter bagaimana standar sebuah bioskop yang baik. Dengan dukungan modal yang kuat, hak tayang terhadap film impor yang jauh lebih dahulu dibandingkan bioskop non-grup 21. Bioskop 21 menjadi awal dari munculnya isu "monopoli bioskop" yang kemudian baru bisa disanggah pada era pascareformasi.
Persaingan pasar memaksa bioskop-bioskop yang tidak representatif sebagai tempat memutar film berguguran satu demi satu. Perlahan tapi pasti, jumlah bioskop yang tadinya berjumlah 2.600 gedung pada awal tahun 1990-an, menyusut hingga titik nadir. Sejumlah bioskop dengan kelas non-21 perlahan bangkrut. Tidak sedikit yang beralih fungsi menjadi retail minimarket. Pada tahun 2004, jumlah bioskop yang ada di Indonesia tersisa 272 dengan 720 layar.
Bioskop Nyaman dan Representatif
Menurut saya, banyaknya gedung bioskop yang gulung tikar ini bukan hanya semata kesalahan munculnya 21. Pasar memang memiliki caranya sendiri untuk melakukan seleksinya.
Menurut Articlenatch.com, visual elemen bioskop memberikan gambar gerakan universal kekuatan komunikasi. Film telah menjadi atraksi yang populer di seluruh dunia sebagai cermin sebuah budaya dan menggambarkan sebuah budaya. Hal mendasar inilah yang dimiliki oleh 21.
Film sebagai elemen kebutuhan dasar manusia untuk merefleksikan diri memerlukan perlakuan khusus dan istimewa agar pesan dan reflektivitas tadi "sampai". Dibutuhkan sebuah cermin yang bersih, baik, dengan sudut yang pas, agar "aktivitas bercermin" dapat maksimal. Sebagaimana layaknya kaca, film pun membutuhkan sebuah pemutar yang baik agar penyajian, maksud, dan tujuan si pembuat film data terlihat dengan jelas oleh si penonton.
Kasus Laskar Pelangi tadi dapat dijadikan contoh. Mungkin saya tidak seorang diri sebagai orang yang merasakan betapa tidak menyenangkannya suasana menonton film tersebut karena buruknya kualitas infrastruktur.
Menonton film adalah sebuah ritual penting dalam hidup manusia yang selalu mendambakan antara kesehatan badan, kesehatan otak, dan kesehatan jiwa. Beberapa efek pascamenonton film dapat menjadi obat ampuh bagi jiwa yang penat oleh rutinitas hidup. Efek paling rendah dari menonton ini adalah merasa terhibur. Sementara efek paling tinggi, tentu saja, adalah pencerahan.
Itulah sebabnya, sebuah bioskop dengan infrastruktur yang baik menjadi hal mendesak. Untuk kota ini, kebutuhan tersebut (mungkin) baru bisa dipenuhi oleh 21.
Namun menurut saya, bukan hanya nama 21 yang dapat menjadi cetak biru sebuah bioskop berkategori baik, siapa pun yang bergerak di industri bioskop, entah itu biokop tradisional, bioskop digital, atau bahkan bioskop layar tancap sekalipun, memiliki peluang yang sama untuk kategori ini. Dengan menggarisbawahi bahwa budaya menonton film adalah sebuah bentuk pencerdasan alternatif.
* Agusta Hidayatullah, Koresponden okezone.com wilayah Lampung, seorang movie buff
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Maret 2009
terus sekarang ada gk bioskop di lampung selain 21...?
ReplyDelete