IRONI tentang kain tapis itu datang pada awal Juni 2009 ketika Lampung Post mewartakan terbitnya buku yang membahas kain khas Lampung itu oleh peneliti asal Amerika Serikat.
Ketika buku Wearing Wealth and Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatrea, Indonesia, yang ditulis dosen seni University of Michigan, Amerika Serikat, Mary-Louise Totton terbit, Raswan, salah satu perajin, pengamat, dan peneliti tapis lampung, berharap budayawan dan seniman Tanah Lada ini tidak hanya banyak komentar dan bereuforia soal kebudayaan Lampung. Tapi, Raswan meminta semua bangkit dan menunjukkan kepada dunia bahwa budaya Lampung pun bisa dijual.
Raswan mengatakan buku setebal 188 halaman yang diterbitkan University Press of New England, merupakan hasil studi lapangan, sebagai sarjana kunjungan Pusat Studi Asia Tenggara di beberapa negara, termasuk Indonesia (Lampung) selama tujuh tahun, sejak tahun 2002--2009. Bahkan, narasumber dalam buku tersebut adalah pengamat, perajin, dan peneliti tapis lampung sendiri. Jadi, bukan tidak mungkin, peneliti tapis lampung mampu membuat buku sejenis itu, yang jauh lebih detail, lengkap, dan jelas.
"Ini sangat luar biasa. Kita sendiri saja belum ada yang membuat buku seperti ini. Bukan saja mengenai tapis lampung, melainkan buku ini juga menceritakan kehidupan masyarakat Lampung sejak abad ke-18 lalu," kata Raswan, sambil menunjukkan buku yang baru diterimanya dari Mary-Louise.
Namun, kata Raswan, memang tidak mudah menggali soal budaya Lampung, terlebih membahas soal tapis. Bahkan, seorang peneliti ataupun desainer tapis pun harus sangat memahami dan filosofi tapis dan budaya Lampung itu sendiri.
Tentang tapis dan seputaran masalahnya, Raswan menjelaskan kepada wartawan Lampung Post Lukman Hakim di Galeri Tapis Helau, Kamis (18-6). Berikut petikannya.
Pada kain tapis. Apakah ada filosofinya?
Tentu ada. Untuk mengenal tapis, seseorang harus lebih dulu mengetahui sejarah dan arti motif yang tertuang di dalamnya. Setelah itu, barulah membuat kreasi untuk mengembangkan motif kain tapis tersebut.
Anda sudah melakukan penelitian soal tapis?
Penelitian saya soal tapis bermula dari tugas akhir di bangku kuliah. Dari situ, saya tertarik meneliti tapis. Sebab, saya menilai kain tapis merupakan salah satu kerajinan tradisional Lampung yang menyelaraskan hidup terhadap lingkungannya maupun pencipta alam semesta.
Di mana munculnya kain tapis ditempuh melalui tahapan-tahapan yang mengarah pada kesempurnaan teknik tenunnya maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Ringkas saja, bagaimana perkembangan sejarah dan tapis Lampung?
Perkembangan kerajinan tenun di Lampung merupakan teknik kerajinan tapis sebagai hasil proses akulturasi kebudayaan. Kemudian dilengkapi dengan berbagai variasi budaya. Sedangkan hiasan-hiasan yang tertera pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain.
Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Demikian pula dengan perkembangannya, ragam hias tapis masih terlihat pengaruh dari unsur-unsur ragam hias yang timbul dalam periode Hindu Indonesia. Dalam ragam hias menggunakan unsur flora dan fauna yang dihubungkan dengan kepercayaan umat Hindu. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata ikut memperkaya kerajinan tapis ini.
Seperti apa?
Walau unsur baru telah terpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Unsur dari berbagai unsur tersebut menampilkan suatu bentuk yang baru yang merupakan ciri kerajinan Lampung. Unsur-unsur tersebut dapat menunjukkan motif yang sama, tapi arti dan makna yang dilukiskan berbeda.
