December 31, 2009

[Catatan 2009] Kesenian (di) Lampung 2009

Oleh Isbedy Stiawan Z.S.

KESENIAN tradisional masih mendapat tempat lebih baik dibanding modern di Provinsi Lampung, meski sebagian orang akan membantah pernyataan ini. Tetapi, kesenian tradisional (Lampung) ternyata juga belum bisa banyak berbuat manakala berhadapan dengan strategi kebudayaan yang dibuat pemerintah (daerah). Pasalnya, pemerintah masih menomorsatukan dunia pariwisata yang dianggap bisa mendulang devisa bagi pendapatan asli daerah (PAD).

Anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung konon pada 2010 sebesar 80 persen untuk pariwisata dan sisanya untuk kebudayaan, demikian pernyataan Dr. Khaidarmansyah dalam diskusi Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa (Bijusa) di UKMBS Unila beberapa waktu lalu. Artinya, kebudayaan--di dalamnya kesenian yang harus pula berbagi antara tradisional dan modern--amatlah kecil. Dus, ini menunjukkan pemerintah provinsi masih kecil perhatiannya kepada kesenian.

Lantas, kesimpulan diskusi, pemerintah paling bertanggung jawab (kepedulian) untuk memajukan kesenian yang hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah ini masih sulit diharapkan bisa terwujud. Sektor lain di luar kesenian, seperti politik dan belanja aparatur pemerintah masih mendominasi. Padahal, kalau saja hasil pajak dari dunia hiburan bisa dimaksimalkan, niscaya bisa mengongkosi kegiatan berkesenian. Atau, bantuan dari pihak ketiga bisa diberdayakan, niscaya pula bisa menghidupi kesenian (termasuk yang modern).

Geliat kesenian (di) Lampung pada 2009 sebenarnya terbilang semarak. Misalnya, teater: dua grup teater papan atas Lampung, yaitu Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama dan Komunitas Berkat Yakin (KoBer) yang digawangi Ari Pahala Hutabarat telah mengukir prestasi di panggung teater. Teater Satu, selain mementaskan Kisah-kisah yang Mengingatkan di Taman Budaya Lampung, juga tampil di Salihara, Jakarta. Begitu pula KoBer yang mendapat hibah seni dari Yayasan Kelola telah tampil di Padangpanjang, Bengkulu, dan Salihara Jakarta. Kekuatan dua grup teater ini--tanpa mengabaikan kelompok lainnya--sudah cukup memperkenalkan Lampung di kancah seni nasional.

Sayangnya, pemerintah daerah rasanya belum menyentuh kedua teater secara maksimal. Boleh jadi pemda berkilah, yang "diurus" bukan hanya grup teater, melainkan banyak jurai kesenian yang mesti dipedulikan. Namun, perimbangannya yang mesti diperhatikan. Berapa besar pemda menggelontorkan bantuan ke sanggar-sanggar seni yang ternyata ada yang cuma papan nama, sedangkan grup teater yang nyata-nyata "bekerja" tidak didukung, tidak dibantu.

Seni rupa juga punya peran membangun kesenian di daerah ini. Pada 2009, berbagai event lokal dan nasional diikuti sejumlah perupa Lampung, seperti Joko Irianta, Subardjo, Pulung Swandaru, Sutanto, dan lain-lain. Kemudian, tari di pengujung 2009 Rumah Tari Sangishu tampil di UKMBS Unila (25-12).

Begitu pula perfilman yang ikut bergeliat menambah semaraknya dunia seni di Lampung. Apalagi, sadar atau tidak--diakui atau tidak diakui--tampilnya film Identitas karya sutradara Aria Kusumadewa yang notabene putra Lampung--sebagai film dan sutradara terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2009--mencitrakan daerah ini di kancah nasional. Lalu, musik juga punya hak untuk dicatat kendati bibit-bibit baru di dunia musik di daerah ini agak tersendat.

Sementara dunia sastra, tampaknya masih belum digeser oleh kesenian lainnya. Sastra masih tetap menjadi primadona daerah ini. Alasannya, membincangkan sastra nasional tanpa menyertakan sastra(wan) Lampung belum lengkap. Itu sebabnya, seorang Nirwan Dewanto pernah menyatakan Lampung sebagai lumbung penyair. Sementara F. Rahardi berujar yang bisa menyamai geliatnya sastra di Lampung adalah Bali dan Jawa Timur.

Sastra berbahasa Lampung juga bermunculan. Meski belum ada ruang di media massa, ternyata sastra dalam bahasa Lampung sempat tercatat di kancah Rancage. Sayangnya, tahun 2008 tidak muncul buku sastra berbahasa Lampung, setelah Udo Z. Karzi mendapat penghargaan Hadiah Sastra Rancage setahun sebelumnya. Namun, pada 2009 syukurlah dua buku karya Asarpin dan Oky Sanjaya diterbitkan. Sudah tentu penerbitan dua buku itu sasarannya adalah Rancage 2009.

Daerah Lampung sepertinya tak tandus oleh bibit baru. Daerah ini begitu subur memunculkan sastrawan-sastrawan baru. Catat saja misalnya, di dunia prosa ada F. Moses, S.W. Teofani, Ruth Marini, Alexander Gebe, lalu di puisi setelah "menghilangnya" Lupita Lukman, muncul Fitri Yani, Agit Yogi Subandi, Didi Arisandi, Endri Y., Lampung, M. Harya Ramdhoni, dan lain-lain.

Wajah-wajah baru ini, yang jika tidak salah olah, bisa menjaga kehidupan sastra di daerah ini semarak dan bukan tidak mungkin "melestarikan" Lampung di tingkat nasional sebagai lumbung penyair (sastrawan). Tinggal lagi kerja sama antara media massa, pemerintah, lembaga kesenian, dan sesama seniman itu sendiri. Sesama seniman, yang saya maksudkan, tidak saling menjatuhkan atau "menusuk dari belakang" --karena persoalan ini yang acap mengganggu energi berkesenian.

Meski semarak bersastra di Lampung cukup membanggakan, tercoreng pula oleh tindakan memalukan dari sedikit sastrawan Lampung yang ingin cepat jadi, dikenal, atau ingin disebut paripurna. Mereka melakukan sesuatu yang hina, yaitu memplagiat karya orang lain. Sesuatu yang sulit diampuni (dan mendapat pengampunan) karena yang "mencuri" itu adalah sastrawan yang sudah jadi. Sayang sekali, ulah plagiator seakan merusak susu sebelanga.

Ketika saya menghadiri Pesta Penyair Nusantara ke-3 di Kualalumpur, November lalu, masalah plagiat ini menjadi perbincangan sastrawan-sastrawan muda. Betapa pun boleh jadi mereka berkilah untuk menguji pembaca di daerah ini atau apalah alasannya tetapi cara-cara seperti itu amatlah salah.

Paragraf plagiat ini sengaja saya apungkan dalam mencatat refleksi kesenian 2009 di Lampung untuk menggarisbawahi bahwa semaraknya sastra di Lampung tercoreng pula oleh noda yang sulit diabaikan. Selain itu, sebagai warning bagi seniman lain yang tengah mengeksiskan dirinya. Bisa jadi plagiarisme ini bisa terjadi di dunia tari (koreografi), film, seni rupa, ataupun musik. Sekiranya di antara seniman itu tak saling mengoreksi atau menganggap masyarakat seni adalah sekolompok orang bodoh.

Kemudian, peran Dewan Kesenian Lampung (DKL) juga sudah cukup baik meski masih belum maksimal, setidaknya sudah mewarnai perkembangan kesenian di Lampung sepanjang 2009. Sayangnya, DKL belum mendapat dukungan dari kalangan lain, selain masih berharap dari APBD Provinsi Lampung. Sekiranya ada kelompok elite dari pengusaha, elite politik, dan sumber-sumber lain yang tak mengikat. Niscaya harapan untuk memberikan reward kepada seniman dengan bentuk bukan sekadar piagam akan tercapai.

Bagaimanapun, dengan adanya penghargaan (award) akan memacu para seniman lebih kreatif, dus itu akan memperkancah gagasan para seniman dalam berkarya dan akhirnya menumbuhkan inovasi-inovasi. Tentu saja, dengan pemilihan yang objektif. Saya kira ini sekelumit refleksi kesenian (di) Lampung 2009. Tabik. n

* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Desember 2009

[Catatan 2009] Band Lampung Makin Berkibar

Oleh Wiwik Hastuti

BANYAK peristiwa di jagat hiburan telah terjadi di sepanjang tahun 2009. Sejumlah berita terhangat di sepanjang tahun 2009 meluncur kencang, mulai dari makin berkibarnya grup-grup band indie Lampung di kancah belantika musik Tanah Air hingga berita penutup akhir tahun terpanas, Luna Maya mengamuk di Twitter.

Tak dapat dimungkiri derap langkah perkembangan musik di Tanah Air, khususnya di daerah, terlihat makin mantap. Dominasi kota-kota besar di Pulau Jawa sebagai kota penghasil band pencetak hit tampaknya mulai luntur dengan ditandai adanya band-band baru yang mampu mengibarkan karyanya di ranah musik Indonesia.

Tentu saja fenomena ini bak sebuah injeksi dosis tinggi penambah semangat bagi rekan-rekannya di daerah untuk lebih berkreasi agar bisa mengikuti jejak kesuksesan pionirnya. Salah satu daerah yang berhasil menjadi penyumbang fenomena band Tanah Air adalah Lampung.

Tengok saja, band-band indie seperti Beage, The Potters, Jenderal, COIN, Udara, Papers26, Jingga, Doc Marten's, Demank, Pangeran, X-Band, Etridi, Apolo, The Bahagia 60, Sketsa, Sixty Second, dan masih banyak lagi. Mereka ingin mengikuti jejak sukses pendahulunya, Kangen Band dan Hijau Daun, di percaturan musik saat ini. Tahun ini Band Beage, The Potters, dan Pangeran adalah produk teranyar daerah ujung selatan Pulau Sumatera tersebut, yang namanya berkibar di ranah musik Tanah Air.

Bergemanya nama Sang Bumi Ruwa Jurai di percaturan musik saat ini tak terlepas dari nama besar Kangen Band dan Hijau Daun. Siapa sangka Kangen Band yang dibentuk pemuda-pemuda "pinggiran" pada 2005, digawangi Doddy, Andika, Tama, Lim, Nory, dan Barry itu mampu menaklukkan musik Tanah Air.

Kangen Band mampu menampilkan kecirikhasan musik Indonesia yang ketimuran. Yang mana, aliran melayu slow pop yang menyambangi musik Kangen Band adalah buktinya lewat album perdana Tentang Aku, Kau, Dan Dia. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus membuat lagu spesial untuk menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional bertajuk Lorong Berujung yang dibawakan kelompok musik pop manis asal Lampung ini.

Kangen pun menendangkan Lorong Berujung yang bertutur tentang ajakan bersatu dalam kondisi apa pun itu dengan tempo lambat, sendu, dan meninabobokan pendengar. Sesuai dengan makna syiar tembang ini--bahwa di tengah masa transisi yang panjang saat ini--ada harapan dan ada cahaya di ujung lorong. Demikian pula Kangen, kelompok musik manis asal Lampung ini ingin terus berkarier kendati kehadirannya dahulu kerap diejek karena lagu-lagunya dianggap terlalu ecek-ecek.

Sukses besar Kangen juga diikuti Hijau Daun. Kehadiran band beraliran pop progresif yang terbentuk tahun 2001 dan berpersonel Dide (vokal), Array dan Arya (gitar), Deny (drum), dan Richan (bas) itu seolah memberi oksigen bagi musik Indonesia. Terbukti, lewat album perdana Ikuti Cahaya, mereka mampu menembus persaingan di industri musik Tanah Air.

Pencinta musik sempat meragukan Hijau Daun dari Lampung. Karena pembuatan album perdana Hijau Daun yang memakan waktu enam bulan, semua penggarapannya dilakukan di Bandung. Anggapan tersebut langsung ditepis oleh sang vokalis Dide. "Hijau Daun berasal dari Lampung, kota kelahiran kami," kata Dide yang diamini Array, Arya, Deny, dan Agung dalam suatu acara.

Karier bermusik Hijau Daun makin melejit. Berbagai penghargaan diraihnya. Bahkan, grup band ini mampu menorehkan catatan baru dalam pertunjukan musik di Bandar Lampung. Band yang berhasil menjual lebih dari enam juta ring back tone (RBT) untuk lagu Suara (Kuberharap) ini tampil di Tugu Adipura yang menjadi ikon Kota Bandar Lampung dalam acara HUT ke-327 pada 20 Juli 2009.

Seperti disampaikan oleh Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno, pertunjukan musik di Tugu Adipura ini merupakan kali pertama dan terakhirnya. Sebab itu, Hijau Daun merasa tersanjung didaulat untuk tampil di acara tersebut. "Bisa tampil di Tugu Adipura yang menjadi ikon kota untuk menghibur masyarakat. Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi band kami," kata Dide.

