DANAU Ranau, Gunung Seminung, dan adat budaya Lampung di seputarnya adalah perpaduan spektakuler yang dapat dirasakan, bukan sekadar dipandang.
Di pucuk perahu motor yang berayun tambat di dermaga kecil Pekon (Desa) Sukabanjar, Sukau, Lampung Barat. Matahari naik 45 derajat pada Rabu (10-6). Angin semilir dalam kesunyian perkampungan etnik Lampung. Suara siamang mengisi udara dengan gema yang bersahut-sahutan. Ramai memang, tetapi justru menghadirkan atmosfer sunyi yang sesungguhnya.
Dari "pantai" Danau Ranau yang jernih dan jembar, sang surya pukul 10.00 itu seolah menjadi senter yang menegaskan lekuk-liku Gunung Seminung yang tegar berdiri di seberangnya. Tingginya yang dalam banyak literatur mencatat 1.888 meter terlihat menjulang menonjol di antara gugusan Bukit Barisan.
Pekon Sukabanjar memang arah yang amat strategis untuk menatap wajah gunung yang berada di wilayah Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan, itu. Maka, tak berlebihan jika untuk mendapatkan view terbaik itu, perjalanan tambahan dari kawasan Lombok Resort masih cukup jauh. Yakni, sekitar enam kilometer dengan jalan onderlaag selebar satu badan minibus.
Dari pekon dengan sekitar 225 kepala keluarga dan berpenduduk sekitar 1.700 jiwa ini, memandang Gunung Seminung sudah cukup sempurna. Namun, untuk menggenapi rasa penasaran hati, satu perahu motor disewa menyusuri pinggir danau.
Pagar danau di bagian barat yang terjal, yakni gugusan Bukit Barisan Selatan, menambah spektakuler pemandangan. Di Bukit Barisan Selatan yang masih merimba dan lestari, adalah "rumah" bagi ribuan satwa yang setiap saat melengkingkan suara-suara kesunyian.
Berada di atas kap perahu motor, berkeliling Danau Ranau adalah pengalaman luar biasa. Menatap sisi tepi, ada aktivitas warga mengurus tanaman kopi yang berada di lereng-lereng terjal bukit. Juga tetumbuhan hutan dan satwa liar yang segera menelusup ke semak-semak saat perahu mendekat. Di sisi barat danau ini memang tidak terlihat adanya permukiman warga.
Ke arah tengah danau, kilau air tenang membiru diterpa sinar matahari yang membias, seperti lautan nan teduh. Beberapa nelayan pancing dengan sabarnya menunggu kail dimakan ikan.
Kembali menepi ke Pekon Sukabanjar, seperti pulang ke kampung halaman. Warga yang 99 persen suku Lampung, dengan ramah dan terbukanya menyambut setiap tamu. Rasa ingin tahu penduduk terhadap tamu yang datang menghadirkan tegur sapa saling melempar senyum. Bahkan, pertanyaan haga dipa (mau ke mana) yang dilontarkan setiap dari mereka, berkonotasi ingin memberi tahu dan mengantar ke tempat yang kemudian disebut.
Rumah-rumah berarsitektur Lampung, berpanggung setinggi tiga meter, berdinding dan berlantai papan, dan beratas seng adalah aura kampung etnik. Mungkin, karena masih banyaknya kayu, ada rumah yang panggungnya disangga oleh susunan kayu bulat (log) seperti susunan rumah jangkerik.
Meski belum ada listrik PLN, peralatan elektronik sudah hampir semua rumah menggunakan. Itu terlihat dari banyaknya "jamur" parabola yang mangap di sebilang tempat. Sinyal telepon seluler juga sangat baik. Warga menggunakan generator sebagai energi listriknya.
Kehidupan khas masyarakat kampung etnis masih sangat kental. H. Romzi, tetua kampung, masih amat paham dengan budaya dan asal muasal kisah-kisah mitos yang ada dan tetap menjadi kearifan warganya. "Masyarakat Sukabanjar tidak makan daging kijang. Itu ada sejarahnya. Maka, kijang di desa kami lestari. Kalau sore atau pagi, kijang masuk kampung sini biasa saja, seperti kambing," kata dia.
Soal kelestarian budaya, St. Nasrudin menyampaikan hal serupa. Warga desanya masih memegang teguh ikatan adat dan petuah tetua kampung dan penyimbang adat. "Tidak ada yang berani makan daging kijang. Kalau dilanggar, pasti kena penyakit kurap dan tidak ada obatnya. Warga juga sangat percaya pemimpin adat," kata lelaku setengah baya bergelar Sutan itu.
Aktivitas warga Pekon Sukabanjar juga ramah lingkungan. Sadar dengan posisi desanya yang berada di bawah bukit dengan kemiringan 45 derajat, mereka konsisten menjaga hutan. "Kalau ada yang nebang kayu untuk dijual, kami tangkap dan denda Rp5 juta. Tapi kalau untuk rumah sendiri, boleh menebang, tetapi harus izin Sutan," kata Hermiza, tokoh pemuda setempat.
Masuk ke Pekon Sukabanjar memang bukan leisure atau tamasya gembira layaknya pesta. Namun, membaca kearifan lokal, menikmati lestarinya alam, berkecipak beningnya air Danau Ranau, dan menatap spektakulernya Gunung Seminung, tidak akan terlupakan sepanjang hidup. Masih cukup natural untuk ukuran Lampung. n
Bersambung pekan depan..
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Juni 2009
No comments:
Post a Comment