Oleh Tri Purna Jaya
SURUTNYA inovasi-inovasi dalam tataran "pertarungan" gagasan membuat stagnasi kehidupan berkesenian di Lampung. Nyaris tidak ada kebaruan dalam kesenian. Kondisi ini harus menjadi catatan setiap pihak yang bersinggungan dengan dinamika kesenian di provinsi ujung pulau ini.
DISKUSI SENI. Iswadi Pratama, Rahmat Sudirman, dan Haedarmansyah dalam Diskusi Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa Geliat Kesenian di Bumi Lampung, Siapa Peduli yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKMBS) Unila, Kamis (17/12) malam. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Pandangan ini mengemuka dalam Diskusi Geliat Kesenian di Bumi Ruwa Jurai, Siapa Peduli pada acara Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa (Bijusa) yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM-BS) Universitas Lampung (Unila) di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Kamis (17-12).
Diskusi itu menghadirkan pekerja seni dan pendiri Teater Satu Iswadi Pratama dan Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL) Khaedarmansyah dengan moderator Rahmat Sudirman. Tak kurang dari 40 orang, yang terdiri dari insan seni dan mahasiswa mengikuti diskusi yang juga merupakan rangkaian acara dari ulang tahun ke-20 UKMBS tersebut.
Para sastrawan-seniman Lampung yang hadir dalam diskusi ini antara lain Isbedy Stiawan ZS, Sugandhi Putra, Syaiful Irba Tanpaka, Entus Alrafi, Andika Sidik, Udo Z. Karzi, Ari Pahala Hutabarat, Edy Samudra Kertagama, dan Ahmad Yulden Erwin.
Iswadi memaparkan kegalauannya terhadap kesenian di Lampung yang seperti jalan di tempat. "Cita-cita keseniannya tidak jelas," kata dia. Ketidakjelasan itu, menurut dia, adalah disebabkan sebagian besar seniman di Lampung ini masih berpikir konservatif. "Tidak ada lagi "pertarungan-pertarungan" ide atau gagasan," kata dia.
Menurut dia, para seniman seperti berada di jalan buntu pada sebuah persimpangan dalam menentukan kehidupan mereka sendiri. "Mau total atau hanya pragmatis?" ujarnya.
Salah satu penyebabnya, kata Iswadi, yakni belum adanya sebuah peran profesional yang bisa menghubungkan karya-karya para seniman dengan masyarakat. "Seniman menjadi "penjual", juru lobi, staf promosi, staf administrasi, dan lain sebagainya," kata dia.
Hal itulah yang membuat para seniman seperti berada di persimpangan, apakah tetap idealis atau menjadi pragmatis. Yang selama ini terjadi, harapan sederhana dari para pekerja seni agar karyanya diapresiasi oleh masyarakat tidak selalu terpenuhi dengan baik. "Apa yang didapat setelah melihat suatu bentuk kesenian, entah itu pementasan tari, teater, pembacaan puisi, ataupun diskusi seni?" kata Iswadi.
Tiga Jenis Seniman
Secara tidak sengaja, hal tersebut menimbulkan adanya klasifikasi dalam dunia kesenian sekarang ini. Iswadi membaginya menjadi tiga tipe, yakni seniman yang pegawai negeri sipil (PNS), seniman bukan PNS, dan seniman "pubertas".
Ada beberapa catatan untuk tipe pekerja seni yang pertama dan kedua, seniman PNS dan seniman yang belum menjadi pegawai. Untuk tipe pertama dan kedua, kehidupan berkesenian yang mereka jalani tidaklah sederhana. "Di satu sisi, mereka seniman. Namun, di sisi lain mereka juga manusia yang mempunyai kehidupan yang harus dijalani," kata dia lagi.
Untuk tipe yang pertama, kata Iswadi, kegiatan kesenian yang dijalani lebih sekadar hasrat saja karena kehidupannya lebih ke arah pekerjaan. Seniman dengan tipe ini, menurut Iswadi, adalah seniman musiman. Jika hanya ada event saja. Namun, yang demikian tidak dapat disalahkan juga.
Namun, hal tersebut, kata dia, membuat mereka menjadi stagnan. "Tak ada lagi inovasi atau cita-cita karena hanya berdasarkan momentum saja," kata dia. Padahal, kata dia, seniman dengan tipe seperti ini sebenarnya mempunyai kesempatan-kesempatan emas jika menilik kehidupan pribadinya yang mempunyai pekerjaan atau keamanan secara finansial.
Sedangkan untuk seniman tipe kedua, kehidupan mereka bisa lebih pelik lagi. Sebab, "belum" menjadi PNS, tidak aman secara finansial. Kemudian, karena dihadapkan dengan persoalan seperti itu, mereka seakan-akan makan buah simalakama, apakah mencoba untuk tetap idealis atau mengikuti tuntutan kehidupan. Pada akhirnya tetap tidak terjadi inovasi. "Mereka menjadi pragmatis. Tetapi wajar karena mereka juga manusia," ujarnya.
Kemudian, seniman tipe ketiga, seniman usia pubertas. Ada satu catatan khusus dari Iswadi mengenai seniman tipe ini. "Darah segar. Penghidup kesenian di Lampung, khususnya kesenian yang bersifat kolektif, seperti tari atau teater," kata dia.