Setelah fenonema Kangen Band dan laris manisnya Hijau Daun, band-band indie seperti Beage, The Potters, Jenderal, Apolo, Pangeran yang mengusung berbagai aliran musik, menyusul kesuksesan band tersebut.

Tahun ini kiprah mereka makin berkibar di kancah musik Tanah Air.

Sebut saja The Potters. Band ini digawangi anak-anak muda: Frans Rizky Aditya (vokal), Jeremiah Jason Paul (gitar), Benny Fernando (drum), dan Bonix Abdul Kadir (bas).

Debut album The Potters bertajuk Bintangku yang dirilis pada Juli 2009 pun laris manis bak kacang goreng. Sebagai pendatang baru, The Potters secara perlahan namun pasti mampu mencuri hati para penggemarnya dari penjuru nusantara.

Demikian pula Beage. Band yang diorbitkan restoran cepat saji asal Amerika, Kentucky Fried Chicken, dan digawangi Alosh (vokal), 'ndi (gitar), Bethe (gitar), Indra (bass) dan Iman (drum) itu lewat single jagoan di antaranya adalah Aw Aw, Presiden Cinta, Tania pun digandrungi pencinta musik Tanah Air.

Berkibarnya band-band indie di Lampung patut kita syukuri. Suksesnya mereka tak hanya menghasilkan pundi-pundi uang, tapi juga popularitas. Eksisestensi band Lampung, diharapkan bisa diikuti band-band indie lainnya yang mengusung berbagai aliran musik.

Masalahnya, begitu banyak band indie Lampung, tetapi kesemuanya belum berani untuk membawakan lagu-lagu daerah Lampung, dalam setiap penampilan mereka. Mungkin kurang gaya atau takut kualat. Atau, mungkin juga bukan zamannya dan tidak ngetren. Tahun depan, mudah-mudahan mereka mau membawakan lagu-lagu Lampung sehingga tak hanya mempromosikan tapi juga melestarikan lagu-lagu daerah yang notabenenya tempat kelahiran sendiri.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Desember 2009

December 30, 2009

126 Tahun Terkubur, Dokumen Letusan Krakatau Diterbitkan

JAKARTA — Direktur Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, Sapta Nirwandar, menyambut baik diterbitkannya dokumen klasik tentang dahsyatnya letusan Krakatau tahun 1883. Sebab, dokumen yang telah 126 tahun terkubur dalam lautan naskah kuno dan ditemukan terpisah di enam negara itu, sekarang sudah bisa dibaca bangsa Indonesia.

“Dokumen klasik bernama Syair Lampung Karam ini adalah karangan Muhammad Saleh, yang mengaku mengalami dan menyaksikan sendiri letusan Krakatau yang amat dahsyat di tahun 1883. Saking dahsyatnya, bunyi letusannya dapat didengar sejauh Manila, Cololbo, Papua Nugini, dan pedalaman Australia,” kata Sapta Nirwandar di Jakarta, Rabu (30/12/2009).

Syair Lampung Karam tentang dahsyatnya letusan Krakatau hasil penelitian Suryadi, –peneliti dan dosen di Leiden University ini, menurut Sapta, teks syairnya bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks syair tersebut dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau.

Syair yang aslinya ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi) ini juga dapat direvisi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya dan sastra daerah Lampung khususnya dan Indonesia umumnya.

“Dengan terbitnya dokumen langka hasil catatan pribumi satu-satunya tentang letusan Krakatau 1883 itu, bangsa Indonesia mendapat kesempatan untuk mengetahui sebuah dokumen yang ditulis oleh para pendahulu kita,” papar Sapta.

Naskah klasik yang merupakan kekhayaan khasanah budaya Indonesia ini menarik dikaji karena di dalamnya mengandung banyak informasi penting menyangkut bahasa, budaya, dan sejarah Indonesia.

Sumber: Oase kompas.com, 30 Desember 2009

December 27, 2009

Teliti Sejarah Kerajaan Sekala Brak

YOGYAKARTA (Lampost): Pemerintah Kabupaten Lampung Barat diminta meneliti asal usul dan sejarah Kerajaan Paksi Sekala Brak yang merupakan akar budaya masyarakat Lampung Sai Batin modern.

Demikian salah satu dari enam rekomendasi seminar budaya Sekala Brak yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa (IKPM) Lampung Barat di Yogyakarta.

Ketua Panitia Novan Adi Putra Saliwa mengatakan kegiatan itu berupa Seminar dan Gelar Budaya Bumi Sekala Bekhak 2009 dan terselenggara atas kerja sama Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal lingkungan Negara Batin, Liwa.

Ia menjelaskan seminar itu bertema peran pemerintah, pemuda, dan masyarakat Lampung Barat dalam meningkatkan pariwisata berbasis kebudayaan lokal guna melestarikan kebudayaan bangsa. Kegiatan ini dilaksanakan Minggu (20-12).

Novan menjelaskan pembicara dalam seminar tersebut ialah Asisten II Pemkab Lambar Gunawan Rasyid, G.K.R. Pembayun (putri tertua Sultan Hamengkubowono X), Sai Batin Gedung Dalom Marga Liwa Puniakan Beliau Pangeran M. Harya Ramdhoni Julizarsyah gelar Suttan Pangeran Indrapati Cakranegara VII.

M. Harya Ramdhoni dalam seminar menyarankan agar Pemkab Lambar membangun sebuah paradigma baru kebijakan pariwisata dengan menggunakan pendekatan wisata sejarah yang bertujuan memunculkan kembali budaya purba Sekala Bekhak yang terlupakan selama berabad-abad.

Kegiatan tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang diserahkan kepada Pemkab Lampung Barat melalui Asisten Bidang Ekonomi Pembangunan Setkab Lambar.

Novan memaparkan rekomendasi kedua, Pemkab Lambar harus segera memulai menginventarisasi, merawat, dan menjaga situs-situs purbakala, sehingga tetap terjaga dan menjadi objek wisata menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Ketiga, Pemkab Lambar segera mengoptimalkan pemanfaatan pembangunan objek-objek wisata dengan fasilitas dan pegawai yang profesional dan berwawasan kebudayaan lokal, sehingga mampu meningkatkan hajat hidup masyarakat setempat.

Keempat, menjaga dan melestarikan seni budaya Lampung Barat khususnya kesenian yang hampir punah dengan memasukkannya ke dalam pembelajaran di sekolah sebagai bekal bagi kaum muda daerah.

Kelima, menggunakan simbol-simbol kelampungan seperti bahasa dan tapis atau pakaian adat bagi para pejabat dan pegawai pemda pada hari-hari tertentu, sebagai motivasi dan benteng penyelamat terkikisnya budaya lokal. Keenam, meningkatkan peran pemuda atau karang taruna dalam mendukung kebijakan pariwisata di Lampung Barat.

Ketua IKPM Lambar Ruci Candika menambahkan harapan terbesar dari para pemuda Lambar di Yogyakarta adalah dukungan moral dan material dari Pemkab untuk menjadi motivator dan fasilitator bagi seluruh gerak pemuda di tengah tantangan dunia global. MG14/S-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Desember 2009

Tanjung Setia, 'Surga' Selancar di Lampung Barat

PANTAI Tanjung Setia di Kecamatan Pesisir Selatan, Lampung Barat, ini tidak setenar THR Pasir Putih di Lampung. Namun, wisatawan manca negara justru lebih mengenal Tanjung Setia ketimbang Lampung.

Bibir laut dengan pasir landai itu menggambar garis lengkung pantai. Di sisi darat, tetumbuhan alami terus bertunas subur. Di belakangnya, gugusan perbukitan yang merupakan ruas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) membenturkan pandangan dengan kehijauan nan ranum.

Seorang wisatawan asing sedang melakukan surfing di Pantai Tanjung Setia yang memiliki ketinggian ombak rata-rata 5 meter. (LAMPUNG POST/ANSORI)

Di sisi lawan yang menghadap bilik matahari tenggelam, laut membiru tanpa batas membentang. Hanya fatamorgana dan batas kemampuan mata memandang yang memagar samudera Hindia itu. Selebihnya, garis-garis putih berupa gundukan setinggi dua sampai lima meter yang terlihat bergelora di permukaan laut.

Tak ada kata berhenti, gelombang yang entah dari mana berasal, bergulung-gulung, menerabas apa pun yang ada di permukaan, lalu membentur keras ke setiap benda yang berada di pantai.
"Bluearrrrrrr,........rurururuurgggg!"

Gelegar debur ombak nan dahsyat itu tak pernah letih. Ada keberisikan yang luar biasa bagi pengunjung yang tidak biasa berada di sekitar pesisir pantai Lampung Barat itu. Namun, bagi yang terbiasa, suara itu adalah orkestra yang memberi makna hidup dinamis.

Bagi pengunjung yang memang ingin melewatkan waktu dengan pelesiran di lokasi ini, suara itu adalah hiburan yang amat didambakan. Suara ombak itu seolah menyampaikan pesan dari dunia lain, bahwa keindahan selalu ada dan akan terus memberi kesejukan kepada mereka.

Di sepanjang jalan di pantai barat Lampung Barat dari Bengkunat hingga perbatasan Provinsi Bengkulu itu memang luar biasa. Jalan lintas barat Sumatera yang berkilo-kilo meter berada pada posisi sejajar dengan garis pantai membuat pemandangan selama perjalanan begitu memesona. Paduan spektakulernya laut dan hutan adalah kesempurnaan peranti relaksasi.

Meski pesona ada di hampir semua lokasi sepanjang pantai, satu lokasi yang sudah populer justru oleh wisatawan mancanegara adalah Pantai Tanjung Setia. Lokasi wisata yang dikelola dan membentang sepanjang sekitar 200 meter itu menjadi tempat wisatawan beradu lincah dan berbalap cepat dengan ombak dengan papan selancar.

Menuju Tanjung Setia


Salah satu agenda wisata di Pantai Tanjung Setia adalah Semarak Wisata Tanjung Setia. Perhelatan ini digelar setiap Juli. Masyarakat antusias memeriahkan pergelaran itu, Juli 2009 lalu. (LAMPUNG POST/ANSORI)

Lokasi Pantai Tanjung Setia ini memang cukup melelahkan untuk dijangkau dengan jalur darat. Dari Bandar Lampung, jaraknya sekitar 300 kilometer. Ini lebih berat lagi karena medan yang harus dilalui--lewat Kotabumi, Bukit Kemuning, Liwa--cukup menantang. Selepas Bukit Kemuning, jalan relatif kecil dan berkelok.

Dari ibu kota Kabupaten Lampung Barat di Liwa, jarak Tanjung Setia sekitar 60 kilometer. Dari kota sejuk berjuluk Kota Berbunga itu, jalan sepi yang meliuk-liuk di bawah pepohonan yang menghijau dan tebing-tebing yang terjal di kiri kanan jalan serta perkampungan penduduk desa yang terlihat bersahaja merupakan pemandangan yang takan terlupakan.

Bagi pengunjung yang belum pernah datang ke Tanjung Setia, mungkin dua jam jarak yang akan ditempuh dari pusat Kota Liwa akan terasa lama. Tapi bagi pengunjung yang memang menyukai perjalanan darat, justru dapat dinikmati. Pengunjung akan dimanjakan oleh keindahaan nuansa alam yang masih terjaga.

Kebudayaan dan kepariwisataan Lampung Barat memiliki pesona alam yang menawan serta kebudayaan yang unik dan beragam sehingga tidak jarang bagi para pengunjung yang datang ke Lambar selalu berkeinginan untuk kembali karena keindahan wisatanya.

Pantai Tanjung Setia yang terletak di Desa Tanjung Setia, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat, itu sangat strategis. Akses yang berdekatan dengan jalan raya memudahkan para pengunjung termasuk wisatawan.

Keunggulan pantai ini, ketingiian ombak sekitar lima meter dan panjang gelombang mencapai 200 meter. Udara di lokasi ini juga bersahabat, yakni antara 29--33 derajat Celisius.

Wisatawan akan melakukan penyelaman di Pantai Tanjung Setia, Desa Tanjung Setia, Kecamatan Pesisir Selatan, Lampung Barat. (LAMPUNG POST/ANSORI)

Pantai Tanjung Setia juga cukup terkenal dengan salah satu pantai yang memiliki ombak tertinggi di dunia.

Dengan ketinggian ombaknya yang memiliki tinggi lima meter dan panjang gelombang 200 meter, maka tak heran jika tidak kurang dari 10 ribu orang wisatawan yang berasal dari Australia, Portugal, Belanda, Jepang, Amerika, dan lainnya selalu berkunjung ke Pantai Tanjung Setia setiap tahunnya. Tujuan utama mereka adalah berselancar angin atau surfing.

Selain tempat favorit bagi para wisatawan karena ketinggian ombaknya, Pantai Tajung Setia juga banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal karena keindahan lautnya yang memukau. Kegiatan lain yang biasa dilakukan wisatawan di sini adalah menyelam, berenang, berperahu, memancing, berkemah, out bound, dan olahraga pantai lain.

Pada bulan Mei--Agustus, ombak di pantai Tanjung Setia bias mencapai 7 meter.

