Oleh Imelda*
Siang menjelang sore hari pertama bulan Februari, saya mendapatkan sebuah pesan pendek dari seorang teman bahwa buku Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (selanjutnya disebut CBNS) mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2010.
UNTUK berita itu saya sungguh bersuka cita sekaligus sepakat bahwa penghargaan itu pantas didapatkan oleh Asarpin Aslami, karena 17 cerbun (cerita buntak = cerita pendek) yang ditulisnya memang bagus dan hidup karena ketika membaca saya bisa merasakan emosi yang beragam. Terkadang sedih ketika tragedi yang diceritakan, terkadang marah ketika ketidakadilan diceritakan dan terkadang gembira sembari senyum-senyum ketika yang ia berkisah dengan lelucon khas Lampungnya yang segar. Pendek kata, cerbun ini memang "Nano-Nano".
Menjadi cerita pendek pertama berbahasa Lampung tidak membuat cerita ini hambar dibaca, tetapi emosi sedih, marah, dan gembira berhasil diciptakan Aslami. Di dalam cerbun-nya ia mengangkat tema-yang beragam, antara lain (1) sejarah, (2) perempuan Lampung, (3) tradisi dan (4) kenangan manis masa lalu. Dari empat tema tersebut, yang paling menarik dan menjadi pokok tema penting ialah sejarah dan perempuan. Untuk itu pula, dalam ulasan buku ini, saya hanya akan memfokuskan pada dua tema yang menurut saya memiliki nilai menarik dan substansi penting.
Sejarah dan Mitos Lampung
Cerbun CBNS memulai kisahnya dengan rekonstruksi perdagangan rempah masa lalu di Way Semaka (Bandar Negeri Semuong). Ia tidak hanya bercerita mengenai tempat, tetapi juga aktor-aktor, aktivitas, dan berbagai macam mitos yang mengiringi tempat itu di masa lalu. Kisah kesejarahan yang diilustrasikan, kemudian diperkuat juga dengan mitos mengenai buaya putih pada cerbun yang berjudul Teluk Semaka dan Bura Semaka. Di dalam dua cerita itu dikisahkan mitologi buaya putih yang menjadi penghuni perairan Way Semaka, yang hanya bisa ditaklukan oleh orang-orang sakti atau dukun Lampung.
Barangkali ada sebagian orang yang menganggap mitos yang diceritakan hanya sebagai isapan jempol, akan tetapi bagi orang Lampung yang masih mempercayai mitologi penguasa laut matu dan sungai (buaya putih), mitologi ini bukan omong kosong. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa mitologi itu menjadi pengikat kisah eksistensi nenek moyang dengan masa kini. Sebuah bentuk kesejarahan masa lalu atau local knowledge mengenai tempat-tempat penting yang tidak perlu diperdebatkan. Dengan kata lain, sejarah perdagangan masa lalu di Pesisir Selatan Lampung dan mitos ini bukan hanya memberikan informasi mengenai tempat, tetapi juga hubungan orang Lampung dengan masa lalunya.
Kisah lain yang masih berdimensi kesejarahan ialah kisah Batu Penyambung dan Gunung Putri. Cerita pertama memberikan paparan mengenai sebuah batu yang dipercayai terjadi karena ada orang yang berdosa dan disumpahi sehingga menjadi batu. Tempat di dalam kisah tersebut, saat ini, dikisahkan sebagai tempat keramat. Sementara itu, cerita kedua berkisah mengenai hubungan Kepaksian Lampung dan Kesultanan Banten yang digambarkan dengan hubungan perkawinan Pun Puri dari Lampung dan Maulana Yusuf dari Banten.
Mitos Batu Penyambung merupakan mitologi yang memberikan kisah mengenai moralitas, sekaligus tempat. Di dalamnya ada pesan bahwa berjudi itu perbuatan yang tidak baik, sehingga siapa pun yang berbuat itu, di masa lalu, dikutuk menjadi batu. Sementara itu, kisah Gunung Putri menjadi kisah yang memberikan gambaran betapa erat hubungan Lampung dan Banten karena hubungan tersebut diikat dengan perkawinan yang artinya mengikat batin.
