Oleh Asarpin
SUATU hari saya ditanya oleh seorang teman yang kebetulan merasa mengikuti perkembangan cerpen kita. Katanya: apakah yang membedakan cerpen dengan naskah drama? Saya jawab: tidak ada bedanya, dan banyak cerpen itu berupa drama dan drama itu berupa cerpen.
Tentu saja teman saya itu tak puas dengan jawaban itu. Ia tetap penasaran. Lalu, setelah sejenak berpikir, ia pun mengajukan pertanyaan yang lain lagi: Apa perbedaan antara cerpen yang selama ini dimuat di Kompas dengan cerpen yang dimuat di Koran Tempo?
Terus terang saya tak berhak menjawab pertanyaan semacam itu. Selain harus membutuhkan penelitian serius, sementara tak ada ruang di sini untuk memaparkan secara panjang-lebar persoalan itu. Tapi kalau mau dipaksakan untuk dijawab, maka perbedaan cerpen yang terbit di dua media nasional itu, adalah:
Pertama, cerpen di Kompas banyak dialog, sedangkan di Koran Tempo jarang dialog, atau hanya naratif. Kedua, cerpen Kompas realis, sedangkan cerpen Koran Tempo tidak.
Tentu saja jawaban saya itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi saya kira, sebagian besar orang melihat perbedaan yang sama, di samping perbedaan yang lain. Saya cukup sering mengikuti cerpen yang dimuat di dua harian nasional itu, dan tentu saja saya pernah mendengar kritikus sastra mengungkapkan kecenderungan tema dan gaya cerpen yang dimuat di kedua media itu.
Jawaban itu tak perlu dianggap sebagai kesimpulan ilmiah. Ia hanya generalisasi berdasarkan gejala luar yang tampak menonjol. Dan bukan soal ini yang ingin saya bicarakan. Sebab, seperti sudah banyak diketahui, cerpen yang banyak menampilkan dialog dengan yang monolog atau naratif sama-sama punya peluang sebagai cerpen yang baik atau jelek. Nilai sebuah cerpen tidak diukur dengan itu.
Seorang bijak di bidang penulisan cerpen pernah bersaran: sekarang ini dirasakan perlu adanya porsi yang seimbang antara cerpen yang menampilkan dialog dengan cerpen tanpa dialog. Terlalu banyak menekankan dialog tentu saja bisa menjadi cerpen yang cengeng dan terasa ringan, dan minus dialog bisa menjadi serius dan lambat.
Jarang ada cerpenis yang lihai dan piawai membangun dialog. Banyak dialog dalam cerpen yang ternyata lemah. Hanya beberapa pengarang yang berhasil menampilkan dialog yang cerdas dan mengejutkan, seperti Umar Kayam, Sutardji, dan Seno. Selebihnya gagal. Dialog yang dibuat justru membuat cerita kehilangan nyawa dan karakter menjadi lemah.
Sementara itu, cerpen naratif cukup digemari akhir-akhir ini. Kelebihannya terletak pada narasi dan tuturan yang segera akan memperlihatkan apakah si penulis cerpen berbakat atau tidak. Saya termasuk jatuh cinta pada cerpen yang tidak ada dialog.
Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma sebagian besar bermain di wilayah eksperimen berbahasa dan satu-dua cerpen dialognya cukup berhasil. Seno menampilkan dialog dan naratif yang cukup seimbang. Ada kalanya ia melonggarkan dialog, tapi sering juga ia mengetatkan dialog itu hingga iramanya jadi unik dan menarik. Kedua-duanya cukup diperhitung. Seno kadang memberontak terhadap asas penulisan cerpen sehingga cerpen-cerpennya terasa bebas. Sementara itu, cerpen-cerpen Isbedy terasa ringan dan enteng karena begitu banyak dialog yang fungsinya kurang diketatkan. Andaikan dialog-dialog itu diketatkan, maka ia akan bunyi dan iramanya akan menggema.
Karena Koran Tempo banyak menampilkan cerpen eksperimen, maka ada anggapan bahwa cerpen-cerpen yang dimuat di koran ini lebih banyak yang bagus dibandingkan dengan yang dimuat di Kompas. Apakah ini bukan sebuah perbandingan nilai yang kacau? Ya, tapi betapa sulit membahas sebuah cerpen tanpa penilaian. A. Teeuw saja melakukan penilaian. Yang namanya penilaian sudah pasti akan bicara soal baik dan buruk, gagal dan berhasil.
Bagaimana cerpen-cerpen di Lampung Post? Izinkan saya menyampaikan sedikit pengalaman membaca cerpen di harian ini. Tentu saja banyak cerpen yang justru menampilkan dialog karena ada anggapan bahwa cerpen tanpa dialog bukan cerpen. Tapi beberapa kali pula harian ini menurunkan cerpen tanpa dialog, dan bagus.