Kondisi laut pantai yang masih alami, dan suasananya tenang serta jauh dari kebisingan juga merupakan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung, terutama bagi wisatawan asing dan wisatawan lokal yang berasal dari perkotaan.

Selain terkenal dengan keindahan pantai dan ketinggian ombaknya, pantai Tanjung Setia juga cukup terkenala sebagai tempat wisata memancing. Beberapa jenis ikan terkenal adalah ikan tuna dan blue marlin yang merupakan ikan favorit bagi para pecinta memancing. n ANSORI/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Desember 2009

December 25, 2009

Lampung Promosikan VLY 2010 di Yogyakarta

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah Provinsi Lampung menjadikan anjungan Lampung di Yogyakarta sebagai wahana promosi Visit Lampung Years (VLY) 2010. Asisten II Sekprov Lampung Arinal Junaidi mengatakan anjungan Lampung berpotensi mendongkrak dan mendukung promosi wisata VLY 2010.

"Anjungan tersebut diolah semenarik mungkin agar turis domestik dan mancanegara yang datang ke Yogyakarta tertarik melihat anjungan yang juga memamerkan kerajinan dan budaya Lampung dan akhirnya mau berkunjung ke Lampung," kata Arinal, Rabu (23-12).

Pengelolaan anjungan yang diresmikan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ini, menurut Arinal, dimaksimalkan dengan melibatkan pelajar dan mahasiswa Lampung yang berada di Yogyakarta. "Jadi, maju atau tidaknya anjungan Lampung bergantung kreativitas pelajar dan mahasiswa dan dukungan pemerintah kabupaten dan kota," ujarnya.

Arinal mengimbau pemerintah kabupaten dan kota berpartisipasi mengelola anjungan ini. Misalnya, dengan memamerkan kekayaan alam serta seni dan kekayaan budaya wilayahnya masing-masing di anjungan ini.

Selain kerajinan, berbagai macam produk khas Lampung juga dipamerkan di anjungan untuk dipromosikan dan kemudian diharapkan terjadi transaksi jual beli.

"Para satuan kerja (satker) di pemerintahan daerah seluruh Lampung diharapkan dapat memanfaatkan anjungan ini sebagai sarana promosi daerah Lampung sesuai dengan bidangnya masing-masing," kata Arinal.

Mantan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung ini juga mengatakan pengoptimalan anjungan Lampung ini diharapkan tidak hanya menjadi sarana promosi kebudayaan, tetapi juga sebagai wadah silaturahmi pelajar dan mahasiswa Lampung yang menuntut ilmu di sana.n MG3/R-3

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Desember 2009

December 22, 2009

Dongeng Anak-anak untuk Sosok Ibu

IBU adalah seorang manajer yang sibuk dan sedikit cerewet. Di siang hari ibu adalah pengasuh yang tidak sabaran dan di malam hari ibu adalah guru yang galak. Meski begitu, aku sayang dan cinta ibu. Aku adalah bagian terpenting dari hidup ibu. Terima kasih ibu.”

Demikian sepenggal kutipan pengungkapan polos mengenai ibu dari Kaskia Defitri (7,5), siswa kelas dua Sekolah Alam Lampung. Dengan lancar ia mengucapkan kalimat demi kalimat tentang ibu dari sudut pandangnya sebagai anak-anak.

Kaskia atau yang akrab dipanggil Yaya itu ketika ditanyai mengapa ia menggambarkan ibu dengan cara demikian, dengan polos ia bercerita, memang seperti itulah ibu. Yaya menuturkan, ia sangat mencintai ibunya. Ia ingin menyenangkan ibunya dan berharap ibunya selalu sehat sehingga bisa menemaninya bermain.

Selain Yaya, ada Mufid (12), siswa Sekolah Alam Lampung. Ia bercerita, seorang ibu adalah sosok yang hebat dan pemberani.

Tengok saja ungkapan Mufid dalam ceritanya tentang seo-rang ibu yang menyelamatkan jiwa anaknya. Dikisahkan, ada seorang raja yang bengis. Raja tersebut tidak menyukai anak laki-laki. Setiap anak laki-laki yang lahir akan dibunuh. Tindakan raja bengis tersebut sungguh menakutkan bagi ibu-ibu yang tengah mengandung.

”Suatu ketika, ada seorang ibu yang melahirkan bayi laki-laki. Sebelum ketahuan oleh prajurit kerajaan, ia dan suaminya lantas menyembunyikan anak laki-laki mereka di goa di tengah hutan,” ujar Mufid.

Dengan alasan mencari kayu bakar, setiap pagi sang ibu ditemani suaminya mengunjungi dan merawat bayi laki-laki mereka di goa. Di sore hari, mereka akan pulang ke rumah sambil membawa kayu bakar.

Demikian kegiatan semacam itu dilakukan hingga sang raja bengis meninggal dan bayi laki-laki itu selamat. ”Ibu adalah sosok yang pemberani. Ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk anaknya,” ujar Mufid.

Demikian pandangan-pandangan dan kekaguman anak-anak mengenai sosok ibu terungkap dalam acara dongeng untuk ibu di halaman Sekolah Alam Lampung, Sukarame, Bandar Lampung, Senin (21/12). Acara yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Ibu itu diikuti lima murid sekolah dasar dan dua siswa SMP Sekolah Alam Lampung.

Masing-masing peserta tampil dan mengungkapkan pendapat tentang sosok ibu lewat cerita atau dongeng. Sementara itu, siswa lainnya duduk lesehan di depan panggung kecil, menyaksikan dan mendengarkan cerita teman-temannya.

Iin Mutmainah, penggerak Sanggar Dakocan, sebuah sanggar mendongeng di Lampung, mengatakan, meski agak gugup dan sesekali sikap malu-malu muncul, tetapi anak-anak tersebut memiliki keberanian. Mereka berani tampil di depan ibu-ibunya dan teman-temannya meski dilihat dari alur penceritaan masih sepotong-sepotong dan belum utuh.

”Setidaknya mereka sudah belajar berani mengungkap-kan pendapat dan pandangan melalui cerita. Hal itu baik bagi anak-anak tersebut,” ujar Iin.

Sebagai penggerak sanggar mendongeng, Iin melihat, tidak semua anak bisa mendongeng. Padahal, dongeng sendiri merupakan alat yang baik untuk mengungkapkan kejadian, emosi, ataupun pikiran mereka dan disampaikan atau diceritakan.

Dongeng untuk ibu pun bukan hanya sekadar dongeng. Para ibu yang hadir bisa mendengarkan dan menerima penghargaan dari anak-anak. Terima kasih ibu. (hln)

Sumber: Kompas, Selasa, 22 Desember 2009

December 21, 2009

Bahasa dan Aksara Lampung

Oleh Irfan Anshory (Batin Kesuma Ningrat)

PENELITIAN ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung dipelopori oleh Prof. Dr. Herman Neubronner van der Tuuk melalui artikel “Een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen” dalam jurnal ilmiah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG), volume 17, 1869, hal. 569-575, serta artikel “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, dalam TBG, volume 18, 1872, hal. 118-156, kemudian diikuti oleh penelitian Prof. Dr. Charles Adrian van Ophuijsen melalui artikel “Lampongsche Dwerghertverhalen”, dalam jurnal Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), volume 46, 1896, hal. 109-142. Juga Dr. Oscar Louis Helfrich pada tahun 1891 menerbitkan kamus Lampongsch-Hollandsche Woordenlijst. Lalu ada tesis Ph.D. dari Dale Franklin Walker pada Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang berjudul A Grammar of the Lampung Language (1973).

Menurut Prof. C.A. van Ophuijsen, bahasa Lampung tergolong bahasa yang tua dalam rumpun Melayu-Austronesia, sebab masih banyak melestarikan kosakata Austronesia purba, seperti: apui, bah, balak, bingi, buok, heni, hirung, hulu, ina, ipon, iwa, luh, pedom, pira, pitu, telu, tuha, tutung, siwa, walu, dsb. Prof. H.N. van der Tuuk meneliti kekerabatan bahasa Lampung dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Bahasa Lampung dan bahasa Sunda memiliki kata “awi” (=bambu), bahasa Lampung dan bahasa Sumbawa memiliki kata “punti” (=pisang), bahasa Lampung dan bahasa Batak memiliki kata “bulung” (=daun), dsb. Hal ini membuktikan bahwa bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia yang meliputi kawasan dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik.

Aksara Lampung yang 19 huruf, dari ka-ga-nga sampai ra-sa-wa-ha, dibahas oleh Prof. Karel Frederik Holle, Tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten (Batavia, 1882), dan meskipun selintas disinggung juga oleh Prof. Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia (Leiden, 1975). Kata Prof. K.F.Holle, cuma sedikit suku-suku di Nusantara yang mempunyai aksara sendiri, dan salah satu di antaranya adalah aksara Lampung! Sebagian besar suku-suku tidak memiliki aksara, dan baru mengenal aksara setelah menerima Islam, yaitu huruf Arab-Melayu.

Aksara Lampung memiliki banyak kesamaan dengan aksara Batak, Bugis dan Sunda Kuna (yang sekarang mulai disosialisasikan kembali di Jawa Barat). Tetapi bukan berarti yang satu meniru yang lain, melainkan aksara-aksara tersebut memang bersaudara, sama-sama diturunkan dari aksara Dewanagari di India. Persis sama halnya dengan aksara Latin dan aksara Rusia yang sama-sama diturunkan dari aksara Yunani, yang pada mulanya berasal dari aksara Phoenisia. Jadi di dunia ini tidak ada aksara yang murni, sebab pembauran antarbudaya di muka bumi berlangsung sepanjang masa.

Kemudian perlu ditegaskan bahwa karya-karya ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung semuanya memakai “r” untuk menuliskan huruf atau fonem ke-16 aksara Lampung! Gelar (adok) dan nama tempat harus dituliskan dengan ejaan “r”, meskipun dibaca mendekati bunyi “kh”, misalnya Pangiran Raja Purba, Batin Sempurna Jaya, Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, Marga Pertiwi, Buay Pernong, Bandar Negeri Ratu, dsb. Penulisan “radu rua rani mak ratong” merupakan ejaan baku (ilmiah), sedangkan penulisan “khadu khua khani mak khatong” tidaklah baku.

Akhirnya perlu dikemukakan bahwa dalam era sains dan teknologi sekarang, suatu bahasa jika mau berkembang harus mampu menyerap istilah-istilah modern dan kontemporer. Jadi bahasa Lampung perlu banyak menyerap kosakata baru, dan janganlah ada yang berpendapat bahwa bahasa Lampung merupakan bahasa “hibrid” atau “cangkokan”. Bahasa Indonesia, bahkan juga bahasa Inggris, banyak sekali menyerap kosakata dari luar.

Antak ija pai da pubalahan ram sa, dang kejung ga, kantu mak kebaca.

Sumber: http://irfananshory.blogspot.com/2009/12/bahasa-dan-aksara-lampung.html ; 16 Desember 2009

Seni dan Kebangkrutan Kultural*

Oleh Iswadi Pratama**

SETIAP menjelang sebuah peristiwa kesenian di daerah ini -- terutama yang bukan keluaran proyek/program instansi pemerintah -- selalu ada rasa jeri dan gentar dalam diri saya membayangkan sejumlah kesulitan dan pahit getir yang -- hampir pasti -- masih ditanggung oleh sebagian besar seniman. Salah satu penyebabnya -- sejak dahulu kala -- tak lain adalah: belum adanya sebuah peran profesional yang bisa menghubungkan karya-karya para seniman dengan masyarakat (baca: pasar). Oleh sebab itu, ketika seorang memilih menjadi seniman, ia juga harus bersiap-sedia menjadi "penjual", juru-lobi, staf administrasi, mempublikasikan karya, menjadi tukang, terkadang juga menjadi kritikus. Untunglah para seniman belum "harus" membeli karyanya sendiri.

Faktanya memang tak se-dramatis itu karena para seniman biasanya memiliki teman-teman seprofesi atau bukan yang entah karena alasan apa mau habis-habisan membantu menjalankan peran-peran tertentu (diluar seni) yang sangat dibutuhkan agar karya yang telah mereka ciptakan setidaknya bisa "dilihat masyarakat".
Namun demikian, kerja keras yang berlarat dan hampir tak kenal kata istirahat itu belum cukup menjamin bahwa sebuah karya/peristiwa seni akan menjadi peristiwa bersama yang dinikmati seniman masyarakat, dan -- kalau mungkin -- instansi pemerintah dan swasta.

Harapan Seniman

Sampai sejauh ini, harapan sederhana para seniman agar karyanya diapresiasi oleh masyarakat tak selalu terpenuhi dengan baik, apakah lagi harapan akan adanya pasar yang siap menjadi "mesin" re-produksi dan distribusi karya-karya seni. Lihat saja peristiwa-peristiwa pameran seni rupa, seni pertunjukan diskusi/pembacaan karya sastra, pentas tari, dan lain-lain

Di Indonesia, khususnya di Lampung, para seniman yang secara kebetulan atau bukan adalah juga karyawan di salah satu instansi pemerintah, tentu saja nasib perekonomiannya akan lebih baik dibanding mereka yang menggeluti "seni-murni" (kalau tidak berkesenian jadi pengangguran atau berpetualang ke berbagai profesi cadangan).

