Oleh Ags Arya Dipayana
”IMPIAN indah, dibagi makian, dikali umpatan, sama dengan nol. Tidur nyenyak, ditambah jalan-jalan, dibagi tumpukan kain kotor, sama dengan nol. Enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, tiga tahun di SMA, sama dengan nol...”
Kalimat-kalimat di atas adalah dialog dalam sepenggal adegan dalam pertunjukan Sama dengan Nol karya Mila K Sari yang dimainkan Komunitas Seni Intro dari Payakumbuh, Sumatera Barat, 28 April 2009 di Teater Tertutup, Taman Budaya Lampung.
Mengambil format pertunjukan nonkonvensional, tiga aktor perempuan dalam pertunjukan ini secara cerdas mengangkut silang sengkarut persoalan kemanusiaan yang kompleks. Dengan pola bermain yang dinamis, selama lebih kurang 60 menit penonton diajak untuk menyoal masalah ekonomi, sosial, pendidikan dengan segala tumpang tindihnya. Lintasan gagasan, pemikiran, pergulatan dihadapkan kepada kondisi sosial, sebelum akhirnya disorongkan ke hadapan nasib yang buruk.
Ketiga orang pemain, Siti Hasanah, Emilia Dwi Cahya. dan Della Nasution, dengan terampil menggunakan potensi keaktoran mereka, termasuk kelenturan gestur tubuh. Pertunjukan dengan irama cepat ini terasa sangat bertenaga sehingga mampu menyihir penonton hingga pertunjukan berakhir. Hal yang dimungkinkan pencapaiannya teks yang kuat, keaktoran yang memadai, dan kejelian sutradara dalam mengemasnya.
Pertunjukan yang disutradarai Della Nasution ini merupakan salah satu penampilan terbaik dalam acara Gelar Karya Teater, Panggung Perempuan Se-Sumatera, yang diselenggarakan oleh Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Hivos, pada 25-29 April 2009.
Dalam upaya menjawab langkanya pekerja teater perempuan pada sisi yang menentukan, Teater Satu Lampung menyelenggarakan acara Panggung Perempuan se-Sumatera, yang terlebih dahulu diawali dengan pelatihan bagi sutradara dan penulis naskah perempuan. Dari proses itu kemudian peserta menindaklanjuti dengan proses pertunjukan. Seluruh penampil dalam acara, delapan kelompok dari tujuh provinsi di Sumatera, adalah peserta pelatihan tersebut.
Hasilnya ternyata menggembirakan, meski harus diakui bahwa dari pertunjukan mereka terasa benar pencapaian yang tidak seimbang. Hal ini selain ditentukan oleh pergulatan setiap kelompok, juga disebabkan kenyataan bahwa sebagian peserta memang bukan nama baru dalam percaturan teater di Sumatera. Sejumlah penampil tampak menonjol, sementara beberapa di antaranya sangat kentara keberadaannya sebagai pemula.
Teater Sakata dari Padang Panjang terbilang sebagai penampil yang berhasil. Tya Setyawati menyutradarai kelompoknya mengangkat naskah karya Fia Suswati berjudul Tiga Perempuan. Naskah ini mengangkat persoalan dari khazanah lokal Minangkabau, dengan tokoh utama seorang pedendang yang memiliki posisi khas dalam masyarakat. Konflik dibangun secara bertahap, berangkat dari seorang perempuan yang berencana menikah sehingga menanyakan keberadaan ayahnya. Pertanyaan yang kemudian membuka berbagai rahasia di rumah gadang yang menjadi tempat tinggal mereka.
Struktur naskah yang kuat ini, dengan aktor yang cukup siap, mampu menciptakan ketegangan yang kemudian mencapai klimaks pada saat seluruh rahasia terbuka. Perempuan muda itu ternyata anak sang pedendang yang berselingkuh dengan adik iparnya karena si adik tidak bisa memberi keturunan.
Bahwa seluruh penampil mengangkat tema dan persoalan perempuan memang merupakan kesepakatan yang diambil dari awal pelatihan. Meskipun demikian, satu sama lain menemukan persoalan yang beragam. Keberagaman ini merupakan hal yang menggembirakan meski pada beberapa kelompok masih bermain-main di permukaan.
Teater Baru dari Palembang merupakan sebuah kelompok yang baik sutradara maupun penulis naskahnya merupakan pemula. Mengangkat naskah Sehelai Emak karya Florencia Marcelina Romadhona, kelompok ini mengambil bentuk selected realism di mana setting dipilih berdasarkan kepentingan pemanggungan.
