Oleh Isbedy Stiawan Z.S.
TATKALA rekan Christian Heru Cahyo Saputro menulis Wisata, Kendaraan Pelestarian Budaya, taklah membuat saya heran. Sejatinya memang wisata adalah (sebagai) kendaraan untuk melestarikan (ke)budaya(an).
Kemudian untuk menggerakkan wisata, tentu banyak cara atau harus ada kegiatan. Maka di Provinsi Lampung ada Festival Krakatau dan sejumlah festival lainnya. Jika di Yogyakarta, ada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), apabila Bali ada Pekan Kebudayaan Bali (PKB) dan seterusnya.
Masalahnya di kedua daerah (provinsi) itu lebih terasa bahananya, lebih jelas visi dan sasarannya. Sedangkan di Lampung, hingga Festival Krakatau (FK) ke-19--artinya sudah lebih 19 tahun karena setahun kalau tak salah pernah absen--belum terdengar bahananya. Lalu bagaimana mungkin akan membumikan (pelestarian) budaya?
Sudah berulang saya menulis soal ini. Mungkin akibatnya banyak yang kurang suka, tetapi inilah kenyataannya. Saya kerap kecewa setiap FK digelar. Dimulai dengan pembukaan yang condong sangat seremonial, yakni mengundang para duta besar negara sahabat atau Eropa yang "mungkin" pula diongkosi lalu mengikuti pembukaan dan diajak jalan-jalan ke objek wisata, setelah itu ada tari-tarian di panggung kesenian yang diarsiteki secara megah. Kemudian ditutup dan lalu hilang.
Tahun 2009 ini diklaim FK punya teroboson karena bisa mengundang 15 duta besar yang diajak ke Tampang Belimbing (Tambling) melalui udara. Amboy, benar-benar "dimanjakan" para dubes tersebut. Sebagaimana foto-foto yang saya saksikan, di Tambling itu para dubes juga "disuguhi" binatang buas.
Kemudian para dubes diajak pesiar ke Gunung Anak Krakatau. Dubes Amerika Serikat diwawancarai wartawan dan menyatakan kekaguman pada keindahan Gunung Anak Krakatau dan mengakui alam Lampung sangat indah dan berpotensi menjadi daerah tujuan wisata. Lantas, menjadi pertanyaan, setelah dubes itu meninggalkan Lampung apakah ada tindaklanjutnya? Ini yang mestinya diburu.
Saya sependapat dengan Christian Heru Cahyo Saputro, tampaknya gelar FK selama ini terkesan hanya seremoni dan rutinitas. Sebuah kegiatan yang tiap tahun diadakan karena sudah dianggarkan dalam APBD provinsi.
Serangkaian kegiatan yang mendukung, seperti Pemilihan Muli Mekhanai dan sebagainya hanyalah pundi-pundi hadiah untuk menentukan kabupaten/kota mana yang menjadi juara umum dan berhak membawa pulang piala gubernur.
Sehingga tujuan utama mengikuti berbagai event kesenian yang belum tentu "prestasi", tetapi hanya "prestise". Dampaknya memang luar biasa, terjadi kecurangan di berbagai bidang kesenian dan salah satunya misalnya pada Pemilihan Muli Mekhanai 2009.
Sementara itu, pelestarian kebudayaan seperti tidak tersentuh. Apatah lagi mengangkat kesenian yang nyaris ditinggalkan masyarakat setempat. Sebenarya Lampung memiliki banyak kekayaan seni, di antaranya warahan, dadi, ataupun cangget bagha. Apakah hal itu sudah disentuh kemudian dipromosikan di hadapan wisatawan, utamanya para duta besar yang hadir?
Aneh sekali apabila para wisawatan dan 15 duta besar negara sahabat yang hadir hanya disuguhi sambutan-sambutan yang terkesan seremoni. Sementara selama perjalan yang memakan waktu berjam-jam menuju Gunung Anak Krakatau ataupun kembali, tidak ditampilkan kesenian yang khas Lampung.
Padahal, para bule terutama yang menyukai traveling wisata sangat membutuhkan hal-hal yang unik dan eksotis, bukan seperti dilakukan dalam FK XIX yang kabarnya menampilkan musik dangdut. Di sinilah kealpaan panitia FK XIX, sehingga meski sudah ke 18 seakan tak bisa mendulang pundi dari pasar pariwisata.
Saya teringat pada 2008, diundang dalam pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia Papua. Saat itu bertepatan Festival Kebudayaan Papua. Sungguh, saya benar-benar disuguhi aroma eksotis masyarakat pedalaman. Dan, seperti saya ketahui kemudian, mereka mendatangi festival itu hanya untuk menampilkan keseniannya harus berhari-hari di dalam perjalanan karena ditempuh melalui laut, sungai, dan pegunungan.
Dalam helat festival di Papua, ternyata tidak disiapkan piala karena memang dalam kesenian sejatinya tidak bisa dinilai secara matematis. Tetapi, mengapa masyarakat (seni) pedalaman Papua rela menempuh perjalanan berhari-hari? Dan para seniman pedalaman Papua itu saat tampil tidak mengecewakan.
Begitu pula tatkala Pekan Budaya Bali yang benar-benar berlangsung selama sepekan, ternyata juga diikuti para seniman tradisi dari berbagai pelosok desa. Hal sama ketika Festival Kesenian Yogyakarta digelar, selama sepekan berbagai kegiatan seni, baik tradisi hingga muasir, dipertontonkan.
Hal inilah yang tampaknya kurang tergarap. Panitia FK XIX hanya terfokus pada seremoni pembukaan, penutupan, Lampung Expo--meski digelar lembaga lain--serta tur Gunung Anak Krakatau. Setelah itu tanpa evaluasi, misalnya berapa jumlah hunian hotel-hotel di Bandar Lampung selama FK digelar? Begitu pula dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat, misalnya para pengrajin khas Lampung?
Sangat disayangkan, justru konon para duta besar diberi kenang-kenangan. Bukan sebaliknya, biarkan mereka mencari oleh-oleh khas Lampung sehingga terasa dampaknya bagi masyarakat. Maka belajarlah sungguh-sungguh dari event-event serupa di daerah lain, bukan cuma jalan-jalan. n
* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan, penyuka jalan
Sumber: Lampung Post, Jumat, 31 Juli 2009
July 31, 2009
July 30, 2009
Lampung Aman, Festival Krakatau XIX Dinyatakan Sukses
Bandarlampung, 29/7 (ANTARA) - Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menutup Festival Krakatau XIX (FK XIX) tahun 2009, di Gedung Graha Wangsa, Kota Bandarlampung, dan berharap FK XIX menjadi moment kebangkitan Provinsi Lampung mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya.
"Festival Krakatau dikatakan sukses, karena dapat menjadi bukti bahwa provinsi kita dalam keadaan aman dari teror. Indikatornya adalah dengan bersedianya duta besar Amerika Serikat, dan Eropa untuk hadir di FK XIX, di Lampung," kata Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, di Bandarlampung, Rabu malam.
Acara penutupan rangkaian kegiatan FK XIX, dibarengi dengan penutupan Lampung Expo VIII, yang dihadiri juga oleh Gubernur Banten Rt Hj Atut Chosiyah, dan anggota DPR-RI dari komisi VIII.
"Harus ada evaluasi dari aparat terkait, jangan sampai panitia dan seluruh instansi terkait tidak melakukan pendalaman terhadap tujuan dan hakikat diadakannya Festival Krakatau," kata dia.
Sjachroedin mengatakan, FK XIX memiliki tonggak penting dalam pencapaian festival seni, budaya dan pariwisata di Provinsi Lampung, yang nyaris berlangsung sepanjang tahun.
"Festival Krakatau adalah puncak dari semua kegiatan festival yang dilaksanakan di tingkat kabupaten, semoga hal itu bisa dipertahankan, sehingga Lampung tidak pernah sepi dari pagelaran seni, budaya, dan pariwisata sepanjang tahun," kata dia.
Sementara itu, dalam laporan kegiatan yang dibacakan pada malam penutupan FK XIX, Ketua Panitia pelaksana kegiatan Festival Krakatau XIX, M Natsir Ali, mengatakan, festival tahun ini berjalan aman, lancar, dan sukses.
Dia menjelaskan, input dari kedatangan para dubes pada festival itu telah terlihat, di antaranya akan berinvestasinya Brunei Darussalam yang disampaikan oleh Duta Besar mereka, Mr Datuk Harimau Padang, di Kabupaten Tanggamus.
"Dia berjanji akan mengembangkan kambing boerawa di kabupaten itu, dan survei kelayakannya akan dilakukan dalam waktu dekat," kata dia.
Sebelumnya, Duta besar dari Amerika Serikat, Cameron R Hume, menyatakan bahwa saat ini dirinya merasa aman, dan yakin bahwa kondisi keamanan di Provinsi Lampung kondusif.
"Saat ini saya merasa aman, dan tidak merasa was-was, karena pihak keamanan sudah bekerja keras untuk mewujudkan rasa aman tersebut," kata dia, saat pembukaan Festival Krakatau XIX, Sabtu (25/7) lalu.
Menurut dia, tragedi Bom di JW Marriott dan
Ritz-Carlton adalah sebuah musibah dan bisa terjadi di mana saja, dan kewajiban semua pihak untuk menjaga Indonesia aman dari teror.
"Permasalah utamanya adalah bukanlah tentang apakah saya merasa aman ataupun tidak, tetapi apakah kita semua merasa aman dan apakah bisa bersama-sama menjaga kondisi itu," kata dia.
Dia mengharapkan, semua pihak dapat secara bersama-sama menjaga dan mengembalikan kondisi Indonesia menjadi lebih kondusif, sehingga bisa berdampak baik bagi investasi dan pariwisata.
Festival Krakatau XIX, dibuka di Pusat Kegiatan Olah Raga (PKOR) Way Halim, Bandarlampung, dan duta besar Amerika hadir bersama 23 orang lainnya yang mewakili 15 negara sahabat.
Mereka adalah duta besar dan staf kedutaan dari Jerman, Libanon, Afghanistan, Turki, Singapura, Yunani, Slovakia, Bosnia, Palestina, Polandia, Libanon, Qatar, Scycheller, Brunei Darussalam, dan Amerika Serikat.
Pada FK XIX, rombongan diajak untuk mengunjungi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di kawasan Tambling, Lampung Barat, untuk melihat langsung potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Provinsi Lampung.
Selain melakukan kunjungan ke TNBBS, para duta besar juga diajak untuk mengikuti Welcome party Krakatau Night, HUT Menara Siger di Lampung Selatan, dan agenda rutin tahunan setiap Festival Krakatau belangsung, yaitu Tour Krakatau dengan menggunakan kapal ro-ro pada Minggu (26/7).
Sumber: Antara, Rabu, 29 Juli 2009
"Festival Krakatau dikatakan sukses, karena dapat menjadi bukti bahwa provinsi kita dalam keadaan aman dari teror. Indikatornya adalah dengan bersedianya duta besar Amerika Serikat, dan Eropa untuk hadir di FK XIX, di Lampung," kata Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, di Bandarlampung, Rabu malam.
Acara penutupan rangkaian kegiatan FK XIX, dibarengi dengan penutupan Lampung Expo VIII, yang dihadiri juga oleh Gubernur Banten Rt Hj Atut Chosiyah, dan anggota DPR-RI dari komisi VIII.
"Harus ada evaluasi dari aparat terkait, jangan sampai panitia dan seluruh instansi terkait tidak melakukan pendalaman terhadap tujuan dan hakikat diadakannya Festival Krakatau," kata dia.
Sjachroedin mengatakan, FK XIX memiliki tonggak penting dalam pencapaian festival seni, budaya dan pariwisata di Provinsi Lampung, yang nyaris berlangsung sepanjang tahun.
"Festival Krakatau adalah puncak dari semua kegiatan festival yang dilaksanakan di tingkat kabupaten, semoga hal itu bisa dipertahankan, sehingga Lampung tidak pernah sepi dari pagelaran seni, budaya, dan pariwisata sepanjang tahun," kata dia.
Sementara itu, dalam laporan kegiatan yang dibacakan pada malam penutupan FK XIX, Ketua Panitia pelaksana kegiatan Festival Krakatau XIX, M Natsir Ali, mengatakan, festival tahun ini berjalan aman, lancar, dan sukses.
Dia menjelaskan, input dari kedatangan para dubes pada festival itu telah terlihat, di antaranya akan berinvestasinya Brunei Darussalam yang disampaikan oleh Duta Besar mereka, Mr Datuk Harimau Padang, di Kabupaten Tanggamus.
"Dia berjanji akan mengembangkan kambing boerawa di kabupaten itu, dan survei kelayakannya akan dilakukan dalam waktu dekat," kata dia.
Sebelumnya, Duta besar dari Amerika Serikat, Cameron R Hume, menyatakan bahwa saat ini dirinya merasa aman, dan yakin bahwa kondisi keamanan di Provinsi Lampung kondusif.
"Saat ini saya merasa aman, dan tidak merasa was-was, karena pihak keamanan sudah bekerja keras untuk mewujudkan rasa aman tersebut," kata dia, saat pembukaan Festival Krakatau XIX, Sabtu (25/7) lalu.
Menurut dia, tragedi Bom di JW Marriott dan
Ritz-Carlton adalah sebuah musibah dan bisa terjadi di mana saja, dan kewajiban semua pihak untuk menjaga Indonesia aman dari teror.
"Permasalah utamanya adalah bukanlah tentang apakah saya merasa aman ataupun tidak, tetapi apakah kita semua merasa aman dan apakah bisa bersama-sama menjaga kondisi itu," kata dia.
Dia mengharapkan, semua pihak dapat secara bersama-sama menjaga dan mengembalikan kondisi Indonesia menjadi lebih kondusif, sehingga bisa berdampak baik bagi investasi dan pariwisata.
Festival Krakatau XIX, dibuka di Pusat Kegiatan Olah Raga (PKOR) Way Halim, Bandarlampung, dan duta besar Amerika hadir bersama 23 orang lainnya yang mewakili 15 negara sahabat.
Mereka adalah duta besar dan staf kedutaan dari Jerman, Libanon, Afghanistan, Turki, Singapura, Yunani, Slovakia, Bosnia, Palestina, Polandia, Libanon, Qatar, Scycheller, Brunei Darussalam, dan Amerika Serikat.
Pada FK XIX, rombongan diajak untuk mengunjungi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di kawasan Tambling, Lampung Barat, untuk melihat langsung potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Provinsi Lampung.
Selain melakukan kunjungan ke TNBBS, para duta besar juga diajak untuk mengikuti Welcome party Krakatau Night, HUT Menara Siger di Lampung Selatan, dan agenda rutin tahunan setiap Festival Krakatau belangsung, yaitu Tour Krakatau dengan menggunakan kapal ro-ro pada Minggu (26/7).
Sumber: Antara, Rabu, 29 Juli 2009
Krakatau Target Investasi Pariwisata Dunia
Bakauheni, Lampung Selatan, 27/7 (ANTARA) - Festival Krakatau XIX 2009 yang diselenggarakan Pemda Provinsi Lampung, disambut baik sejumlah duta besar negara sahabat, mereka akan turut mempromosikan Lampung sebagai salah satu target investasi.
"Saya menghargai usaha dari Pemprov Lampung sekaligus senang karena dapat melihat langsung Gunung Anak Krakatau, menyaksikan fenomena letusan gunung kecil gunung berapi dari dekat," kata Duta Besar Negara Republik Seychelles untuk Indonesia, Nico Barito, di atas KMP Windu Karsa Pratama, di Selat Sunda, Minggu.
Nico mengaku baru pertama kali ini dapat melihat aktivitas vulkanologi dari fenomena alam gunung Anak Krakatau secara langsung dengan jarak beberapa meter saja.
Dia mengaku sangat takjub dengan pemandangan fenomena alam letusan-letusan kecil anak gunung Krakatau tersebut, dan tidak menyangka kalau Provinsi Lampung mempunyai potensi pariwisata yang sangat menakjubkan.
"Gunung Anak Krakatau benar-benar adalah ikon dunia," tegas Nico.
Dia mengatakan pula bahwa pemerintah Provisi Lampung agar terus melestarikan pariwisata tersebut dengan otonomi daerah masing-masing karena cara itu dapat memajukan potensi pariwisata layaknya gunung Anak Krakatau.
Dia juga berencana akan memberikan laporan secara terperinci mengenai potensi pariwisata di Lampung ke pemerintah Republik Seychelles, guna meningkatkan kerja sama terkait investasi kepariwisataan karena Lampung memiliki potensi wisata yang sangat menakjubkan.
"Dengan laporan tersebut saya berharap dapat terjalin kerja sama yang lebih meningkat, sekiranya ada waktu dan kesempatan akan kembali mengunjungi wisata Krakatau dan menanamkan Investasi," ujar dia.
Dia juga menambahkan bahwa potensi pariwisata di negaranya dapat dijadikan contoh bagi Provinsi Lampung, karena di Republik Seychelles juga mengandalkan sektor pariwisata sebagai salah satu tumpuan pendapatan negara.
"Negara Saya adalah negara kecil, namun dengan mengandalkan sektor pariwisata pendapatan per kapitanya mencapai 18.000 dolar AS per tahun, padahal hanya memiliki 115 pulau kecil," ungkap Nico.
Dia menjelaskan bahwa di negara asalnya benar-benar mengandalkan sektor pariwisata dan perikanan sehingga penduduknya benar-benar mempertahankan ekosistem untuk tetap terjaga kelestariannya.
"Tempat wisata di Republik Seychelles tidak dibangun hotel-hotel mewah, hanya sekedar villa kecil (cottage) namun dibuat senyaman mungkin, dan kendaraan yang digunakan hanya gerobak lembu untuk mengantar wisatawan.
Hal senada juga diungkapkan Duta Besar Asal Turki, A Kilicasrlan Topus, saat melihat letusan-letusan kecil gunung Anak Krakatau itu.
"Sangat mengesankan dan sangat indah," kata dubes Turki.
Dia juga mengatakan akan menyampaikan kapada pemerintah dan penduduk turki terkait keberadaan Gunung Anak Krakatau itu sebagai salah satu tujuan pariwisata yang sangat langka.
Dia juga berharap pemerintah Turki terus menjalin kerja sama yang baik dengan Indonesia, Khususnya bidang kepariwisataan ini untuk masa yang akan datang.
Pendapat yang sama juga diungkapkan Duta Besar Amerika Serikat, Cameron R Hume, yang mengungkapkan bahwa hanya sedikit orang yang dapat menyaksikan pemandangan langka tersebut secara jelas dari dekat.
"Saya benar-benar beruntung dapat hadir di acara ini," ujar dia.
Dengan fenomena alam itu kita seharusnya dapat lebih menghormati alam karena mempunyai sebuah kekuatan yang sangat besar.
Sumber: Antara, Senin, 27 Juli 2009
"Saya menghargai usaha dari Pemprov Lampung sekaligus senang karena dapat melihat langsung Gunung Anak Krakatau, menyaksikan fenomena letusan gunung kecil gunung berapi dari dekat," kata Duta Besar Negara Republik Seychelles untuk Indonesia, Nico Barito, di atas KMP Windu Karsa Pratama, di Selat Sunda, Minggu.
Nico mengaku baru pertama kali ini dapat melihat aktivitas vulkanologi dari fenomena alam gunung Anak Krakatau secara langsung dengan jarak beberapa meter saja.
Dia mengaku sangat takjub dengan pemandangan fenomena alam letusan-letusan kecil anak gunung Krakatau tersebut, dan tidak menyangka kalau Provinsi Lampung mempunyai potensi pariwisata yang sangat menakjubkan.
"Gunung Anak Krakatau benar-benar adalah ikon dunia," tegas Nico.
Dia mengatakan pula bahwa pemerintah Provisi Lampung agar terus melestarikan pariwisata tersebut dengan otonomi daerah masing-masing karena cara itu dapat memajukan potensi pariwisata layaknya gunung Anak Krakatau.
Dia juga berencana akan memberikan laporan secara terperinci mengenai potensi pariwisata di Lampung ke pemerintah Republik Seychelles, guna meningkatkan kerja sama terkait investasi kepariwisataan karena Lampung memiliki potensi wisata yang sangat menakjubkan.
"Dengan laporan tersebut saya berharap dapat terjalin kerja sama yang lebih meningkat, sekiranya ada waktu dan kesempatan akan kembali mengunjungi wisata Krakatau dan menanamkan Investasi," ujar dia.
Dia juga menambahkan bahwa potensi pariwisata di negaranya dapat dijadikan contoh bagi Provinsi Lampung, karena di Republik Seychelles juga mengandalkan sektor pariwisata sebagai salah satu tumpuan pendapatan negara.
"Negara Saya adalah negara kecil, namun dengan mengandalkan sektor pariwisata pendapatan per kapitanya mencapai 18.000 dolar AS per tahun, padahal hanya memiliki 115 pulau kecil," ungkap Nico.
Dia menjelaskan bahwa di negara asalnya benar-benar mengandalkan sektor pariwisata dan perikanan sehingga penduduknya benar-benar mempertahankan ekosistem untuk tetap terjaga kelestariannya.
"Tempat wisata di Republik Seychelles tidak dibangun hotel-hotel mewah, hanya sekedar villa kecil (cottage) namun dibuat senyaman mungkin, dan kendaraan yang digunakan hanya gerobak lembu untuk mengantar wisatawan.
Hal senada juga diungkapkan Duta Besar Asal Turki, A Kilicasrlan Topus, saat melihat letusan-letusan kecil gunung Anak Krakatau itu.
"Sangat mengesankan dan sangat indah," kata dubes Turki.
Dia juga mengatakan akan menyampaikan kapada pemerintah dan penduduk turki terkait keberadaan Gunung Anak Krakatau itu sebagai salah satu tujuan pariwisata yang sangat langka.
Dia juga berharap pemerintah Turki terus menjalin kerja sama yang baik dengan Indonesia, Khususnya bidang kepariwisataan ini untuk masa yang akan datang.
Pendapat yang sama juga diungkapkan Duta Besar Amerika Serikat, Cameron R Hume, yang mengungkapkan bahwa hanya sedikit orang yang dapat menyaksikan pemandangan langka tersebut secara jelas dari dekat.
"Saya benar-benar beruntung dapat hadir di acara ini," ujar dia.
Dengan fenomena alam itu kita seharusnya dapat lebih menghormati alam karena mempunyai sebuah kekuatan yang sangat besar.
Sumber: Antara, Senin, 27 Juli 2009
Menara Siger Bakauheni Lampung Terus Dikembangkan
Bakauheni, Lampung, 27/7 (ANTARA) - Objek wisata Menara Siger di Bakauheni, Lampung Selatan akan terus dikembangkan, selain sebagai tempat wisata juga salah satu ikon Provinsi Lampung.
Pengelola harian Menara Siger Lampung, Ansori Jausal, mengatakan hal itu pada pembukaan Festifal Krakatau 2009, yang dihadiri 17 duta besar negara sahabat, di Bakauheni Lampung Selatan, Minggu.
Dia mengharapkan agar masyarakat Lampung bersama-sama menjaga dan mendorong pembangunan menara itu untuk mempertahankan eksisitensinya sehingga lebih menarik. Kedepannya Menara Siger juga akan terus dilakukan perbaikan dan pengembangan.
Salah satu program yang akan dilakukan dalam pengelolaan menara siger, yakni akan membangun Zona B, yakni sebagai tempat komersial seperti halnya resort dan sebagainya.