Hambatan ekonomi, kebutuhan masyarakat atas karya seni yang mungkin bahkan tak pernah nyangkut dalam daftar cita-cita mereka, agenda-agenda kebudayaan yang selalu terpinggirkan dari meja para birokrat juga dewan perwakilan rakyat, selera para kelas menengah yang nyaris tak pernah bergeser dari hiburan yang dangkal-dangkal saja, bahkan perhatian para cendikiawan, akademisi, dan politisi yang amat gandrung pada kekuasaan dan politik praktis, pada taraf tertentu telah menyebabkan kesengsaraan para seniman yang memilih bersikap total dalam seni kian berlapis-lapis.

Salah satu cara yang sering ditempuh oleh sebagian seniman -- dan terbukti cara ini lumayan ampuh -- adalah ngenger dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan, atau setidaknya memiliki akses terhadap orang-orang yang dipandang bisa menjadi perantara darimana uluran bantuan (pendanaan) akan datang.

Perkawanan -- dalam beberapa kasus bahkan menjadi "perselingkuhan" -- seniman dengan para penguasa ini tampaknya cukup disadari sebagai sebuah formula jitu untuk bertahan agar tetap bisa melangsungkan proses berkesenian.

Sesungguhnya, ada harapan baik di sana bahwa suatu ketika cara-cara seperti itu pada akhirnya bisa sedikit "mendidik" para penguasa/pemilik modal untuk lebih perduli terhadap seni. Sehingga dalam tataran struktural dan sistem bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan di bidang kebudayaan (seni). Namun kenyatannya, dalam "pergaulan" seperti ini, para senimanlah yang lebih sering ter-sub-ordinasi. Dari waktu ke waktu, silih bergantinya tampuk-tampuk kekuasaan, tak kunjung menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pembangunan kebudayaan di daerah ini. Program-program dan proyek-proyek seni atas nama instansi pemerintah memang selalu ada, tapi tentu saja aspek-aspek legal-formal selalu menjadi lebih penting.

Di sisi lain, pers yang idealnya menjadi "kawan" perjuangan para seniman untuk sedikit berpartisipasi dalam memberikan pencerdasan kultural terhadap masyarakat, dewasa ini -- untuk konteks Lampung -- juga terlalu berhitung "untung-rugi". Ini bisa dilihat dari makin (tetap) sedikitnya ruang-ruang yang tersedia bagi pewacana seni dan kebudayaan di daerah ini. Tak ubahnya media massa elektronik, media massa cetak pun lebih tergiur pada gossip dan issu terbaru para selebritis dengan sikap yang hampir-hampir tak kritis lagi.

Adapun para cendikiawan, akademisi, para tokoh pemikir, dan politisi, yang seharusnya sangat berkompeten terhadap wacana-wacana yang berkembang dalam konstelasi seni dan kebudayaan di daerah ini mungkin--tujuh kali lipat--lebih tergiur membicarakan atau menulis atau mengamati perihal isu-isu hangat di seputar politik praktis dan kekuasaan.
Seni yang dalam proses penciptaan maupun karya senantiasa bersumber dan bermuara pada nilai-nilai kemanusiaan baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi, filafat, religi, bahkan ideologi, seakan-akan telah dipandang tak memiliki hubungan apa pun dengan realitas kehidupan yang tengah berlangsung. Karena itu tak penting di bicarakan. Kalaupun kebetulan ditengok, lebih sering karena terpaksa.

Mengherankan misalnya, para pengajar di perguruan tinggi yang telah mengantongi gelar S2, S3, dan seterusnya, khususnya di bidang-bidang ilmu sosial di daerah ini masih cukup banyak yang tak mengerti bahwa terkadang pemikiran-pemikiran yang "baru" mereka baca dari buku pegangannya telah menjadi gagasan dalam karya seniman yang kadaluwarsa.

Semua ini hanyalah sejumlah kecil dari persoalan-persoalan yang cukup "gawat" yang harus dihadapi para seniman dalam berkarya di era sesulit saat ini. Sebuah even kesenian, karena itu, tidak cukup lagi dipandang sekadar sebagai sebuah peristiwa romantik berkesenian kesepian, betapa pun kecilnya tak bisa dipandang kecil. Sebab, peristiwa ini juga akan memantulkan sebagian wajah buram nasib kebudayaan dan kesenian di daerah ini.

Cinta yang Bengal

Biografi kesengsaraan seorang seniman, tulis Goenawan Mohamad, selalu punya pesonannya sendiri. Van Gogh dan Modigliani, Gauguin (yang meninggalkan kerjanya di bursa Paris dan jadi kuli di Tahiti) dan Nashar (yang lari rumah orang tua, praktis berpisah dari isteri dan sering tergeletak di Balai Budaya, Jakarta), memperoyeksikan sebuah citra yang dramatik bahwa kesenian bukanlah perkara yang main-main. Banyak orang mengorbankan hampir seluruh dirinya untuk itu. Atau setidaknya, di sana ada gandrung yang patologis seperti kisah sejumlah orang suci dan sufi.

Van Gogh, salah seorang icon di jagat seni lukis, pada 1890, menembak perutnya sendiri di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di dusun Auvers-au-Oise, timur laut Paris. Dan tiga puluh enam jam setelah itu ia mati. Ia tewas dalam usia 37 tahun meninggalkan dunia dengan rombeng; putus asa, sendiri, depresi jiwa. Salah satu surat terakhirnya berbunyi: "Prospeknya kian gelap."

Tetapi, bagaimana membayangkan arti Vicent Van Gogh bagi kita kini, tanpa mengingat peran adiknya Theo, yang bekerja di galeri tempat jual beli lukisan? Theo-lah yang dengan sabar mendampingi dan membantu kakaknya yang aneh dan keras ini. Tapi lebih dari itu, ia bisa dianggap lambang ketahanan dunia yang prosais, datar, rutin, di luar seni, yang menyebabkan orang membeli, mengoleksi, membangun galeri, membuat museum--semacam cinta yang bengal. Dan Vincent mengakui hal ini, meskipun tak menghilangkan pesimisimenya.

Lalu, di zaman yang makin pragmatis ini, siapakah yang mau bersusah-susah memainkan peran seperti yang dilakukan Theo? Dan masih beranikah seniman yang hidup kini, di sini, mengambil sikap total dalam seni--meski tak harus bunuh diri....demi melahirkan sebuah karya yang sanggup menggetarkan manusia sebagaimana yang dilakukan Van Gogh, Modigliani, Gauguin, Nashar, Kathe Schmidt Kollwitz (sang pelukis kematian itu), atau Klinger, Holbein, Sylvia Plat, Marques de Sade, Bethoven, Emily Dickinson, Olmo, Rendra, Tarzi, dan para inspirator lainnya? Beranikah kita, dewasa ini, bersikeras bertahan dalam segala rasa nyeri untuk tetap berkarya secara sungguh-sungguh di tengah sinisme zaman seperti sekarang? Sanggupkah kita keluar dari "zona-aman" dan memilih menempuh hidup yang lebih ber-resiko di dalam seni meskipun tak bisa dijawab apa gunanya? Atau sudikah kita bersama-sama merayakan kebangkrutan kultural yang tengah disembunyikan dalam banyak agenda pembangunan di daerah ini yang seringkali membuat hati menjadi masyghul itu?

* Makalah disampaikan dalam Diskusi Bilik Jumpa Seniman (Bijusa) dengan tema Geliat Kesenian di Bumi Lampung, Siapa Peduli yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahahiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, Kamis, 17 Desember 2009.

** Iswadi Pratama, pekerja seni

December 20, 2009

UKMBS Gelar Serangkaian Acara Seni

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung pada ulang tahunnya yang ke-20 menggelar rangkaian acara berupa diskusi kesenian atau Bilik Jumpa Seniman Mahasiswa (Bijusa), story telling, pementasan tari, dan pementasan musik.



ULANG TAHUN UKMBS. Tari Muli Betanggai dipentaskan dalam ulang tahun ke-20 UKMBS Unila di Aula Gedung PKM Unila, Jumat (18-12). Tari khas Lampung ini acap dipertunjukkan di luar negeri untuk memperkenalkan budaya Indonesia. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Rangkaian acara tersebut berlangsung selama tiga hari, 17--19 Desember 2009 pukul 19.00 WIB di Gedung PKM lantai I dan II dengan mengundang kalangan dinas pemerintahan, dosen, sanggar, dan komunitas seni di Lampung.

Menurut Ketua Pelaksana Kegiatan Ahmad Hidayat, rangkaian kegiatan ini bertujuan memperingati HUT UKMBS Unila yang ke-20 dan membangkitkan gairah seni di bumi Lampung, khususnya bagi kawula muda yang kian hari terpengaruh budaya asing.

Dalam diskusi Bijusa, Kamis (17-12), dibahas tema geliat kesenian di bumi Lampung, siapa peduli?. Tampil sebagai narasumber, Khaedarmansyah (birokrat) dan Iswadi Pratama (seniman). Sedangkan moderator dari kalangan jurnalis Rahmat Sudirman. Turut hadir dalam acara tersebut beberapa alumnus UKMBS Unila, seperti Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat. Keduanya banyak mempersoalkan tidak adanya visi bersama seniman Lampung dalam membangun kesenian di Lampung. Juga hadir dalam forum itu sastrawan-seniman lain seperti Isbedy Stiawan Z.S., Edy Samudra Kertagama, Sugandhi Putra, Syaiful Irba Tanpaka, Entus Alrafi, Udo Z. Karzi, dan Andika Sidik.

Sementara, Jumat (18-12) tampil sebagai pembuka dari Divisi Teater dan Sastra yaitu story telling dengan judul Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu karya W.S. Rendra yang dibawakan oleh Devianty Lisa Elisabeth. Sebagai penutup, Divisi Tari Hujan Purnama menampilkan tari Muli Betanggai. Sedangkan dari Divisi Seni Rupa diadakan pameran kecil dari karya-karya anggota Divisi Seni Rupa di koridor penyambutan tamu.

Di hari terakhir, Santu (19-12) diadakan acara potong tumpeng dan ramah-tamah anggota dan alumni UKMBS Unila yang kemudian dilanjutkan pembacaan puisi Cahya Wulandari dan Retno. Acara khidmat ini bertambah meriah dengan penampilan musik lagu-lagu Rhoma Irama yang dibawakan oleh Divisi Musik pada malam harinya. n ZUL/S-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 Desember 2009

Kala Kesenian Mulai Stagnasi

Oleh Tri Purna Jaya

SURUTNYA inovasi-inovasi dalam tataran "pertarungan" gagasan membuat stagnasi kehidupan berkesenian di Lampung. Nyaris tidak ada kebaruan dalam kesenian. Kondisi ini harus menjadi catatan setiap pihak yang bersinggungan dengan dinamika kesenian di provinsi ujung pulau ini.

DISKUSI SENI. Iswadi Pratama, Rahmat Sudirman, dan Haedarmansyah dalam Diskusi Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa Geliat Kesenian di Bumi Lampung, Siapa Peduli yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKMBS) Unila, Kamis (17/12) malam. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Pandangan ini mengemuka dalam Diskusi Geliat Kesenian di Bumi Ruwa Jurai, Siapa Peduli pada acara Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa (Bijusa) yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM-BS) Universitas Lampung (Unila) di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Kamis (17-12).

Diskusi itu menghadirkan pekerja seni dan pendiri Teater Satu Iswadi Pratama dan Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL) Khaedarmansyah dengan moderator Rahmat Sudirman. Tak kurang dari 40 orang, yang terdiri dari insan seni dan mahasiswa mengikuti diskusi yang juga merupakan rangkaian acara dari ulang tahun ke-20 UKMBS tersebut.

Para sastrawan-seniman Lampung yang hadir dalam diskusi ini antara lain Isbedy Stiawan ZS, Sugandhi Putra, Syaiful Irba Tanpaka, Entus Alrafi, Andika Sidik, Udo Z. Karzi, Ari Pahala Hutabarat, Edy Samudra Kertagama, dan Ahmad Yulden Erwin.

Iswadi memaparkan kegalauannya terhadap kesenian di Lampung yang seperti jalan di tempat. "Cita-cita keseniannya tidak jelas," kata dia. Ketidakjelasan itu, menurut dia, adalah disebabkan sebagian besar seniman di Lampung ini masih berpikir konservatif. "Tidak ada lagi "pertarungan-pertarungan" ide atau gagasan," kata dia.

Menurut dia, para seniman seperti berada di jalan buntu pada sebuah persimpangan dalam menentukan kehidupan mereka sendiri. "Mau total atau hanya pragmatis?" ujarnya.

Salah satu penyebabnya, kata Iswadi, yakni belum adanya sebuah peran profesional yang bisa menghubungkan karya-karya para seniman dengan masyarakat. "Seniman menjadi "penjual", juru lobi, staf promosi, staf administrasi, dan lain sebagainya," kata dia.