Ayu Irma Prasakti yang bertindak sebagai sutradara membangun pertunjukannya dengan baik meski kesiapan teknis elementer para pemainnya cukup menyulitkannya untuk memberi nilai lebih pada garapan yang sebenarnya menjanjikan.
Lain lagi Teater Selembayung dari Riau. Kelompok yang sudah cukup lama terbentuk ini mengangkat naskah dari hikayat lokal berjudul Prahara Cik Apung, karya Rina. Seluruh pendukung pertunjukan tampak sebagai pemain yang siap dan menguasai teknik secara baik. Cara bermain mereka pun intens dan matang. Upaya Mimi Suriania, sang sutradara, untuk mendekonstruksi tokoh-tokohnya sebagai badut merupakan gagasan yang segar. Namun, hal ini tidak diikuti dengan pengubahan kode budaya ataupun teks sehingga terasa mentah meski keseluruhan pertunjukan sangat rapi tertata.
Beberapa sutradara (termasuk yang memiliki pengalaman cukup lama dalam dunia teater) tampaknya memiliki kesulitan cukup besar ketika berhadapan dengan penulis naskah pemula. Hal itu tampak dalam garapan Teater Generasi dari Medan yang membawakan lakon Kembang Mayang karya Hanita Karlina atau Teater Oranye dari Jambi yang mementaskan Cream Ulang Tahun karya Rita. Struktur naskah yang lemah dalam mengangkat konflik atau keterbatasan dalam mengembangkan konflik kemudian menjadi kendala tersendiri bagi Elidawani Lubis dan Rizki Niko sebagai sutradara.
Hal yang sama juga terjadi pada Teater Andung dari Bengkulu, yang membawakan Langit-langit karya Bravela. Indar Amus selaku sutradara tampak bersusah-payah mengangkat tema perselingkuhan yang berakhir dengan turun ranjang sesuai adat yang berlaku dalam masyarakat di Bengkulu. Tata panggung yang menawarkan kemungkinan itu juga kurang dapat dioptimalkan karena kesiapan aktor-aktornya yang tidak memadai.
Kelemahan teknis pemain juga kuat terasa pada pertunjukan Teater Kurusetra dari Lampung, yang mengangkat naskah Dapur karya Fitri Yani. Sebagian pemain masih dalam taraf menghafal sehingga dialog sekadar diucapkan dan bukan diungkapkan. Kelemahan struktur cerita dengan dua konflik yang tidak terselesaikan dengan tuntas ini membuat pendekatan realis yang dipilih Yessi Afrilli sebagai sutradara menjadi pertunjukan setengah matang.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, seluruh penampil menunjukkan kecermatan dalam mempersiapkan pertunjukannya. Tata panggung, tata cahaya, tata musik, dan tata busana diperlakukan sebagai unsur pendukung yang tertangani dengan baik. Hal ini menunjukkan bukan saja wawasan berkesenian yang luas, tetapi juga daya cipta yang cukup tinggi.
Dalam acara ini, sesi diskusi merupakan acara yang menarik. Para pengamat yang terdiri dari Dewi Noviami, Lisabona Rachman, Faiza Marzuki, dan Ags Arya Dipayana akan menyampaikan kesan dan tanggapan seusai pertunjukan. Dilanjutkan pula dengan komentar penonton sebelum setiap kelompok menanggapi.
Lebih dari sekadar evaluasi, diskusi ini dimaksudkan untuk memperbincangkan kemungkinan penyempurnaan atas karya yang dipentaskan. Sejumlah masukan dan usulan akan dipertemukan dengan kendala kelompok selama menjalani proses produksi. Sayang bahwa sebagian peserta cenderung menyikapi forum ini sebagai ajang pengadilan sehingga bersikap defensif dan menutup diri.
Panggung Perempuan Se-Sumatera ditutup pada 29 April 2009 dengan penampilan Ruth Marini dari Teater Satu Lampung, sebagai penghormatan tuan rumah bagi para peserta. Membawakan monoplay berjudul Wanci karya Imas Sobariah, pentas yang disutradarai Iswadi Pratama ini berkisah tentang hidup seorang perempuan yang lahir dari orangtua pelacur dan berjuang untuk mengubah nasibnya.
Merupakan kesempatan yang langka untuk melihat dari dekat pergulatan perempuan dalam merealisasikan gagasan. Suatu acara yang lebih dari pantas untuk diapresiasi oleh siapa pun yang menghargai seni, budaya, dan kemanusiaan.
* Ags Arya Dipayana, Pengamat
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Mei 2009
No comments:
Post a Comment