"Ini sudah menjadi komitmen gubernur, dan menara siger akan ditetapkan sebagai tempat kegiatan bertaraf lokal, nasional, hingga internasional, minimal satu bulan sekali," kata Ansori.
Dia juga mengharapkan pembangunan objek wisata tersebut dapat menjadi kebanggaan masyarakat Lampung, bersamaan dengan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), sehingga dapat lebih menarik wisatawan.
"Dengan segala fasilitas dan infrastruktur yang akan dibangun di sekitar pelabuhan Bakauheni ini, mau tidak mau kawasan ini akan menjadi kota dan pusat perekonomian di Lampung.
Mengenai pembangunannya, Ansori mengatakan bahawa pengembangan menara itu akan terus dilakukan bertahap dan terus dilakukan pembenahan.
"Kita tidak bisa melakukannya dengan sekaligus, karena menara Eiffel Di Perancis sendiri dibangun dalam waktu 20 tahun," papar dia.
Dia menambahkan pula bahwa masyarakat diharapkan akan mendukung pembangunan ini, karena menara itu masih terkendala dengan dana, karena dana dari pemerintah sifatnya hanya memperingan.
Sumber: Antara, Senin, 27 Juli 2009
Pengelola harian Menara Siger Lampung, Ansori Jausal, mengatakan hal itu pada pembukaan Festifal Krakatau 2009, yang dihadiri 17 duta besar negara sahabat, di Bakauheni Lampung Selatan, Minggu.
Dia mengharapkan agar masyarakat Lampung bersama-sama menjaga dan mendorong pembangunan menara itu untuk mempertahankan eksisitensinya sehingga lebih menarik. Kedepannya Menara Siger juga akan terus dilakukan perbaikan dan pengembangan.
Salah satu program yang akan dilakukan dalam pengelolaan menara siger, yakni akan membangun Zona B, yakni sebagai tempat komersial seperti halnya resort dan sebagainya.
"Ini sudah menjadi komitmen gubernur, dan menara siger akan ditetapkan sebagai tempat kegiatan bertaraf lokal, nasional, hingga internasional, minimal satu bulan sekali," kata Ansori.
Dia juga mengharapkan pembangunan objek wisata tersebut dapat menjadi kebanggaan masyarakat Lampung, bersamaan dengan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), sehingga dapat lebih menarik wisatawan.
"Dengan segala fasilitas dan infrastruktur yang akan dibangun di sekitar pelabuhan Bakauheni ini, mau tidak mau kawasan ini akan menjadi kota dan pusat perekonomian di Lampung.
Mengenai pembangunannya, Ansori mengatakan bahawa pengembangan menara itu akan terus dilakukan bertahap dan terus dilakukan pembenahan.
"Kita tidak bisa melakukannya dengan sekaligus, karena menara Eiffel Di Perancis sendiri dibangun dalam waktu 20 tahun," papar dia.
Dia menambahkan pula bahwa masyarakat diharapkan akan mendukung pembangunan ini, karena menara itu masih terkendala dengan dana, karena dana dari pemerintah sifatnya hanya memperingan.
Sumber: Antara, Senin, 27 Juli 2009
18 Pelukis 'Gaek' akan Unjuk Kebolehan
Bandarlampung, 28/7 (ANTARA) - Sebanyak 18 pelukis berusia di atas 50 tahun, akan unjuk kebolehan pada Pameran Lukisan bertajuk "Spirit In The Day" pada 6-12 Agustus 2009 yang akan datang.
"Pameran itu akan menghadirkan 38 karya seni dari 18 pelukis yang usianya berada pada rentan 50 tahun ke atas, dan merupakan sebuah penghormatan bagi kami untuk dapat memamerkan karya mereka," kata Kepala Taman Budaya Lampung, Helmy Azharie, di Bandarlampung, Selasa.
Ke-18 pelukis yang akan melakukan unjuk karya itu adalah Ari Susiwa Manangisi, Andrian Sangaji, Atuk, Bambang, Abidin, Bambang Suroboyo, Thamrin Eggendi, Djunaidie KA, Bachtiar Basri, Salvator Yen Djoenaidi, Kuatno, Wiradi, Sutanto, Surahman, Pulung Swandaru, Helmy Azharie, Subardjo, dan Wisnu Brata.
Helmy menjelaskan, pameran yang akan dilaksanakan di Ruang Pameran Taman Budaya Lampung itu, akan menjdi katalis semangat bagi pelukis dari kalangan generasi muda, untuk terus menekuni seni rupa sekaligus sebagai penanda eksistensi dan konsistensi bagi pelaku dunia lukis senior.
"Ini menunjukan semangat berkarya yang tidak kunjung padam dan termakan usia," kata dia.
Helmy mengharapkan, selain sebagai pemompa semangat dan penanda eksistensi, ajang itu juga dapat dijadikan sebagai ajang silaturahmi dan media transaksi estetika, wacana, dan transaksi ekonomi.
"Akan ada diskusi wacana seni yang menarik, yang tercipta dari pameran itu," kata dia.
Dia mengharapkan pula, acara itu dapat menjadi media apresiasi dan membangun iklim berkesenian yang lebih baik di Provinsi Lampung.
"Lampung adalah kawah candradimuka bagi seniman, semoga dengan semakin seringnya event pameran lukisan diadakan, tingkat apresiasi masyarakat Lampung terhadap lukisan makin baik," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, Erwin Nizar, mengatakan harapannya terhadap pameran yang dapat menjadi salah satu pilihan dan daya pikat bagi wisatawan dalam rangka "Visit Lampung Year 2009" itu.
"Seni budaya dan pariwisata memiliki hubungan mutualisme, keduanya harus saling bersinergi karena saling mempengaruhi," kata mantan bupati Lampung Barat itu.
Sumber: Antara, Selasa, 28 Juli 2009
"Pameran itu akan menghadirkan 38 karya seni dari 18 pelukis yang usianya berada pada rentan 50 tahun ke atas, dan merupakan sebuah penghormatan bagi kami untuk dapat memamerkan karya mereka," kata Kepala Taman Budaya Lampung, Helmy Azharie, di Bandarlampung, Selasa.
Ke-18 pelukis yang akan melakukan unjuk karya itu adalah Ari Susiwa Manangisi, Andrian Sangaji, Atuk, Bambang, Abidin, Bambang Suroboyo, Thamrin Eggendi, Djunaidie KA, Bachtiar Basri, Salvator Yen Djoenaidi, Kuatno, Wiradi, Sutanto, Surahman, Pulung Swandaru, Helmy Azharie, Subardjo, dan Wisnu Brata.
Helmy menjelaskan, pameran yang akan dilaksanakan di Ruang Pameran Taman Budaya Lampung itu, akan menjdi katalis semangat bagi pelukis dari kalangan generasi muda, untuk terus menekuni seni rupa sekaligus sebagai penanda eksistensi dan konsistensi bagi pelaku dunia lukis senior.
"Ini menunjukan semangat berkarya yang tidak kunjung padam dan termakan usia," kata dia.
Helmy mengharapkan, selain sebagai pemompa semangat dan penanda eksistensi, ajang itu juga dapat dijadikan sebagai ajang silaturahmi dan media transaksi estetika, wacana, dan transaksi ekonomi.
"Akan ada diskusi wacana seni yang menarik, yang tercipta dari pameran itu," kata dia.
Dia mengharapkan pula, acara itu dapat menjadi media apresiasi dan membangun iklim berkesenian yang lebih baik di Provinsi Lampung.
"Lampung adalah kawah candradimuka bagi seniman, semoga dengan semakin seringnya event pameran lukisan diadakan, tingkat apresiasi masyarakat Lampung terhadap lukisan makin baik," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, Erwin Nizar, mengatakan harapannya terhadap pameran yang dapat menjadi salah satu pilihan dan daya pikat bagi wisatawan dalam rangka "Visit Lampung Year 2009" itu.
"Seni budaya dan pariwisata memiliki hubungan mutualisme, keduanya harus saling bersinergi karena saling mempengaruhi," kata mantan bupati Lampung Barat itu.
Sumber: Antara, Selasa, 28 Juli 2009
July 29, 2009
Pariwisata: Lampung-Banten Bisa Kelola Festival Krakatau
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengatakan Banten dan Lampung harus duduk bersama mengusung Krakatau sebagai objek daya tarik wisata. Gunung berapi yang melegenda itu, menurut Ratu Atut, bisa menjadi primadona dan daerah tujuan wisata kelas dunia jika kedua provinsi tersebut bersama mengerahkan kekuatan untuk menarik wisatawan nusantara dan mancanegara.
"Pengelolaan objek wisata Krakatau dapat dilakukan melalui kemitraan di forum Mitra Praja Utama yang beranggotakan antara lain Lampung dan Banten. Kedua provinsi diharapkan dapat membantu kemitraan utnuk mengangkat potensi ini secara terpadu dan terarah," kata Atut kepada Lampung Post, Selasa (28-7). Pernyataan itu disampaikan terkait dengan penutupan Festival Krakatau yang berlangsung hari ini (29-7) dan akan dihadiri Ratu Atut.
Kedua provinsi, menurut Atut, juga bisa menggelar wisata dengan kapal ro-ro untuk melihat dari dekat Gunung Anak Krakatau. Untuk itu, Lampung dan Banten menyiapkan akses dan akomodasi di masing-masing wilayah bagi wisatawan untuk berkunjung ke Gunung Anak Krakatau.
"Lampung dan Banten juga mesti berupaya secara gencar mempromosikan objek wisata Gunung Anak Krakatau dalam berbagai kesempatan promosi oleh instansi terkait masing-masing. Tujuannya tentu saja sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lampung dan Banten terutama sekitar kawasan gunung melalui industri pariwisata," kata Atut. n MIN/K-3
Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Juli 2009
"Pengelolaan objek wisata Krakatau dapat dilakukan melalui kemitraan di forum Mitra Praja Utama yang beranggotakan antara lain Lampung dan Banten. Kedua provinsi diharapkan dapat membantu kemitraan utnuk mengangkat potensi ini secara terpadu dan terarah," kata Atut kepada Lampung Post, Selasa (28-7). Pernyataan itu disampaikan terkait dengan penutupan Festival Krakatau yang berlangsung hari ini (29-7) dan akan dihadiri Ratu Atut.
Kedua provinsi, menurut Atut, juga bisa menggelar wisata dengan kapal ro-ro untuk melihat dari dekat Gunung Anak Krakatau. Untuk itu, Lampung dan Banten menyiapkan akses dan akomodasi di masing-masing wilayah bagi wisatawan untuk berkunjung ke Gunung Anak Krakatau.
"Lampung dan Banten juga mesti berupaya secara gencar mempromosikan objek wisata Gunung Anak Krakatau dalam berbagai kesempatan promosi oleh instansi terkait masing-masing. Tujuannya tentu saja sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lampung dan Banten terutama sekitar kawasan gunung melalui industri pariwisata," kata Atut. n MIN/K-3
Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Juli 2009
July 27, 2009
Wisata, Kendaraan Pelestarian Budaya
Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
PARIWISATA juga dapat dijadikan "kendaraan" untuk upaya pelestarian warisan budaya. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menegaskan ketika membuka Borobudur Internasional Festival, belum lama ini, Kebudayaan dan pariwisata adalah hubungan simbiose mutualisme. Pariwisata tak hidup jika tak ada seni dan budaya.
Lampung bisa belajar dari Solo yang mengusung brand pariwisata spirit of java. Solo sukses menggelar berbagai hajat wisata internasional, antara lain World Heritage Cities Conference & Expo (WHCCE), Solo Internasional Etnic Music (SIEM), Batik Carnival, Un Habitat dan Internasional Keroncong Festival (IKF) dan berbagai deretan festival nasional lainnya.
Menjual Lampung
Tidak mudah memang "menjual" Lampung. Buktinya, perhelatan akbar Festival Krakatau yang merupakan core event pariwisata belum bisa banyak bicara. Padahal event ini sudah memasuki tahun kesembilan belas penyeleggaraan. Namun, gemanya tidak seperti festival serupa yang digelar di daerah lainnya. Ada apa ini?
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mengatakan dunia pariwisata dapat dijadikan "kendaraan" dalam upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya dan lingkungan. Untuk itu, Festival Krakatau yang digelar setiap tahun dapat dijadikan perangsang bertumbuhkembangnya budaya yang bermuara pada pelestarian, perekonomian dan sektor lainnya.
Budaya (kesenian) dan pariwisata merupakan dua faktor yang saling bersentuhan. Berkaitan dengan itu kesenian tradisi dapat dijadikan aset-aset wisata yang bisa dijual. Sebaliknya, kegiatan pariwisata yang berkaitan degan minat khusus manusia untuk memelihara dan melestarikan warisan budaya tak benda (intangible).
Pariwisata merupakan salah satu mobilitas. Perbedaan pengertian mobilitas manusia dengan pariwisata hanyalah perbedaan semua bukan hakiki. Di sini yang dilihat, apakah pariwisata jadi tujuan utama atau hanya sampingan.
Kita tahu, motivasi itu akan memengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia dari daerah yang dijadikan destinasi. Maka kegiatan pengembangan pariwisata mempunyai dampak yang besar terhadap lingkungan kehidupan, baik secara langsung maupun tak langsung. Apalagi objek pariwisata Lampung kebanyakan bersifat alamiah berupa eko wisata dan wisata budaya.
Terjadinya kontak langsung antara wisatawan yang mempunyai latar belakang budaya yang lain dengan tempat yang dikunjungi, tentu akan menimbulkan perubahan-perubahan drastis terhadap berbagai seni kehidupan, yaitu sifat manusia dan lingkungan hidup.
Perubahan-perubahan itu mempunyai dua alternatif, yaitu pengaruh ke arah positif atau pengaruh ke arah negatif. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi itu berarti akan mengakibatkan benturan-benturan budaya yang merubah, memengaruhi perilaku, tata hidup, tata nilai, perkembangan lingkungan dan budaya.
Contohnya, Bali selain terkenal dengan keindahan alamnya, kita tahu Bali merupakan daerah subur dan merupakan salah satu lumbung beras dengan sistem subak yang terkenal itu. Bukan tidak mungkin sebagian besar penduduknya berpindah ke sektor penghidupannya menjadi pematung, penari, perajin cendera mata, dan pramuwisata.
Sebelum kita telanjur menghitung-hitung devisa dengan mengeksploitasi Lampung tanpa memikirkan perkembangan budaya di masa datang. Alangkah baiknya bila sejak dini kita sudah menggagas langkah-langkah yang jitu untuk menghadapi benturan-benturan budaya yang bakal terjadi.
Festival 'Pelat Merah'
Festival Krakatau yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung dan festival sejenis lainnya yang ditaja pemkot dan pemkab ini sangat potensial untuk memperkenalkan Lampung dan memunculkan potensi budaya Lampung untuk memperkenalkan Lampung dan memunculkan budaya Lampung yang kaya dan beragam. Untuk itu, sebaiknya festival yang ditaja menyajikan potensi-potensi budaya yang ada di Lampung dengan kemasan yang menarik.
Tak hanya sekadar pawai budaya, lomba-lomba dan pergelaran yang dikemas tidak profesional dan bernuansa proyek sehingga kegiatan ini dari tahun ke tahun tidak mengalami kemajuan yang berarti. Seolah kegiatan ini target akhirnya hanya menyelesaikan program yang ditargetkan atau digariskan oleh pemerintah.
Kegiatan festival yang ada selama ini hanya berkesan seremonial dan rutinitas seperti kegiatan-kegiatan "pelat merah" alias pemerintah. lainnya. Lebih parahnya lagi, kegiatan ini tidak didukung promosi yang memadai.
Bagaimana festival ini bisa diminati wisatawan kalau publikasi dan promosi yang dilakukan seadanya dan tak berkesinambungan. Seperti, seharusnya memasuki kedelapan belas tahun penyelenggaraannya Festival Krakatau ini bukan hanya menjadi kegiatan yang diminati tetapi menjadi kegiatan yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu masyarakat Lampung.
Untuk itu, festival yang digelar harus menyajikan atraksi-atraksi yang lahir dari tradisi-tradisi yang ada di Lampung, yang bisa membahasakan fenomena kegembiraan masyarakat, sehingga festival ini berubah menjadi semacam panggilan dan mengikat emosional masyarakat Lampung.
Karena sesungguhnya sebuah festival digelar agar karakteristik tradisi masyarakat yang unik dan spesifik mendapat atmosfer yang lebih luas di era global yang kembali ingin mencari jati diri. Maka pantaslah, kalau kemudian daerah-daerah mengambil nama dari salah satu unggulan objek wisatanya seperti Festival Tabot (Bengkulu), Festival Erau (Kalimantan), Festival Keraton (DIY), dan Festival Musi (Sumsel).
Pada setiap festival digelar secara eksistensial daerah tersebut sedang berusaha mengukuhkan keberadaan dirinya. Festival yang ditaja ini juga bertujuan membangun kebanggaan masyarakat sebagai putra daerah dan sekaligus juga menandakan adaya kreativitas, pengembangan budaya dan kesejahteraan di daerah tersebut telah meningkat.
Untuk itulah dibutuhkan kuratorial festival yang bertugas mengonsep, merancang, mengawasi secara ketat, dan mengevaluasi agar festival yang digelar berjalan sesuai dengan visi dan misi yang digariskan. Sehingga tak berkesan pula ganti kepala dinas Kebudayaan dan Pariwisata ganti program dan goal festival. Sehingga dari tahun ke tahun festival berjalan seperti siput, kapan sampai tujuan tak pernah pasti.
Digelarnya Festival Krakatau dan berbagai festival pariwisata lainnya di daerah Lampung yang selama ini diharapkan dapat semakin menggesa dan mengokohkan Lampung sebagai salah satu daerah tujuan wisata pilihan.
Padahal Pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten/kota sudah merogoh kocek miliaran rupiah untuk berbagai event festival yang ditaja selama ini. Tetapi hasilnya masih memprihatinkan. Orang Melayu bilang, masih jauh panggang dari api. n
* Christian Heru Cahyo Saputro, Penghayat perjalanan, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juli 2009
PARIWISATA juga dapat dijadikan "kendaraan" untuk upaya pelestarian warisan budaya. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menegaskan ketika membuka Borobudur Internasional Festival, belum lama ini, Kebudayaan dan pariwisata adalah hubungan simbiose mutualisme. Pariwisata tak hidup jika tak ada seni dan budaya.
Lampung bisa belajar dari Solo yang mengusung brand pariwisata spirit of java. Solo sukses menggelar berbagai hajat wisata internasional, antara lain World Heritage Cities Conference & Expo (WHCCE), Solo Internasional Etnic Music (SIEM), Batik Carnival, Un Habitat dan Internasional Keroncong Festival (IKF) dan berbagai deretan festival nasional lainnya.
Menjual Lampung
Tidak mudah memang "menjual" Lampung. Buktinya, perhelatan akbar Festival Krakatau yang merupakan core event pariwisata belum bisa banyak bicara. Padahal event ini sudah memasuki tahun kesembilan belas penyeleggaraan. Namun, gemanya tidak seperti festival serupa yang digelar di daerah lainnya. Ada apa ini?
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mengatakan dunia pariwisata dapat dijadikan "kendaraan" dalam upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya dan lingkungan. Untuk itu, Festival Krakatau yang digelar setiap tahun dapat dijadikan perangsang bertumbuhkembangnya budaya yang bermuara pada pelestarian, perekonomian dan sektor lainnya.
Budaya (kesenian) dan pariwisata merupakan dua faktor yang saling bersentuhan. Berkaitan dengan itu kesenian tradisi dapat dijadikan aset-aset wisata yang bisa dijual. Sebaliknya, kegiatan pariwisata yang berkaitan degan minat khusus manusia untuk memelihara dan melestarikan warisan budaya tak benda (intangible).
Pariwisata merupakan salah satu mobilitas. Perbedaan pengertian mobilitas manusia dengan pariwisata hanyalah perbedaan semua bukan hakiki. Di sini yang dilihat, apakah pariwisata jadi tujuan utama atau hanya sampingan.
Kita tahu, motivasi itu akan memengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia dari daerah yang dijadikan destinasi. Maka kegiatan pengembangan pariwisata mempunyai dampak yang besar terhadap lingkungan kehidupan, baik secara langsung maupun tak langsung. Apalagi objek pariwisata Lampung kebanyakan bersifat alamiah berupa eko wisata dan wisata budaya.
Terjadinya kontak langsung antara wisatawan yang mempunyai latar belakang budaya yang lain dengan tempat yang dikunjungi, tentu akan menimbulkan perubahan-perubahan drastis terhadap berbagai seni kehidupan, yaitu sifat manusia dan lingkungan hidup.
Perubahan-perubahan itu mempunyai dua alternatif, yaitu pengaruh ke arah positif atau pengaruh ke arah negatif. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi itu berarti akan mengakibatkan benturan-benturan budaya yang merubah, memengaruhi perilaku, tata hidup, tata nilai, perkembangan lingkungan dan budaya.
Contohnya, Bali selain terkenal dengan keindahan alamnya, kita tahu Bali merupakan daerah subur dan merupakan salah satu lumbung beras dengan sistem subak yang terkenal itu. Bukan tidak mungkin sebagian besar penduduknya berpindah ke sektor penghidupannya menjadi pematung, penari, perajin cendera mata, dan pramuwisata.
Sebelum kita telanjur menghitung-hitung devisa dengan mengeksploitasi Lampung tanpa memikirkan perkembangan budaya di masa datang. Alangkah baiknya bila sejak dini kita sudah menggagas langkah-langkah yang jitu untuk menghadapi benturan-benturan budaya yang bakal terjadi.
Festival 'Pelat Merah'
Festival Krakatau yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung dan festival sejenis lainnya yang ditaja pemkot dan pemkab ini sangat potensial untuk memperkenalkan Lampung dan memunculkan potensi budaya Lampung untuk memperkenalkan Lampung dan memunculkan budaya Lampung yang kaya dan beragam. Untuk itu, sebaiknya festival yang ditaja menyajikan potensi-potensi budaya yang ada di Lampung dengan kemasan yang menarik.
Tak hanya sekadar pawai budaya, lomba-lomba dan pergelaran yang dikemas tidak profesional dan bernuansa proyek sehingga kegiatan ini dari tahun ke tahun tidak mengalami kemajuan yang berarti. Seolah kegiatan ini target akhirnya hanya menyelesaikan program yang ditargetkan atau digariskan oleh pemerintah.
Kegiatan festival yang ada selama ini hanya berkesan seremonial dan rutinitas seperti kegiatan-kegiatan "pelat merah" alias pemerintah. lainnya. Lebih parahnya lagi, kegiatan ini tidak didukung promosi yang memadai.
Bagaimana festival ini bisa diminati wisatawan kalau publikasi dan promosi yang dilakukan seadanya dan tak berkesinambungan. Seperti, seharusnya memasuki kedelapan belas tahun penyelenggaraannya Festival Krakatau ini bukan hanya menjadi kegiatan yang diminati tetapi menjadi kegiatan yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu masyarakat Lampung.
Untuk itu, festival yang digelar harus menyajikan atraksi-atraksi yang lahir dari tradisi-tradisi yang ada di Lampung, yang bisa membahasakan fenomena kegembiraan masyarakat, sehingga festival ini berubah menjadi semacam panggilan dan mengikat emosional masyarakat Lampung.
Karena sesungguhnya sebuah festival digelar agar karakteristik tradisi masyarakat yang unik dan spesifik mendapat atmosfer yang lebih luas di era global yang kembali ingin mencari jati diri. Maka pantaslah, kalau kemudian daerah-daerah mengambil nama dari salah satu unggulan objek wisatanya seperti Festival Tabot (Bengkulu), Festival Erau (Kalimantan), Festival Keraton (DIY), dan Festival Musi (Sumsel).