Saya merindukan ruang untuk cerpen dan kolom di Lampung Post diisi oleh tulisan naratif. Rubrik Buras dan Nuansa sayangnya jarang atau tidak pernah menghadirkan tulisan naratif. Kualitasnya pun makin lama makin merosot dan jadi rutin. Membacanya cepat letih karena dialog yang ditampilkan menjadi seperti kuda beban yang sayangnya tidak serbabisa. Eksplorasi berbahasa tidak pernah jadi pertimbangan. Hanya kolom Refleksi Djadjat Sudrajat yang muncul tiap Minggu itu yang dapat diandalkan. Dan Djadjat memang bukan lagi berbakat, tapi ia adalah Goenawan Mohamad-nya Lampung.
Iswadi pernah menulis beberapa cerpen di Koran Tempo yang naratif dan enak dibaca, walau belum tentu perlu. Arman beberapa kali menurunkan cerpen naratif, dan bagus. Muhammad Amin, di pendatang baru di jagat cerpen di Lampung, juga punya bakat menghadirkan cerpen naratif yang kuat.
Edgar Allan Poe adalah cerpenis yang sangat bakhil dengan dialog. Cerpen-cerpennya jarang sekali ada dialognya. Mungkin ia tak percaya dengan dialog sebagai kunci yang membuat tokoh cerita jadi hidup, konflik bisa terbuka secara bebas, dan emosi bisa bangkit. Minusnya cerpen kita yang menampilkan konflikpenokohan selama ini karena terlampau girang pada dialog.
Seandainya gaya Allan Poe diterapkan dalam esai, saya membayangkan esai naratif ternyata juga cerpen naratif. Prosa naratif -- baik berupa esai maupun cerpen -- adalah prosa tertua yang di mulut nenek moyang kita berwujud penuturan-penuturan atau dongeng-dongeng. Sarana mendongeng yang ampuh adalah dengan mengurangi dialog.
Salah satu pengarang yang pandai mendongeng, dan dongengannya selalu berhasil, adalah Salman Rushdie. Salah satu prosanya yang menebar pesona adalah Harun dan Lautan Dongeng. Novel ini berkisah di sebuah kota yang sedih, tentang seorang sobat muda bernama Harun. Bapaknya adalah Rasyid Khalifa, lelaki yang dikenal sebagai Raja Dongeng paling masyhur di sentero Alifbay. Sementara ibunya, Soraya, adalah perempuan yang pintar bernyanyi.
Rasyid Khalifa dikenal juga sebagai Rasyid Sang Samudera Khayal. Namun bagi musuhnya, yang alergi terhadap sebuah dongeng, Rasyid Khalifa adalah Raja Omong Kosong. Apa yang didongengkannya hanya omong kosong. Tak ada kebenaran, semuanya khayalan ompong yang membuai dan menghanyutkan. Mungkin juga sebuah kemewahan terselubung. Kalau bukan sebuah laku-borjuis.
Keluarga kecil itu tinggal di sebuah lantai bawah rumah sederhana yang berdinding merah muda dan berjendela warna hijau limau. Sementara di lantai atas tinggal Pak Sengupta dan istrinya, Oneeta. Keduanya tak memiliki anak. Sang istri begitu perhatian pada si Harun. Tapi Pak Sengupta tak peduli pada Harun. Namun, ia selalu bercakap-cakap dengan Soraya, ibunya Harun. Dan Harun merasa kurang suka lantaran lelaki ini begitu kritis terhadap ayahnya.
Pernah, pada suatu hari Pak Sengupta menjelek-jelekkan si Raja Omong Kosong kepada Soraya, dan Harun mendengar dengan jelas kata-kata penuh kebencian yang meluncur dari mulut lelaki itu. "Sumimu itu, kepalanya terpaku di udara dan kakinya melayang di atas bumi. Apa gunanya dongeng-dongeng itu? Hidup bukanlah sebuah buku cerita atau toko lelucon. Semua kenangan ini akan berujung tidak baik. Apalah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?"
Singkat cerita, hasutan Sengupta berhasil. Soraya-- ibu Harun dan istri Rasyid Khalifa--minggat bersama Sengupta dan meninggalkan sepucuk surat penuh kebencian pada Raja Omong Kosong yang sedang sedih itu. Begini bunyi suratnya: "Kau hanya tertarik pada kesenangan, seorang lelaki yang bermartabat mestinya tahu bahwa hidup adalah urusan serius. Otakmu penuh dengan dongengan, sehingga tak ada lagi tempat untuk kenyataan. Pak Sengupta tak punya imajinasi sama sekali. Dan itu baik buatku."
Tetes air hujan menitik di atas surat itu, jatuh bergulir dari rambut Harun yang kebetulan ada di situ. "Apa yang musti kulakukan, Nak," Rasyid berkata mengiba di hadapan anaknya. "Mendongeng adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa kulakukan," kata Rasyid Khalifa.
Itulah dongeng yang menggetarkan, haru dan di sana sini muncul gelak tersembunyi. Kepiawaian Rushdie mendongeng mengingatkan kita pada kisah-kisah fantastis Jorges Luis Borges. Bahkan buku Harun dan Lautan Dongeng bisa memulihkan nama Rushdie di masa lalu yang heboh itu.
* Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment