Judul : Penyeret Babi
Penulis : Inggit Putria Marga
Penerbit : Anahata, Bandar Lampung
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 132 hlm.
Penyair : "seandainya kamu penyair, apa yang kamu tulis?"
Temannya : "Ketidakindahan, sesuatu yang ada pada diriku sukar ditemukan."
(Penyair dan Temannya, hlm. 41).
DIA menjadi Inggit ketika menulis tentang tumbuhan, air, hujan, batu, telur, ayam, laut, lumut, daun, ricik air--dengan sajak-sajak pendek yang kuat. Demikian Oyos Suroso H.N. tentang puisi-puisi Inggit.
Dia menjadi Inggit. Berarti ada periode ia tidak atau belum menjadi Inggit. Agak menarik apakah ia benar-benar Inggit atau bukan Inggit, misalnya, kita mencoba berkenalan lewat puisi-puisinya tanpa melihat orangnya. Bagi saya semuanya adalah Inggit. Ia melakukan serangkaian uji coba, baik gaya penulisan maupun temannya, dan barangkali mungkin ia hanya peduli bagaimana menulis puisi dengan baik. Kadang panjang dan kadang pendek. Seperti pada buku antologi puisi yang ia beri judul Penyeret Babi ini. Judul dan kover buku ini cukup provokatif.
Buku terbagi dua bagian: Mantra Petani berisi 30 puisi dan Pemuja Api berisi 42 puisi.
Pada bagian pertama, sajak-sajak pendek Inggit sepertinya lahir dari dorongan tema yang berbeda. Mungkin sama-sama sublim, tetapi ia ungkapkan dengan cara yang berbeda. Banyak puisi yang sederhana pada bagian ini. Sederhana dalam diksi-diksi dan pola ungkapnya. Boleh jadi tidak bermaksud membuat haiku, tetapi beberapa puisi layaknya haiku: sederhana dan langsung telak ke sasaran.
Pada bagian kedua, puisi-puisi Inggit cenderung panjang--beberapa judul sebentuk puisi prosaik--mungkin karena Inggit tengah menemukan bentuk pengucapan yang berbeda. Atau, sajak pendek sudah tidak memadai lagi untuk mengungkapkan ide-idenya yang mengandung unsur-unsur spiritualitas (secara lebih longgar) itu.
Ini buku puisi pertama Inggit. Sajak-sajak Inggit dimuat berbagai media. Setelah berbagai event nasional dan internasional beberapa kali mencatatkan namanya sebagai salah satu peserta, puisi juga langganan dipilih sebagi salah satu puisi terbaik versi Anugerah Sastra Pena Kencana (2008, 2009). Baru-baru ini ia menjadi salah satu peserta Ubud Writer Festival, setelah sebelumnya menjadi salah satu peserta International Literary Bianalle 2005 dan 2009.
Puisi-puisi pilihan Inggit enak sebagai bacaan, bahan renungan atau menjadi tema diskusi untuk melihat perkembangan sastra yang berkembang di ranah Lampung. Dalam antologi ini, kita juga akan menemukan tipografi puisi yang cantik, agak berbeda dengan tipografi sajak-sajak penyair perempuan umumnya. Boleh dibilang, Inggit memberi warna lain bagi peta perpuisian Indonesia.
Setidaknya larik-larik tipografi, pola ungkap, pemakaian majas, metafora, dan lain-lain terus berjalan seiring dengan dedikasinya yang tak putus-putus dalam sepuluh tahun terakhir, dediksi yang telah menghantarkan Inggit sebagai salah satu penyair wanita yang dimiliki Lampung dan Indonesia. Sebuah proses mencipta yang oleh filsuf Alfred Whitehead sebut sebagai "proses untuk menjadi". Dalam proses "meng-ada", manusia pada dasarnya selalu dalam proses untuk menjadi. Bagaimana Inggit menganyam kata menjadi manik-manik frasa dan frasa-frasa itu membangun sebuah puisi yang utuh-padu dan autentik. Inggit termasuk sedikit dari penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Meskipun pendek, melalui sebuah puisi Inggit, misalnya, kita merasakan ekstase tekstual seperti sebuah tonjokan, lalu tiba-tiba merintih sedih. Atau, seperti orang yang datang dengan banyak cerita tentang pengalaman pribadinya. Puisi yang baik barangkali adalah puisi yang mampu melahirkan ambiguitas, yang memungkinkan tafsir berlapis-lapis sebagaimana pendapat Nirwan Derwanto. Dengan rumpang antar-frasa, kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala.
Puisi menjadi sering menakjubkan--bahkan sering tak disadari penyairnya sendiri --karena ada rumpang sunyi, ada imaji yang tak terduga, ada estetika dionisian yang ditawarkan. Puisi-puisi yang berhasil membuat rasa takjub hadir dalam imajinasi kita. Sebagai manifestasi proses internalisasi penyair terhadap diri, realitas, dan sesuatu yang lain, yang mungkin akan kita sebut sebagai Tuhan.
Buku puisi ini menarik karena banyak rumpang sunyi di dalamnya, atau imajinasi, atau tema, atau majas-majasnya, atau pada benda-benda sekitar kita yang mendapat pemaknaan baru, yang lebih sublim oleh Inggit Putria Marga. Ketajaman dan kelenturan dalam melontarkan ide-idenya seputar eksistensi dan spiritualitas Inggit bisa kita simak dalam puisi-puisinya kali ini. Membaca puisi-puisi Inggit, berarti mencari ketidakindahan yang sukar ditemukan.
Alexander G.B., penikmat puisi
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
No comments:
Post a Comment