Pada setiap festival digelar secara eksistensial daerah tersebut sedang berusaha mengukuhkan keberadaan dirinya. Festival yang ditaja ini juga bertujuan membangun kebanggaan masyarakat sebagai putra daerah dan sekaligus juga menandakan adaya kreativitas, pengembangan budaya dan kesejahteraan di daerah tersebut telah meningkat.
Untuk itulah dibutuhkan kuratorial festival yang bertugas mengonsep, merancang, mengawasi secara ketat, dan mengevaluasi agar festival yang digelar berjalan sesuai dengan visi dan misi yang digariskan. Sehingga tak berkesan pula ganti kepala dinas Kebudayaan dan Pariwisata ganti program dan goal festival. Sehingga dari tahun ke tahun festival berjalan seperti siput, kapan sampai tujuan tak pernah pasti.
Digelarnya Festival Krakatau dan berbagai festival pariwisata lainnya di daerah Lampung yang selama ini diharapkan dapat semakin menggesa dan mengokohkan Lampung sebagai salah satu daerah tujuan wisata pilihan.
Padahal Pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten/kota sudah merogoh kocek miliaran rupiah untuk berbagai event festival yang ditaja selama ini. Tetapi hasilnya masih memprihatinkan. Orang Melayu bilang, masih jauh panggang dari api. n
* Christian Heru Cahyo Saputro, Penghayat perjalanan, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juli 2009
Festival Krakatau: 20 Dubes Inginkan Tambling Terbuka untuk Umum
TAMBLING (Lampost): 20 duta besar (dubes) dan utusan perwakilan negara-negara sahabat menginginkan kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) Lampung Barat (Lambar) menjadi daerah tujuan wisata terbuka untuk umum.
"Kawasan Tambling (Tampang Belimbing, red) sangat indah karena alammnya menyimpan ribuan jenis flora dan satwa liar langka. Hutannya terjaga dan pengunjung dapat menikmatinya nanti," kata Dubes Amerika Serikat (AS) Cameron R. Hume di sela-sela kunjungannya ke kawasan TNWC dalam rangkaian acara Fastival Krakatau XIX di Lampung, Sabtu (25-7).
Selain Hume, ikut mengunjungi kawasan TNWC antara lain Dubes Lebanon Victor Zmeter, Dubes Jerman Paul Freiherr Von Malzahn, Dubes Turki Ali Kihcarslan Toyus, Dubes Qatar Jasin Jumat, Dubes Suriname Angelic Del Castilho, Dubes Afghanistan Bismillah Bismil, Dubes Brunei Darussalam Datok Harimau Padang, staf perwakilan dari negara Singapura, Taiwan.
Menurut dia, pengunjung lebih banyak belajar mengelola hutan dan hewan secara baik. "Lampung beruntung mempunyai kawasan yang terjaga ini."
Begitu juga Dubes Lebanon Victor Zmeter. "Pendapat Lebanon diperoleh dari kunjungan wisata. Indonesia dapat mencontoh Lebanon bagaimana mengembangan kawasan wisata lebih menarik," kata dia.
Grup Artha Graha dipimpin Tommy Winata tengah mengembangkan kawasan wisata alam (ecotourism) di Tampang Belimbing melalui PT Adhiniaga Kreasinusa dari Artha Graha Network (TW Nature Conservation).
Kepada Lampung Post, bos Artha Graha, Tommy Winata, mengatakan pihaknya masih menjajaki jika kawasan ini akan dijadikan tujuan wisata terbuka untuk umum. "Hutan dan hewan harus dilindungi. Jangan sampai dibuka akan mematikan kehidupan flora dan fauna. Biarkanlah kawasan ini hidup dengan sendirinya," kata Tommy.
Dia mengaku menghabiskan dana miliaran rupiah melakukan konservasi lingkungan di kawasan Tampang Belimbing. Untuk mengelola kawasan tersebut, Tommy menancapkan bendera Artha Graha sejak tahun 1996 yang mengantongi SK Menteri Kehutanan Nomor 415/Kpts-II/1992.
Dalam kawasan itu antara lain hidup ratusan rusa, kerbau hutan, berbagai jenis burung, tempat penglepasliaran (sekolah) harimau.
Kepada Dinas Kehutanan Lampung Arinal Djunaidi mengatakan Artha Graha dipercaya juga oleh Departemen Kehutanan ikut mengawasi lima ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal Aceh Selatan, di Tampang Belimbing, Lampung Barat tersebut. Hewan itu untuk dijinakkan agar tidak buas dan memakan manusia.
Sementara dua dari lima harimau sumatera asal Aceh Selatan diberi nama Pengeran dan Agam dilepas di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kini Artha Graha Peduli masih menjinakkan empat ekor harimau lagi, yakni Buyung, Ucok, Panti, dan satu lagi harimau didatangkan dari Jambi bernama Salma. n IKZ/K-3
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juli 2009
"Kawasan Tambling (Tampang Belimbing, red) sangat indah karena alammnya menyimpan ribuan jenis flora dan satwa liar langka. Hutannya terjaga dan pengunjung dapat menikmatinya nanti," kata Dubes Amerika Serikat (AS) Cameron R. Hume di sela-sela kunjungannya ke kawasan TNWC dalam rangkaian acara Fastival Krakatau XIX di Lampung, Sabtu (25-7).
Selain Hume, ikut mengunjungi kawasan TNWC antara lain Dubes Lebanon Victor Zmeter, Dubes Jerman Paul Freiherr Von Malzahn, Dubes Turki Ali Kihcarslan Toyus, Dubes Qatar Jasin Jumat, Dubes Suriname Angelic Del Castilho, Dubes Afghanistan Bismillah Bismil, Dubes Brunei Darussalam Datok Harimau Padang, staf perwakilan dari negara Singapura, Taiwan.
Menurut dia, pengunjung lebih banyak belajar mengelola hutan dan hewan secara baik. "Lampung beruntung mempunyai kawasan yang terjaga ini."
Begitu juga Dubes Lebanon Victor Zmeter. "Pendapat Lebanon diperoleh dari kunjungan wisata. Indonesia dapat mencontoh Lebanon bagaimana mengembangan kawasan wisata lebih menarik," kata dia.
Grup Artha Graha dipimpin Tommy Winata tengah mengembangkan kawasan wisata alam (ecotourism) di Tampang Belimbing melalui PT Adhiniaga Kreasinusa dari Artha Graha Network (TW Nature Conservation).
Kepada Lampung Post, bos Artha Graha, Tommy Winata, mengatakan pihaknya masih menjajaki jika kawasan ini akan dijadikan tujuan wisata terbuka untuk umum. "Hutan dan hewan harus dilindungi. Jangan sampai dibuka akan mematikan kehidupan flora dan fauna. Biarkanlah kawasan ini hidup dengan sendirinya," kata Tommy.
Dia mengaku menghabiskan dana miliaran rupiah melakukan konservasi lingkungan di kawasan Tampang Belimbing. Untuk mengelola kawasan tersebut, Tommy menancapkan bendera Artha Graha sejak tahun 1996 yang mengantongi SK Menteri Kehutanan Nomor 415/Kpts-II/1992.
Dalam kawasan itu antara lain hidup ratusan rusa, kerbau hutan, berbagai jenis burung, tempat penglepasliaran (sekolah) harimau.
Kepada Dinas Kehutanan Lampung Arinal Djunaidi mengatakan Artha Graha dipercaya juga oleh Departemen Kehutanan ikut mengawasi lima ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal Aceh Selatan, di Tampang Belimbing, Lampung Barat tersebut. Hewan itu untuk dijinakkan agar tidak buas dan memakan manusia.
Sementara dua dari lima harimau sumatera asal Aceh Selatan diberi nama Pengeran dan Agam dilepas di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kini Artha Graha Peduli masih menjinakkan empat ekor harimau lagi, yakni Buyung, Ucok, Panti, dan satu lagi harimau didatangkan dari Jambi bernama Salma. n IKZ/K-3
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juli 2009
15 Dubes Ikuti Festival Krakatau
BAKAUHENI (Lampost): Meski siaga satu terhadap ancaman teror bom, 15 duta besar mengikuti pelaksanaan Festival Krakatau (FK) XIX Provinsi Lampung, kemarin (26-7).
SAKSIKAN PEMOTONGAN TUMPENG. Para duta besar dari beberapa negara sahabat menyaksikan Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra memotong tumpeng dalam rangkaian kegiatan Festival Krakatau (FK) XIX sekaligus memperingati HUT ke-1 Tugu Menara Siger di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, Minggu (26-7). (LAMPUNG POST/AAN KRIDO LAKSONO)
Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra mengatakan peringatan hari jadi pertama tugu Menara Siger yang dikemas dalam rangkaian kegiatan Festival Krakatau XIX diharapkan dapat memperkenalkan tugu Menara Siger kepada wisatawan mancanegara maupun domestik.
Ia mengatakan tugu Menara Siger yang berada di atas bukit tersebut sangat tepat dijadikan objek wisata terkemuka mengingat ikon Lampung itu berada di pintu gerbang Pulau Sumatera. "Untuk itu, patut kita syukuri," kata Jafar pada peringatan hari jadi pertama tugu Menara Siger sekaligus pelaksanaan FK XIX di Pelabuhan Bakauheni, Lamsel, Minggu (26-7).
Sekprov menambahkan kunjungan ke Menara Siger dan tur Krakatau ke Gunung Anak Krakatau ini bertujuan mempromosikan objek wisata pada program Lampung Visit Year 2009. Dia berharap adanya pencapaian target wisatawan berkunjung ke Lampung sebanyak dua juta wisatawan domestik dan asing.
Selain Menara Siger dan kemasyhuran Gunung Anak Krakatau, Lampung juga mempunyai objek wisata di kabupaten kabupaten lain yang tidak kalah menarik. Sebelum mengunjungi Menari Siger, para dubes telah menikmati keelokan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Pemkab Lamsel Erlan Murdiantono mengatakan rombongan tur FK ke Kabupaten Lamsel yang diikuti 15 dubes tersebut disuguhi berbagai kesenian daerah, musik band, dan para layang saat mengunjungi Menara Siger.
Menurut Erlan, untuk mempromosikan objek wisata yang mendunia di wilayah Lamsel, para duta besar dan tamu undangan juga diajak ke Gunung Anak Krakatau dengan menumpang kapal feri. "Ini jelas perjalanan yang sangat menarik bagi para wisatawan," ujarnya.
Dia menambakan untuk menyukseskan Visit Lampung Year 2009, Kabupaten Lamsel juga mengunggulkan Kalianda Resort dan objek wisata di sepanjang Kecamatan Rajabasa, Pulau Sebesi, dan Way Belerang.
Dia menargetkan sebanyak 400 ribu ribu wisatawan domestik dan 4.000 orang di antaranya wisman.
Dia berharap target tersebut bisa tercapai mengingat pada tahun sebelumnya target kunjungan 300 ribu wisatawan bisa terlampaui.
Para dubes antara lain Amerika Serikat, Jerman, Lebanon itu didampingi Sekprov Irham Jafar Lan Putra, Kapolda Lampung Brigjen Pol. Ferial Manaf, dan Komandan Korem 043 Garuda Hitam Kolonel Infanteri Nugroho Widyotomo. Sedangkan dari Lamsel, Sekkab Rusdi Maliki, Kapolres AKBP UMar Dani, dan Dandim Letkol (Inf.) Syarifudin. n AL/D-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juli 2009
SAKSIKAN PEMOTONGAN TUMPENG. Para duta besar dari beberapa negara sahabat menyaksikan Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra memotong tumpeng dalam rangkaian kegiatan Festival Krakatau (FK) XIX sekaligus memperingati HUT ke-1 Tugu Menara Siger di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, Minggu (26-7). (LAMPUNG POST/AAN KRIDO LAKSONO)
Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra mengatakan peringatan hari jadi pertama tugu Menara Siger yang dikemas dalam rangkaian kegiatan Festival Krakatau XIX diharapkan dapat memperkenalkan tugu Menara Siger kepada wisatawan mancanegara maupun domestik.
Ia mengatakan tugu Menara Siger yang berada di atas bukit tersebut sangat tepat dijadikan objek wisata terkemuka mengingat ikon Lampung itu berada di pintu gerbang Pulau Sumatera. "Untuk itu, patut kita syukuri," kata Jafar pada peringatan hari jadi pertama tugu Menara Siger sekaligus pelaksanaan FK XIX di Pelabuhan Bakauheni, Lamsel, Minggu (26-7).
Sekprov menambahkan kunjungan ke Menara Siger dan tur Krakatau ke Gunung Anak Krakatau ini bertujuan mempromosikan objek wisata pada program Lampung Visit Year 2009. Dia berharap adanya pencapaian target wisatawan berkunjung ke Lampung sebanyak dua juta wisatawan domestik dan asing.
Selain Menara Siger dan kemasyhuran Gunung Anak Krakatau, Lampung juga mempunyai objek wisata di kabupaten kabupaten lain yang tidak kalah menarik. Sebelum mengunjungi Menari Siger, para dubes telah menikmati keelokan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Pemkab Lamsel Erlan Murdiantono mengatakan rombongan tur FK ke Kabupaten Lamsel yang diikuti 15 dubes tersebut disuguhi berbagai kesenian daerah, musik band, dan para layang saat mengunjungi Menara Siger.
Menurut Erlan, untuk mempromosikan objek wisata yang mendunia di wilayah Lamsel, para duta besar dan tamu undangan juga diajak ke Gunung Anak Krakatau dengan menumpang kapal feri. "Ini jelas perjalanan yang sangat menarik bagi para wisatawan," ujarnya.
Dia menambakan untuk menyukseskan Visit Lampung Year 2009, Kabupaten Lamsel juga mengunggulkan Kalianda Resort dan objek wisata di sepanjang Kecamatan Rajabasa, Pulau Sebesi, dan Way Belerang.
Dia menargetkan sebanyak 400 ribu ribu wisatawan domestik dan 4.000 orang di antaranya wisman.
Dia berharap target tersebut bisa tercapai mengingat pada tahun sebelumnya target kunjungan 300 ribu wisatawan bisa terlampaui.
Para dubes antara lain Amerika Serikat, Jerman, Lebanon itu didampingi Sekprov Irham Jafar Lan Putra, Kapolda Lampung Brigjen Pol. Ferial Manaf, dan Komandan Korem 043 Garuda Hitam Kolonel Infanteri Nugroho Widyotomo. Sedangkan dari Lamsel, Sekkab Rusdi Maliki, Kapolres AKBP UMar Dani, dan Dandim Letkol (Inf.) Syarifudin. n AL/D-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Juli 2009
July 26, 2009
[Perjalanan] Atraksi Lumba-Lumba di Teluk Kiluan
TELUK Kiluan di antero Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus, Lampung, adalah surga bagi lumba-lumba. Samudera nan luas itu setiap saat menjadi kolam pertunjukan tariannya. Ada atau tidak ada penonton.
Angin yang berembus di permukaan air laut membiru menciptakan gelombang-gelombang kecil ombak beriring. Sapuan semilir itu seolah menjadi hitungan "satu-dua-tiga" bagi belasan lumba-lumba yang bercengkerama di bawahnya.
Seperti mendapat aba-aba, makhluk laut nan cantik itu menggelegak ke udara hingga seluruh tubuhnya telanjang oleh setiap mata yang menatap. Lalu, melengkung di udara, dan kepalanya menghunjam lagi ke air. Seperti mengantre, lumba-lumba itu berganti-ganti beratraksi. Sehingga, dalam jangka bebeapa menit, pemandangan natural tanpa rekayasa itu tersaji tanpa henti.
Untuk menikmati spektakuler dan harmoni lingkungan di bilangan Kabupaten Tanggamus itu, LSM Cikal menghelat acara mancing bersama. Acara itu dinamai Kiluan Fishing Week 2009, 18--19 Juli 2009. Beberapa tim dari berbagai daerah di Tanah Air ikut dalam wisata petualangan itu. Dari yang pemula, peninjau, hingga yang berpengalaman mengadu kemahiran memancing ikan sambil melihat pertunjukan lumba-lumba.
Wartawan Lampung Post Munarsih, yang ikut dalam ekspedisi itu, sempat terasa mabuk laut. Berikut laporannya.
Menyaksikan lumba-lumba melompat dan menari di udara sedikit mengobati rasa mual akibat guncangan ombak dan teriknya sengatan mentari.
Tingkah mamalia laut yang satu ini memang sangat menggemaskan. Sesekali berenang mendekati kapal, tetapi dengan sigap segara berlalu menjauh ketika ada yang ingin mengawetkan ke layar digital kamera.
Semakin lama arus semakin kencang menerjang kapal kecil yang hanya mampu menampung empat penumpang itu. Matahari semakin tak bersahabat menyapa kulit, membuat keindahan itu harus segara diakhiri dan bergegas untuk kembali ke perkemahan di Pulau Kiluan.
Setelah hampir dua jam mengarungi laut mulut Selat Semangka, akhirnya sampai juga rombangan kecil peserta Dolphin Tour di Pulau Kiluan. Sebagian ada yang mengalami mabuk laut akibat kencangnya arus, termasuk saya.
Butuh waktu tiga sampai empat jam perjalanan dari Kota Bandar Lampung untuk sampai di Teluk Kliuan yang memesona. Jalan yang menanjak dan berkelok tidak menyurutkan niat para peserta Kiluan Fishing Week untuk segera sampai dan menikmati keindahan alam yang masih tampak alami itu.
Butuh kesabaran ekstra memang untuk sampai di Kiluan. Selain jauh, jalan yang rusak dan berlubang membuat mobil tidak bisa melaju dengan kencang. Namun, pesona yang ditawarkan alam di sepanjang perjalanan mampu mengobati kebosanan berada di mobil selama berjam-jam.
Bukit yang masih hijau lebat, pantai yang indah dipandang dari atas bukit, sawah yang menghampar hijau menyejukkan mata, keindahan rumah panggung adat Lampung, dan keunikan pura tempat bersembahnyang orang Bali.
Pukul 14.00 rombangan tiba di Pekon Kiluan Negeri, desa terujung yang paling berdekatan dengan Pulau Kiluan. Setelah beristirahat beberapa saat, panitia membuka acara dengan rangkaian tarian adat Lampung. Yakni, untuk menyambut kedatangan kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung, kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung, dan kadis Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanggamus.
Usai acara pembukaan semua peserta dan panitia bersiap menuju ke Pulau Kiluan. Dengan menaiki kapal nelayan yang hanya mampu memuat 15 orang penumpang itu, rombongan menyebrangi Teluk Kiluan. Butuh waktu 20 menit untuk sampai di Pulau Kiluan.
Pemandangan yang luar biasa indahnya sudah terlihat sepanjang perjalanan mengarungi teluk. Gugusan pulau dan batu karang yang diterjang ombak, hamparan pasir putih yang mengelilingi bibir pulau, burung camar yang beterbangan dan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan membuat semangat kembali menggelora setelah lelah berada di mobil. Sesaat setelah tiba di pulau, rombongan disambut dengan nyaringnya pekikan siamang yang saling bersahutan di pulau seberang Kiluan. Setelah meletakkan barang dan bekal bawaan di tenda yang telah disediakan oleh panitia, para peserta memilih untuk relaksasi dengan berjalan mengelilingi pulau atau berenang di Pantai Kiluan yang biru dengan pasirnya yang putih bersih.
Bentangan pasir putih yang mengelilingi hampir seluruh pulau menjadi daya tarik kuat Pulau Kiluan. Pesona yang dipancarkan alam Kiluan membuat siapapun yang mengunjunginya berharap dapat kembali lagi kesana.
Pulau yang hanya memiliki luas sekitar enam hektare ini hanya ditinggali oleh keluarga Pak Dul, terdiri dari 6 orang. Pak Dul, begitu ia biasa disapa, sudah menempati pulau kiluan sejak 15 tahun lalu. Keberadaan keluarga Pak Dul di kiluan tidak mendapat tentangan dari warga Pekon Kiluan Negeri karena dianggap sebagai penunggu yang menjaga kelestarian alam di Pulau Kiluan.
Jelang sore hari, saat mentari tak segarang siang, menikmati sunset adalah saat yang ditunggu-tunggu. Suara deburan ombak yang saling berkejaran, langit jingga yang mempesona menambah indahnya sore di Pulau Kiluan.
Malam harinya, semua peserta dan panitia dimanjakan oleh pentas musik dari band yang sengaja dibawa panitia dari Bandar Lampung. Tak sedikit dari panitia yang ikut memeriahkan dan membentuk band dadakan. Semua jenis musik dimainkan untuk semakin menghangatkan suasana di tengah dinginnya angin di Pantai Kiluan.
Hari kedua di Pulau Kiluan diisi dengan lomba memancing yang diikuti 18 peserta dari berbagai daerah. Potensi bahari Teluk Kiluan memang sangat luar biasa. Selain menyajikan pemandangan yang indah, Teluk Kiluan juga menyimpan potensi perikanan dan terumbu karang yang banyak.
Sayang, minimnya pengetahuan nelayan akan bahaya penggunaan bom untuk menangkap ikan masih kurang. Akibatnya banyak karang yang rusak dan mati oleh bom ikan. Namun berkat kegigihan dari orang-orang di Yayasan Ekowisata Cikal kini aktivitas pengeboman ikan di Teluk Kiluan sudah jauh berkurang.
Jelang pukul tiga sore rombongan peserta lomba memancing datang dengan membawa ikan-ikan besar. Ikan tenggiri, lemadang, dan simba menjadi ikan tangkapan yang berhasil menjuarai lomba.
Tak jauh dari Pulau Kiluan ada satu lagi pantai yang sayang untuk tidak dikunjungi jika berada di Kiluan. Dari Pekon Kiluan Negeri butuh waktu 10 menit perjalanan dengan mengendarai sepeda motor untuk sampai di pantai Pasir Putih. Pantai Pasir Putih memiliki ombak yang lebih besar dibandingkan dengan yang ada di Teluk Kiluan, sangat cocok bagi yang hobi menyelam.
Di sisi pantai sebelah kanan ada deretan bebatuan karang yang menjulang tinggi sebagai pemecah ombak.
Hari terakhir Kiluan Fishing Week ditutup dengan Dolphin tour yang diikuti sekitar 10 peserta. Dua jenis lumba-lumba yang ada di Kiluan yaitu lumba-lumba jenis paruh panjang dan jenis hidung botol menghibur pendatang. M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juli 2009
Angin yang berembus di permukaan air laut membiru menciptakan gelombang-gelombang kecil ombak beriring. Sapuan semilir itu seolah menjadi hitungan "satu-dua-tiga" bagi belasan lumba-lumba yang bercengkerama di bawahnya.
Seperti mendapat aba-aba, makhluk laut nan cantik itu menggelegak ke udara hingga seluruh tubuhnya telanjang oleh setiap mata yang menatap. Lalu, melengkung di udara, dan kepalanya menghunjam lagi ke air. Seperti mengantre, lumba-lumba itu berganti-ganti beratraksi. Sehingga, dalam jangka bebeapa menit, pemandangan natural tanpa rekayasa itu tersaji tanpa henti.
