Oleh Yulvianus Harjono
ISNEN Hayani tak terlalu paham tentang tetek bengek isu pemanasan global. Ia juga tidak mencermati Konferensi Tingkat Tinggi Kelautan Sedunia, layaknya warga awam yang lain. Namun satu hal yang dia tahu pasti, lingkungan pesisir dan hutan mangrove harus dilestarikan.
Isnen Hayani (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Jauh sebelum isu pemanasan global dibicarakan di forum-forum internasional seperti World Ocean Conference di Manado atau Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009, Isnen sudah menjalankan prinsip mitigasi perubahan iklim.
Lewat wadah Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) Desa Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, dia giat memotori gerakan reboisasi mangrove dan terumbu karang. Isnen menduduki jabatan strategis sebagai Koordinator Pengawasan BPDPM.
Bersama tiga warga Pahawang lainnya pada divisi itu, ia harus menjalani tugas berat, menjaga areal mangrove dan terumbu karang seluas 30 hektar dari ancaman, gangguan, dan perusakan. Tugas berat itu secara resmi dilakukannya sejak 2006.
Bagi sebagian orang, tanggung jawab memegang jabatan itu awalnya dianggap ”gila” atau tak lazim. Selain tidak digaji, Isnen harus melawan ”arus” dan menanggung risiko berhadapan dengan mereka yang berseberangan pola pikirnya, yaitu para perambah mangrove dan pengebom ikan.
”Banyak sekali gangguan memegang tanggung jawab ini. Saya pernah dimusuhi orang- orang di lingkungan saya sendiri. Saya sering kewalahan ditanyai, ’Apa, sih, untungnya kamu melarang kami menebang mangrove? Apa kamu mau menanggung makan kami?’” ucapnya menirukan pernyataan warga yang berseberangan dengan keyakinannya.
Menanggapi berbagai pernyataan itu, Isnen menjawab, ”Kalau dipikir-pikir, semua itu jelas tidak memberikan keuntungan materi langsung buat saya. Saya tak ada gaji, tidak ada fasilitas, tapi yang harus kita pikirkan jauh ke depan, apa jadinya hidup kita nanti kalau hutan mangrove pulau ini hilang, habis semua?”
Jawaban semacam itulah yang kemudian menyadarkan warga setempat untuk mengubah perilaku. Dulu, Isnen dan 1.665 warga Pahawang pernah merasakan langsung pengalaman buruk akibat rusaknya lingkungan mereka.
Akibat hancurnya areal mangrove seluas 141,94 hektar di pulau itu, mulai tahun 1975-an warga Desa Pahawang diterpa wabah malaria. ”Kami jadi merusak diri sendiri. Nyamuk menyerbu ke desa gara-gara hutan bakau yang menjadi ekosistemnya rusak,” ujar Isnen.
Ditimpa malang
Belum hilang pengalaman pahit yang membawa Pahawang menyabet label daerah endemik malaria, warga harus ditimpa kesulitan lain; susutnya mata pencarian nelayan akibat kerusakan ekosistem terumbu karang. Kondisi ini menyusul maraknya aksi pengeboman ikan pada akhir 1990-an hingga pertengahan 2000-an.
”Bagaimana mau mencari ikan kalau umpan udang yang biasa dipakai memancing semakin sulit dicari? Udang, kan, biasa hidup di mangrove,” tuturnya dengan nada geram. ”Ya, hancur lebur kita kalau ini dibiarkan terus,” tegasnya.
Pengalaman-pengalaman pahit itulah yang kemudian menguatkan mental Isnen untuk tetap bersemangat menjaga ekosistem mangrove dan terumbu karang. ”Kalau bukan kami, warga di sini, siapa lagi yang mau peduli? Kalau masih mau anak cucu kita hidup tenteram nantinya, kita harus berubah,” gugatnya.
Sehari-hari Isnen hidup dari berkebun kakao. Di luar pekerjaannya itu, ia menghabiskan waktu dengan menanam bibit bakau dan mengawasinya, termasuk hamparan terumbu karang di kawasan tersebut.
Dalam menjalankan tugas, dia hanya berbekal sebilah golok yang selalu menempel di pinggang serta sebuah sampan kecil untuk berpatroli keliling pulau. Tak jarang ia terlibat perdebatan, bahkan perselisihan sengit dengan para pencuri kayu, pengebom ikan, atau pengambil cacing yang melakukan aksinya secara diam-diam.
”Umumnya mereka itu orang dari luar (Pahawang), bukan warga setempat. Itulah repotnya, kami harus waspada menjaga dan pandai-pandai menjelaskan hal-hal yang dilarang,” ungkapnya.
Bom dan suap
Tak jarang, dalam menjalankan tugasnya itu, Isnen harus menanggung risiko sampai nyawa pun terancam. Ia bercerita, tahun 2007 ketika memergoki perahu pengebom ikan, dia hampir dilempar bom ikan. Untungnya, hal itu urung mereka lakukan.
”Bomnya sudah diangkat, tapi tak jadi mereka lemparkan karena perahu sudah bergerak,” ceritanya.
Menghadapi berbagai ancaman dan hambatan, ia punya satu pegangan, yaitu dirinya tak boleh lemah atau kalah galak dibandingkan si pengancam.
Selain itu, dia juga harus tahan menghadapi berbagai godaan. Pernah suatu hari, cerita Isnen, seorang pengusaha mencoba menyuap dia agar diizinkan mencuri terumbu karang di Desa Pahawang. Tawaran pengusaha itu dia tolak mentah-mentah.
”Setiap manusia membutuhkan duit, tapi saya tidak mau melakukannya (menerima suap). Paling-paling dapat Rp 500.000, ini tak sebanding dengan susah payahnya kami menjaga (lingkungan). Buat apa saya menjadi pengawas di BPDPM jika berkhianat?” ucapnya berapi-api.
Dalam perjalanan hidupnya, Isnen pernah merantau ke sejumlah tempat, terakhir ia tinggal di Banten, sebelum kembali ke tanah kelahirannya, Pahawang pada tahun 2002.
Meskipun Pahawang termasuk daerah terisolasi karena belum mendapat layanan umum memadai, seperti listrik dari PLN, air bersih, dan telepon, dia mengaku tetap betah tinggal di desanya.
Menurut dia, Pahawang justru menjadi perhatian masyarakat luas karena konsisten menjalankan prinsip hidup berwawasan lingkungan. Isnen yakin Pahawang akan semakin dikenal dan meninggalkan ketertinggalannya lewat konsep ekowisata yang tengah dirintis.
Bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mitra Bentala, Pulau Pahawang tengah mengarah menjadi kawasan percontohan ekowisata di Lampung. Isnen ikut aktif menjemput bola berpromosi, termasuk meminta dukungan politisi dan pendanaan untuk pengembangan sarana dan infrastruktur desa dari pemerintah dan para calon bupati Pesawaran.
”Jika mereka terpilih, akan kami tagih janjinya untuk peduli dengan pengembangan ekowisata Pahawang,” ucapnya.
Isnen yakin pengembangan daerah berwawasan lingkungan itu tak hanya membutuhkan dukungan warga, tetapi juga komitmen dari pemerintah.
ISNEN HAYANI
• Lahir: Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, 14 Februari 1972
• Pendidikan: SMPN 1 Anyer, Banten
• Istri: Safiah (29)
• Anak:
- Yunita Purnamasari (8)
- Vikri Kurniawan (5)
• Pekerjaan:
- Petani kakao
- Koordinator Pengawas Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) Desa Pulau Pahawang
Sumber: Kompas, Selasa, 4 Mei 2010
No comments:
Post a Comment