Hal itulah yang membuat para seniman seperti berada di persimpangan, apakah tetap idealis atau menjadi pragmatis. Yang selama ini terjadi, harapan sederhana dari para pekerja seni agar karyanya diapresiasi oleh masyarakat tidak selalu terpenuhi dengan baik. "Apa yang didapat setelah melihat suatu bentuk kesenian, entah itu pementasan tari, teater, pembacaan puisi, ataupun diskusi seni?" kata Iswadi.

Tiga Jenis Seniman

Secara tidak sengaja, hal tersebut menimbulkan adanya klasifikasi dalam dunia kesenian sekarang ini. Iswadi membaginya menjadi tiga tipe, yakni seniman yang pegawai negeri sipil (PNS), seniman bukan PNS, dan seniman "pubertas".

Ada beberapa catatan untuk tipe pekerja seni yang pertama dan kedua, seniman PNS dan seniman yang belum menjadi pegawai. Untuk tipe pertama dan kedua, kehidupan berkesenian yang mereka jalani tidaklah sederhana. "Di satu sisi, mereka seniman. Namun, di sisi lain mereka juga manusia yang mempunyai kehidupan yang harus dijalani," kata dia lagi.

Untuk tipe yang pertama, kata Iswadi, kegiatan kesenian yang dijalani lebih sekadar hasrat saja karena kehidupannya lebih ke arah pekerjaan. Seniman dengan tipe ini, menurut Iswadi, adalah seniman musiman. Jika hanya ada event saja. Namun, yang demikian tidak dapat disalahkan juga.

Namun, hal tersebut, kata dia, membuat mereka menjadi stagnan. "Tak ada lagi inovasi atau cita-cita karena hanya berdasarkan momentum saja," kata dia. Padahal, kata dia, seniman dengan tipe seperti ini sebenarnya mempunyai kesempatan-kesempatan emas jika menilik kehidupan pribadinya yang mempunyai pekerjaan atau keamanan secara finansial.

Sedangkan untuk seniman tipe kedua, kehidupan mereka bisa lebih pelik lagi. Sebab, "belum" menjadi PNS, tidak aman secara finansial. Kemudian, karena dihadapkan dengan persoalan seperti itu, mereka seakan-akan makan buah simalakama, apakah mencoba untuk tetap idealis atau mengikuti tuntutan kehidupan. Pada akhirnya tetap tidak terjadi inovasi. "Mereka menjadi pragmatis. Tetapi wajar karena mereka juga manusia," ujarnya.

Kemudian, seniman tipe ketiga, seniman usia pubertas. Ada satu catatan khusus dari Iswadi mengenai seniman tipe ini. "Darah segar. Penghidup kesenian di Lampung, khususnya kesenian yang bersifat kolektif, seperti tari atau teater," kata dia.

Dus, ada satu cacat yang patut diperhatikan dari seniman pubertas tersebut, menurut Iswadi, yaitu berhentinya mereka (seniman pubertas, red) berkesenian ketika mereka lulus dari bangku kuliah atau sekolah. "Karena mereka menjalaninya lebih kepada penyaluran hasrat berkesenian saja dan akhirnya putus generasi," ujarnya lagi.

Ketiga tipe seniman tersebut pada akhirnya tidak mampu membuat sebuah inovasi terhadap dunia kesenian itu sendiri. Hal itu pula ynag membuat satu pertanyaan yang mendasar: "Siapa yang peduli lagi dengan kesenian?" tanya Iswadi yang baru-baru ini mementaskan sebuah pertunjukan teater di Komunitas Salihara Jakarta.

Kebijakan Pemerintah

Pun demikian, kata Iswadi, pemerintah juga mempunyai andil dalam kemandekan dunia seni di Lampung ini. "Apakah pembangunan berdasarkan kebudayaan yang digadang-gadangkan itu sudah berjalan dengan baik? Jangan dimanipulasi," kata dia.

Menurut dia, selama ini yang terjadi pemerintah lebih menganggap kesenian itu sebagai sebuah alat, fungsional saja, hanya sebagai prestise. Ia mencontohkan, kesenian tari cuma dipakai atau diajak untuk menyambut pejabat-pejabat. "Apresiasinya jika hanya untuk itu. Jika dianggap penting, pentingnya seperti apa?" ujarnya.

Menanggapi pertanyaan salah satu perserta diskusi yang menyatakan bahwa kini sudah tidak ada lagi konsep yang komprehensif mengenai kesenian agar terus berkelanjutan, Iswadi mengaku geram dengan pemikiran seperti itu. Menurut dia, pola pikir seperti itu akan menjebak dan membuat persepsi bahwa kesenian itu adalah tanggung jawab seniman sepenuhnya untuk melestarikannya.

Iswadi mengajak berbagai pihak yang peduli dengan dunia kesenian untuk merenung kembali, "Apa yang harus kita lakukan? Kenapa berkesenian? Apakah cita-cita dalam berkesenian sudah tepat?"

Berkaitan dengan kegelisahan yang disampaikan Iswadi, Khaedarmansyah mengatakan pemerintah sudah cukup peduli dengan kehidupan berkesenian. "Bila terlihat kurang peduli, permasalahannya lebih kepada tataran operasional," kata dia.

Menurut dia, dahulu Dinas Pendidikan memiliki subdinas bagian kebudayaan. Itu untuk pelestariannya. Namun, kini bagian tersebut sudah digabungkan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang notabenenya lebih ke arah pemasaran atau promosi, sehingga pelestariannya sudah tidak ada lagi.

Padahal, kata dia, selama ini pemeliharaan atau pelestarian kesenian dan kebudayaan terletak di Dinas Pendidikan dengan sekolah-sekolah sebagai tumpuannya. "Tidak ada lembaga khusus," ujarnya.

Padahal, kata Khaedarmansyah, pemerintah sudah menyatakan bahwa pada 2012 nanti kesenian harus sudah berkembang di semua elemen masyarakat. "Tertuang dalam Perda No. 2/2008 tentang Pelestarian Kebudayaan," kata dia.

Perda itu menyebutkan kebudayaan Lampung yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai aset nasional keberadaannya perlu dijaga, diberdayakan, dibina, dilestarikan, dan dikembangkan. Sehingga, dapat berperan dalam upaya menciptakan masyarakat Lampung yang memiliki jati diri, berakhlak mulia, dan berperadaban.

Hal tersebut, kata dia, mencakup peningkatan akses kebudayaan, penyelengaraan, dan pelestarian, baik itu benda cagar budaya atau kesenian tradisi. Namun, permasalahan berada di tataran operasional yang sudah disebutkan tadi. "Seharusnya semua ikut peduli, baik itu seniman, pers, masyarakat, dan pemerintah," kata dia.

Perlu Strategi Kebudayaan

Dari diskusi ini mencuat pula gagasan tentang perlunya merumuskan strategi kebudayaan. Strategi ini harus disusun secara bersama oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah, pengusaha, maupun kalangan seniman sendiri.

Namun, sebelum berhasil merumuskan strategi kebudayaan, semua pihak-- baik seniman, pemerintah, maupun kalangan swasta--mesti mempertemukan kepentingan masing-masing, misalnya dengan focus group discussin (FGD). Kalau tidak, seniman masih terus akan terus berkeluh-kesah, sementara pemerintah menutup mata-telinga, dan pengusaha tidak merasa perlu membantu kehidupan kesenian dan seniman.

Bersamaan dengan itu, peserta diskusi mendesak pentingnya segera melakukan revitalisasi lembaga kesenian (Dewan Kesenian Lampung) sekaligus mengembalikan peran dan fungsinya yang "sebenarnya" sebagai institusi pendorong perkembangan kesenian dan memacu kreativitas seniman di Bumi Ruwa Jurai. Bukan sebaliknya, malah sibuk "mengurus" diri sendiri.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Desember 2009

Pembukaan Festival Way Kambas Meriah

SUKADANA (Lampost): Pembukaan Festival Way Kambas IX tahun 2009 di Lapangan Merdeka, Sukadana, Sabtu (19-12), berlangsung meriah. Atraksi gajah bermain hulahop menghibur ratusan penonton dan wisatawan asing yang pada hari itu meningkat 30% dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisawatan pada hari biasa.

TARIK TAMBANG GAJAH. Seekor gajah Taman Nasional Way Kambas tanpa kesulitan berhasil memenangkan "lomba" tarik tambang melawan 30 pria dewasa pada acara pembukaan Festival Way Kambas IX di Lapangan Sukadana, Lampung Timur, Sabtu (19-12). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Berbagai kesenian daerah dari seluruh Indonesia dipentaskan. Tarian tradisional, mulai tari Bedana dan Siger Pengunten (Lampung), Piring (Sumatera Barat), Tor-Tor (Sumatera Utara), Tayub Pesisiran (Jawa Tengah), Pendet, dan Barong (Bali), dirangkum menjadi satu komposisi tarian yang diberi nama tarian nusantara.

Gajah yang selama ini menjadi maskot wisata Lampung Timur memberikan atraksi seperti berjoget, main hulahop, dan lomba tarik tambang.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Timur Marinu Sinurat mengatakan terjadi penambahan 30% jumlah wisatawan asing yang datang pada Festival Way Kambas kali ini. "Hal ini membuktikan bahwa Way Kambas punya nama di dunia internasional," kata Sinurat.

Ia menyebutkan sekitar 40 orang wisatawan mancanegara yang berasal dari Eropa, Selandia Baru, Korea, Australia, dan Jepang sudah tiba di Lampung Timur sejak Jumat (18-12).

Pembukaan Festival yang molor satu setengah jam dari jadwal tersebut dihadiri Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Noverisman Subing,

Kapolres Lampung Timur AKBP M. Nurochman serta Kepala Taman Nasional Way Kambas (TNWK) John Kenedei. Sementara itu, ribuan orang juga hadir untuk menyaksikan atraksi-atraksi.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung M. Natsir Ali, mewakili Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., mengatakan Festival Way Kambas harus mampu meningkatkan pendapatan daerah. Menurut dia, Way Kambas adalah potensi wisata yang unik karena menawarkan keindahan lingkungan hidup dan kelestarian alam. Namun, hal itu perlu kerja keras untuk menarik minat wisatawan asing.

Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Ekonomi dan Teknologi Titin Sukarya mengatakan wisatawan tidak hanya melihat kultur, alam, atau seni budaya dari suatu daerah. "Tetapi juga dari infrastruktur daerah wisata tersebut," kata dia.

Titin yang mewakili Menbudpar Jero Wacik itu mengatakan Lampung memiliki potensi yang sangat besar, memiliki magnet yang unik untuk menjaring wisatawan datang berkunjung, kata Titin. Untuk itu, ujarnya, perlunya suatu kesiapan untuk menjadi tuan rumah yang baik. "Penyelenggaraan yang baik akan berimbas pada kenangan wisatawan terhadap daerah itu," kata dia.

Ikut memeriahkan pembukaan Festival Way Kambas tersebut, diadakan juga offroad yang diikuti oleh peserta dari Jambi, Pekanbaru, Jawa Barat, Jakarta, Bengkulu, dan Lampung. n MG-13/MG-6/U-2

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Desember 2009

December 16, 2009

Peminat Bahasa Lampung Minim

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Peminat bahasa Lampung di kalangan siswa SMA di Bandar Lampung masih minim. Oleh karena itu, peran sekolah dalam melestarikan bahasa daerah harus ditingkatkan.

Demikian terungkap dalam kegiatan Gebyar Bahasa SMP-SMA Al Azhar yang berlangsung selama dua hari di SMA 3 Al Azhar Bandar Lampung, Selasa (15-12).

"Antusiasme siswa dalam berbahasa Lampung masih sangat minim dibandingkan antusiasme yang ditunjukkan siswa dalam berbahasa Inggris," kata Penanggung Jawab Kegiatan Syarifah Maulida Afdi.

Menurut dia, indikatornya cukup sederhana, jumlah peserta yang mengikuti lomba bahasa Lampung sangat sedikit, begitu pula dengan sekolah yang mengirimkan siswanya berkompetisi dalam bahasa daerah tersebut.

"Dari 146 peserta yang mengikuti kegiatan ini, 50 persen di antaranya adalah peserta perlombaan dalam bahasa Inggris. Sedangkan untuk lomba bahasa Lampung tak sampai 20 persen," kata dia.

"Begitu pula dengan partisipasi sekolah. Dari 16 sekolah yang berpartisipasi, semuanya turut andil dalam perlombaan berbahasa Ingris, tapi untuk lomba bahasa Lampung hanya sebagian yang mengikuti," ujar dia.

Syarifah mengaku sempat ragu untuk mengikutsertakan lomba aksara dan membaca puisi Lampung. "Awalnya kami sempat ragu, tapi miris rasanya jika bahasa Inggris dan bahasa Arab kami perlombakan, bahasa Lampung sebagai bahasa daerah kita sendiri, ditinggalkan," kata dia.

Akhirnya, panitia sepakat untuk tetap menjadikan bahasa lampung sebagai kategori perlombaan gebyar bahasa bersama bahasa Indonesia, Inggris dan bahasa Arab.