Untuk menikmati spektakuler dan harmoni lingkungan di bilangan Kabupaten Tanggamus itu, LSM Cikal menghelat acara mancing bersama. Acara itu dinamai Kiluan Fishing Week 2009, 18--19 Juli 2009. Beberapa tim dari berbagai daerah di Tanah Air ikut dalam wisata petualangan itu. Dari yang pemula, peninjau, hingga yang berpengalaman mengadu kemahiran memancing ikan sambil melihat pertunjukan lumba-lumba.
Wartawan Lampung Post Munarsih, yang ikut dalam ekspedisi itu, sempat terasa mabuk laut. Berikut laporannya.
Menyaksikan lumba-lumba melompat dan menari di udara sedikit mengobati rasa mual akibat guncangan ombak dan teriknya sengatan mentari.
Tingkah mamalia laut yang satu ini memang sangat menggemaskan. Sesekali berenang mendekati kapal, tetapi dengan sigap segara berlalu menjauh ketika ada yang ingin mengawetkan ke layar digital kamera.
Semakin lama arus semakin kencang menerjang kapal kecil yang hanya mampu menampung empat penumpang itu. Matahari semakin tak bersahabat menyapa kulit, membuat keindahan itu harus segara diakhiri dan bergegas untuk kembali ke perkemahan di Pulau Kiluan.
Setelah hampir dua jam mengarungi laut mulut Selat Semangka, akhirnya sampai juga rombangan kecil peserta Dolphin Tour di Pulau Kiluan. Sebagian ada yang mengalami mabuk laut akibat kencangnya arus, termasuk saya.
Butuh waktu tiga sampai empat jam perjalanan dari Kota Bandar Lampung untuk sampai di Teluk Kliuan yang memesona. Jalan yang menanjak dan berkelok tidak menyurutkan niat para peserta Kiluan Fishing Week untuk segera sampai dan menikmati keindahan alam yang masih tampak alami itu.
Butuh kesabaran ekstra memang untuk sampai di Kiluan. Selain jauh, jalan yang rusak dan berlubang membuat mobil tidak bisa melaju dengan kencang. Namun, pesona yang ditawarkan alam di sepanjang perjalanan mampu mengobati kebosanan berada di mobil selama berjam-jam.
Bukit yang masih hijau lebat, pantai yang indah dipandang dari atas bukit, sawah yang menghampar hijau menyejukkan mata, keindahan rumah panggung adat Lampung, dan keunikan pura tempat bersembahnyang orang Bali.
Pukul 14.00 rombangan tiba di Pekon Kiluan Negeri, desa terujung yang paling berdekatan dengan Pulau Kiluan. Setelah beristirahat beberapa saat, panitia membuka acara dengan rangkaian tarian adat Lampung. Yakni, untuk menyambut kedatangan kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung, kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung, dan kadis Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanggamus.
Usai acara pembukaan semua peserta dan panitia bersiap menuju ke Pulau Kiluan. Dengan menaiki kapal nelayan yang hanya mampu memuat 15 orang penumpang itu, rombongan menyebrangi Teluk Kiluan. Butuh waktu 20 menit untuk sampai di Pulau Kiluan.
Pemandangan yang luar biasa indahnya sudah terlihat sepanjang perjalanan mengarungi teluk. Gugusan pulau dan batu karang yang diterjang ombak, hamparan pasir putih yang mengelilingi bibir pulau, burung camar yang beterbangan dan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan membuat semangat kembali menggelora setelah lelah berada di mobil. Sesaat setelah tiba di pulau, rombongan disambut dengan nyaringnya pekikan siamang yang saling bersahutan di pulau seberang Kiluan. Setelah meletakkan barang dan bekal bawaan di tenda yang telah disediakan oleh panitia, para peserta memilih untuk relaksasi dengan berjalan mengelilingi pulau atau berenang di Pantai Kiluan yang biru dengan pasirnya yang putih bersih.
Bentangan pasir putih yang mengelilingi hampir seluruh pulau menjadi daya tarik kuat Pulau Kiluan. Pesona yang dipancarkan alam Kiluan membuat siapapun yang mengunjunginya berharap dapat kembali lagi kesana.
Pulau yang hanya memiliki luas sekitar enam hektare ini hanya ditinggali oleh keluarga Pak Dul, terdiri dari 6 orang. Pak Dul, begitu ia biasa disapa, sudah menempati pulau kiluan sejak 15 tahun lalu. Keberadaan keluarga Pak Dul di kiluan tidak mendapat tentangan dari warga Pekon Kiluan Negeri karena dianggap sebagai penunggu yang menjaga kelestarian alam di Pulau Kiluan.
Jelang sore hari, saat mentari tak segarang siang, menikmati sunset adalah saat yang ditunggu-tunggu. Suara deburan ombak yang saling berkejaran, langit jingga yang mempesona menambah indahnya sore di Pulau Kiluan.
Malam harinya, semua peserta dan panitia dimanjakan oleh pentas musik dari band yang sengaja dibawa panitia dari Bandar Lampung. Tak sedikit dari panitia yang ikut memeriahkan dan membentuk band dadakan. Semua jenis musik dimainkan untuk semakin menghangatkan suasana di tengah dinginnya angin di Pantai Kiluan.
Hari kedua di Pulau Kiluan diisi dengan lomba memancing yang diikuti 18 peserta dari berbagai daerah. Potensi bahari Teluk Kiluan memang sangat luar biasa. Selain menyajikan pemandangan yang indah, Teluk Kiluan juga menyimpan potensi perikanan dan terumbu karang yang banyak.
Sayang, minimnya pengetahuan nelayan akan bahaya penggunaan bom untuk menangkap ikan masih kurang. Akibatnya banyak karang yang rusak dan mati oleh bom ikan. Namun berkat kegigihan dari orang-orang di Yayasan Ekowisata Cikal kini aktivitas pengeboman ikan di Teluk Kiluan sudah jauh berkurang.
Jelang pukul tiga sore rombongan peserta lomba memancing datang dengan membawa ikan-ikan besar. Ikan tenggiri, lemadang, dan simba menjadi ikan tangkapan yang berhasil menjuarai lomba.
Tak jauh dari Pulau Kiluan ada satu lagi pantai yang sayang untuk tidak dikunjungi jika berada di Kiluan. Dari Pekon Kiluan Negeri butuh waktu 10 menit perjalanan dengan mengendarai sepeda motor untuk sampai di pantai Pasir Putih. Pantai Pasir Putih memiliki ombak yang lebih besar dibandingkan dengan yang ada di Teluk Kiluan, sangat cocok bagi yang hobi menyelam.
Di sisi pantai sebelah kanan ada deretan bebatuan karang yang menjulang tinggi sebagai pemecah ombak.
Hari terakhir Kiluan Fishing Week ditutup dengan Dolphin tour yang diikuti sekitar 10 peserta. Dua jenis lumba-lumba yang ada di Kiluan yaitu lumba-lumba jenis paruh panjang dan jenis hidung botol menghibur pendatang. M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juli 2009
Festival Krakatau: Bom Kuningan Tidak Pengaruhi Wisatawan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Peristiwa bom bunuh diri di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, tidak berpengaruh pada kunjungan wisawatan di Lampung.
FESTIVAL KRAKATAU. Beragam tarian dan parade budaya memeriahkan acara pembukaan Festival Krakatau XIX di halaman Gedung Sumpah Pemuda PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (25-7). Aneka pertunjukan kesenian dan budaya itu disajikan 14 kabupaten/kota se-Lampung.(LAMPUNG POST/MG4)
Ketua Pelaksana Festival Krakatau XIX M. Natsir Ari mengatakan tidak ada eksodus wisatawan mancanegara di sejumlah objek wisata di Lampung. "Saya sudah cek tempat wisata di Kiluan dan Tanjung Setia. Mereka masih tetap nyaman berada di sana," kata Natsir pada pembukaan FK XIX di halaman Gedung Sumpah Pemuda PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (25-7).
Sebab itu, Natsir optimistis target kunjungan pada program Lampung Visit Year 2009 untuk menarik dua juta wisatawan domestik dan asing akan tercapai. "Bila target itu tidak tercapai, ada target waspada yang harus dicapai, yaitu 1,5 juta wisawatan," kata Asisten II Setprov Lampung itu.
Dalam sambutannya, Gubernur Sjachroedin Z.P. mengatakan FK merupakan ajang promosi pariwisata dan menjadi salah satu kegiatan menyukseskan tahun kunjungan wisata Lampung 2009. Lampung, kata Gubernur, memiliki Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kerusakan TNBBS telah mencapai 40 persen. "Para duta besar akan diajak untuk melihat kondisi TNBBS agar mereka mau membantu pemeliharaannya," kata dia.
Pembukaan Festival Krakatau XIX dihadiri para duta besar dari 15 negara sahabat, seperti Amerika Serikat, Jerman, Lebanon, Suriname, Afganistan, Turki, Singapura, Bosnia, Palestina, Polandia, Qatar, Brunai, Yunani, dan Slovakia. Tampak hadir mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie.
Penyambutan para duta besar diwakili dengan penyematan bunga kepada Duta Besar Amerika Serikat Cameron R. Hume. Penyematan kalung bunga dilakukan oleh gajah. Cameron mengungkapkan bahwa kini bukan lagi membicarakan aman atau tidaknya sebuah daerah. Kita harus bekerja sama untuk menjaga keamanan. "Di Festival Krakatau ini saya merasa aman," kata dia.
Perwakilan kedutaan besar juga diajak menari Lampung dan mencicipi makanan khas Lampung. Usai pembukaan FK, para duta besar dan wakil duta besar langsung mengunjung TNBBS.
Pembukaan FK ditandai penampilan beragam tarian dan parade budaya dari 14 kabupaten/kota se-Lampung. Tiga kabupaten yang baru dimekarkan, Mesuji, Pringsewu, dan Tulangbawang Barat, juga menampilkan tarian. Kabupaten Pringsewu menampilkan wisata ziarah makam K.H. Golib yang sudah menjadi objek wisata.
Pembukaan FK juga dimeriahkan penampilan dari Gita Praja Saburai Marching Band. Penampilan lain yang turut meramaikan pembukaan adalah parade adat dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dan tari Garuda Ayodyatama dari Yogyakarta. n MG2/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juli 2009
FESTIVAL KRAKATAU. Beragam tarian dan parade budaya memeriahkan acara pembukaan Festival Krakatau XIX di halaman Gedung Sumpah Pemuda PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (25-7). Aneka pertunjukan kesenian dan budaya itu disajikan 14 kabupaten/kota se-Lampung.(LAMPUNG POST/MG4)
Ketua Pelaksana Festival Krakatau XIX M. Natsir Ari mengatakan tidak ada eksodus wisatawan mancanegara di sejumlah objek wisata di Lampung. "Saya sudah cek tempat wisata di Kiluan dan Tanjung Setia. Mereka masih tetap nyaman berada di sana," kata Natsir pada pembukaan FK XIX di halaman Gedung Sumpah Pemuda PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (25-7).
Sebab itu, Natsir optimistis target kunjungan pada program Lampung Visit Year 2009 untuk menarik dua juta wisatawan domestik dan asing akan tercapai. "Bila target itu tidak tercapai, ada target waspada yang harus dicapai, yaitu 1,5 juta wisawatan," kata Asisten II Setprov Lampung itu.
Dalam sambutannya, Gubernur Sjachroedin Z.P. mengatakan FK merupakan ajang promosi pariwisata dan menjadi salah satu kegiatan menyukseskan tahun kunjungan wisata Lampung 2009. Lampung, kata Gubernur, memiliki Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kerusakan TNBBS telah mencapai 40 persen. "Para duta besar akan diajak untuk melihat kondisi TNBBS agar mereka mau membantu pemeliharaannya," kata dia.
Pembukaan Festival Krakatau XIX dihadiri para duta besar dari 15 negara sahabat, seperti Amerika Serikat, Jerman, Lebanon, Suriname, Afganistan, Turki, Singapura, Bosnia, Palestina, Polandia, Qatar, Brunai, Yunani, dan Slovakia. Tampak hadir mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie.
Penyambutan para duta besar diwakili dengan penyematan bunga kepada Duta Besar Amerika Serikat Cameron R. Hume. Penyematan kalung bunga dilakukan oleh gajah. Cameron mengungkapkan bahwa kini bukan lagi membicarakan aman atau tidaknya sebuah daerah. Kita harus bekerja sama untuk menjaga keamanan. "Di Festival Krakatau ini saya merasa aman," kata dia.
Perwakilan kedutaan besar juga diajak menari Lampung dan mencicipi makanan khas Lampung. Usai pembukaan FK, para duta besar dan wakil duta besar langsung mengunjung TNBBS.
Pembukaan FK ditandai penampilan beragam tarian dan parade budaya dari 14 kabupaten/kota se-Lampung. Tiga kabupaten yang baru dimekarkan, Mesuji, Pringsewu, dan Tulangbawang Barat, juga menampilkan tarian. Kabupaten Pringsewu menampilkan wisata ziarah makam K.H. Golib yang sudah menjadi objek wisata.
Pembukaan FK juga dimeriahkan penampilan dari Gita Praja Saburai Marching Band. Penampilan lain yang turut meramaikan pembukaan adalah parade adat dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dan tari Garuda Ayodyatama dari Yogyakarta. n MG2/U-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juli 2009
July 24, 2009
Buku: Eddy Sutrisno Luncurkan Biografi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno meluncurkan buku biografi di Hotel Nusantara, Jumat (24-7). Buku tersebut berisi perjalanan Eddy Sutrisno mulai dari kuli karung menuju kursi wali kota. Buku setebal 165 halaman tersebut ditulis oleh wartawan Yon Bayu Wahyono, dengan judul Dari Kuli Karung ke Kursi Wali Kota.
Peluncuran buku diisi dengan diskusi, dihadiri tiga pembicara, Bambang Eka Wijaya (Pemimpin Umum Lampung Post), Suwondo (Dosen FISIP Unila), dan Arif Makhya (tokoh agama).
Bambang Eka Wijaya menilai buku biografi Eddy Sutrisno ditulis secara kronologis. Buku tersebut berisi nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kerja keras.
Bambang menyarankan agar buku tersebut bisa direvisi untuk lebih menekankan aspek nilai. Nilai-nilai kurang dieksplorasi.
Sementara Suwondo menilai buku biografi Eddy Sutrisno sebagai sebuah cerita pribadi. Ia kenal Eddy saat awal duduk di bangku kuliah di Unila. Eddy adalah sosok yang menghargai prinsip.
Dalam acara peluncuran buku itu, ada nuansa dukung mendukung Eddy atas pencalonan pada Pemilihan Wali Kota 2010 dan diselingi canda tawa atas perjalanan hidup Eddy selama lebih dari 50 tahun. Peluncuran buku ditandai penyerahan buku ke forum camat dan forum lurah Bandar Lampung.
Dalam sambutannya Eddy mengaku dirinya kerap dicap sebagai wali kota gila taman atau wagiman, menyaingi mantan Wali Kota Nurdin Muhayat.
Bahkan ada yang memberi predikat sebagai wali kota gila tanah atau (waginah). Julukan tersebut diberikan kepadanya karena ia membeli tanah warga untuk didirikan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Kini rusunawa sudah berdiri dan dihuni oleh warga pesisir. "Penamaan tersebut diberikan oleh para wartawan," kata dia.
Cap lain, kata Eddy, yang diberikan kepadanya adalah wali kota gila olahraga. Cap itu diberikan karena ia suka sekali dengan olahraga. "Lama-lama nanti saya dicap wagiran (wali kota gila beneran)," kata Eddy sambil tertawa.
"Tidak apa-apa, wali kotanya gila beneran asalkan untuk kebaikan semua masyarakat."
Eddy hampir menangis saat menceritakan ayahnya. Suaranya sedikit bergetar. Ia terdiam beberapa saat untuk menceritakan sikap ayahnya yang menolak keputusan Eddy untuk mundur dari PNS. Ia memilih kuliah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS. Ayahnya sangat keras menolak keputusan itu. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Juli 2009
Peluncuran buku diisi dengan diskusi, dihadiri tiga pembicara, Bambang Eka Wijaya (Pemimpin Umum Lampung Post), Suwondo (Dosen FISIP Unila), dan Arif Makhya (tokoh agama).
Bambang Eka Wijaya menilai buku biografi Eddy Sutrisno ditulis secara kronologis. Buku tersebut berisi nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kerja keras.
Bambang menyarankan agar buku tersebut bisa direvisi untuk lebih menekankan aspek nilai. Nilai-nilai kurang dieksplorasi.
Sementara Suwondo menilai buku biografi Eddy Sutrisno sebagai sebuah cerita pribadi. Ia kenal Eddy saat awal duduk di bangku kuliah di Unila. Eddy adalah sosok yang menghargai prinsip.
Dalam acara peluncuran buku itu, ada nuansa dukung mendukung Eddy atas pencalonan pada Pemilihan Wali Kota 2010 dan diselingi canda tawa atas perjalanan hidup Eddy selama lebih dari 50 tahun. Peluncuran buku ditandai penyerahan buku ke forum camat dan forum lurah Bandar Lampung.
Dalam sambutannya Eddy mengaku dirinya kerap dicap sebagai wali kota gila taman atau wagiman, menyaingi mantan Wali Kota Nurdin Muhayat.
Bahkan ada yang memberi predikat sebagai wali kota gila tanah atau (waginah). Julukan tersebut diberikan kepadanya karena ia membeli tanah warga untuk didirikan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Kini rusunawa sudah berdiri dan dihuni oleh warga pesisir. "Penamaan tersebut diberikan oleh para wartawan," kata dia.
Cap lain, kata Eddy, yang diberikan kepadanya adalah wali kota gila olahraga. Cap itu diberikan karena ia suka sekali dengan olahraga. "Lama-lama nanti saya dicap wagiran (wali kota gila beneran)," kata Eddy sambil tertawa.
"Tidak apa-apa, wali kotanya gila beneran asalkan untuk kebaikan semua masyarakat."
Eddy hampir menangis saat menceritakan ayahnya. Suaranya sedikit bergetar. Ia terdiam beberapa saat untuk menceritakan sikap ayahnya yang menolak keputusan Eddy untuk mundur dari PNS. Ia memilih kuliah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS. Ayahnya sangat keras menolak keputusan itu. n MG2/K-1
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Juli 2009
July 23, 2009
Kesenian: Lambar Rebut Juara Tari Nasional
LIWA (Lampost/Ant): Tari Keni Kegurau yang ditampilkan Lampung Barat pada Festival Candi Borobudur di Yogyakarta belum lama ini meraih juara pertama untuk kategori tari kreasi.
"Alhamdulilah, Lampung Barat kembali memperoleh juara pertama dalam lomba tari tingkat nasional di Yogyakarta beberapa hari lalu," kata Kepala Dinas Pendidikan Lambar, Nukman M.S., di Liwa, Rabu (22-7).
Tari kreasi yang disuguhkan menceritakan tentang sejarah terbentuknya Muli Batin. "Tari itu hasil kreasi Sanggar Seni Bulan Bakha di bawah naungan Dinas Pendidikan Lambar. "Kami akan terus memberikan perhatian dan pembinaan berupa pemberian bantuan fasilitas, serta menampilkan siswa yang berbakat di bidang tari ke tingkat nasional," kata dia.
Dia mengatakan dari berbagai prestasi yang didapatkan tidak terlepas dari dukungan Pemkab Lambar. Sebelumnya Lampung Barat juga mendapatkan juara I dalam ajang yang sama mewakili Provinsi Lampung di tingkat nasional. Lambar kembali meraih prestasi yang sama di tingkat nasional yang memperebutkan penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Persiapan yang dilakukan guna mengikuti festival itu cukup lama. Hampir satu bulan para penari yang diambil dari tiga sekolah, yakni SMAN 1 Liwa, SMAN 1 Krui dan SMAN 1 Way Tenong, dilatih intensif.
"Saya cukup simpatik sekali terhadap para siswa yang dikirim bersemangat untuk ikut ajang ini, ternyata dari perjuangan siswa dan pembinaan dilakukan memberikan hasil yang memuaskan yang dapat membanggakan Lampung Barat di tingkat nasional," kata dia.
Dia menambahkan Dinas Pendidikan akan tetap membina siswa yang berprestasi dengan memberikan beasiswa pendidikan. "Beasiswa yang diadakan tentu akan merangsang siswa lebih mengembangkan potensi diri," kata dia.
Sementara para siswa yang menjadi penari tari Keni Begurai itu menyatakan kebanggaannya bisa mewakili daerah ke festival tingkat nasional serta meraih juara pertama.
"Meski meraih juara pertama, kami akan tetap belajar terus untuk meraih prestasi," kata Wahyuni, siswi SMAN 1 Krui, yang menjadi salah satu personel tari Keni Begurau itu. ANT/U-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009
"Alhamdulilah, Lampung Barat kembali memperoleh juara pertama dalam lomba tari tingkat nasional di Yogyakarta beberapa hari lalu," kata Kepala Dinas Pendidikan Lambar, Nukman M.S., di Liwa, Rabu (22-7).
Tari kreasi yang disuguhkan menceritakan tentang sejarah terbentuknya Muli Batin. "Tari itu hasil kreasi Sanggar Seni Bulan Bakha di bawah naungan Dinas Pendidikan Lambar. "Kami akan terus memberikan perhatian dan pembinaan berupa pemberian bantuan fasilitas, serta menampilkan siswa yang berbakat di bidang tari ke tingkat nasional," kata dia.
Dia mengatakan dari berbagai prestasi yang didapatkan tidak terlepas dari dukungan Pemkab Lambar. Sebelumnya Lampung Barat juga mendapatkan juara I dalam ajang yang sama mewakili Provinsi Lampung di tingkat nasional. Lambar kembali meraih prestasi yang sama di tingkat nasional yang memperebutkan penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Persiapan yang dilakukan guna mengikuti festival itu cukup lama. Hampir satu bulan para penari yang diambil dari tiga sekolah, yakni SMAN 1 Liwa, SMAN 1 Krui dan SMAN 1 Way Tenong, dilatih intensif.
"Saya cukup simpatik sekali terhadap para siswa yang dikirim bersemangat untuk ikut ajang ini, ternyata dari perjuangan siswa dan pembinaan dilakukan memberikan hasil yang memuaskan yang dapat membanggakan Lampung Barat di tingkat nasional," kata dia.
Dia menambahkan Dinas Pendidikan akan tetap membina siswa yang berprestasi dengan memberikan beasiswa pendidikan. "Beasiswa yang diadakan tentu akan merangsang siswa lebih mengembangkan potensi diri," kata dia.
Sementara para siswa yang menjadi penari tari Keni Begurai itu menyatakan kebanggaannya bisa mewakili daerah ke festival tingkat nasional serta meraih juara pertama.
"Meski meraih juara pertama, kami akan tetap belajar terus untuk meraih prestasi," kata Wahyuni, siswi SMAN 1 Krui, yang menjadi salah satu personel tari Keni Begurau itu. ANT/U-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009
Lampung, Menuju Ekonomi Kreatif
Oleh Arif Febriyanto
ADA yang perlu disikapi dari kabar bahwa tapis tembus pasar luar negeri (Lampung Post, 25 Juni 2009). Nigeria menjadi salah satu Negara yang siap menerima tapis Lampung sebagai komoditas tekstil untuk dipakai sesuai gaya berbusana masyarakat negara tersebut. Hal ini perlu diwaspadai. Bukan apa-apa, terbetik kabar hak paten sulaman usus Lampung ternyata dimiliki Sumatera Utara (Lampung Post, 25 Januari 2005).
Kabar tapis telah tembus pasar luar negeri rasanya harus disikapi dengan skeptis. Bukan karena antiluar negeri. Sebab, tak bisa dimungkiri keadaan tersebut (tapis tembus pasar luar negeri) pun dapat membawa dampak yang positif bagi kemajuan produk budaya Lampung itu sendiri. Dan secara ekonomi hal tersebut sangatlah menguntungkan.
Berpikir skeptis di sini dimaksudkan agar kejadian serupa (hak paten sulaman usus Lampung dimiliki Sumatera Utara) tidak terulang. Bagaimana caranya?
Dosen Fakultas Hukum Unila Wahyu Sasongko mengatakan bahwa perlu ada perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap tapis dan sulam usus Lampung tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hak kekayaan intelektual yang dapat dikenakan terhadap kain tapis dan sulam usus di antaranya paten, desain industri, hak cipta, dan merek.
Namun jika melihat persyaratan kumulatif yang harus dimiliki suatu produk untuk mendapatkan paten, sangatlah sulit. Karena harus memenuhi unsur-unsur yaitu (1) ada kebaruan teknologi (novelty), (2) mengandung langkah inventif (inventive step), dan (3) dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).
Hal yang memungkinkan lainnya, menurut Wahyu Sasongko, adalah dengan mendaftarkannya menjadi hak cipta, desain industri, dan indikasi geografis. Kenapa Hak Cipta? Karena kain tapis dan sulam usus mengandung karya seni (artistic work) yang memiliki keindahan (estetika) pada corak dan ragam hiasnya yang atas inspirasi pencipta (the creator) melahirkan suatu karya berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk khas dan bersifat pribadi.
Dalam hal ini kain tapis dan sulam usus termasuk karya seni asli (indigenous art) dan warisan budaya (cultural heritage) dilindungi hukum.
Atau desain industri, karena kain tapis dan sulam usus berbentuk dua dimensi (two-dimensional artistic work) yang menurut UU desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna. Atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan yang dibuat secara massal (mass production).
Kain tapis dan sulam usus juga dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis (geographical indication) atau indikasi asal (indication of origin) yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.
Dulu Wahyu Sasongko menyayangkan pranata hukum dari indikasi geografis dan indikasi asal belum memiliki peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksananya. Namun, hal itu kini telah terjawab dengan adanya PP No. 51/2007. PP yang belum lama ditetapkan, yaitu pada 4 September 2007 yang lalu ini disusun untuk mengatur secara menyeluruh ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek mengenai Indikasi Geografis.
Dalam PP ini, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi geografis ini mempunyai lingkup berupa barang hasil pertanian, produk olahan, dan hasil kerajinan tangan.
Kain tapis dan sulam usus merupakan kerajinan tangan, sehingga termasuk juga dalam lingkup indikasi geografis yang jika didaftarkan dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi pemberian perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Jadi, setelah didaftarkan hingga karakteristik khas dan kualitas masih ada, tidak ada seorang pun yang dapat menggunakan hak indikasi geografis ini.
Apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi geografis, kain tapis dan sulam usus telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan indikasi geografis, pihak lain tersebut dapat menggunakan tanda dimaksud untuk jangka waktu dua tahun sejak didaftarkan sebagai indikasi geografis. Dengan syarat, pihak lain tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian tanda dimaksud tidak akan menyesatkan indikasi geografis terdaftar.
Di sinilah peran Pemda Lampung untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi semua kekayaan intelektual dan warisan budaya Lampung, termasuk kain tapis dan sulam usus apa saja yang dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis. Setelah itu, pihak Pemda juga jangan melupakan pendaftaran untuk semua bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti paten, hak cipta, desain industri, dan merek (indikasi geografis), agar tidak ada lagi celah bagi pihak luar untuk memanfaatkan dan mengakuinya sebagai produk buatannya. Seperti sulam usus yang katanya telah dipatenkan oleh Sumatera Utara.
Lampung masih mempunyai kesempatan untuk memiliki HKI dari sulam usus. Caranya dengan mendaftarkan sulam usus untuk bidang HKI lainnya, seperti indikasi geografis.
Upaya tersebut memang memerlukan prosedur dan biaya-biaya tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Berkenaan dengan hal itu Pemda Lampung dapat membantu mengalokasikan anggaran daerahnya. Hal ini sebagai wujud perhatian pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan usaha di daerah. Secara teknis, pemerintah dapat memfasilitasi setiap usaha yang bertujuan mengembangkan produk lokal khazanah kebudayaan bangsa, seperti usaha kecil menengah (UKM) dengan menyediakan bahan baku produk. Untuk kemudian diproduksi dan dipasarkan secara bersama-sama, juga dalam hal pembiayaan dan manajemen perusahaan.
Pemda juga harus bertanggung jawab mendorong minat masyarakat dalam negeri untuk mengonsumsi produk lokal kebudayaan bangsa sendiri. Daripada menggunakan jas buatan luar negeri, lebih baik menggunakan jas bermotif tapis. Implementasinya memang tak mudah, tetapi sebagai langkah awal pemda lampung dapat memanfaatkan hukum sebagai daya paksa.
Contohnya dengan pembuatan peraturan daerah (perda) tentang penggunaan hasil kerajinan tangan daerah Lampung. Hal ini akan menguntungkan bukan hanya bagi pelaku usaha tapis dan sulam usus, melainkan Pemda Lampung dan juga masyarakatnya pun ikut diuntungkan. Setidaknya agar karya intelektual dan produk warisan budaya Lampung tidak bersinar di negeri orang, namun padam di negeri sendiri.
Peran pemda di sini cukuplah besar, karena daerahlah yang mengerti kondisi budaya masing-masing untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak terlepas juga kerja sama dengan UKM sebagai industri ekonomi kreatif yang paling menyentuh masyarakat kebanyakan, dan kaum intelektual yang mencoba memberikan analisis terhadap suatu kejadian.
Hal ini sinergi dengan konsep Indonesia kreatif yang sedang didengung-dengungkan pemerintah di tahun 2009 ini. Di mana inti konsep tersebut adalah sinergi antara pemerintah, kaum usaha, dan kaum intelektual yang menyangkut pengembangan ekonomi kreatif.
Kain tapis dan sulam usus sebagai kerajinan yang merupakan kekayaan intelektual dan produk lokal khazanah bangsa termasuk dalam 14 subsektor industri ekonomi kreatif tersebut selain periklanan, arsitektur, pasar seni, dan barang antik, desain, fashion, video/film/animasi/fotografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, perangkat lunak, televisi/radio (broadcasting) serta riset dan pengembangan. Sehingga saat memungkinkan untuk terus dikembangakan sebagai pilar penopang perekonomian daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.
Dengan demikian, produk budaya Lampung dapat terus dilestarikan dan selalu memunculkan inovasi-inovasi baru untuk Lampung Tapis Berseri dan Indonesia selalu jaya.
* Arif Febriyanto, Mahasiswa Fakultas Hukum, Pemimpin Redaksi UKPM 'Teknokra' Unila
Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009
ADA yang perlu disikapi dari kabar bahwa tapis tembus pasar luar negeri (Lampung Post, 25 Juni 2009). Nigeria menjadi salah satu Negara yang siap menerima tapis Lampung sebagai komoditas tekstil untuk dipakai sesuai gaya berbusana masyarakat negara tersebut. Hal ini perlu diwaspadai. Bukan apa-apa, terbetik kabar hak paten sulaman usus Lampung ternyata dimiliki Sumatera Utara (Lampung Post, 25 Januari 2005).
Kabar tapis telah tembus pasar luar negeri rasanya harus disikapi dengan skeptis. Bukan karena antiluar negeri. Sebab, tak bisa dimungkiri keadaan tersebut (tapis tembus pasar luar negeri) pun dapat membawa dampak yang positif bagi kemajuan produk budaya Lampung itu sendiri. Dan secara ekonomi hal tersebut sangatlah menguntungkan.
Berpikir skeptis di sini dimaksudkan agar kejadian serupa (hak paten sulaman usus Lampung dimiliki Sumatera Utara) tidak terulang. Bagaimana caranya?
Dosen Fakultas Hukum Unila Wahyu Sasongko mengatakan bahwa perlu ada perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap tapis dan sulam usus Lampung tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hak kekayaan intelektual yang dapat dikenakan terhadap kain tapis dan sulam usus di antaranya paten, desain industri, hak cipta, dan merek.
Namun jika melihat persyaratan kumulatif yang harus dimiliki suatu produk untuk mendapatkan paten, sangatlah sulit. Karena harus memenuhi unsur-unsur yaitu (1) ada kebaruan teknologi (novelty), (2) mengandung langkah inventif (inventive step), dan (3) dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).
Hal yang memungkinkan lainnya, menurut Wahyu Sasongko, adalah dengan mendaftarkannya menjadi hak cipta, desain industri, dan indikasi geografis. Kenapa Hak Cipta? Karena kain tapis dan sulam usus mengandung karya seni (artistic work) yang memiliki keindahan (estetika) pada corak dan ragam hiasnya yang atas inspirasi pencipta (the creator) melahirkan suatu karya berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk khas dan bersifat pribadi.
Dalam hal ini kain tapis dan sulam usus termasuk karya seni asli (indigenous art) dan warisan budaya (cultural heritage) dilindungi hukum.
Atau desain industri, karena kain tapis dan sulam usus berbentuk dua dimensi (two-dimensional artistic work) yang menurut UU desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna. Atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan yang dibuat secara massal (mass production).
Kain tapis dan sulam usus juga dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis (geographical indication) atau indikasi asal (indication of origin) yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.
Dulu Wahyu Sasongko menyayangkan pranata hukum dari indikasi geografis dan indikasi asal belum memiliki peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksananya. Namun, hal itu kini telah terjawab dengan adanya PP No. 51/2007. PP yang belum lama ditetapkan, yaitu pada 4 September 2007 yang lalu ini disusun untuk mengatur secara menyeluruh ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek mengenai Indikasi Geografis.
Dalam PP ini, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi geografis ini mempunyai lingkup berupa barang hasil pertanian, produk olahan, dan hasil kerajinan tangan.
Kain tapis dan sulam usus merupakan kerajinan tangan, sehingga termasuk juga dalam lingkup indikasi geografis yang jika didaftarkan dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi pemberian perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Jadi, setelah didaftarkan hingga karakteristik khas dan kualitas masih ada, tidak ada seorang pun yang dapat menggunakan hak indikasi geografis ini.
Apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi geografis, kain tapis dan sulam usus telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan indikasi geografis, pihak lain tersebut dapat menggunakan tanda dimaksud untuk jangka waktu dua tahun sejak didaftarkan sebagai indikasi geografis. Dengan syarat, pihak lain tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian tanda dimaksud tidak akan menyesatkan indikasi geografis terdaftar.
Di sinilah peran Pemda Lampung untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi semua kekayaan intelektual dan warisan budaya Lampung, termasuk kain tapis dan sulam usus apa saja yang dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis. Setelah itu, pihak Pemda juga jangan melupakan pendaftaran untuk semua bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti paten, hak cipta, desain industri, dan merek (indikasi geografis), agar tidak ada lagi celah bagi pihak luar untuk memanfaatkan dan mengakuinya sebagai produk buatannya. Seperti sulam usus yang katanya telah dipatenkan oleh Sumatera Utara.
Lampung masih mempunyai kesempatan untuk memiliki HKI dari sulam usus. Caranya dengan mendaftarkan sulam usus untuk bidang HKI lainnya, seperti indikasi geografis.
Upaya tersebut memang memerlukan prosedur dan biaya-biaya tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Berkenaan dengan hal itu Pemda Lampung dapat membantu mengalokasikan anggaran daerahnya. Hal ini sebagai wujud perhatian pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan usaha di daerah. Secara teknis, pemerintah dapat memfasilitasi setiap usaha yang bertujuan mengembangkan produk lokal khazanah kebudayaan bangsa, seperti usaha kecil menengah (UKM) dengan menyediakan bahan baku produk. Untuk kemudian diproduksi dan dipasarkan secara bersama-sama, juga dalam hal pembiayaan dan manajemen perusahaan.
Pemda juga harus bertanggung jawab mendorong minat masyarakat dalam negeri untuk mengonsumsi produk lokal kebudayaan bangsa sendiri. Daripada menggunakan jas buatan luar negeri, lebih baik menggunakan jas bermotif tapis. Implementasinya memang tak mudah, tetapi sebagai langkah awal pemda lampung dapat memanfaatkan hukum sebagai daya paksa.
Contohnya dengan pembuatan peraturan daerah (perda) tentang penggunaan hasil kerajinan tangan daerah Lampung. Hal ini akan menguntungkan bukan hanya bagi pelaku usaha tapis dan sulam usus, melainkan Pemda Lampung dan juga masyarakatnya pun ikut diuntungkan. Setidaknya agar karya intelektual dan produk warisan budaya Lampung tidak bersinar di negeri orang, namun padam di negeri sendiri.
Peran pemda di sini cukuplah besar, karena daerahlah yang mengerti kondisi budaya masing-masing untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak terlepas juga kerja sama dengan UKM sebagai industri ekonomi kreatif yang paling menyentuh masyarakat kebanyakan, dan kaum intelektual yang mencoba memberikan analisis terhadap suatu kejadian.
Hal ini sinergi dengan konsep Indonesia kreatif yang sedang didengung-dengungkan pemerintah di tahun 2009 ini. Di mana inti konsep tersebut adalah sinergi antara pemerintah, kaum usaha, dan kaum intelektual yang menyangkut pengembangan ekonomi kreatif.
Kain tapis dan sulam usus sebagai kerajinan yang merupakan kekayaan intelektual dan produk lokal khazanah bangsa termasuk dalam 14 subsektor industri ekonomi kreatif tersebut selain periklanan, arsitektur, pasar seni, dan barang antik, desain, fashion, video/film/animasi/fotografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, perangkat lunak, televisi/radio (broadcasting) serta riset dan pengembangan. Sehingga saat memungkinkan untuk terus dikembangakan sebagai pilar penopang perekonomian daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.
Dengan demikian, produk budaya Lampung dapat terus dilestarikan dan selalu memunculkan inovasi-inovasi baru untuk Lampung Tapis Berseri dan Indonesia selalu jaya.
* Arif Febriyanto, Mahasiswa Fakultas Hukum, Pemimpin Redaksi UKPM 'Teknokra' Unila
Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009
Pariwisata: Wisatawan Berlibur di Pesisir Krui
KRUI (Lampost): Puluhan wisatawan mancanegara (wisman) berlibur di Pantai Pesisir Krui, Lampung Barat. Mereka tidak terpengaruh aksi pengeboman Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di Pantai Karang Ngimbur, Pekon Tanjung Setia, Pesisir Selatan, puluhan turis asing menikmati indahnya kawasan tersebut. Sejumlah travel biro perjalanan yang ada hampir setiap hari menjemput tamu yang hendak menikmati indahnya pantai. Beberapa turis berselancar di pantai Ngambur pascaledakan bom di Jakarta.
Luck, turis asal Australia, mengatakan dia merasa aman berlibur di Pantai Tanjung Setia karena daerah tersebut jauh dari ancaman pengeboman. "Kami yakin di sini aman dari aksi teror karena cukup jauh dari pusat perkotaan. Saya tidak merasa khawatir akan ancaman bom. Itu sebabnya teman-teman menikmati pantai ini untuk bermain selancar, atau sekadar berjemur di pantai," kata Luck.
Peratin Tanjung Setia, Iswandi, mengatakan pihaknya menerima laporan kunjungan wisatawan asing ke daerahnya akan bertambah. Karena itu ia berpendapat kedatangan wisman ke daerahnya tidak ada pengaruh dengan aksi bom yang menewaskan beberapa jiwa manusia.
"Kami mendapatkan laporan tamu hotel bertambah terus. Untuk ke depan kami minta Pemerintah Kabupaten Lampung Barat memperhatikan pembangunan sarana pendukung di kawasan wisata tersebut," kata dia.
Terkait kasus peledakan bom, pihak Polres Lampung Barat melakukan pengamanan ekstra, khususnya di wilayah-wilayah yang ramai didatangi para pengunjung asing. Polres dan jajaran Polsek se-Lambar melakukan razia di jalur-jalur pintu masuk dan keluar Lambar.
Kapolres Lambar AKBP Muslim Siregar mengatakan pihaknya melakukan razia di sejumlah wilayah Lambar, khususnya wilayah Pesisir, seperti pendataan lokasi-lokasi penginapan wisatawan yang datang ke wilayah tersebut.
"Razia dilakukan untuk mempersempit ruang gerak kemungkinan Lambar dijadikan tempat persembunyian kawanan teroris," kata dia. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009
Di Pantai Karang Ngimbur, Pekon Tanjung Setia, Pesisir Selatan, puluhan turis asing menikmati indahnya kawasan tersebut. Sejumlah travel biro perjalanan yang ada hampir setiap hari menjemput tamu yang hendak menikmati indahnya pantai. Beberapa turis berselancar di pantai Ngambur pascaledakan bom di Jakarta.
Luck, turis asal Australia, mengatakan dia merasa aman berlibur di Pantai Tanjung Setia karena daerah tersebut jauh dari ancaman pengeboman. "Kami yakin di sini aman dari aksi teror karena cukup jauh dari pusat perkotaan. Saya tidak merasa khawatir akan ancaman bom. Itu sebabnya teman-teman menikmati pantai ini untuk bermain selancar, atau sekadar berjemur di pantai," kata Luck.
Peratin Tanjung Setia, Iswandi, mengatakan pihaknya menerima laporan kunjungan wisatawan asing ke daerahnya akan bertambah. Karena itu ia berpendapat kedatangan wisman ke daerahnya tidak ada pengaruh dengan aksi bom yang menewaskan beberapa jiwa manusia.
"Kami mendapatkan laporan tamu hotel bertambah terus. Untuk ke depan kami minta Pemerintah Kabupaten Lampung Barat memperhatikan pembangunan sarana pendukung di kawasan wisata tersebut," kata dia.
Terkait kasus peledakan bom, pihak Polres Lampung Barat melakukan pengamanan ekstra, khususnya di wilayah-wilayah yang ramai didatangi para pengunjung asing. Polres dan jajaran Polsek se-Lambar melakukan razia di jalur-jalur pintu masuk dan keluar Lambar.
Kapolres Lambar AKBP Muslim Siregar mengatakan pihaknya melakukan razia di sejumlah wilayah Lambar, khususnya wilayah Pesisir, seperti pendataan lokasi-lokasi penginapan wisatawan yang datang ke wilayah tersebut.
"Razia dilakukan untuk mempersempit ruang gerak kemungkinan Lambar dijadikan tempat persembunyian kawanan teroris," kata dia. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009
July 22, 2009
Pascabom Jakarta: Festival Krakatau Tetap Berlangsung
Bandar Lampung, Kompas - Pemprov Lampung tetap akan menyelenggarakan Festival Krakatau ke-19 di tengah kekhawatiran menurunnya kepercayaan terhadap keamanan Indonesia. Sebanyak 15 duta besar negara sahabat dipastikan akan menghadiri festival yang dibuat untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Erwin Nizar, Selasa (21/7), seusai rapat koordinasi penyelenggaraan Festival Krakatau ke-19 mengatakan, seluruh pelaku industri pariwisata di Lampung tetap harus optimistis. Pariwisata harus terus berjalan.
Salah satunya melalui Festival Krakatau. Festival tersebut diselenggarakan salah satunya sebagai upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia, khususnya Lampung.
Sebanyak 15 duta besar negara sahabat dipastikan akan menghadiri acara pembukaan dan mengikuti rangkaian festival tersebut. Ke-15 duta besar tersebut adalah duta besar dari Amerika Serikat, Jerman, Romania, Portugal, Filipina, Turki, Hongaria, Polandia, Singapura, Yunani, Slowakia, Lebanon, Bosnia Herzegovina, Suriname, dan Palestina.
Meskipun demikian, ujar Erwin, penyelenggara bukannya tidak belajar dari pengalaman bom Jakarta, Jumat (17/7) lalu. Untuk itu, penyelenggara bekerja sama dengan Kepolisian Daerah (Polda) Lampung.
Kepala Pusat Pengendalian Operasi Polda Lampung Ajun Komisaris Besar Zulhami mengatakan, sebanyak 600 personel gabungan Polda Lampung dan Polres Lampung Selatan akan menjaga festival tersebut. ”Kita tetap harus menunjukkan Indonesia aman sehingga kegiatan pariwisata tetap berjalan,” ujar Zulhami.
Lebih lanjut Erwin mengatakan, sebagai upaya mempromosikan obyek wisata Lampung kepada para duta besar dan wisatawan mancanegara, penyelenggara Festival Krakatau merencanakan mengajak sebagian duta besar mengunjungi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Sebelum menuju kawasan TNBBS, panitia penyelenggara akan membawa para duta besar ke Pulau Bule di kawasan Lampung Selatan.
Erwin mengatakan, festival tersebut akan berlangsung selama empat hari, mulai dari 25 Juli 2009 hingga 29 Juli 2009. Pembukaan akan dilangsungkan pada 25 Juli 2009 di Pusat Kegiatan Olah Raga (PKOR) Way Halim. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 22 Juli 2009
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Erwin Nizar, Selasa (21/7), seusai rapat koordinasi penyelenggaraan Festival Krakatau ke-19 mengatakan, seluruh pelaku industri pariwisata di Lampung tetap harus optimistis. Pariwisata harus terus berjalan.
Salah satunya melalui Festival Krakatau. Festival tersebut diselenggarakan salah satunya sebagai upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia, khususnya Lampung.
Sebanyak 15 duta besar negara sahabat dipastikan akan menghadiri acara pembukaan dan mengikuti rangkaian festival tersebut. Ke-15 duta besar tersebut adalah duta besar dari Amerika Serikat, Jerman, Romania, Portugal, Filipina, Turki, Hongaria, Polandia, Singapura, Yunani, Slowakia, Lebanon, Bosnia Herzegovina, Suriname, dan Palestina.
Meskipun demikian, ujar Erwin, penyelenggara bukannya tidak belajar dari pengalaman bom Jakarta, Jumat (17/7) lalu. Untuk itu, penyelenggara bekerja sama dengan Kepolisian Daerah (Polda) Lampung.
Kepala Pusat Pengendalian Operasi Polda Lampung Ajun Komisaris Besar Zulhami mengatakan, sebanyak 600 personel gabungan Polda Lampung dan Polres Lampung Selatan akan menjaga festival tersebut. ”Kita tetap harus menunjukkan Indonesia aman sehingga kegiatan pariwisata tetap berjalan,” ujar Zulhami.
Lebih lanjut Erwin mengatakan, sebagai upaya mempromosikan obyek wisata Lampung kepada para duta besar dan wisatawan mancanegara, penyelenggara Festival Krakatau merencanakan mengajak sebagian duta besar mengunjungi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Sebelum menuju kawasan TNBBS, panitia penyelenggara akan membawa para duta besar ke Pulau Bule di kawasan Lampung Selatan.
Erwin mengatakan, festival tersebut akan berlangsung selama empat hari, mulai dari 25 Juli 2009 hingga 29 Juli 2009. Pembukaan akan dilangsungkan pada 25 Juli 2009 di Pusat Kegiatan Olah Raga (PKOR) Way Halim. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 22 Juli 2009
[Sosok] Suparyoto dan Kopi Organik dari Lampung
Oleh Helena F Nababan
SAAT sebagian pihak masih berkutat dengan upaya peningkatan produksi, Suparyoto sudah berupaya memperbaiki kualitas produksi kopi. Saat pasar dunia meributkan dampak budidaya pertanian berbahan kimia, dia telah berpikir untuk menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan.