Perempuan Lampung
Tema yang saya anggap penting, selain kesejarahan ialah mengenai Perempuan Lampung. Ada dua periode penting yang disoroti oleh Asarpin mengenai keperempuanan: gadis dan istri. Pada periode gadis, perempuan Lampung digambarkan sebagai perempuan yang malang Hiwang, perempuan yang sikop (Mala Suri) juga perempuan pemberani melawan pakem (Metudau).
Kemalangan perempuan digambarkan ketika ia tidak memiliki sanak famili. Setiawati yang menjadi tokoh utama dalam cerita Hiwang digambarkan sebagai seseorang yatim piatu yang ditipu-tipu. Semakin tragis ketika kisah ini berakhir dengan kematian sang tokoh saat perjalanan pulang ke kampung halaman. Cerita lain, perempuan yang cantik, digambarkan oleh mimpi seorang bujang mengenai perempuan Lampung yang bernama Mala Suri, berkulit putih yang diintip ketika mandi. Cerita ini sungguh berani bukan hanya menggambarkan impian liar sang jejaka, melainkan juga karena di akhir mimpinya, bujang itu terjaga karena Mala Suri ngusung lading dan menantangnya. Kisah yang unik dan menarik.
Terakhir, cerita mengenai perlawanan seorang perempuan terhadap adat yang tidak berpihak. Nurjanah mempertaruhkan dirinya disebut sebagai Nurjahanam setelah berani bersikap meninggalkan rumah dan menikahi lelaki yang dicintainya. Ini adalah sebuah tragedi ironik karena, diakhir cerita, sang perempuan pemberani masih memendam keinginan untuk melawan diskriminasi yang ia rasakan dengan cita-cita untuk memiliki anak perempuan yang pupus karena ia hanya dikaruniai anak lelaki. Kisah yang sejenis, tragedi cinta terlarang, juga bisa dibaca pada cerita Solbi wan Solha.
Perlakuan diskrimatif juga dirasakan ketika seorang perempuan menjadi istri. Dalam cerita Bebai Kejeruwan, perempuan Lampung yang menjadi istri digambarkan sebagai perempuan yang menanggung beban penderitaan. Dikisahkan tujuh orang perempuan yang setiap hari mencari kayu di hutan. Aktivitas itu dilakukan karena mereka memiliki tanggungan dapur yang harus terus mengepul dan anak yang menanti kiriman uang di kota.
Dengan gaya menulis yang berkelakar, Asarpin mengkritik perilaku lelaki/suami Lampung yang hanya sibuk merokok dan mengopi sambil berseloroh tidak sopan terhadap perempuan-perempuan pemberani yang dianggap telah menghabiskan harta warisan keluarga lelaki. Di lain cerita, Kembang Melor, rasa malas lelaki disindir manis dengan kisah ini. Perempuan (baca: keluarga) digambarkan dengan wujud kembang melor yang butuh banyak air kehidupan. Sebuah gambaran pertarungan gender yang manis.
Sejarah dan perempuan lampung yang diceritakan oleh Asarpin, saya kira, telah berhasil merebut hati dan tidak heran bila akhirnya cerbun ini meraih penghargaan. Buat saya, penghargaan yang diberikan sangat pantas karena penceritaannya yang mengalir. Selain itu di bagian akhir, Asarpin menyelipkan kritik terhadap penerbit yang mengganti bunyi /kh/ dan /gh/ dengan bunyi /r/. Ini membuktikan bahwa ia masih belum puas dengan penerbit. Sebuah bukti bahwa memang buku ini harus melengkapi diri dengan standar ortografi. Penulisan bunyi yang lainnya ialah bunyi /'/ yang selalu diletakkan setelah huruf /k/. Bagi saya itu sangat boros karena tanda /'/ (baca: hamzah) itu sudah mewakili bunyi /k/.
Kumpulan Cerbun Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong yang ditulis Asarpin telah memberikan semangat baru bagi penulisan teks berbahasa Lampung di tengah sepinya usaha pemerintah daerah yang hanya sibuk berwacana menggunakan bahasa Lampung. Asarpin selangkah lebih maju karena ia tidak hanya sekadar berwacana, tetapi do action.
* Imelda, Peneliti Ernolinguistik, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Maret 2010
No comments:
Post a Comment