Oleh Ilham Khoiri & Mahdi Muhammad
KAWASAN Bukit Barisan, perbukitan yang membentang dari Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, hingga Jambi, adalah taman arkeologi yang kaya. Situs-situs megalitik atau zaman batu besar di situ menggambarkan kawasan itu pernah menjadi salah satu pusat budaya masa prasejarah hingga permulaan Masehi. Apa artinya bagi masa kini?
Situs megalitik Batu Berak di Kabupaten Lampung Barat, Lampung, Selasa (27/4). (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Puluhan batu besar berwarna coklat-kehitaman itu seperti dibariskan dalam empat jalur sepanjang ratusan meter. Beberapa batu berbentuk tinggi-tegak (biasa disebut menhir) sampai empat meter. Sebagian mirip meja yang lebar (dolmen). Ada yang berbentuk datar, juga bulat-bulat seperti umpak.
Kuna, magis, menggetarkan! Kesan itu meresapi kami saat menyaksikan deretan batu-batu Situs Sekala Berak di atas bukit di Purajaya, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, akhir Mei lalu. Serakan batu monolit di areal tiga hektar itu seperti menghadirkan dongeng kehidupan manusia zaman batu yang gemar menggelar upacara sakral.
”Ada 50 menhir, 30 dolmen, tiga batu datar, dan banyak batu umpak di sini,” kata Sapran (52), juru pelihara di Batu Berak yang juga dikenal sebagai situs Kebuntebu itu.
Brosur Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menyebutkan, situs Batu Berak merupakan peninggalan dari masa megalitik alias zaman batu besar prasejarah (sebelum Masehi). Situs ini juga dikelilingi beberapa peninggalan lain, seperti situs Batutameng, Telagamukmin, Batujaya, Air Ringkih, dan Batujajar. Semuanya menggambarkan kehidupan, upacara pemujaan, penguburan, dan permukiman manusia zaman batu besar.
Situs serupa juga tersebar di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Di Tegur Wangi, Dempo Utara, misalnya, ada beberapa arca manusia, dolmen, menhir, dan kubur batu. Di Tanjong Aro, terdapat kubur batu besar dan arca manusia ular. Arca di dua situs itu diukir dengan wajah agak jelas, bahkan tampak mengenakan anting-anting.
Situs yang diekskavasi arkeolog Belanda, Van Der Hoop, pada tahun 1931 itu memperlihatkan upacara pemakaman dan pembuatan kuburan. Satu kuburan bisa digunakan untuk beberapa orang sekaligus.
Di Kerinci, Jambi, juga terdapat sejumlah peninggalan megalitik, seperti di perbatasan antara Kerinci dan Kabupaten Merangin, di daerah Lempur, Ranah Kemumu, Jangkat, dan Gunung Raya. Temuan di kawasan ini umumnya berupa batu silindrik atau bulat memanjang dengan hiasan serta menhir.
Situs di Lampung Barat, Kerinci, dan Pagar Alam berada di wilayah perbukitan bernama Bukit Barisan yang terhampar melintasi tiga provinsi itu. Bisa dibilang, kawasan ini merupakan taman arkeologi zaman megalitik dari budaya zaman prasejarah dan awal Masehi.
Peneliti Edwin M Loeb, dalam buku Sumatera, Its History and People (1935), menyebutkan, situs di wilayah Paemah (Pagar Alam dan sekitarnya) merupakan budaya megalitik dan perkembangan lanjutannya. Arca-arca batu dipahat dengan keahlian mengukir, menggambar wajah, dan bentuk binatang. Komunitas masyarakat telah menetap dan punya organisasi sosial.
Temuan perkakas logam dan perunggu membuktikan mereka telah mengadopsi teknologi pengolahan logam dari budaya Dongson di Vietnam. Mereka telah membangun hubungan internasional dengan mengandalkan jalur pantai barat Sumatera.
Kosmopolit
Bergeser ke Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, banyak tersebar peninggalan dari peradaban tua. Salah satunya Barus, kota kuna di Kabupaten Tapanuli Tengah yang masyhur di dunia internasional sejak abad ke-6 Masehi.
Kota ini punya prasasti Lobu Tuwa bertuliskan tahun 1010 Saka (sekitar 1088 Masehi). Dicatat dalam bahasa Tamil—diyakini dibuat pedagang asal Kerajaan Cola, India Selatan—prasasti menuturkan adanya kegiatan perdagangan antara daratan India dan masyarakat Barus. Produk yang digemari adalah kamper atau kapur barus.
Ada juga kompleks Makam Tuanku Batu Badan yang mencantumkan nama seorang perempuan yang meninggal tahun 602 H. Uka Tjandrasasmita, dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009), mencatat, nisan itu menunjukkan keberadaan komunitas Muslim di pantai barat Sumatera yang lebih dahulu dibandingkan Kerajaan Samudera Pasai (Nanggroe Aceh Darussalam).
Menurut arkeolog Balai Arkeologi Medan, Ery Soedewo, peradaban di Barus sudah sangat maju pada zamannya. Temuan keramik dan porselen memperlihatkan, geliat bisnis di situ melibatkan pedagang India, Persia, China, dan Jawa. ”Barus merupakan kawasan urban yang heterogen kala itu,” katanya.
Kota Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, Kota Natal, dan Portibi di Provinsi Sumatera Utara juga pernah menjadi kota perdagangan internasional yang kosmopolit. Maklum saja, Singkil dan Natal berlokasi di muara sungai sehingga cukup strategis sebagai jalur lalu lintas masyarakat dunia.
Sejarawan Denys Lombard mencatat, seorang pelaut dari Perancis, Admiral Augustin de Beaulieu, dalam perjalanannya ke Hindia Timur (1619-1622) menyebutkan, Singkil merupakan salah satu kota pelabuhan Sultan Aceh sekitar abad ke-17. Beaulieu menyebut Kota Singkil dengan Cinquel. Bersama Pasaman, Tiku (Pariaman), sampai ke Padang, kota ini merupakan salah satu pemasok lada, kemenyan, kapur barus, dan ikan.
Kota Singkil di masa lalu juga jadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Aceh. Itu ditandai oleh adanya makam Syekh Abdurrauf Singkil, tokoh intelektual Muslim. Makam di tepi Sungai Alas, Kecamatan Kilangan, Kota Singkil, itu masih saja ramai dikunjungi peziarah.
Inspirasi
Apa arti sejarah megalitik dan peradaban abad pertengahan itu bagi kita saat ini?
Semua itu mengingatkan kita akan dinamika dan kreativitas budaya pantai barat Sumatera pada masa itu. Selain menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri, fakta itu bisa menjadi bahan pelajaran dan inspirasi bagi bangsa ini untuk membangun kebudayaan lebih baik lagi. Jika pada masa lalu kawasan itu sudah demikian maju, semestinya saat ini bisa lebih melesat lagi.
Sayang, kenyataannya justru terbalik. Nasib kawasan itu masih terpuruk, persis seperti peninggalan megalitik dan kota-kota perdagangan tua di sana yang kumuh tak terurus. ”Semestinya peninggalan bersejarah itu dipelihara agar jadi pengingat buat kita semua,” kata Aspawi (47), guru di Canggu, Kecamatan Batu Berak, Lampung Barat.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Mei 2010
No comments:
Post a Comment