Suparwoto (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Seluruh upaya itu terwujud dalam bentuk budidaya pertanian kopi robusta organik di Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Kawasan berudara sejuk dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
Suparyoto adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Maka, pada waktu-waktu tertentu ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pengurus kelompok tani tersebut. Misalnya, ketika mereka memutuskan menggunakan mesin pemotong rumput untuk membasmi rumput yang banyak tumbuh di bawah tanaman kopi.
”Mesin ini diharapkan bisa menjadi pengganti obat kimia pembasmi rumput,” ujar Suparyoto, atau Pak Par, panggilannya.
Dari Semarang, Jawa Tengah, Suparyoto datang ke Gunung Terang pada 1994, menyusul orangtuanya yang menjadi petani. Di sini ia mendapati penghidupan warga desa yang umumnya miskin. Mereka menggantungkan hidup dari hutan karena kopi hanya dipanen sekali setahun. Akibatnya, daya dukung hutan terus menurun.
Dia lalu membentuk kelompok tani. ”Dalam pikiran saya, kelompok tani akan memampukan petani di Gunung Terang untuk mengakses pasar dan sarana pertanian,” ujar Suparyoto yang juga mengajari warga menanam pisang di antara tanaman kopi, selain menanam sayuran atau empon-empon, untuk menambah pendapatan.
Pada September 2000 terbentuk kelompok tani Tunas Enggal dan dua kelompok hutan kemasyarakatan (HKm). Kelompok HKm dibentuk untuk merespons surat keputusan Menteri Kehutanan mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lewat HKm, warga setempat diizinkan mengelola hutan Bukit Rigis yang rusak, sekaligus untuk menyelamatkannya. Sedangkan Tunas Enggal dibentuk untuk mempermudah akses pasar dan memperkuat kelembagaan petani.
”Saat itu kami mendapat pendampingan dari Watala, lembaga pendampingan masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Kesulitan pupuk
Pendorong untuk beralih pada budidaya organik muncul ketika pada tahun 2003-2004 petani kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Bersama Watala, Suparyoto mengajak warga memakai kotoran kambing dan kompos sebagai ganti pupuk kimia. Petani yang tergabung dalam Hkm dan Tunas Enggal lalu diajari membuat pupuk organik dari kotoran kambing dan dedaunan.
Suparyoto menjadikan kebun kopinya sebagai contoh kebun organik. Menggunakan pupuk organik, mendorong dia membuat perbandingan sebagai evaluasi sekaligus daya tarik. Bila menggunakan pupuk kimia campuran, petani membutuhkan 1,5 ton-2 ton pupuk per tahun. Ditambah biaya tenaga kerja, petani harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 5 juta per tahun. Sedangkan dengan pupuk organik, petani bisa menghemat biaya pemeliharaan kebun hingga 30 persen.
Namun, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang kecil jumlahnya, petani membutuhkan setidaknya 6 ton pupuk organik per hektar per tahun. Beruntung ada bantuan kambing dari Heifer Internasional Indonesia, Watala, dan Dinas Peternakan Lampung Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan pupuk organik. Kebun kopi yang dikelola dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 1,5 ton biji kopi per hektar, sedangkan kebun kopi organik pada tahun pertama hanya menghasilkan 900 kilogram per hektar.
”Sayangnya, petani tidak berpikir, pupuk kimia membuat tanah bergantung pada obat penyubur itu. Coba tidak dipupuk selama empat tahun berturut- turut, tanah pasti tidak produktif. Sedangkan pupuk organik dapat menjaga tingkat kesuburan dan unsur hara tanah,” ujarnya.
Meski begitu, Suparyoto terus memberikan pengertian kepada petani. Soal penurunan produksi hingga 60 persen dari produksi normal dengan pupuk kimia, misalnya, ia berusaha meyakinkan bahwa itu hanya produksi awal. ”Ini bentuk adaptasi tanah dan tanaman. Kalau pupuk kandang digunakan terus- menerus, produksi kembali normal.”
Perlahan usahanya menampakkan hasil. Bidang tanah yang diberi pupuk organik bertambah menjadi sekitar 8 hektar. Produksi pun meningkat sampai 1,2 ton per hektar.
Suparyoto juga mengajari petani melakukan pascapanen dengan benar, misalnya dengan petik merah dan penjemuran di lantai jemur atau terpal. ”Ini menjadikan cita rasa kopi lebih enak dan terjaga,” ujarnya.
Masih puluhan
Dari sekitar 900 petani kopi, baru puluhan orang yang mengerjakan tanahnya dengan pupuk organik.
Suparyoto berharap, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah petani kopi organik terus bertambah. Salah satu upaya dia adalah memberikan penjelasan tentang dampak kopi organik bagi kesehatan.
”Saya bilang kepada teman- teman, kopi yang dibudidayakan secara organik itu tak mengandung residu obat kimia tinggi,” katanya. Di sini, yang beruntung tak hanya petani, tetapi juga konsumen, dan dalam jangka panjang lingkungan pun tidak tercemar.
Dengan pemikiran itu, Suparyoto yakin suatu hari nanti kopi organik Gunung Terang dapat memenuhi syarat perdagangan kopi internasional, yakni ramah lingkungan.
”Saya ingin menjadikan Gunung Terang sebagai kawasan kopi organik. Lampung adalah etalase kopi nasional, kenapa tidak ada kekhususan pada produk kopinya supaya bisa dikenal seperti kopi toraja atau kopi gayo,” ujarnya.
Sayang eksportir kopi lampung umumnya masih mengandalkan peningkatan produksi, belum kualitas. Itulah salah satu sebab harga jual kopi organik sama dengan kopi yang memakai pupuk kimia.
Untuk mengatasinya, Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir bekerja sama dengan Watala mendirikan Warung Organik sebagai upaya pemasaran sendiri.
Melalui warung ini, sebanyak 5-7 ton kopi organik Gunung Terang setiap tahun diproses, dikemas, dan dipasarkan ke Bandar Lampung, Medan, sampai Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, upaya Suparyoto menghasilkan kopi organik juga dipelajari oleh petani kopi dari Bengkunat, Lampung Barat, Ulu Belu Tanggamus dan Tanjung Raja, Lampung Utara, serta Sendang Agung dan Sendang Asih, Lampung Tengah.
Sumber: Kompas, Selasa, 21 Juli 2009
SAAT sebagian pihak masih berkutat dengan upaya peningkatan produksi, Suparyoto sudah berupaya memperbaiki kualitas produksi kopi. Saat pasar dunia meributkan dampak budidaya pertanian berbahan kimia, dia telah berpikir untuk menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan.
Suparwoto (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Seluruh upaya itu terwujud dalam bentuk budidaya pertanian kopi robusta organik di Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Kawasan berudara sejuk dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
Suparyoto adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Maka, pada waktu-waktu tertentu ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pengurus kelompok tani tersebut. Misalnya, ketika mereka memutuskan menggunakan mesin pemotong rumput untuk membasmi rumput yang banyak tumbuh di bawah tanaman kopi.
”Mesin ini diharapkan bisa menjadi pengganti obat kimia pembasmi rumput,” ujar Suparyoto, atau Pak Par, panggilannya.
Dari Semarang, Jawa Tengah, Suparyoto datang ke Gunung Terang pada 1994, menyusul orangtuanya yang menjadi petani. Di sini ia mendapati penghidupan warga desa yang umumnya miskin. Mereka menggantungkan hidup dari hutan karena kopi hanya dipanen sekali setahun. Akibatnya, daya dukung hutan terus menurun.
Dia lalu membentuk kelompok tani. ”Dalam pikiran saya, kelompok tani akan memampukan petani di Gunung Terang untuk mengakses pasar dan sarana pertanian,” ujar Suparyoto yang juga mengajari warga menanam pisang di antara tanaman kopi, selain menanam sayuran atau empon-empon, untuk menambah pendapatan.
Pada September 2000 terbentuk kelompok tani Tunas Enggal dan dua kelompok hutan kemasyarakatan (HKm). Kelompok HKm dibentuk untuk merespons surat keputusan Menteri Kehutanan mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lewat HKm, warga setempat diizinkan mengelola hutan Bukit Rigis yang rusak, sekaligus untuk menyelamatkannya. Sedangkan Tunas Enggal dibentuk untuk mempermudah akses pasar dan memperkuat kelembagaan petani.
”Saat itu kami mendapat pendampingan dari Watala, lembaga pendampingan masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Kesulitan pupuk
Pendorong untuk beralih pada budidaya organik muncul ketika pada tahun 2003-2004 petani kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Bersama Watala, Suparyoto mengajak warga memakai kotoran kambing dan kompos sebagai ganti pupuk kimia. Petani yang tergabung dalam Hkm dan Tunas Enggal lalu diajari membuat pupuk organik dari kotoran kambing dan dedaunan.
Suparyoto menjadikan kebun kopinya sebagai contoh kebun organik. Menggunakan pupuk organik, mendorong dia membuat perbandingan sebagai evaluasi sekaligus daya tarik. Bila menggunakan pupuk kimia campuran, petani membutuhkan 1,5 ton-2 ton pupuk per tahun. Ditambah biaya tenaga kerja, petani harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 5 juta per tahun. Sedangkan dengan pupuk organik, petani bisa menghemat biaya pemeliharaan kebun hingga 30 persen.
Namun, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang kecil jumlahnya, petani membutuhkan setidaknya 6 ton pupuk organik per hektar per tahun. Beruntung ada bantuan kambing dari Heifer Internasional Indonesia, Watala, dan Dinas Peternakan Lampung Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan pupuk organik. Kebun kopi yang dikelola dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 1,5 ton biji kopi per hektar, sedangkan kebun kopi organik pada tahun pertama hanya menghasilkan 900 kilogram per hektar.
”Sayangnya, petani tidak berpikir, pupuk kimia membuat tanah bergantung pada obat penyubur itu. Coba tidak dipupuk selama empat tahun berturut- turut, tanah pasti tidak produktif. Sedangkan pupuk organik dapat menjaga tingkat kesuburan dan unsur hara tanah,” ujarnya.
Meski begitu, Suparyoto terus memberikan pengertian kepada petani. Soal penurunan produksi hingga 60 persen dari produksi normal dengan pupuk kimia, misalnya, ia berusaha meyakinkan bahwa itu hanya produksi awal. ”Ini bentuk adaptasi tanah dan tanaman. Kalau pupuk kandang digunakan terus- menerus, produksi kembali normal.”
Perlahan usahanya menampakkan hasil. Bidang tanah yang diberi pupuk organik bertambah menjadi sekitar 8 hektar. Produksi pun meningkat sampai 1,2 ton per hektar.
Suparyoto juga mengajari petani melakukan pascapanen dengan benar, misalnya dengan petik merah dan penjemuran di lantai jemur atau terpal. ”Ini menjadikan cita rasa kopi lebih enak dan terjaga,” ujarnya.
Masih puluhan
Dari sekitar 900 petani kopi, baru puluhan orang yang mengerjakan tanahnya dengan pupuk organik.
Suparyoto berharap, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah petani kopi organik terus bertambah. Salah satu upaya dia adalah memberikan penjelasan tentang dampak kopi organik bagi kesehatan.
”Saya bilang kepada teman- teman, kopi yang dibudidayakan secara organik itu tak mengandung residu obat kimia tinggi,” katanya. Di sini, yang beruntung tak hanya petani, tetapi juga konsumen, dan dalam jangka panjang lingkungan pun tidak tercemar.
Dengan pemikiran itu, Suparyoto yakin suatu hari nanti kopi organik Gunung Terang dapat memenuhi syarat perdagangan kopi internasional, yakni ramah lingkungan.
”Saya ingin menjadikan Gunung Terang sebagai kawasan kopi organik. Lampung adalah etalase kopi nasional, kenapa tidak ada kekhususan pada produk kopinya supaya bisa dikenal seperti kopi toraja atau kopi gayo,” ujarnya.
Sayang eksportir kopi lampung umumnya masih mengandalkan peningkatan produksi, belum kualitas. Itulah salah satu sebab harga jual kopi organik sama dengan kopi yang memakai pupuk kimia.
Untuk mengatasinya, Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir bekerja sama dengan Watala mendirikan Warung Organik sebagai upaya pemasaran sendiri.
Melalui warung ini, sebanyak 5-7 ton kopi organik Gunung Terang setiap tahun diproses, dikemas, dan dipasarkan ke Bandar Lampung, Medan, sampai Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, upaya Suparyoto menghasilkan kopi organik juga dipelajari oleh petani kopi dari Bengkunat, Lampung Barat, Ulu Belu Tanggamus dan Tanjung Raja, Lampung Utara, serta Sendang Agung dan Sendang Asih, Lampung Tengah.
Sumber: Kompas, Selasa, 21 Juli 2009
July 19, 2009
Festival Budaya: Cikal Gelar Kiluan Fishing Week
TANGGAMUS (Lampost): Yayasan Ekowisata Cinta Kepada Alam (Cikal) menggelar acara tahunan Kiluan Fishing Week 09. Acara ini sudah memasuki tahun keempat dan akan berlangsung mulai 18--20 Juli.
Selain lomba memancing, Kiluan Fishing Week juga akan menggelar dolphin tour, pesta rakyat, live music, dan hunting foto alam. Hingga hari terakhir, jumlah peserta untuk lomba memancing tradisional terdaftar sebanyak 22 orang.
Dua tahun terakhir, Kiluan Fishing Week menerima tamu mancanegara. Tahun ini, panitia menerima tamu dari Prancis dan Amerika Serikat. Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Lampung, kegiatan yang akan dimasukan dalam rangkaian Festival Krakatau, kini menjadi salah satu program Visit Lampung Years 2009.
Sekretaris panitia Kiluan Fishing Week, Fadliyansyah, mengatakan lomba memancing akan memperebutkan total hadiah senilai Rp4 juta. Jenis ikan yang dilombakan, antara lain marlin atau layaran, tuna, simba, tenggiri, barakuda, lemadang, dan kakap. Kriteria penilaian untuk ikan marlin dan tuna, berat minimal 15 kilogram. Untuk ikan simba, tenggiri, barakuda, dan lemadang, berat minimal 10 kilogram. Sedangkan untuk kakap, berat minimal 5 kilogram.
Dia juga menjelaskan Yayasan Ekowisata Cikal mengharapkan dengan digelarnya kegiatan semacam ini, dapat mengenalkan potensi Kabupaten Tanggamus dan Provinsi Lampung sebagai daerah tujuan wisata.
Potensi dari Teluk Kiluan, kata dia, sampai kini dapat menjaga kelestarian ekosistem lumba-lumba. Terlebih, di tengah maraknya perburuan liar, kelestarian Kiluan patut menjadi perhatian semua pihak.
"Sudah seharusnya pemerintah dan warga Kiluan menjaga keutuhan terumbu karang, alam, dan ekosistem lumba-lumba. Terlebih, ekosistem lumba-lumba, konon merupakan yang terbesar di Asia Tenggara," kata dia, di Redaksi Lampung Post, Jumat (17-7).
Menurut Fadliyansah, misi yang dibawa dalam penyelanggaraan acara ini adalah pentingnya menjaga kelestarian alam dan terumbu karang. Diharapkan agar tidak ada lagi perburuan liar lumba-lumba. n */D-3
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juli 2009
Selain lomba memancing, Kiluan Fishing Week juga akan menggelar dolphin tour, pesta rakyat, live music, dan hunting foto alam. Hingga hari terakhir, jumlah peserta untuk lomba memancing tradisional terdaftar sebanyak 22 orang.
Dua tahun terakhir, Kiluan Fishing Week menerima tamu mancanegara. Tahun ini, panitia menerima tamu dari Prancis dan Amerika Serikat. Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Lampung, kegiatan yang akan dimasukan dalam rangkaian Festival Krakatau, kini menjadi salah satu program Visit Lampung Years 2009.
Sekretaris panitia Kiluan Fishing Week, Fadliyansyah, mengatakan lomba memancing akan memperebutkan total hadiah senilai Rp4 juta. Jenis ikan yang dilombakan, antara lain marlin atau layaran, tuna, simba, tenggiri, barakuda, lemadang, dan kakap. Kriteria penilaian untuk ikan marlin dan tuna, berat minimal 15 kilogram. Untuk ikan simba, tenggiri, barakuda, dan lemadang, berat minimal 10 kilogram. Sedangkan untuk kakap, berat minimal 5 kilogram.
Dia juga menjelaskan Yayasan Ekowisata Cikal mengharapkan dengan digelarnya kegiatan semacam ini, dapat mengenalkan potensi Kabupaten Tanggamus dan Provinsi Lampung sebagai daerah tujuan wisata.
Potensi dari Teluk Kiluan, kata dia, sampai kini dapat menjaga kelestarian ekosistem lumba-lumba. Terlebih, di tengah maraknya perburuan liar, kelestarian Kiluan patut menjadi perhatian semua pihak.
"Sudah seharusnya pemerintah dan warga Kiluan menjaga keutuhan terumbu karang, alam, dan ekosistem lumba-lumba. Terlebih, ekosistem lumba-lumba, konon merupakan yang terbesar di Asia Tenggara," kata dia, di Redaksi Lampung Post, Jumat (17-7).
Menurut Fadliyansah, misi yang dibawa dalam penyelanggaraan acara ini adalah pentingnya menjaga kelestarian alam dan terumbu karang. Diharapkan agar tidak ada lagi perburuan liar lumba-lumba. n */D-3
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juli 2009
July 18, 2009
Jalur Pantai Barat Lampung Punya Potensi Wisata
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Jalur Pantai Barat Lampung memiliki potensi alternatif pilihan bagi wisatawan asing. Salah satunya Tanjung Setia, yaitu surfing yang telah dikenal wisatawan asing.
Berdasar data di Komite Pariwisata Lampung, kunjungan wisatwan asing ke Tanjung Setia mencapai tiga ribuan orang pada 2007. Sedangkan pada tahun 2008 mencapai 6.900 orang, dan 8.000 orang untuk tahun ini. Wisatawan asing itu datang dari Italia, Jerman, Inggris, Australia, Spanyol, dan Afrika Selatan.
Ketua Komite Pariwisata Lampung Idrus D.E.M., Jumat (17-7), mengatakan selama ini potensi wisata Lampung hanya berpusat di bagian Timur, Way Kambas, dan Krakatau. Komite telah melakukan kajian dan menemukan adanya jalur wisata yang bisa jadi alternatif. Di bagian Barat juga ada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Komite, kata Idrus, mengusulkan konsep safari night. Pada kegitan ini, wisatawan akan diajak masuk hutan dan melihat berbagai jenis binatang, seperti harimau, badak, dan gajah. Namun, kata Idrus, potensi di bagian Barat itu harus didukung fasilitas memadai, seperti anjungan tunai mandiri (ATM), karena wisatawan terkadang kesulitan mencairkan uang ATM.
Menurut Idrus, ATM penting agar wisatwan bisa menghabiskan banyak uang di daerah yang ia kunjungi. Makin lama ia tinggal, maka uang yang diserap masyarakat akan makin banyak. Wakil Ketua Komite Pariwisata Anshori Djausal mengatakan Komite mengusulkan jalur alternatif pariwisata Lampung, melalui Lampung Selatan, Bandar Lampung, Lampung Barat, dan Tanggamus. Jalur tersebut makin melengkapi jalur timur yang selama ini telah dikembangkan.
"Barat dan Timur Lampung adalah dua kutub yang sama menarik. Bagian barat Lampung akan menjadi alternatif agar waktu tinggal wisatawan asing makin lama," kata Anshori.
Anshori mengungkapkan waktu tinggal turis di Lampung tiga minggu, bahkan ada yang mencapai dua bulan. Waktu tinggal yang lama tersebut membuat para wisatwan membutuhkan variasi tempat kunjungan. Bagian barat bisa dijadikan tempat alternatif.
Jalur pantai barat, kata Anshori, menyimpan banyak potensi alam, pantai dan satwa. Budaya lokal juga akan dikembangkan untuk menarik minat wisatawan. Ada beberapa desa yang bisa digunakan menjadi desa wisata, seperti Wonosobo dan Sanggi.
Wisatawan tertarik tinggal di desa-desa yang memiliki kekhasan. "Rumah-rumah yang memiliki kekhasan daerah bisa menarik minat wisatawan untuk tinggal. Tidak semua wistawan mau tinggal di hotel berbintang," kata dia. n MG2/K-4
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juli 2009
Berdasar data di Komite Pariwisata Lampung, kunjungan wisatwan asing ke Tanjung Setia mencapai tiga ribuan orang pada 2007. Sedangkan pada tahun 2008 mencapai 6.900 orang, dan 8.000 orang untuk tahun ini. Wisatawan asing itu datang dari Italia, Jerman, Inggris, Australia, Spanyol, dan Afrika Selatan.
Ketua Komite Pariwisata Lampung Idrus D.E.M., Jumat (17-7), mengatakan selama ini potensi wisata Lampung hanya berpusat di bagian Timur, Way Kambas, dan Krakatau. Komite telah melakukan kajian dan menemukan adanya jalur wisata yang bisa jadi alternatif. Di bagian Barat juga ada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Komite, kata Idrus, mengusulkan konsep safari night. Pada kegitan ini, wisatawan akan diajak masuk hutan dan melihat berbagai jenis binatang, seperti harimau, badak, dan gajah. Namun, kata Idrus, potensi di bagian Barat itu harus didukung fasilitas memadai, seperti anjungan tunai mandiri (ATM), karena wisatawan terkadang kesulitan mencairkan uang ATM.
Menurut Idrus, ATM penting agar wisatwan bisa menghabiskan banyak uang di daerah yang ia kunjungi. Makin lama ia tinggal, maka uang yang diserap masyarakat akan makin banyak. Wakil Ketua Komite Pariwisata Anshori Djausal mengatakan Komite mengusulkan jalur alternatif pariwisata Lampung, melalui Lampung Selatan, Bandar Lampung, Lampung Barat, dan Tanggamus. Jalur tersebut makin melengkapi jalur timur yang selama ini telah dikembangkan.
"Barat dan Timur Lampung adalah dua kutub yang sama menarik. Bagian barat Lampung akan menjadi alternatif agar waktu tinggal wisatawan asing makin lama," kata Anshori.
Anshori mengungkapkan waktu tinggal turis di Lampung tiga minggu, bahkan ada yang mencapai dua bulan. Waktu tinggal yang lama tersebut membuat para wisatwan membutuhkan variasi tempat kunjungan. Bagian barat bisa dijadikan tempat alternatif.
Jalur pantai barat, kata Anshori, menyimpan banyak potensi alam, pantai dan satwa. Budaya lokal juga akan dikembangkan untuk menarik minat wisatawan. Ada beberapa desa yang bisa digunakan menjadi desa wisata, seperti Wonosobo dan Sanggi.
Wisatawan tertarik tinggal di desa-desa yang memiliki kekhasan. "Rumah-rumah yang memiliki kekhasan daerah bisa menarik minat wisatawan untuk tinggal. Tidak semua wistawan mau tinggal di hotel berbintang," kata dia. n MG2/K-4
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juli 2009
Visit Lampung Year 2009: 23 Dubes ke Lampung Selatan
KALIANDA (Lampost): Sebanyak 23 duta besar (dubes) asing, Minggu (26-7), menurut rencana akan mengunjungi Kabupaten Lampung Selatan untuk melihat langsung seni dan budaya serta keindahan pariwisata daerah setempat. Kehadiran mereka dalam rangka menyambut Visit Lampung Year (VLY) 2009.
Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Lamsel Erlan Murdintono, Jumat (17-7), menjelaskan ke-23 dubes tersebut berasal dari Jerman, Inggris, Rusia, Belanda, Swiss, Polandia, Turki, Qatar, Slowakia, Portugal, China, dan Filipina.
Para tamu negara tersebut akan mengunjungi Menara Siger di Pelabuhan Bakauheni, dan selanjutnya ke Gunung Krakatau. "Mereka akan disambut bupati Lampung Selatan. Dan, kami sendiri telah menyiapkan tari-tarian dan seni budaya khas daerah. Di kaki Gunung Krakatau para dubes tersebut akan menggelar ritual (ruwatan, red)," kata Erlan.
Selain memperkenalkan dunia pariwisata di Lamsel. Dinas Pariwisata seni dan budaya juga akan memperkenalkan kerajinan batik inuh kabupaten setempat.
"Ini adalah kesempatan baik kami untuk mempromosikan dunia pariwisata, seni, dan budaya Kabupaten Lampung Selatan dan khususnya Provinsi Lampung," ujarnya.
Guna memeriahkan acara kedatangan para tamu negara tersebut, pihaknya berharap ada kerja sama yang baik antara warga dan pemerintah kabupaten. Ini dimaksudkan agar sepulangnya dari Lampung para dubes tersebut membawa kesan positif.
Mengenai pengamanan bagi perjalanan para dubes beberapa negera itu, dia mengatakan sudah menjadi tanggung jawab pihak kepolisian. n CK-3/D-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Juli 2009
Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Lamsel Erlan Murdintono, Jumat (17-7), menjelaskan ke-23 dubes tersebut berasal dari Jerman, Inggris, Rusia, Belanda, Swiss, Polandia, Turki, Qatar, Slowakia, Portugal, China, dan Filipina.
Para tamu negara tersebut akan mengunjungi Menara Siger di Pelabuhan Bakauheni, dan selanjutnya ke Gunung Krakatau. "Mereka akan disambut bupati Lampung Selatan. Dan, kami sendiri telah menyiapkan tari-tarian dan seni budaya khas daerah. Di kaki Gunung Krakatau para dubes tersebut akan menggelar ritual (ruwatan, red)," kata Erlan.
Selain memperkenalkan dunia pariwisata di Lamsel. Dinas Pariwisata seni dan budaya juga akan memperkenalkan kerajinan batik inuh kabupaten setempat.
"Ini adalah kesempatan baik kami untuk mempromosikan dunia pariwisata, seni, dan budaya Kabupaten Lampung Selatan dan khususnya Provinsi Lampung," ujarnya.
Guna memeriahkan acara kedatangan para tamu negara tersebut, pihaknya berharap ada kerja sama yang baik antara warga dan pemerintah kabupaten. Ini dimaksudkan agar sepulangnya dari Lampung para dubes tersebut membawa kesan positif.
Mengenai pengamanan bagi perjalanan para dubes beberapa negera itu, dia mengatakan sudah menjadi tanggung jawab pihak kepolisian. n CK-3/D-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Juli 2009
July 16, 2009
Selingkuh Kata #3: Keberanian Bermain di Ranah Sunyi
KEBERANIAN Lampung Ekspres untuk menggelar kegiatan budaya yang bertumpu pada khazanah budaya tradisional harus mendapat apresiasi. Sebab, mestinya antara budaya tradisional dan modern dapat berjalan seiring layaknya rel kereta api; mengarungi cakrawala pemikiran tanpa sekat. Dalam kenyataannya, saat ini kesenian tradisional lebih banyak bergerak di ranah sunyi.
SELINGKUH KATA #3. Harian Lampung Ekspres menggelar Selingkuh Kata #3 di Rumah Wali Kota Bandar Lampung, Rabu (15/7) malam. Tampil dalam acara ini penyair Udo Z. Karzi dan musik cetik yang dikolaborasikan dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengatakan hal itu dalam gelaran budaya Selingkuh Kata #3: Khazanah Budaya Lampung dalam Sastra dan Musik di Rumah Dinas Wali Kota Bandar Lampung, Rabu (15/7) malam.
Kegiatan tersebut diisi dengan pembacaan puisi Udo Z. Karzi yang terangkum dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi dan pagelaran musik etnik Lampung cetik (gamolan peghing) yang dikolaborasi dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi.
"Kamauan Pak Wali Kota menyediakan rumah dinasnya sebagai rumah rakyat dan mau memfasilitasi gelaran budaya juga harus diapresiasi," kata Syaiful.
Pemimpin Redaksi Lampung Ekspres HM Harun Muda Indrajaya mengatakann, sudah menjadi komitmen Lampung Ekspres untuk terus menggali dan mendorong berkembangnya karya-karya seni Lampung. Dalam kesempatan itu Buya Harun membacakan puisi berjudul Mak Dawah Mak Dibingi.
Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengaku agak kesulitan ketika berhadapan dengan pemaku seni, terutama seni tradisional. Keinginan untuk mengenalkan adat budaya Lampung, baik Saibatin maupun Pepadun melalui patung yang ditampilkan di taman-taman, ternyata mendapat kritik tajam. "Padahal saya hanya ingin agar seluruh masyarakat Lampung dan siapa saja yang datang ke Lampung mengenal budaya Lampung. Meski baru sebatas pakaian adatnya seperti yang ditampilkan dalam patung pengantin adat itu," ujarnya.
Gelaran Selingkuh Kata yang dikomandani Y. Wibowo makan hidup saat bedah buku Mak Dawah Mak Dibingi dan apresiasi musik cetik. "Saat ini, karya-karya seni yang mengambil warna lokal cenderung lebih bisa diterima. Dalam berbagai lomba, pemenangnya kebanyakan karya yang bertema budaya lokal," papar Udo Z. Karzi optimis.
Sumber: Lampung Ekspres, Kamis, 16 Juli 2009
SELINGKUH KATA #3. Harian Lampung Ekspres menggelar Selingkuh Kata #3 di Rumah Wali Kota Bandar Lampung, Rabu (15/7) malam. Tampil dalam acara ini penyair Udo Z. Karzi dan musik cetik yang dikolaborasikan dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengatakan hal itu dalam gelaran budaya Selingkuh Kata #3: Khazanah Budaya Lampung dalam Sastra dan Musik di Rumah Dinas Wali Kota Bandar Lampung, Rabu (15/7) malam.
Kegiatan tersebut diisi dengan pembacaan puisi Udo Z. Karzi yang terangkum dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi dan pagelaran musik etnik Lampung cetik (gamolan peghing) yang dikolaborasi dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi.
"Kamauan Pak Wali Kota menyediakan rumah dinasnya sebagai rumah rakyat dan mau memfasilitasi gelaran budaya juga harus diapresiasi," kata Syaiful.
Pemimpin Redaksi Lampung Ekspres HM Harun Muda Indrajaya mengatakann, sudah menjadi komitmen Lampung Ekspres untuk terus menggali dan mendorong berkembangnya karya-karya seni Lampung. Dalam kesempatan itu Buya Harun membacakan puisi berjudul Mak Dawah Mak Dibingi.
Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengaku agak kesulitan ketika berhadapan dengan pemaku seni, terutama seni tradisional. Keinginan untuk mengenalkan adat budaya Lampung, baik Saibatin maupun Pepadun melalui patung yang ditampilkan di taman-taman, ternyata mendapat kritik tajam. "Padahal saya hanya ingin agar seluruh masyarakat Lampung dan siapa saja yang datang ke Lampung mengenal budaya Lampung. Meski baru sebatas pakaian adatnya seperti yang ditampilkan dalam patung pengantin adat itu," ujarnya.
Gelaran Selingkuh Kata yang dikomandani Y. Wibowo makan hidup saat bedah buku Mak Dawah Mak Dibingi dan apresiasi musik cetik. "Saat ini, karya-karya seni yang mengambil warna lokal cenderung lebih bisa diterima. Dalam berbagai lomba, pemenangnya kebanyakan karya yang bertema budaya lokal," papar Udo Z. Karzi optimis.
Sumber: Lampung Ekspres, Kamis, 16 Juli 2009
July 15, 2009
Udo Karzi di Selingkuh Kata #3
AGENDA budaya bulan yang dihelat LE, kali ini akan menghadirkan penyair Udo karzi dan pagelaran seni musik etnik Lampung Cetik (gamolan pheking) yang dikolaborasi dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi.
Kegiatan bertajuk "Selingkuh Kata #3" tersebut diadakan di rumah dinas Walikota Bandar Lampung, Rabu (15/7) mulai pukul 19.30 WIB. Sejumlah seniman papan atas Lampung di antaranya Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Syaiful Irba Tanpaka, Iswadi Pratama dan lainnya, dipastikan akan hadir.
"Saya berharap para seniman dan masyarakat yang cinta seni bisa mengapresiasi gelaran ini," ujar Pemimpin Perusahaan LE Adolf Ayatullah, Selasa (14/7).
Setelah Selingkuh Kata #I dan #II digelar di aula LE, kali ini sengaja diadakan di rumah dinas walikota. Udo Karzi akan membacakan puisi-puisinya yang terhimpun dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi.
Menurut Dolof, begitu Adolf Ayatullah akrab disapa, hal itu bisa dijadikan sebagai tonggak awal agar kegiatan-kegiatan seni tidak selalu alergi berdekatan dengan penguasa tanpa harus merugikan salah satu pihak.
"Sudah saatnya seniman membuka diri masuk ke ranah yang lebih luas untuk syiar nilai-nilai karyanya. Jadi tidak hanya dinikmati pada komunitas seniman semata," ujar Dolof.
Sementara Y Wibowo, komandan gelaran, berharap apa yang telah dilakukan LE dapat diikuti perusahaan lainnya. Dengan demikian para seniman memiliki ruang berekspresi yang lebih berwarna.
"Sekali waktu, boleh juga seniman diajak pentas di tempat hiburan malam seperti diskotek. Saya perlu menyampaikan hal ini karena mungkin saja banyak pengusaha yang sebenarnya ingin mengajak seniman tapi terlanjur takut dengan image kalau seniman itu eksklusif. Padahal seniman, mestinya, bisa tampil di mana saja, termasuk di kompleks pelacuran maupun istana negara,"ujar Wibowo. (LE-yonbayu)
Sumber: Lampung Ekspres, Rabu, 15 Juli 2009
Kegiatan bertajuk "Selingkuh Kata #3" tersebut diadakan di rumah dinas Walikota Bandar Lampung, Rabu (15/7) mulai pukul 19.30 WIB. Sejumlah seniman papan atas Lampung di antaranya Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Syaiful Irba Tanpaka, Iswadi Pratama dan lainnya, dipastikan akan hadir.
"Saya berharap para seniman dan masyarakat yang cinta seni bisa mengapresiasi gelaran ini," ujar Pemimpin Perusahaan LE Adolf Ayatullah, Selasa (14/7).
Setelah Selingkuh Kata #I dan #II digelar di aula LE, kali ini sengaja diadakan di rumah dinas walikota. Udo Karzi akan membacakan puisi-puisinya yang terhimpun dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi.
Menurut Dolof, begitu Adolf Ayatullah akrab disapa, hal itu bisa dijadikan sebagai tonggak awal agar kegiatan-kegiatan seni tidak selalu alergi berdekatan dengan penguasa tanpa harus merugikan salah satu pihak.
"Sudah saatnya seniman membuka diri masuk ke ranah yang lebih luas untuk syiar nilai-nilai karyanya. Jadi tidak hanya dinikmati pada komunitas seniman semata," ujar Dolof.
Sementara Y Wibowo, komandan gelaran, berharap apa yang telah dilakukan LE dapat diikuti perusahaan lainnya. Dengan demikian para seniman memiliki ruang berekspresi yang lebih berwarna.
"Sekali waktu, boleh juga seniman diajak pentas di tempat hiburan malam seperti diskotek. Saya perlu menyampaikan hal ini karena mungkin saja banyak pengusaha yang sebenarnya ingin mengajak seniman tapi terlanjur takut dengan image kalau seniman itu eksklusif. Padahal seniman, mestinya, bisa tampil di mana saja, termasuk di kompleks pelacuran maupun istana negara,"ujar Wibowo. (LE-yonbayu)
Sumber: Lampung Ekspres, Rabu, 15 Juli 2009
July 14, 2009
Damar Mata Kucing Harus Dipertahankan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah Kabupaten Lampung Barat harus mempertahankan produk damar mata kucing mengingat damar asal Lampung Barat terkenal hingga mancanegara.
Rektor Universitas Lampung Sugeng P. Harianto, yang juga pakar kehutanan, mengatakan sebagai kabupaten penghasil damar, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat perlu melakukan kajian mengapa petani damar cenderung ingin mengganti pohon damar dengan menebang dan menggantinya dengan tanaman lain.
Selain itu, pemerintah perlu menstabilkan harga damar mata kucing ini agar petani mendapat jaminan atau kepastian harga. Harus ada kesepakatan antarpengusaha damar agar harga damar stabil dan bertahan tinggi.
"Kalau harga pohonnya ternyata lebih mahal ketimbang getah damar, tentu saja masyarakat lebih ingin menjual pohonnya," kata Sugeng, Senin (13-7).
Menurut Sugeng, sejumlah petani damar di Lampung Barat kini mengganti tanaman damar dengan tanaman buah-buahan seperti duku. Menanam duku, selain lebih mudah perawatannya, juga lebih menguntungkan. Selain itu, penebangan pohon damar, kata Sugeng, mengganggu ekosistem. Mengingat daerah-daerah tersebut merupakan daerah resapan air.
Tunggu Keputusan
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Lampung Arinal Djunaidi mengatakan aktivitas penebangan pohon damar di Lampung Barat hendaknya menunggu surat keputusan baru dari Menteri Kehutanan.
Arinal mengakui penebangan pohon damar dilakukan berdasarkan kebijakan Departemen Kehutanan tentang adanya kemudahan penebangan dan pemanfaatan kayu dari hutan rakyat. Hal ini dilakukan berdasarkan Permenhut dan Surat Edaran Menhut.
Karena itu perlu dikaji untuk tidak diberlakukan pada lokasi repong damar di Lampung Barat. "Akibat adanya kebijakan tersebut, kini terjadi penebangan secara besar-besaran tegakan damar di sekitar wilayah penyangga hingga ke HPT pesisir, hutan lindung, bahkan sudah masuk ke TNBBS."
Padahal, kata Arinal, wilayah repong damar di Lampung Barat merupakan daerah yang spesifik. Sehingga dibutuhkan pengecualian agar wilayah ini dapat berfungsi sebagai penyangga (buffer zone) dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). "Saya segera menyurati Menteri Kehutanan untuk meminta pengecualian terhadap surat edaran sebelumnya."
Arinal juga mengharapkan agar pemerintah pusat dapat memberikan kompensasi kepada petani repong damar dengan memberikan imbal jasa lingkungan yang berasal dari sistem perdagangan karbon (carbon trade®MDBU¯) kepada petani. Juga memberikan fasilitasi pemasaran kayu damar (yang sudah tidak produktif) untuk mendapatkan sertifikat green product.
Sebelumnya hal senada juga disampaikan Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri. Menurut Mukhlis, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat telah melaksanakan beberapa kebijakan, antara lain bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengkaji potensi repong damar dan terus mencari peluang pengembangannya. "Hal ini dilakukan untuk menjadikan repong damar sebagai salah satu program unggulan daerah," kata dia.
Selain itu, Pemkab juga telah menerbitkan Surat Edaran Bupati Lampung Barat Nomor 522/450/IV.05.3/2006 tanggal 12 Juni 2006 tentang Pembatasan Penebangan Kayu Damar Mata Kucing, yang merujuk pada Surat Gubernur Lampung Nomor 522/400/04/2006 tanggal 6 Juni 2006 tentang Pelestarian Pohon Damar (Shorea javanica).n CR-1/U-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Juli 2009
Rektor Universitas Lampung Sugeng P. Harianto, yang juga pakar kehutanan, mengatakan sebagai kabupaten penghasil damar, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat perlu melakukan kajian mengapa petani damar cenderung ingin mengganti pohon damar dengan menebang dan menggantinya dengan tanaman lain.
Selain itu, pemerintah perlu menstabilkan harga damar mata kucing ini agar petani mendapat jaminan atau kepastian harga. Harus ada kesepakatan antarpengusaha damar agar harga damar stabil dan bertahan tinggi.
"Kalau harga pohonnya ternyata lebih mahal ketimbang getah damar, tentu saja masyarakat lebih ingin menjual pohonnya," kata Sugeng, Senin (13-7).
Menurut Sugeng, sejumlah petani damar di Lampung Barat kini mengganti tanaman damar dengan tanaman buah-buahan seperti duku. Menanam duku, selain lebih mudah perawatannya, juga lebih menguntungkan. Selain itu, penebangan pohon damar, kata Sugeng, mengganggu ekosistem. Mengingat daerah-daerah tersebut merupakan daerah resapan air.
Tunggu Keputusan
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Lampung Arinal Djunaidi mengatakan aktivitas penebangan pohon damar di Lampung Barat hendaknya menunggu surat keputusan baru dari Menteri Kehutanan.
Arinal mengakui penebangan pohon damar dilakukan berdasarkan kebijakan Departemen Kehutanan tentang adanya kemudahan penebangan dan pemanfaatan kayu dari hutan rakyat. Hal ini dilakukan berdasarkan Permenhut dan Surat Edaran Menhut.
Karena itu perlu dikaji untuk tidak diberlakukan pada lokasi repong damar di Lampung Barat. "Akibat adanya kebijakan tersebut, kini terjadi penebangan secara besar-besaran tegakan damar di sekitar wilayah penyangga hingga ke HPT pesisir, hutan lindung, bahkan sudah masuk ke TNBBS."
Padahal, kata Arinal, wilayah repong damar di Lampung Barat merupakan daerah yang spesifik. Sehingga dibutuhkan pengecualian agar wilayah ini dapat berfungsi sebagai penyangga (buffer zone) dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). "Saya segera menyurati Menteri Kehutanan untuk meminta pengecualian terhadap surat edaran sebelumnya."
Arinal juga mengharapkan agar pemerintah pusat dapat memberikan kompensasi kepada petani repong damar dengan memberikan imbal jasa lingkungan yang berasal dari sistem perdagangan karbon (carbon trade®MDBU¯) kepada petani. Juga memberikan fasilitasi pemasaran kayu damar (yang sudah tidak produktif) untuk mendapatkan sertifikat green product.
Sebelumnya hal senada juga disampaikan Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri. Menurut Mukhlis, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat telah melaksanakan beberapa kebijakan, antara lain bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengkaji potensi repong damar dan terus mencari peluang pengembangannya. "Hal ini dilakukan untuk menjadikan repong damar sebagai salah satu program unggulan daerah," kata dia.
Selain itu, Pemkab juga telah menerbitkan Surat Edaran Bupati Lampung Barat Nomor 522/450/IV.05.3/2006 tanggal 12 Juni 2006 tentang Pembatasan Penebangan Kayu Damar Mata Kucing, yang merujuk pada Surat Gubernur Lampung Nomor 522/400/04/2006 tanggal 6 Juni 2006 tentang Pelestarian Pohon Damar (Shorea javanica).n CR-1/U-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Juli 2009
DKL akan Gelar Parade Monolog
BANDAR LAMPUNG--Dewan Kesenian Lampung (DKL) kembali akan menggelar Parade Monolog 2009. Parade yang akan mencari aktor berbakat ini dihelat di Taman Budaya Lampung, 15--16 Agustus mendatang.
Menurut Ketua Komite Teater Ahmad Zilalin, kegiatan itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan calon-calon aktor dan aktris teater di daerah ini guna mengembangkan bakat dan kemampuan berakting. Itu sebabnya parade ini terus berkesinambungan.
"Komunitas teater di Lampung ini banyak, tapi tak sebanding dengan aktornya. Akibatnya, pelan-pelan komunitas yang ada itu tumbang atau bubar," jelas Alin, panggilan akrab aktor dan penggiat teater di Komunitas Berkat Yakin (KoBer) itu.
Alin menjelaskan sebanyak 20 penggiat teater dari kabupaten/kota di Provinsi Lampung akan meramaikan Parade Monolog 2009 ini. "Pendaftaran sudah dimulai 3--28 Juni lalu. Hasilnya 20 peserta siap mengikuti parade," kata Alin. n RLS/K-2
Selain menggelar parade, Komite Teater juga telah mengadakan workshop keaktoran bekerja sama dengan UKMBS Unila, pertengahan Juni lalu. Menurut dia, parade ini berkesinambungan mengingat animo penggiat teater yang ikut pada tahun lalu. Mereka menginginkan agar kegiatan ini diadakan kembali.
"Kami hanya menyerap aspirasi seniman di Lampung. Karena terpenting ialah memberi apresiasi di daerah dulu, bukan berpikir ke luar provinsi saja," ujar dia. K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Juli 2009
Menurut Ketua Komite Teater Ahmad Zilalin, kegiatan itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan calon-calon aktor dan aktris teater di daerah ini guna mengembangkan bakat dan kemampuan berakting. Itu sebabnya parade ini terus berkesinambungan.
"Komunitas teater di Lampung ini banyak, tapi tak sebanding dengan aktornya. Akibatnya, pelan-pelan komunitas yang ada itu tumbang atau bubar," jelas Alin, panggilan akrab aktor dan penggiat teater di Komunitas Berkat Yakin (KoBer) itu.
Alin menjelaskan sebanyak 20 penggiat teater dari kabupaten/kota di Provinsi Lampung akan meramaikan Parade Monolog 2009 ini. "Pendaftaran sudah dimulai 3--28 Juni lalu. Hasilnya 20 peserta siap mengikuti parade," kata Alin. n RLS/K-2
Selain menggelar parade, Komite Teater juga telah mengadakan workshop keaktoran bekerja sama dengan UKMBS Unila, pertengahan Juni lalu. Menurut dia, parade ini berkesinambungan mengingat animo penggiat teater yang ikut pada tahun lalu. Mereka menginginkan agar kegiatan ini diadakan kembali.
"Kami hanya menyerap aspirasi seniman di Lampung. Karena terpenting ialah memberi apresiasi di daerah dulu, bukan berpikir ke luar provinsi saja," ujar dia. K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Juli 2009
Festival Teluk Stabas: Puncak Acara Diisi Kemilau Budaya Lambar
LIWA (Lampost): Puncak kegiatan Festival Teluk Stabas XII, Rabu (15-7), akan diisi pergelaran Kemilau Budaya Lampung Barat. Dinas Pariwisata, Perhubungan, Pemuda, dan Olahraga setempat telah menyiapkan berbagai kegiatan yang spektakuler.
Kepala Dinas Pariwisata, Perhubungan, Pemuda, dan Olahraga Gatot Hudi Utomo mengatakan berbagai tontonan menarik siap dihadirkan untuk menghibur masyarakat dan turis asing yang hadir. "Kami akan memberikan sajian kearifan budaya lokal yang memiliki nilai jual untuk wisatawan," kata Gatot, Senin (13-7).
Festival Teluk Stabas XII disajikan berbeda, dengan menciptakan beberapa inovasi kreasi budaya. Tujuannya memaksimalkan promosi melalui kegiatan tahunan tersebut.
Gatot mencontohkan kegiatan Semarak Wisata Tanjung Setia yang ditampilkan besok melibatkan sejumlah wisatawan asing, seperti festival layang-layang, menyelam, selancar, dan voli pantai.
Sesuai dengan pencanangan Visit Lampung Year 2009, para wisatawan mancanegara berinteraksi langsung dan menjadi objek event-event yang digelar.
Gatot menambahkan Festival Teluk Stabas juga merupakan upaya melestarikan budaya lokal, yakni melalui lomba-lomba seperti lomba lagu-lagu Lampung, hadra, muanyak, tari sembah, tari bedana, dan tari kreasi yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna (GSG) Liwa. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Juli 2009
Kepala Dinas Pariwisata, Perhubungan, Pemuda, dan Olahraga Gatot Hudi Utomo mengatakan berbagai tontonan menarik siap dihadirkan untuk menghibur masyarakat dan turis asing yang hadir. "Kami akan memberikan sajian kearifan budaya lokal yang memiliki nilai jual untuk wisatawan," kata Gatot, Senin (13-7).
Festival Teluk Stabas XII disajikan berbeda, dengan menciptakan beberapa inovasi kreasi budaya. Tujuannya memaksimalkan promosi melalui kegiatan tahunan tersebut.
Gatot mencontohkan kegiatan Semarak Wisata Tanjung Setia yang ditampilkan besok melibatkan sejumlah wisatawan asing, seperti festival layang-layang, menyelam, selancar, dan voli pantai.
Sesuai dengan pencanangan Visit Lampung Year 2009, para wisatawan mancanegara berinteraksi langsung dan menjadi objek event-event yang digelar.
Gatot menambahkan Festival Teluk Stabas juga merupakan upaya melestarikan budaya lokal, yakni melalui lomba-lomba seperti lomba lagu-lagu Lampung, hadra, muanyak, tari sembah, tari bedana, dan tari kreasi yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna (GSG) Liwa. n HEN/D-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Juli 2009
July 13, 2009
Selingkuh Kata #3: Khazanah Budaya Lampung dalam Sastra dan Musik
MAK Dawah Mak Dibingi, sebuah buku antologi puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi hingga kini masih tercatat sebagai satu-satunya buku berbahasa Lampung yang mendapat penghargaan nasional Hadiah Sastra Rancage 2008.
Buku yang menjadi inspirasi pembudayaan berbahasa Lampung ini direncanakan akan dibedah dalam gelaran acara Selingkuh Kata #3, sebuah acara yang ditaja Lampung Ekspres Plus setiap satu bulan sekali.
Selain acara bedah buku sastra karya Udo Z. Karzi, juga akan disuguhkan apresiasi seni musik tradisi cetik atau gamolan peghing yang dikolaborasi secara apik dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi.
"Dalam even gelaran Selingkuh Kata kali ini, kami akan menampilkan dua ranting seni, yaitu sastra dan musik," terang Rifky Marfuzi, salah seorang panitia acara.
Menurut Rifki, acara dimaksud diagendakan akan diselenggarakan di Rumah Dinas Wali Kota Bandar Lampung pada Rabu (15/7). "Bapak Wali Kota sudah setuju acara budaya ini dilaksanakan di rumah beliau," jelasnya.
Kedua penyaji, yaitu Udo Z. Karzi dan Entus Alrahfi, kata Rifki, telah jauh-jauh hari menyatakan kesediaannya. "Kami senang karena keduanya dikenal sebagai seniman mumpuni di Lampung dan bersedia mengisi acara yang kami gelar," tandasnya. (LE-15)
Sumber: Lampung Ekspres, Senin, 13 Juli 2009
Buku yang menjadi inspirasi pembudayaan berbahasa Lampung ini direncanakan akan dibedah dalam gelaran acara Selingkuh Kata #3, sebuah acara yang ditaja Lampung Ekspres Plus setiap satu bulan sekali.
Selain acara bedah buku sastra karya Udo Z. Karzi, juga akan disuguhkan apresiasi seni musik tradisi cetik atau gamolan peghing yang dikolaborasi secara apik dengan musik modern pimpinan Entus Alrahfi.
"Dalam even gelaran Selingkuh Kata kali ini, kami akan menampilkan dua ranting seni, yaitu sastra dan musik," terang Rifky Marfuzi, salah seorang panitia acara.
Menurut Rifki, acara dimaksud diagendakan akan diselenggarakan di Rumah Dinas Wali Kota Bandar Lampung pada Rabu (15/7). "Bapak Wali Kota sudah setuju acara budaya ini dilaksanakan di rumah beliau," jelasnya.
Kedua penyaji, yaitu Udo Z. Karzi dan Entus Alrahfi, kata Rifki, telah jauh-jauh hari menyatakan kesediaannya. "Kami senang karena keduanya dikenal sebagai seniman mumpuni di Lampung dan bersedia mengisi acara yang kami gelar," tandasnya. (LE-15)
Sumber: Lampung Ekspres, Senin, 13 Juli 2009
Harimau Sumatera: Salma Dipindah ke Taman Nasional Bukit Barisan
Jambi, Kompas - Salma, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tangkapan petugas balai konservasi sumber daya alam Provinsi Jambi, menjalani proses pelepasliaran ke kawasan Tampang Belimbing, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung, Minggu (12/7).
Dalam penjagaan ketat petugas, Salma dijemput dari Kebun Binatang Taman Rimbo ke Bandara Sultan Thaha Jambi sekitar pukul 07.00 untuk dibawa ke Lampung.
Drh Wisnu Wardhana, dokter yang sehari sebelumnya mengadakan tes kesehatan umum, menyatakan, Salma dalam kondisi sehat. Bekas luka tembak sedalam tiga sentimeter di dahinya telah pulih. Diare yang sempat dialaminya juga sudah sembuh sehingga Salma dinyatakan siap dilepasliarkan. ”Ia hanya sedikit lebih gemuk karena tidak banyak beraktivitas selama karantina di kebun binatang.”
Sebelum dilepas ke Tampang Belimbing (Tambling), Salma terlebih dahulu menjalani proses reintroduksi. Hal ini diperlukan karena setelah ditangkap oleh petugas BKSDA dari kawasan hutan produksi di Sungai Gelam, Muaro Jambi, Salma sempat mendekam selama empat bulan dalam kandang di kebun binatang.
Salma yang namanya merupakan kepanjangan dari Sawit Lahan Makin Group ditangkap tim BKSDA pada 11 Februari di Afdeling I, perusahaan perkebunan sawit PT Makin Group. Harimau betina seberat 80 kilogram dan panjang hampir dua meter ini ditangkap karena sebelumnya diduga menerkam 11 korban hingga tewas dalam hutan. Penangkapannya bertujuan menghindari perburuan satwa liar yang belakangan marak seiring meningkatnya konflik harimau dan manusia di Jambi.
Kepala Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan Masyhud mengatakan, Salma akan menjalani masa reintroduksi selama dua hingga tiga pekan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung bersama dengan warga Dusun Way Pengekahan, Way Haru, Kecamatan Bengkunat Belimbing, mempertanyakan motif pemindahan Salma. Warga desa yang termasuk enclave tersebut masih trauma dengan pelepasliaran dua harimau sumatera asal Aceh Selatan, 22 Juli 2008, yang bernama Pangeran dan Agam.
Keduanya dilepasliarkan di kawasan Tampang Belimbing Wildlife Nature Conservation—area konsesi pengusahaan ekowisata oleh Artha Graha Grup dan terletak tepat di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat. (hln/ITA)
Sumber: Kompas, Senin, 13 Juli 2009
Dalam penjagaan ketat petugas, Salma dijemput dari Kebun Binatang Taman Rimbo ke Bandara Sultan Thaha Jambi sekitar pukul 07.00 untuk dibawa ke Lampung.
Drh Wisnu Wardhana, dokter yang sehari sebelumnya mengadakan tes kesehatan umum, menyatakan, Salma dalam kondisi sehat. Bekas luka tembak sedalam tiga sentimeter di dahinya telah pulih. Diare yang sempat dialaminya juga sudah sembuh sehingga Salma dinyatakan siap dilepasliarkan. ”Ia hanya sedikit lebih gemuk karena tidak banyak beraktivitas selama karantina di kebun binatang.”
Sebelum dilepas ke Tampang Belimbing (Tambling), Salma terlebih dahulu menjalani proses reintroduksi. Hal ini diperlukan karena setelah ditangkap oleh petugas BKSDA dari kawasan hutan produksi di Sungai Gelam, Muaro Jambi, Salma sempat mendekam selama empat bulan dalam kandang di kebun binatang.
Salma yang namanya merupakan kepanjangan dari Sawit Lahan Makin Group ditangkap tim BKSDA pada 11 Februari di Afdeling I, perusahaan perkebunan sawit PT Makin Group. Harimau betina seberat 80 kilogram dan panjang hampir dua meter ini ditangkap karena sebelumnya diduga menerkam 11 korban hingga tewas dalam hutan. Penangkapannya bertujuan menghindari perburuan satwa liar yang belakangan marak seiring meningkatnya konflik harimau dan manusia di Jambi.
Kepala Pusat Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan Masyhud mengatakan, Salma akan menjalani masa reintroduksi selama dua hingga tiga pekan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung bersama dengan warga Dusun Way Pengekahan, Way Haru, Kecamatan Bengkunat Belimbing, mempertanyakan motif pemindahan Salma. Warga desa yang termasuk enclave tersebut masih trauma dengan pelepasliaran dua harimau sumatera asal Aceh Selatan, 22 Juli 2008, yang bernama Pangeran dan Agam.
Keduanya dilepasliarkan di kawasan Tampang Belimbing Wildlife Nature Conservation—area konsesi pengusahaan ekowisata oleh Artha Graha Grup dan terletak tepat di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat. (hln/ITA)
Sumber: Kompas, Senin, 13 Juli 2009
July 12, 2009
Desentralisasi Wilayah (Adat) Istimewa
Oleh Febrie Hastiyanto
BILA kita membincangkan desentralisasi, isu utama yang mengemuka adalah otonomi pelaksanaan pemerintahan di kabupaten/kota, dan belakangan hendak ditarik ke level provinsi. Hampir tidak ada yang berminat mendiskusikan desentralisasi pada kesatuan hukum pemerintahan (dan adat) yang bersifat istimewa.
TARI SIGER PENGUTEN. Muli-muli menarikan Siger Penguten sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang kepada tamu. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Istimewa bila dilihat dari hak-hak asal-usul daerah yang telah ada sebelum republik berdiri (Pasal 18 UUD 1945 (asli)). Isu utama "wilayah istimewa" ini sering merujuk pada Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam), Yogyakarta, Papua, dan Jakarta (Daerah Khusus Ibu Kota). Padahal, di samping kawasan dalam struktur provinsi dan kabupaten/kota, masih ada wilayah istimewa berbentuk nagari, desa pakraman, desa perdikan, marga, dusun, maupun gampong (penjelasan Pasal 18 1945 (asli)).
Kesatuan pemerintahan (adat) ini sering terlewat, boleh disebut diabaikan dalam diskursus desentralisasi kita yang telah diatur dalam pelbagai undang-undang, sejak UU No. 1/1945, UU No. 22/48, UU No. 1/1957, UU No. 18/65, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan UU No. 32/2004 yang telah beberapa kali direvisi.
Sejarah Marga
Masyarakat Lampung mengenal struktur dan sistem kemasyarakatan berbentuk marga. Marga merupakan kesatuan hukum adat masyarakat Lampung, yang dalam perkembangannya mengalami modifikasi struktur dan sistem. Dari catatan yang ada setelah era Kerajaan Tulangbawang, Sekampung atau Sekala Brak yang masih diteliti kebenarannya, kuat diduga kesatuan hukum adat di Lampung tidak berbentuk kerajaan, tapi berbentuk keratuan (Soebing, 1988 dalam Saptono, 2005). Keratuan adalah kesatuan hukum yang tunduk pada kerajaan yang lebih besar, dalam hal ini berturut-turut Sriwijaya, Melayu Jambi, Majapahit, dan Banten.
Secara de facto kekuasaan kerajaan dilaksanakan oleh keratuan yang dalam perkembangannya kekuasaan keratuan secara de facto berada di tangan buay (kesatuan adat berdasarkan garis keturunan) yang terdiri dari sejumlah paksi (kesatuan adat inti berdasarkan garis genealogi) dan marga (kesatuan adat berdasarkan kewilayahan kampung) (Hadikusuma, 1989).
Sistem pemerintahan marga diduga berakar pada tradisi Sriwijaya, atau setidaknya memodifikasi sistem marga yang digunakan Kerajaan Palembang Darussalam. Dalam satu marga terdapat sejumlah tiuh, pekon, atau prowatin. Setiap tiuh atau pekon terbagi lagi dalam sejumlah umbul.
Ketika VOC membentuk distrik Lampung (Lampongsche Districten) pada tahun 1817 yang berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian dipindahkan ke Telukbetung, struktur masyarakat adat belum diubah. Baru tahun 1826 Belanda mengubah struktur adat marga yang sebelumnya otonom, kemudian berada di bawah dan tunduk pada kekuasaan Residen.
Tahun 1928 Belanda menetapkan ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (pesirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga (Saptono, 2007).
Melalui ordonansi marga Regering Voor de Lampungche Districten Belanda membagi Lampung dalam 84 (delapan puluh empat) marga berikut batas-batas teritorialnya. Sebanyak 78 (tujuh puluh delapan) dari 84 marga ini merupakan masyarakat etnis Lampung. Sisanya merupakan pendatang, utamanya dari Sumatera Selatan.
Melalui regulasi ini pula Belanda mengubah sistem kebuayan yang semula bersifat genealogis-teritorial pada paksi-paksi, menjadi sistem marga yang bersifat teritorial-genealogis.
Pada masa setelah perang kemerdekaan, sistem pemerintahan marga mengalami sejumlah perubahan. Tahun 1947, sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada tahun 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatra Barat.
Sistem nagari ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat kecamatan (Hadikusuma, 1985--1986). Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.
Meski demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal meskipun perannnya semakin terbatas dan masyarakat pendukungnya semakin menipis.
Masa Depan Marga
Secara konstitusional keberadaan marga diakui, meskipun dalam peraturan perundangan tentang Pemerintahan Daerah kesatuan-kesatuan teritorial dan adat cenderung diabaikan. Pascareformasi, mulai muncul kesadaran dan keinginan untuk mengakomodasi sistem dan struktur kesatuan adat dalam pemerintahan. Di Lampung misalnya, sejumlah kabupaten mulai menggunakan nomenklatur lokal sebagai pengganti nama organik desa seperti pekon di Lampung Barat, maupun kampung di Way Kanan.
Namun, ikhtiar ini masih berwujud perubahan nama, belum sampai pada perubahan identitas, karakteristik, struktur, dan sistem pemerintahan.
Wacana desentralisasi kesatuan adat istimewa juga mengemuka di sejumlah daerah. Di Bali, misalnya, akomodasi terdapat sistem nasional dan adat dimaterialkan dengan keberadaan desa dinas sebagai desa dalam struktur pemerintahan negara, dan desa pakraman sebagai "desa adat". Dualisme struktur ini disertai pembagian peran dan fungsi masing-masing desa dalam masyarakat. Di Sumatera Barat, wacana desentralisasi kesatuan adat disambut dengan mengefektifkan kembali kelembagaan nagari.
Mengefektifkan kelembagaan adat tentu bukan ide yang sederhana. Setidaknya ada tiga pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk kita mengefektifkan kelembagaan lokal yang pernah ada. Pertama, regulasi. Regulasi yang telah ada baru mengatur desentralisasi hingga level kabupaten/kota, meskipun amanat konstitusi secara eksplisit menyebut desentralisasi hingga level kesatuan adat istimewa, meskipun undang-undang yang secara khusus mengaturnya belum ada.
Kedua, kita telah hampir tiga dekade tidak mengenal sistem kesatuan adat istimewa di tengah masyarakat. Generasi muda hanya mengenalnya dari literatur dan cerita tutur, sedangkan generasi tua telah mulai uzur sehingga sangat mungkin terjangkit penyakit lupa. Kondisi ini menyebabkan kita kesulitan mencari model dan rujukan atau referensi seperti apa sistem, struktur, peran dan fungsi kesatuan adat yang pernah ada.
Ketiga, persepsi publik. Desentralisasi wilayah adat istimewa ini tentu tidak hanya dijadikan sebagai usaha-usaha romatik mengembalikan sistem adat, sedangkan publik mungkin telah nyaman dengan sistem pemerintahan nasional yang ada. Kenyamanan ini dapat disebabkan dua hal: benar-benar nyaman, atau tidak tahu bila ada alternatif sistem pemerintahan adat. Alternatif sistem pemerintahan lokal ini pun masih perlu dikaji: masih diperlukan dan dibutuhkankah bagi publik hari ini?
* Febrie Hastiyanto, putera Way Kanan, bergiat komunitas milis etnografi_lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juli 2009>
BILA kita membincangkan desentralisasi, isu utama yang mengemuka adalah otonomi pelaksanaan pemerintahan di kabupaten/kota, dan belakangan hendak ditarik ke level provinsi. Hampir tidak ada yang berminat mendiskusikan desentralisasi pada kesatuan hukum pemerintahan (dan adat) yang bersifat istimewa.
TARI SIGER PENGUTEN. Muli-muli menarikan Siger Penguten sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang kepada tamu. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Istimewa bila dilihat dari hak-hak asal-usul daerah yang telah ada sebelum republik berdiri (Pasal 18 UUD 1945 (asli)). Isu utama "wilayah istimewa" ini sering merujuk pada Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam), Yogyakarta, Papua, dan Jakarta (Daerah Khusus Ibu Kota). Padahal, di samping kawasan dalam struktur provinsi dan kabupaten/kota, masih ada wilayah istimewa berbentuk nagari, desa pakraman, desa perdikan, marga, dusun, maupun gampong (penjelasan Pasal 18 1945 (asli)).
Kesatuan pemerintahan (adat) ini sering terlewat, boleh disebut diabaikan dalam diskursus desentralisasi kita yang telah diatur dalam pelbagai undang-undang, sejak UU No. 1/1945, UU No. 22/48, UU No. 1/1957, UU No. 18/65, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan UU No. 32/2004 yang telah beberapa kali direvisi.
Sejarah Marga
Masyarakat Lampung mengenal struktur dan sistem kemasyarakatan berbentuk marga. Marga merupakan kesatuan hukum adat masyarakat Lampung, yang dalam perkembangannya mengalami modifikasi struktur dan sistem. Dari catatan yang ada setelah era Kerajaan Tulangbawang, Sekampung atau Sekala Brak yang masih diteliti kebenarannya, kuat diduga kesatuan hukum adat di Lampung tidak berbentuk kerajaan, tapi berbentuk keratuan (Soebing, 1988 dalam Saptono, 2005). Keratuan adalah kesatuan hukum yang tunduk pada kerajaan yang lebih besar, dalam hal ini berturut-turut Sriwijaya, Melayu Jambi, Majapahit, dan Banten.
Secara de facto kekuasaan kerajaan dilaksanakan oleh keratuan yang dalam perkembangannya kekuasaan keratuan secara de facto berada di tangan buay (kesatuan adat berdasarkan garis keturunan) yang terdiri dari sejumlah paksi (kesatuan adat inti berdasarkan garis genealogi) dan marga (kesatuan adat berdasarkan kewilayahan kampung) (Hadikusuma, 1989).
Sistem pemerintahan marga diduga berakar pada tradisi Sriwijaya, atau setidaknya memodifikasi sistem marga yang digunakan Kerajaan Palembang Darussalam. Dalam satu marga terdapat sejumlah tiuh, pekon, atau prowatin. Setiap tiuh atau pekon terbagi lagi dalam sejumlah umbul.
Ketika VOC membentuk distrik Lampung (Lampongsche Districten) pada tahun 1817 yang berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian dipindahkan ke Telukbetung, struktur masyarakat adat belum diubah. Baru tahun 1826 Belanda mengubah struktur adat marga yang sebelumnya otonom, kemudian berada di bawah dan tunduk pada kekuasaan Residen.
Tahun 1928 Belanda menetapkan ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (pesirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga (Saptono, 2007).
Melalui ordonansi marga Regering Voor de Lampungche Districten Belanda membagi Lampung dalam 84 (delapan puluh empat) marga berikut batas-batas teritorialnya. Sebanyak 78 (tujuh puluh delapan) dari 84 marga ini merupakan masyarakat etnis Lampung. Sisanya merupakan pendatang, utamanya dari Sumatera Selatan.
Melalui regulasi ini pula Belanda mengubah sistem kebuayan yang semula bersifat genealogis-teritorial pada paksi-paksi, menjadi sistem marga yang bersifat teritorial-genealogis.
Pada masa setelah perang kemerdekaan, sistem pemerintahan marga mengalami sejumlah perubahan. Tahun 1947, sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada tahun 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatra Barat.
Sistem nagari ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat kecamatan (Hadikusuma, 1985--1986). Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.
Meski demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal meskipun perannnya semakin terbatas dan masyarakat pendukungnya semakin menipis.
Masa Depan Marga
Secara konstitusional keberadaan marga diakui, meskipun dalam peraturan perundangan tentang Pemerintahan Daerah kesatuan-kesatuan teritorial dan adat cenderung diabaikan. Pascareformasi, mulai muncul kesadaran dan keinginan untuk mengakomodasi sistem dan struktur kesatuan adat dalam pemerintahan. Di Lampung misalnya, sejumlah kabupaten mulai menggunakan nomenklatur lokal sebagai pengganti nama organik desa seperti pekon di Lampung Barat, maupun kampung di Way Kanan.
Namun, ikhtiar ini masih berwujud perubahan nama, belum sampai pada perubahan identitas, karakteristik, struktur, dan sistem pemerintahan.
Wacana desentralisasi kesatuan adat istimewa juga mengemuka di sejumlah daerah. Di Bali, misalnya, akomodasi terdapat sistem nasional dan adat dimaterialkan dengan keberadaan desa dinas sebagai desa dalam struktur pemerintahan negara, dan desa pakraman sebagai "desa adat". Dualisme struktur ini disertai pembagian peran dan fungsi masing-masing desa dalam masyarakat. Di Sumatera Barat, wacana desentralisasi kesatuan adat disambut dengan mengefektifkan kembali kelembagaan nagari.
Mengefektifkan kelembagaan adat tentu bukan ide yang sederhana. Setidaknya ada tiga pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk kita mengefektifkan kelembagaan lokal yang pernah ada. Pertama, regulasi. Regulasi yang telah ada baru mengatur desentralisasi hingga level kabupaten/kota, meskipun amanat konstitusi secara eksplisit menyebut desentralisasi hingga level kesatuan adat istimewa, meskipun undang-undang yang secara khusus mengaturnya belum ada.
Kedua, kita telah hampir tiga dekade tidak mengenal sistem kesatuan adat istimewa di tengah masyarakat. Generasi muda hanya mengenalnya dari literatur dan cerita tutur, sedangkan generasi tua telah mulai uzur sehingga sangat mungkin terjangkit penyakit lupa. Kondisi ini menyebabkan kita kesulitan mencari model dan rujukan atau referensi seperti apa sistem, struktur, peran dan fungsi kesatuan adat yang pernah ada.
Ketiga, persepsi publik. Desentralisasi wilayah adat istimewa ini tentu tidak hanya dijadikan sebagai usaha-usaha romatik mengembalikan sistem adat, sedangkan publik mungkin telah nyaman dengan sistem pemerintahan nasional yang ada. Kenyamanan ini dapat disebabkan dua hal: benar-benar nyaman, atau tidak tahu bila ada alternatif sistem pemerintahan adat. Alternatif sistem pemerintahan lokal ini pun masih perlu dikaji: masih diperlukan dan dibutuhkankah bagi publik hari ini?
* Febrie Hastiyanto, putera Way Kanan, bergiat komunitas milis etnografi_lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juli 2009>