Misalnya, motif tumpal yang sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Pada tradisi Hindu, tumpal merupakan lambang Dewi Kemakmuran. Bentuk tumpal dalam bentuk sederhana, yaitu pucuk rebung, yang melambangkan sesuatu kekuatan yang tumbuh dari dalam. Namun, ada pula yang mengatakan bentuk segitiga ini sebagai abstraksi dari manusia.
Tepatnya, sejak tahun berapa Anda penelitian tapis?
Sejak tahun 1987. Waktu itu sebagai tugas akhir sekolah. Karena saya mencintai tapis, tahun 1997--1998, seorang peneliti dari Kansas, Amerika Serikat, Mr. Tim Smith, mengajak saya meneliti tapis. Sampai sekarang, draf hasil penelitian itu masih saya simpan dan belum saya terbitkan sebagai buku. Sebab, saya memang perlu melakukan studi lapangan ke Amsterdam, Belanda, yang banyak menyimpan motif dan jenis kain tapis lampung.
(Raswan juga menjelaskan, sejauh ini, dikenal 36 jenis kain Tapis Lampung. Namun, di Museum di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 53 jenis tapis lama yang usianya bahkan mencapai 400 tahun).
Masih ada perajin tapis asli di Lampung?
Pada masyarakat Lampung, banyak ditemukan pembuat kain tapis. Sedangkan tempat asal yang dikenal adalah Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Sungkai Way Kanan, Pubian Telu Suku, dan Pasir.
Tapis lampung dulu tidak setenar sekarang. Sejak kapan sebenarnya mula tenar?
Kain tapis lampung sudah ada sejak lebih dari 400 tahun lalu, berupa tenun ikat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan banyak alat tenun yang hilang, baru pada era 1980-an, kain tapis mulai dikenal kembali masyarakat luas. Sayangnya, masyarakat hanya mengenal kain tapis sumatera (untuk menyebutkan kain tapis lampung).
Sejauh ini, kain tapis hanya identik dengan perempuan Lampung. Pada perkembangannya, banyak juga laki-laki yang menggunakan kain tapis tersebut.
Benar, kain tapis merupakan pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam (Lampung cucuk).
Kerajinan tapis tradisional Lampung merupakan kain tenun yang dihubungkan dengan proses penenunan benang untuk membuat kain dasar dan proses penyulaman benang untuk membuat motif-motif dan ragam hiasanya. Kini, beberapa pakaian adat Lampung yang dikenakan laki-laki, juga sudah menggunakan tenun tapis dan ternyata sangat etnik dan elegan.
Konon, menenun tapis merupakan kegiatan sakral. Apa benar?
Sakral sih, tidak. Tetapi tradisi yang seperti harus dilakukan saat itu.
Tapis lampung termasuk kerajinan tradisonal, terlebih peralatan yang digunakan dalam pembuatan kain dasar dan motif-motif hias masih sangat sederhana dan dikerjakan langsung oleh perajin. Kerajinan itu umumnya dibuat kaum hawa, baik ibu rumah tangga ataupun anak gadis (muli), yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang. Tujuan awalnya untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral.
Muli Lampung waktu itu akan dinilai sangat pemalas dan tercela bila tidak bisa membuat kain tapis. Sedangkan bagi suatu keluarga, jika seorang anak perempuannya lahir, sang ibu sudah menyiapkan sebuah kain tapis yang akan dibawa pada saat anak gadisnya akan menikah.
(Kain tapis Lampung saat ini dapat diproduksi perajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditas yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Bahkan, di Galeri Tapis Helau milik Raswan, di Jalan Teuku Umar No.98 Bandar Lampung, kain tapis lampung dijual dengan harga Rp750 ribu--Rp7 juta).
Di awal pembicaraan, Anda mengatakan dalam membuat kain tapis tidak boleh mencabut perajin dari akar budayanya. Maksudnya?
