MEMBACA surat pembaca Lampung Post, Jumat (1-5), saya sangat kaget. Tanggapan dari Irfan Anshory semestinya membuka hati para petinggi Lampung terkait upaya penggantian kata-kata yang sekarang ini sudah sangat kita kenal dalam bahasa ibu.
Saya semenjak dilahirkan dan dibesarkan di Provinsi Lampung tinggal jauh dari ibu kota Bandar Lampung yang dalam sehari-harinya menggunakan bahasa Lampung, dan sangat hafal dan tak mungkin saya lupakan sampai ahir hayat saya kata-kata "sang".
Jadi sangat naif bila ada yang mengatakan kata sang bukan berasal dari bahasa Lampung. Bagaimana dengan bahasa meminjam kata Irfan "sikam sang lamban" (kami serumah) atau guwai sang lamban (kerjaan serumah), jadi di mana kata-kata sang yang bukan dari bahasa Lampung.
Saya sebagai tokoh muda yang memang dari bahasa ibu menggunakan bahasa Lampung bila ada segelintir pengambil kebijakan di daerah Lampung bermaksud mengajukan perubahan kata-kata ini, harus mempertimbangkan bahasa yang pendahulu kita merangkainya bukan baru mengerti sedikit sudah merasa benar tanpa mengerti akan bahasa Lampung yang sesungguhnya.
Penulis menyarankan:
1. Jangan gegabah mengubah bahasa Lampung yang sudah baku tanpa mempertimbangkan baik-buruknya karena sudah ribuan kata-kata sang ini dibakukan serta ditetapkan dalam lagu, tugu, dan buku-buku yang ada di dunia ini.
2. Bila pemimpin Lampung saat ini memaksakan untuk tetap mengubah kata-kata ini, maka saya bisa katakan pemimpin di daerah Lampung ini termasuk pemimpin yang "gonjogh" yang tidak mau belajar dan mengerti akan bahasa Lampung sesungguhnya.
3. Terima kasih kepada semua pihak yang sekarang ini masih banyak peduli dengan daerahnya bagaimanapun kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi yang mau menjaga kemurnian dan tidak punahnya bahasa ini.
Taufiqurrahman
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Lampung
Jalan Griya Sejahtera
Gunungterang, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 4 Mei 2009
No comments:
Post a Comment