Ia menjelaskan empat kategori bahasa itu terbagi ke dalam beberapa mata perlombaan, seperti scrabble, spelling bee, news casting, speech, puisi, dongeng, pidato, kaligrafi.

Ia menambahkan dalam gebyar bahasa ini juga dipilih sepasang duta bahasa sekolah Al Azhar. "Tugas mereka adalah mempromosikan sekolah dan Yayasan Al Azhar ke luar," kata dia.

Menurut dia, seorang duta bahasa Al Azhar harus memiliki empat kecakapan bahasa: Indonesia, Inggris, Arab, dan Lampung. "Semua itu diujikan dalam tes tulis dan wawancara yang harus mereka ikuti," kata dia. n MG14/S-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Desember 2009

Pesona Lumbok Ranau Digelar 31 Desember

LIWA (Lampost): Gebyar Pesona Lumbok Ranau III Lampung Barat dipastikkan berlangsung 31 Desember mendatang.

Event pariwisata dengan objek Danau Ranau dan Gunung Seminung itu akan dipusatkan di Pekon Lombok, Kecamatan Sukau, Lambar, dan bersamaan dengan perayaan pergantian tahun di Hotel Seminung, Lumbok Resort.

Kabid Pariwisata Dinas Perhubungan, Pariwisata, dan Olahraga, Suryani, mengatakan program dinas untuk mendukung objek pariwisata Danau Ranau dan Kawasan Wisata Terpadu (KWT) Seminung Lumbok Resort akan merangkul organisasi masyarakat setempat, yakni Masyarakat Peduli Danau Ranau (MPDR).

Untuk meramaikan dan memeriahkan Gebyar Pesona Lumbok Ranau III direncanakan akan ada event tambahan yang tidak kalah menarik dan tergolong anyar.

Pihaknya berharap dengan adanya kegiatan pendukung para pelancong baik yang datang dari Lambar atau luar Lambar akan merasa terhibur bahkan puas dengan sajian kegiatan yang disuguhkan.

Suryani menambahkan selain berbagai event menarik, pihaknya menyediakan paket akhir tahun KWT Seminung Lumbok Resort. "Kegiatan ini akan lebih semarak karena digabungkan kegiatan akhir tahun," ujarnya.

Event yang akan ditampilkan pada Gebyar Pesona Lumbok Ranau III di antaranya treathlone tradisonal, kapal motor hias, tarik tambang, jukung dan ngeraas atau memanah di danau lepas.

Terkait persiapan yang dilakukan, pihaknya bersama MPDR sedang menjajaki beberapa sponsor untuk dapat mengisi beberapa item kegiatan tambahan pada pelaksanaannya nanti.

Dia juga berharap terhadap seluruh elemen masyarakat yang ada di Lambar, khususnya yang berada di Pekon Lumbok, Kecamatan Sukau, agar dapat berpartisipasi dalam menyukseskan event Gebyar Pesona Lumbok III tersebut. "Dengan kerja sama yang baik dapat dicapai sukses," kata dia. n CK-7/D-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Desember 2009

December 15, 2009

Pemerintah Perlu Beri Anggaran Khusus kepada Lembaga Adat

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lembaga adat di tingkat kabupaten/kota perlu diberdayakan. Pemerintah kabupaten/kota perlu memberikan anggaran khusus kepada lembaga adat.

"Pemerintah kabupaten/kota perlu mengoptimalkan lembaga ada yang sudah ada. Selama ini sudah ada MPAL (Majelis Penyimbang Adat Lampung) di kabupaten/kota. Lembaga adat jangan hanya dilibatkan kalau ada masalah yang menyangkut tentang sengketa tanah ulayat," kata Kepala Bagian Dokumentasi Zulfikar, usai pembukaan sosialisasi lembaga adat dan moto Provinsi Lampung di ruang Tapis, Senin (14-12).

Sosialisasi tentang lambang adat Lampung dibuka Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno. Acara tersebut dihadiri MPAL Provinsi Lampung, tokoh adat Bandar Lampung, dan camat se-Bandar Lampung. Sosialisasi sudah dilakukan di 13 kabupaten/kota yang lain.

Zulfikar mengatakan masing-masing kabupatan/kota di Lampung sudah mengukuhkan MPAL. Daerah otonomi baru segera mengukuhkan MPAL. Lembaga adat jangan hanya dilibatkan bila terjadi sengketa.

Lembaga adat harus dioptimalkan perannya dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Lembaga adat adalah mitra pemerintah.

"Kedudukan lembaga adat sudah setara seperti kedudukan MUI (Majelis Ulama Indonesia), PKK, dan lembaga lainnya," kata Zulfikar.

Menurut Zulfikar, Pemerintah Provinsi Lampung sudah memberdayakan MPAL. Pemprov sudah menganggarkan dana untuk MPAL sebesar Rp500 juta. Dalam konstitusi juga sudah diamanatkan untuk memberdayakan lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan yang lain.

Zulfikar mengungkapkan rata-rata pemerintah kabupaten/kota belum memberdayakan lembaga adat. Pemerintah kabupaten/kota juga belum memberikan anggaran khsusus untuk lembaga adat. Pemerintah daerah perlu memikirkan lembaga adat.

"Rakyat kita masih kental dengan lembaga adat. Biasanya mereka mengikuti apa yang diperintahkan oleh lembaga adat dan tokoh adat," kata dia.

Zulfikar juga mengatakan Pemprov Lampung berencana menggunakan aksara dan bahasa lampung di lingkungan kerja. Hal tersebut untuk melestarikan adat dan budaya lampung. "Bahasa Lampung perlu dimasyarakatkan," kata dia yang juga mengaku masih belajar menggunakan bahasa Lampung. n MG2/K-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 15 Desember 2009

Krakatau Award 2009 tanpa Juara Pertama

LOMBA cipta puisi-prosaik Krakatau Award 2009 tidak menghasilkan juara pertama. Dewan Juri yang terdiri dari Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, dan Ari Pahala Hutabarat menyatakan mayoritas naskah yang masuk belum memenuhi kriteria penilaian dan cenderung lepas dari acuan tema.

"Sejumlah puisi terbebani oleh kosakata kelampungan sehingga harus member catatan kaki. Setting, kalau pun ada, hanya yang digunakan tempat-tempat yang sudah umum dan dikenal oleh banyak orang. Seperti Bakauheni, Krakatau, Tanggamus, gunung Rajabasa, Danau Ranau, dan lain-lain ditempelkan begitu saja. Sehingga puisi tidak memiliki getaran, hanya bentuk pakansi saja," kata Isbedy, kepada Kompas di Jakarta, Senin (14/12/2009).

Karena tak ada juara pertama, dewan juri akhirnya menobatkan puisi-prosaik berjudul Tanjungkarang karya Agit Yogi Subandi (Lampung) sebagai juara II, kemudian Perempuan yang Dihamili oleh Angin karya Benny Arnas (Lubuklinggau) sebagai juara III, dan Sajak Seorang Pejoang yang Dikhianati Senapannya karya Febrie Hastiyanto (Jawa Tengah) sebagai juara IV. Ketiga pemenang akan menerima hadiah uang tunai masing-masing sebesar 1,5 juta, 1 juta, dan 500 ribu rupiah.

Selain itu, jelas Isbedy, Dewan Juri juga menetapkan 6 nominasi non-ranking sebagai berikut: Penyair Cantik yang Datang ke Lampung pada Tepian Sore (Endri Y, Lampung), Pulang ke Rumah Lokan (Endang Supriadi, Jakarta), Tentang Seorang Istri dan Suaminya (Moch. May Rhamdan, Bandung), Manusia Api (Oky Sanjaya, Lampung), Melintasi Krakatau (Wayan Sunarta, Bali), dan Dikawinkan Kesumat (M. Harya Ramdhoni, Lampung).

Menurut Ari Pahala Hutabarat, juri lainnya, sejumlah puisi masih terjebak pada ihwal global-lokal masih sebatas tempelan. Sehingga, kalau pun persoalan lokalitas itu tidak dihadirkan sebagai pesanan dari panitia, maka puisi tersebut mejadi umum saja. "Saya menangkap beberapa puisi hanya menghadirkan ke-Lampung hanya menempel, seperti muli, meghanai, piil pesinggiri, atau nama-nama tempat di Lampung," katanya.

Lomba cipta puisi-prosaik Krakatau Award 2009 yang bertema Lampung: Lokal-Global diikuti 114 peserta dari seluruh Indonesia. Menurut Ketua Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL), Syafariah Widianti, Krakatau Award yang berlangsung sejak tahun 2002 adalah bentuk kepedulian DKL terhadap kesinambungan sastra di Lampung dan Indonesia. Beliau juga menambahkan, agenda kegiatan macam ini layak dipertahankan dan akan menjadi salah satu identitas seni budaya Lampung. (NAL)

Sumber: Kompas, Selasa, 15 Desember 2009

December 14, 2009

Film 'Topi Sarjana' untuk Tarik Simpati Pengusaha

KALIANDA (Lampost): Topi Sarjana, produksi PT Kencana Film Indonesia (Kenfindo) yang diperankan Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa diharapkan mampu menarik simpati para pengusaha untuk peduli dengan pendidikan dan masyarakat kecil.

Produser film PT Kenfindo, Dede Safana, ditemui di sela-sela syuting di rumah dinas Bupati Lamsel, Minggu (13-12), mengatakan ditunjuknya Wendy Melfa sebagai aktor utama pada film Topi Sarjana karena ia merupakan salah satu sosok pemimpin dan pengusaha yang peduli dengan dunia pendidikan. "Dia pantas untuk memerankan film tersebut," kata Dede.

Dalam film tersebut, dikisahkan Anwar Prasemi, mahasiswa pintar dan ingin menjadi sarjana tapi tak punya biaya. Wendy secara diam-diam membiayai yang bersangkutan sampai akhirnya mendapatkan topi sarjana.

Menurut Dede, PT Kenfindo sudah berusaha mencari aktor untuk memerankan film ini, tetapi yang cocok untuk memerankan film ini adalah Wendy Melfa. "Di luar kesibukannya menjadi bupati Lamsel, Wendy Melfa bisa menyempatkan waktu untuk syuting," kata dia.

Film Topi Sarjana berdurasi satu jam ini disutradarai Paksianom dan Nyang Oen, produser Dede Safana, Direktur Cabang Kenfindo dan Executive Produser film Topi Sarjana A. Shavarudin Prass.

Film ini akan ditayangkan di Bioskop 21 Bandar Lampung dan akan ditayangkan melalui VCD dan televisi. Film Topi Sarjana yang menghabiskan dana Rp200 juta diharapkan laku di pasaran.

Wendy ketika diminta komentar berkeinginan sama, yakni akan ada pengusaha lain yang peduli dengan dunia pendidikan.

Sementara itu, Laksono, salah seorang pegiat seniman di Lampung Selatan, menanggapi positif penggarapan film Topi Sarjana. "Saya sudah tidak sabar ingin menyaksikan film itu," ujarnya. n WAN/D-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 15 Desember 2009

December 13, 2009

[Perjalanan] Cerita tentang Pantai Napal

Cerita tentang keindahan dan keasrian Pantai Napal di Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, harus dibuktikan.

Pantai Napal di Kelumbayan yang berpasir putih dan bentuknya landai, laut yang bersih, dan ombak yang bersahabat sangat pantas untuk dikunjungi bersama keluarga. (LAMPUNG POST/SAYUTI)

MENDENGAR cerita orang tentang indahnya pantai itu seperti mengusik jiwa petualangan. Dengan sepeda motor, keingintahuan telah mengalahkan rasa capai untuk menempuh perjalanan. Bahkan, pilihan jalur bukan pada jalan yang biasa ditempuh orang kebanyakan. Rasa penasaran itu seolah menggegas agar segera sampai dan menikmati panorama yang konon indah.

Tingkat kesulitan rute yang dianggap tidak lazim itu cukup tinggi. Jalan tanah dan susunan batu onderlaag terlindas ban dengan kasar karena gambar Napal Beach itu seakan melambai-lambai di depan.

Rute itu melalui pesisir pantai Teluk Semaka, mulai dari Pantai Pihabung atau lebih dikenal Pantai Batu Balai di Kecamatan Kotaagung Timur, hingga Pantai Tegineneng, Pantai Badak di Kecamatan Limau, serta melewati Pantai Karang Putih di Cukuhbalak, serta merambah wilayah Kebandakhan Pertiwi.

Pemandangan di pegunungan yang memagari pantai membuat suasana nyaman. (LAMPUNG POST/SAYUTI)


Perahu nelayan dapat disewa untuk mengunjungi pulau di seberang atau sekadar berkeliling ke tengah laut atau memancing. (LAMPUNG POST/SAYUTI)

Nelayan di sekitar Pantai Napal yang menangkap ikan dengan jaring payang pokek adalah sisi lain pariwisata. Kepada mereka, pengunjung dapat membeli ikan segar untuk dibakar. (LAMPUNG POST/SAYUTI)

Tiga jam perjalanan dengan sepeda motor, tibalah di Pekon Lengkukai di Kecamatan Kelumbayan Barat. Keterangan sejumlah warga, untuk tiba di Pantai Napal dari Lengkungai memerlukan perjalanan sekitar satu jam. "Sekitar satu jam dari sini, Mas. Hati-hati jalannya masih jalan tanah atau onderlaag. Harus melewati lembah, ngarai, dan perbukitan," kata seorang warga.