Dus, ada satu cacat yang patut diperhatikan dari seniman pubertas tersebut, menurut Iswadi, yaitu berhentinya mereka (seniman pubertas, red) berkesenian ketika mereka lulus dari bangku kuliah atau sekolah. "Karena mereka menjalaninya lebih kepada penyaluran hasrat berkesenian saja dan akhirnya putus generasi," ujarnya lagi.
Ketiga tipe seniman tersebut pada akhirnya tidak mampu membuat sebuah inovasi terhadap dunia kesenian itu sendiri. Hal itu pula ynag membuat satu pertanyaan yang mendasar: "Siapa yang peduli lagi dengan kesenian?" tanya Iswadi yang baru-baru ini mementaskan sebuah pertunjukan teater di Komunitas Salihara Jakarta.
Kebijakan Pemerintah
Pun demikian, kata Iswadi, pemerintah juga mempunyai andil dalam kemandekan dunia seni di Lampung ini. "Apakah pembangunan berdasarkan kebudayaan yang digadang-gadangkan itu sudah berjalan dengan baik? Jangan dimanipulasi," kata dia.
Menurut dia, selama ini yang terjadi pemerintah lebih menganggap kesenian itu sebagai sebuah alat, fungsional saja, hanya sebagai prestise. Ia mencontohkan, kesenian tari cuma dipakai atau diajak untuk menyambut pejabat-pejabat. "Apresiasinya jika hanya untuk itu. Jika dianggap penting, pentingnya seperti apa?" ujarnya.
Menanggapi pertanyaan salah satu perserta diskusi yang menyatakan bahwa kini sudah tidak ada lagi konsep yang komprehensif mengenai kesenian agar terus berkelanjutan, Iswadi mengaku geram dengan pemikiran seperti itu. Menurut dia, pola pikir seperti itu akan menjebak dan membuat persepsi bahwa kesenian itu adalah tanggung jawab seniman sepenuhnya untuk melestarikannya.
Iswadi mengajak berbagai pihak yang peduli dengan dunia kesenian untuk merenung kembali, "Apa yang harus kita lakukan? Kenapa berkesenian? Apakah cita-cita dalam berkesenian sudah tepat?"
Berkaitan dengan kegelisahan yang disampaikan Iswadi, Khaedarmansyah mengatakan pemerintah sudah cukup peduli dengan kehidupan berkesenian. "Bila terlihat kurang peduli, permasalahannya lebih kepada tataran operasional," kata dia.
Menurut dia, dahulu Dinas Pendidikan memiliki subdinas bagian kebudayaan. Itu untuk pelestariannya. Namun, kini bagian tersebut sudah digabungkan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang notabenenya lebih ke arah pemasaran atau promosi, sehingga pelestariannya sudah tidak ada lagi.
Padahal, kata dia, selama ini pemeliharaan atau pelestarian kesenian dan kebudayaan terletak di Dinas Pendidikan dengan sekolah-sekolah sebagai tumpuannya. "Tidak ada lembaga khusus," ujarnya.
Padahal, kata Khaedarmansyah, pemerintah sudah menyatakan bahwa pada 2012 nanti kesenian harus sudah berkembang di semua elemen masyarakat. "Tertuang dalam Perda No. 2/2008 tentang Pelestarian Kebudayaan," kata dia.
Perda itu menyebutkan kebudayaan Lampung yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai aset nasional keberadaannya perlu dijaga, diberdayakan, dibina, dilestarikan, dan dikembangkan. Sehingga, dapat berperan dalam upaya menciptakan masyarakat Lampung yang memiliki jati diri, berakhlak mulia, dan berperadaban.
Hal tersebut, kata dia, mencakup peningkatan akses kebudayaan, penyelengaraan, dan pelestarian, baik itu benda cagar budaya atau kesenian tradisi. Namun, permasalahan berada di tataran operasional yang sudah disebutkan tadi. "Seharusnya semua ikut peduli, baik itu seniman, pers, masyarakat, dan pemerintah," kata dia.
Perlu Strategi Kebudayaan
Dari diskusi ini mencuat pula gagasan tentang perlunya merumuskan strategi kebudayaan. Strategi ini harus disusun secara bersama oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah, pengusaha, maupun kalangan seniman sendiri.
Namun, sebelum berhasil merumuskan strategi kebudayaan, semua pihak-- baik seniman, pemerintah, maupun kalangan swasta--mesti mempertemukan kepentingan masing-masing, misalnya dengan focus group discussin (FGD). Kalau tidak, seniman masih terus akan terus berkeluh-kesah, sementara pemerintah menutup mata-telinga, dan pengusaha tidak merasa perlu membantu kehidupan kesenian dan seniman.
Bersamaan dengan itu, peserta diskusi mendesak pentingnya segera melakukan revitalisasi lembaga kesenian (Dewan Kesenian Lampung) sekaligus mengembalikan peran dan fungsinya yang "sebenarnya" sebagai institusi pendorong perkembangan kesenian dan memacu kreativitas seniman di Bumi Ruwa Jurai. Bukan sebaliknya, malah sibuk "mengurus" diri sendiri.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Desember 2009
No comments:
Post a Comment