Oleh Harun Muda Indrajaya
Tabik pun, nabik tabik. Sikandua haga numpang cawa. Cawa puuun...
SASTRAWAN Lampung, Asarpin Aslami memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2010 atas karyanya “Cerita-Cerita Jak Bandar Negeri Semuong” (BE Press, 2009), sebuah kumpulan cerpen berbahasa Lampung.
HMI pribadi sudah membaca buku ini saat buku tersebut baru selesai dicetak. Rekan-rekan dari BE Press memang cukup intim dan punya benang merah yang rapat dengan kru redaksi LE. Sedari awal membacanya, HMI sangat bahagia. Pasca Udo Z Karzi lewat Mak Dawah Mak Dibingi, dulu sempat khawatir bahwa buku sastra berbahasa Lampung akan kembali tergerus zaman, tetapi langsung dua buku yang tiba di meja kerja HMI, karya Asarpin dan karya Oky Sanjaya, keduanya berbahasa Lampung walau berbeda dialek. Itulah Lampung kita semua, kaya ragam dan sama indah.
Sekira dua hari silam, HMI kembali dikirimi buku tersebut, kali ini ada pula cerita soal Radin Inten. Mantap dan sangat membanggakan.
Dari perbincangan yang ada, rupanya ada pula yang melontarkan kontroversi soal kualitas kesusastraan buku tersebut. HMI pribadi menyikapinya dengan wajar. Kontroversi dan perdebatan bukanlah sebuah hal yang salah. Tetapi, hari ini ‘pengantin’-nya adalah Asarpin. HMI pribadi angkat topi, acung jempol dan mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya. Makin banyak orang Lampung macam dia, makin kaya kita.
Kalau ada yang merasa kurang senang, iri ataupun mampu melihat ketidaksempurnaan karya itu, ayo bikin juga. Berkompetisilah yang sehat dan beradu hebat dengan karya. Kualitas hanya bisa diperoleh dengan kompetisi yang ketat dan adil. Berceloteh soal kesempurnaan adalah kebisaan setiap orang. Tetapi menghasilkan karya adalah ranah mutlak si pemilik rasa kreatif. Kalau ada penilai positif dan penilai negatif, jangan pula jengah, dua sisi selalu ada dalam satu soalan.
Kita semua memahami, perkembangan budaya Lampung berada dalam kondisi yang kurang memuaskan. Gerusan budaya luar dan modern yang kerap tampak lebih berkilau membuat pelaku budaya dan orang-orang Lampung yang masih menggali dan mempraktikkan budaya Lampung dalam kehidupan sehari-harinya terus terpinggirkan. Harus ada orang-orang kreatif semacam Udo Karzi, Asarpin Aslami dan Oky sanjaya lain yang mampu mengemas rasa kreatifnya menjadi karya budaya yang bisa dicuatkan.
HMI mendukung seratus persen. Bahkan tak segan pula kalau harus ikut berkontribusi secara langsung dan riil dalam ‘pergerakan’ memajukan budaya Lampung lewat berbagai cara yang elegan dan intelektual seperti pelestarian sastra berbahasa Lampung seperti ini. Lampung milik kita semua. Keberagaman adalah pemasti kekayaan, bukan dikedepankan berbedanya sehingga merasa perlu berkonflik. Mak kham sapa lagi, mak ganta kapan lagi.
Tabik pun, nabik tabik. Sikandua kilu mahap. Numpang liyu puunn..
Sumber: Lampung Ekspres Plus, Sabtu, 6 Februari 2010
No comments:
Post a Comment