Benar saja. Baru sekitar 10 menit perjalanan, sepeda motor berhadapan dengan bukit. Bila tidak hati-hati, sepeda motor dan penumpangnya akan masuk ke dalam jurang dalam.

Bagi para penyuka tantangan dan perjalanan, Pantai Napal bisa menjadi pilihan untuk berlibur melepas penat dan segala persoalan yang biasa dihadapi sehari-hari. Pantai yang membentang mulai dari Umbar, Paku, Napal dan berakhir di Kiluan yang terkenal dengan habitat lumba-lumba dan penyu ini memiliki keindahan yang menarik untuk dinikmati.

Perjalanan bisa diawali Umbul Kluwih, Kecamatan Padangcermin, Kabupaten Pesawaran. Jika ingin melihat pemandangan dan pesona Kiluan, bias memulai perjalanan melalui Bawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran. Atau melalui rute Cukuhbalak--Pertiwi--Lengkungai, atau menyelusuri pantai mulai Umbar--Paku--Napal.

Jalannya hampir 70 persen masih jalan tanah atau ada yang sudah onderlaag.

Pemandangan pantai mulai terlihat saat memasuki pertigaan Pekon Napal yang notabene menjadi ibu kota Kecamatan Kelumbayan. Anda dapat menikmati panorama pantai yang jernih dan berpasir putih. Selain itu, Anda juga dapat menikmati rimbunnya pepohonan pandan atau pohon perdu di sepanjang pesisir pantai.

Pantai Napal memiliki struktur pantai yang landai dan air yang jernih dan bersih. Karena itu, pantai ini cocok untuk menjadi tempat wisata pantai seperti berenang, bermain voli pantai, berperahu, atau sekadar bersepeda di pinggir pantai.

Selain itu, kondisi pantai relatif tenang membuat pantai ini relatif aman untuk menikmati permainan di pinggir laut maupun berenang. Bahkan pada saat mencelupkan diri ke air laut yang bening, Anda dapat melihat ikan-ikan kecil sedang berlarian di dasar air laut.

Pantai Napal memiliki suasana alam yang unik. Anda dapat menemukan suasana pantai pasir putih yang luas. Kemudian Anda juga dapat menikmati keindahan air laut yang jernih. Serta yang menarik adalah hamparan pepohonan yang rimbun dan hijau di sekitar pantai. Tentu ini membuat suasana di Pantai Napal begitu sejuk dan nyaman. Percayalah, rasa jenuh akibat rutinitas kerja dan kantor akan hilang melihat pesona pantai Napal ini.

Decak kagum terasa ketika melihat keindahan pemandangan pantai dengan lautnya yang membiru serta berpasir bersih memanjang sejauh mata memandang. Sebuah keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Anda juga dapat mengunjungi pulau di tengah laut dari Pantai Napal. Pulau yang dapat Anda kunjungi dari sini antara lain Pulau Kelapa.

Di pulau ini Anda dapat menyaksikan kekayaan alam yang indah yaitu flora dan fauna yang menarik. Anda dapat mengunjungi pulau ini dengan mencarter perahu nelayan dengan biaya yang relatif murah. Anda juga dapat berkeliling pantai dengan menyewa perahu atau kapal yang siap mengajak Anda berkeliling pantai sambil menikmati keindahan alam di Pantai Napal.

Deretan perahu-perahu nelayan tradisional terlihat di sepanjang pantai dan sejumlah muara sungai. Singgahlah sejenak di muara Pantai Harapan untuk melihat dari dekat kehidupan nelayan di sana. Biasanya, menjelang tengah hari, anak-anak nelayan akan berenang membantu memikul bakul penuh ikan, hasil melaut orang tua mereka. Kesibukan orangtua terutama bapak-bapak juga terlihat saat menarik payang pokek. Rasa kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royongan jelas tergambar di kehidupan nelayan yang sahaja ini.

Lelah bermain, pengunjung bisa beristirahat di tepian pantai sambil menikmati kelapa muda utuh yang bias dipesan dari warga setempat. Menikmati lezatnya makanan laut, seperti ikan bakar, cumi bakar, dan kepiting laut, bisa dinikmati dengan harga kurang murah, dan dijamin segar tanpa mengandung formalin.

Pemandangan matahari terbit dan tenggelam bisa dinikmati sekaligus di pantai ini. Hamparan pasir putih dan laut biru jangan sampai dilewatkan begitu saja.

Pengalaman lain yang layak untuk dicoba adalah melihat secara dekat kehidupan nelayan di perkampungan nelayan Pantai Harapan. Mulai dari aktivitas melaut, menebar pokek, menarik pokek hingga mengolah ikan asin dan ikan dendeng. n SAYUTI/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Desember 2009

December 8, 2009

Film 'Topi Sarjana' Wendy Melfa Jadi Pengusaha

BAKAT seni Wendy Melfa akan teruji di layar lebar. Ya, Bupati Lampung Selatan akan main film karya anak Lampung Topi Sarjana. Dalam film ini, Wendy berperan sebagai seorang pengusaha.

Selain Wendy, sejumlah nama ikut dalam film ini, antara lain Hermansyah G.A. (ketua Parfi Lampung) sebagai Ayah Anwar; Novi Balga sebagai Ibu Anwar; Dilla Raya Maesa sebagai Lesy; dan Don Peci sebagai Pak Margono.

Sedangkan tokoh utama dalam film ini dimainkan Anton Refemy sebagai Anwar dan Retno Tri Handayani sebagai Lena.

Produksi film Topi Sarjana yang menggandeng rumah produksi berlabel nasional, Kenfindo, kini sedang tahap syuting hingga akhir Desember. "Proses produksi hingga kini telah selesai 60 persen," kata Dede Safara, produser film Topi Sarjana, Senin (7-12).

Film yang merupakan garapan sutradara berpengalaman Paksi Anom ini telah melakukan syuting perdana pada Kamis (3-12), mengambil setting di SMU PGRI I Padang Cermin, Pesawaran, dan Minggu (6-12), di Universitas Bandar Lampung (UBL), serta dilanjutkan di Bukit Randu. "Proses syuting kami rencanakan selesai dalam waktu satu minggu dan segera diluncurkan pada akhir Desember," kata Dede, lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Sinematografi.

Dalam film yang dibintangi pemain-pemain dari Lampung dan pengambilan setting di Bumi Ruwa Jurai ini, menceritakan tentang peliknya kehidupan seorang pria (Anwar) yang berasal dari keluarga tidak mampu dan hidup bersama ibu serta adiknya yang cacat.

Anwar bisa menjadi sarjana dan berkeja di perusahaan yang bonafit. Juga diceritakan juga kisah romantisme percintaan yang penuh liku antara Anwar dan gadis pujaannya, Lena.

Film yang digarap dengan apik dan menelan biaya sekitar Rp200 juta lebih, merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan potensi seni dan budaya Lampung melalui dunia perfilman.

Dede berharap film ini nantinya dapat menjadi kebanggaan masyarakat Lampung sekaligus membuka ruang bagi kreator film di Bumi Ruwa Jurai untuk terus mengembangkan bakat dan seni kreativitas. */L-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 8 Desember 2009

December 7, 2009

Pemda Kurang Serius Kembangkan Sastra Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Lampung masih kurang berkomitmen mengembangkan bahasa dan sastra Lampung.

SASTRA LAMPUNG. Buku-buku sastra (berbahasa) Lampung yang diterbitkan BE Press, Bandar Lampung (LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMALA)

Penilaian tersebut disampaikan Direktur BE Press Y. Wibowo, Senin (08-12). BE Press merupakan penerbit karya sastra berbahasa Lampung Mak Dawah Mak Dibingi (2007) yang berhasil meraih Hadiah Sastra Rancage 2008.

Ia dihubungi Lampung Post terkait terbitnya dua buku sastra berbahasa Lampung. "Kami telah menyiapkan kado akhir tahun bagi perkembangan sastra dan budaya Lampung. Dua buku sastra Lampung kita terbitkan," kata dia.

Y. Wibowo menjelaskan dua buku itu adalah kumpulan sajak Oky Sanjaya berjudul Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan dan kumpulan cerita buntak (pendek) karya Asarpin Aslami bertitel Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuang.

"Kedua buku ini akan menjadi nominasi karya sastra berbahasa daerah yang akan diikutsertakan dalam Rancage Award tahun 2010 di Bandung. Kedua buku ini juga diharapkan akan mengisi kekosongan buku sastra berbahasa Lampung yang terjadi dalam dua tahun terakhir," kata dia.

Menurut Wibowo, setelah Mak Dawah Mak Dibingi, praktis tak ada naskah yang masuk untuk diseleksi dan diterbitkan BE Press. Namun, tahun 2009 empat buah naskah akhirnya masuk ke meja redaksi untuk kemudian diseleksi dan diterbitkan.

"Tim seleksi diketuai Udo Z. Karzi. Redaksi BE Press memilihkan naskah berdasarkan aspek nilai sastra dan budaya serta aspek kebahasaan," kata dia.

Menjadi Tantangan

Wibowo yang juga penyair ini mengakui, pengalamannya menerbitkan buku berbahasa ibu di Provinsi Lampung menjadi kerja yang cukup menantang. Apalagi respons dan apresiasi masyarakatnya masih minim. Komitmen pemerintah daerah dalam pelestarian sastra dan budaya juga jauh dari kata memuaskan.

"Beberapa waktu lalu kami telah beberapa kali melakuan audiensi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung terkait rencana memasukkan sastra dan budaya sebagai muatan lokal bahasa Lampung," kata dia.

Namun sayangnya, menurut dia, hingga kini usulan tersebut tidak mendapat respons dari Dinas Pendidikan. Padahal, untuk melestarikan sastra dan budaya Lampung yang efektif adalah melalui jalur pendidikan.

Y. Wibowo berpendapat dengan masuknya bahasa Lampung sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah, buku sastra berbahasa Lampung diharapkan menjadi bahan bacaan bahasa Lampung bagi siswa yang hingga kini terasa masih sangat minim.

"Pemerintah provinsi telah mewujudkan komitmennya dengan menerbitkan perda mengenai kewajiban daerah untuk melestarikan bahasa dan budaya Lampung. Namun, perda tersebut tidak ditindaklanjuti dengan tindakan dan kerja-kerja nyata," kata dia. n MG14/S-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 8 Desember 2009

STKIP PGRI Tampilkan Monolog 'Aku Seorang Pelacur'

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Teater Malam STKIP PGRI Metro mementaskan dua pertunjukan monolog di Gedung PKM Universitas Lampung (Unila), Sabtu (5-12) malam.

Pada pertunjukan pertama, Aku Seorang Pelacur karya A. Dinggo dibawakan dengan sangat ekspresif oleh Astrid. Aku Seorang Pelacur ini bercerita tentang kehidupan seorang pelacur tua di masa kini yang kian lama kian tergusur.

Di masa lalu pelacur tersebut berjaya, pelanggannya banyak, mulai dari politisi sampai orang-orang kaya yang dekat dengan penguasa. "Tetapi kini, pelangganku hanya orang-orang biasa," kata Astrid dalam monolognya.

Di masa transisi, ketika ia tak lagi mampu bersaing, pelacur tersebut seperti berkontemplasi tentang kehidupan yang menurutnya sudah membosankan. Ia bosan dengan sikap masyarakat dan pemerintah yang selalu memandang rendah dirinya.

"Kau mencari Indonesia? Kau akan menemukannya pada perut-perut rakyat yang kelaparan. Pada pelacuran politik, ekonomi, acungan pistol, suara rebana, dan gitar para pengamen," kata Astrid, masih dalam monolognya.

Pertunjukan kedua adalah Tak ada Minggu dan Sabtu, Hanya Siang dan Malam karya Rozakky dengan A.H. Duma sebagai aktor. Monolog kedua itu berbicara tentang kegelisahan seorang manusia akan kehidupan dan prosesnya pada masa mendatang, di mana manusia semakin tak bernyali dan egoisme makin menjadi-jadi.

"Hidup itu seperti layang-layang dan kaleng susu. Kaleng susu adalah masa lalu. Layang-layang adalah masa depan, dan benang adalah waktu. Maka jika kau putus benang itu, hilanglah semua," ujar Duma dalam monolognya.

Pada lakon ini, Duma membawakannya dengan sangat baik meski ada beberapa bagian yang terlihat janggal.

Menanggapi pertunjukan tersebut, Ari Pahala Hutabarat, seniman Lampung, mengatakan ia menyambut baik pementasan tersebut. "Meski teks monolognya jelek, akting keduanya bagus. Lampung jadi ketambahan dua aktor yang berpotensi," kata dia.

Menurut dia, dua bukti aktor berpotensi besar tersebut seharusnya menjadi fokus pengembangan kesenian di Lampung. "Bukan pembangunan benda-benda fisik," ujar Ari. n MG13/K-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 7 Desember 2009

December 6, 2009

Apresiasi: Kisah Peminggiran Masyarakat Desa

Oleh M. Harya Ramdhoni Julizarsyah

"INDONESIA, di mana itu? Seperti sekelumit kisah di Sangir," Gora mengerenyitkan dahi diikuti tawa Dagu. Mereka berdua tertawa bersama-sama. (Dyah Merta, 2007:189).

Peri Kecil di Sungai Nipah adalah sebuah kisah tentang orang-orang biasa dengan penghidupan yang sederhana. Namun, novel ini menjadi tidak biasa ketika penulisnya, Dyah Merta, sukses membangun alur yang menarik disertai perwatakan yang kuat dari setiap pelaku. Dyah Merta, penulis kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 21 Juli 1978. Ia sempat kuliah di FKIP Bahasa Indonesia Unila dan merupakan salah seorang dari 100 Tokoh Terkemuka Lampung versi Lampung Post.

Peri Kecil di Sungai Nipah menceritakan sebuah keluarga terpandang pemilik perkebunan tebu di Desa Sangir yaitu keluarga Karyo Petir. Ia memiliki dua orang anak Dagu dan Gora hasil dari perkawinannya dengan seorang perempuan bernama Dalloh. Tokoh-tokoh lain di dalam novel itu adalah para pekerja yang turut tinggal bersama keluarga Karyo Petir seperti Kerapu, Genuk dan bibi Kasemi.

Pembangunanisme Orba

Peri Kecil di Sungai Nipah berlatar-belakang awal berdirinya Orde Baru (Orba) dan konsolidasi ekonomi politik yang terjadi setelah itu. Novel ini mencoba merekonstruksi ingatan kita bersama terhadap watak ideologi pembangunanisme dan usaha-usaha yang dilakukan Orba untuk memperkenalkan gagasannya tersebut.

Prolog dari sosialisasi istilah "pembangunan" di desa itu ialah dibangunnya sebuah helipad di tengah ladang jagung Wak Jo, salah seorang tokoh di desa Sangir, yang saat itu dipenuhi jagung siap panen. Sekelompok kecil orang berhasil membujuk Wak Jo agar merelakan tanahnya dibangun helipad untuk pendaratan helikopter yang akan membawa pak menteri. Orang-orang tersebut membawa uang banyak untuk Wak Jo. Mereka adalah orang-orang besar sahabat penguasa. Wak Jo merasa girang hatinya mendapat banyak uang tanpa harus memanen jagung. (Dyah Merta, 2007:90).

Pak menteri yang ditunggu warga Desa Sangir akhirnya datang dengan menumpang helikopter. Gora menyebut benda itu sebagai "capung raksasa". Ketibaan pak menteri dengan menumpang raksasa menarik perhatian seluruh penduduk Desa Sangir. Orang-orang berkumpul memenuhi bekas ladang Wak Jo yang melebar sebagai lapangan. Seluruh penduduk gembira menyambut kedatangan pak menteri. Warga yang berbondong-bondong datang ke bekas ladang Wak Jo baru menyadari bahwa lelaki yang disebut pak menteri adalah seorang lelaki setengah tua dan botak. Pak menteri meminta masyarakat mendukung rencana "pembangunan" pemerintah pusat. Istilah "pembangunan" kemudian mulai dikenal oleh masyarakat Desa Sangir. Kosakata aneh itu perlahan-lahan menyihir seluruh warga tua dan muda.

Setelah kedatangan pak menteri, warga Desa Sangir mulai disuguhi dengan beragam aktivitas asing yang disebut-sebut sebagai usaha pemerintah untuk "memajukan" Desa Sangir. Ritual "pembangunan" dimulai dengan ledakan tanda dimulainya pendirian sebuah waduk yang disambut gegap gempita seluruh penduduk. Ledakan tersebut diikuti dengan pembangunan barak-barak di sekitar lapangan bekas ladang Wak Jo. Barak-barak yang tengah dibangun itu kelak ditinggali oleh beberapa puluh orang tentara. Pada sisi lain barak ditinggali oleh para kuli bangunan yang didatangkan dari tempat yang jauh. Beberapa minggu kemudian banyak buldoser tiba di desa Sangir. Jalan-jalan di desa itu diperlebar dan diratakan. Kepala desa mengatakan kepada para penduduk bahwa Desa Sangir tengah mengalami pembangunan dari desa menuju kota.

Pembangunan barak-barak militer digambarkan Dyah sebagai bentuk lazim persekutuan segitiga antara penguasa otoriter, pengusaha, dan kaum bersenjata dalam mengamankan praktek-praktek pembangunanisme yang menghalalkan segala cara. Pembangunan terhadap Desa Sangir memerlukan modal yang tidak sedikit. Kapital yang diperlukan itu berasal dari pengusaha atau pihak kapitalis. Pada titik ini kaum kapitalis menuntut pengertian negara Orde Baru untuk memudahkan prosedur birokrasi dan jaminan keselamatan modalnya. Hal ini bisa sukses dilakukan apabila negara memfasilitasi kemudahan investasi modal dengan melibatkan tentara sebagai penjaga akumulasi kapital. Persekutuan segitiga antara negara Orde Baru, pemodal dan tentara tersebut digambarkan secara apik oleh Dyah Merta.

Marginalisasi Masyarakat Desa

Membaca Desa Sangir dari perspektif Dyah Merta adalah seperti membaca riwayat panjang penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia sejak zaman feodalisme, kolonialisme hingga masa pemerintahan Orde Baru Soeharto. Desa Sangir dan warganya adalah objek penindasan dan penghisapan tiada tara yang dilakukan oleh kapitalis-kapitalis besar "sahabat penguasa". Sebelum kedatangan pak menteri yang diikuti pembangunan waduk di Sungai Nipah dan pembangunan pabrik gula masyarakat Desa Sangir hidup tenteram, sejahtera, dan aman. Sebagaimana Dyah Merta (2007:91) menuturkan:

"Sungai Nipah adalah sungai besar yang selama ini menumbuhkan tak hanya gambut dan rumput, ikan-ikan seperti terbang dan jatuh ke talam hanya dengan duduk di tepian, juga umbi dan tebu bermunculan karena aliran sungai itu. Sungai yang membuat masyarakat Sangir selalu memiliki senyum paling manis di samping mereka memiliki kebun gula yang manis."

Ketenteraman dan keindahan Desa Sangir dan Sungai Nipah hilang dalam sekejap. Sungai Nipah yang dulu menjadi sumber nafkah para nelayan kecil telah diledakkan dan berganti wujud menjadi waduk raksasa yang nyaris menenggelamkan desa Sangir. Ikan-ikan yang berterbangan lindap di dalam lumpur sungai itu. Kebun gula yang menghampar luas di Desa Sangir pun telah bertukar wujud menjadi pabrik tebu yang dimiliki perseorangan. Petani tebu terhimpit oleh keberadaan pabrik gula tersebut. Mereka tidak dapat lagi mencicipi manisnya harga tebu karena pabrik tebu telah memonopoli harga jual tebu dan memaksa para petani menjual tebunya dengan harga murah. Perlahan-lahan senyum paling manis yang dimiliki warga desa Sangir pun melenyap menjadi tangisan yang mengharu-biru.

Eksistensi masyarakat Desa Sangir yang terpinggirkan dan terlupakan oleh penguasa dan pemodal sangat bertentangan dengan kondisi desa mereka yang mulai menampakkan kemajuan secara fisik. Pabrik tebu telah pun menggantikan penggilingan tebu secara sederhana. Apabila dulu penggilingan tebu dilakukan dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah roda gigi dan sebuah poros sepanjang 4,5 meter maka proses mesinisasi telah mempercepat proses penyaringan sari tebu menjadi sebanyak dua kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya.

Kapitalisme dan mesin memang memudahkan segala proses teknikal yang selama ribuan tahun dikerjakan manusia melalui gilda-gilda sederhana. Kemajuan pesat teknologi dan industri kapitalis telah mereduksi tenaga puluhan orang menjadi tenaga sebuah mesin saja. Hal itu yang terjadi di Desa Sangir. Proses mesinisasi telah mempercepat dan memudahkan segalanya, tetapi hal itu juga yang menjadi sebab terpinggirnya masyarakat desa tersebut. Pabrik yang didirikan telah memangsa tanah-tanah subur milik penduduk setempat. Selain itu keberadaan pabrik juga secara nyata tidak memberikan kesejahteraan bagi penduduk desa Sangir karena pabrik tebu tersebut lebih memilih mengimpor tenaga buruh murah dari tempat yang jauh.

Proyek pembangunan di Desa Sangir juga menerbitkan teror-teror yang sengaja dimunculkan. Teror-teror itu dialamatkan kepada sekelompok orang yang berwawasan kritikal yang merasa tidak puas dengan keadaan di Desa Sangir. Mereka juga mengorganisasi buruh pabrik tebu untuk melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah dan perbaikan fasilitas. Salah seorang korban dari upaya-upaya represif penguasa adalah Dagu, putra pertama Karyo Petir. Dagu dibunuh secara sadis setelah diseret dari tempat persembunyiannya. Ia didakwa sebagai musuh pemerintah dan pihak kapitalis karena menghasut warga desa Sangir untuk tidak menjual rendeman tebu kepada pabrik tebu. Tahap-tahap penangkapan dan pembunuhan atas Dagu merupakan tipikal pembunuhan politik ala Orde Baru.

Penyiksaan dan pembunuhan yang dialami Dagu nampak berlebihan namun kejadian seperti itu bukan merupakan suatu hal yang mustahil terjadi di sebuah negara otoriter seperti Orde Baru. Pembunuhan politik terhadap Dagu yang dilakukan secara telanjang mengingatkan kami pada teror-teror dan pembunuhan politik dalam riwayat politik raja-raja Jawa. Perbuatan sadis itu pernah dilakukan oleh raja Mataram Amangkurat I yang secara sadis membantai ratusan ulama Islam.

Kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak dan tidak boleh terbagi mesti menjaga kewibawaannya dari bermacam gugatan dan ancaman. Pemilik kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak ini mesti merespon segala macam perlawanan itu secara betul, efektif, dan efisien. Respons harus dilakukan secara betul tanpa kesalahan sedikit pun. Respons juga mesti dilaksanakan secara efektif dan efisien agar dapat menghemat waktu dan tenaga. Penyiksaan terhadap Dagu telah memenuhi ketiga kriteria tersebut. Pembunuhan dilakukan secara betul dengan tujuan menghancurkan dalang kekacauan. Pembunuhan dilakukan secara efektif dan efisien dengan tujuan meneror masyarakat untuk tidak sekalipun mengulang dosa-dosa Dagu terhadap penguasa. Soeharto sendiri pernah berkata bahwa ia tidak akan ragu-ragu menindak siapa pun yang berniat mengusik kekuasaannya.

Penutup

Apa yang dilakukan oleh pembangunanisme Orde Baru di desa Sangir adalah “pembangunan kemunduran“ sepertimana dipaparkan oleh Paul Baran. Rezim Orde Baru memang telah sukses membangun desa itu secara fisik namun secara mental masyarakat desa Sangir mengalami kemunduran. Desa yang semula dihidupi dengan cinta, kasih sayang dan tenggang rasa kemudian berubah menjadi perkampungan tanpa moralitas. Hal ini disebabkan oleh kapitalisme yang telah mereduksi segalanya. Saiful Arif (2000) mengatakan apabila semuanya direduksi dan dipahami sebagai kapital, maka disanalah sebenarnya pereduksian nilai-nilai sosial, cita-cita nasional dan kehidupan yang sejahtera sedang terjadi. Nilai-nilai yang dahulu kerap akrab menyapa, kini berganti dengan sistem nilai baru yang menempatkan rekayasa individu dan pemilikan kapital sebagai tuan.

Pembangunan kemunduran yang dialami desa Sangir menyeret masyarakat desa menuju metamorfosis yang asing dan absurd. Itulah anak haram bernama pembangunanisme. Anak haram itu bukan hanya meminggirkan warga desa Sangir namun juga telah meruntuhkan derajat mereka hanya sebagai buruh upahan yang dibayar (Karl Marx, 1978). Pembangunanisme merubah orang-orang yang bertahan di Sangir serupa kaum hamba yang pendiam dan penurut. Mereka hidup di pinggiran dengan mengais-ais sampah dan menjadi penonton pasif roda kapital yang dengan rakus terus berputar. Pergerakan modal yang dahsyat dengan mengatasnamakan pembangunan telah merampas setiap remah-remah mimpi, kehidupan, kebebasan dan hak alamiah mereka atas air dan tanah. Segala hal yang selama ratusan tahun dimiliki secara percuma oleh seluruh warga desa Sangir kini berubah menjadi properti yang dijual-belikan. Sangir dan masa depannya telah dikorbankan demi ambisi-ambisi kaum kapitalis yang berwatak munkar.

* M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, kandidat Ph.D. Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Desember 2009