Begini, banyak sekali pengusaha tapis membawa perajin tapis dari Pringsewu ke Tanjungkarang. Hal itulah yang selama ini dilakukan pengusaha tapis lampung. Akibatnya, kerajinan tapis justru tidak berkembang. Kita harus tiru Obin atau Iwan Tirta yang mengembangkan batik dengan tetap membuat batik dari daerah asalnya, Jepara.
Menyelamatkan Tapis dan Sastra Lisan
SEJAK kecil, Raswan memang sudah sangat mencintai dunia seni dan budaya. Hobinya sejak SMP adalah melukis, main drama, menulis puisi, dan menulis cerpen. Bahkan, di SMP dia sudah sering menjuarai lomba melukis.
Waktu itu, Raswan remaja sedang bersekolah di MTs Negeri 1. Bahkan, hobi itu terus berlanjut sampai ke SMA. Karya puisi dan cerpen hasil buah pikirannya, bahkan sempat dimuat di Lampung Post, pada halaman Carem Ragem-Muli Mekhanai.
Saat kuliah, Raswan mengambil Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Lampung (Unila). "Semula, saya ingin melanjutkan kuliah ke Asri Yogyakarta. Namun, waktu itu, saya dan keluarga menilai Yogyakarta sebuah tempat yang sangat jauh dan di sana tidak memiliki keluarga. Akhirnya, pilihan tetap kuliah di Lampung, mengambil jurusan bahasa dan seni.
Saat kuliah, Raswan pernah mengikuti kegiatan temu penyair. Bahkan, tahun 1987, Raswan dilibatkan Anshori Djausal (budayawan Lampung) dalam kegiatan temu budaya, riset, studi pustaka, tentang budaya Lampung. Baik itu soal seni suara, sastra lisan, maupun tapis sendiri. Bahkan, Raswan masuk Tim Masterplan Pariwisata Bagian Sosial Budaya.
Tahun 1997--1998, bersama Tim Smith, peneliti dari Kansas, Amerika Serikat. Raswan sendiri serius menekuni usaha tapis sejak tahun 1996, terinspirasi dari banyak orang-orang yang membuat tapis, tapi tidak sesuai dengan defenisi tapis itu sendiri.
Apalagi, pada Kongres Tekstil 1999 di Yogyakarta, ada kesepakatan bahwa untuk membuat kerajinan tradisional harus membuat 100 persen sesuai dengan aslinya; jangan ada yang dikurangi dan jangan ada yang ditambah. "Boleh saja modifikasinya, tapi tidak difungsikan dalam adat," kata dia.
Profesinya, kini, sebagai peneliti, pengamat, dan perajin Tapis Lampung, mendapat dukungan penuh keluarga. Bahkan, mantan guru ini, akan terus bertekad melestarikan budaya Lampung, terutama sastra lisan maupun kain tradisional tapis. "Untuk sastra lisan, draf buku sudah saya susun," tinggal penerbitan saja. n LUKMAN HAKIM/M-1
Biodata
Nama: Raswan
Tempat, tanggal lahir: Tanjungkarang, 14 Maret 1966
Pendidikan: Jurusan Seni dan Sastra Indonesia
Universitas Lampung (1987)
Penelitian:
- Kebudayaan Lampung (1987)
- Tim Masterplan Pariwisata Lampung (1989)
- Sastra Lisan Lampung (1996--1998)
- Penelitian Tapis (1987--sekarang)
Istri: Yuliana
Anak:
1. Muhammad Rizki Arafat (9)
2. Karimah Akilah Putri Larasati (1)
Ayah: Muin Rupian (alm.)
Ibu: Robiah (almh.)
Ayah mertua: Ahmad Usul
Ibu mertua: Nur Aimah
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009
selamat malam, maaf izin bertanya apakah saya bisa mendapatkan email dari bapak raswan?
ReplyDelete