LIBURAN di kawasan pulau hutan bakau? Wow! pasti eksotik dan edukatif sekali. Jika berminat, datanglah ke Pulau Pahawang. Pahawang adalah gugusan pulau di sekitar Teluk Pidada, Pesawaran. Kontur geografisnya sedikit menjulang karena terdapat bukit batu yang berada tepat di antara permukiman penduduk.
Pulau Pahawang (LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA)
Beberapa sisi Pulau Pahawang rimbun dengan pohon bakau, sebentar lagi pulau seluas 1.084 hektare itu mungkin akan "tenggelam" oleh lebatnya hutan mangrove. Menurut Suprianto, dari LSM Mitra Bentala, sedikitnya 22 jenis vegetasi hutan mangrove yang dikembangkan di Pulau Pahawang, antara lain bakau besar, bakau kecil, bakau tinggi, bogem, nipah, dan waru laut.
Meskipun demikian, vegetasi tanaman bakau atau yang memiliki nama latin Rhizopora sp ini memang menjadi pusat perhatian wisatawan untuk datang meneliti vegetasi pohon bakau.
Selembar daun pohon bakau yang jatuh ke laut, mampu menetralisasi air laut dari pencemaran yang ditimbulkan oleh nelayan, limbah rumah tangga, sampai limbah tambak udang.
Di kawasan vegetasi hutan mangrove juga banyak dijumpai hewan-hewan laut langka yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai di sekitar Teluk Lampung. Hal ini disebabkan sabuk hijaunya habis untuk tambak udang dan permukiman maupun wisata konvensional.
Pada habitasi hutan mangrove yang masih alami bisa dengan mudah dijumpai hewan sejenis berang-berang, mangrove jack, ikan khas yang hanya ada di hutan mangrove. Termasuk penelitian yang lebih ekstrem, yakni nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria, yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat serangga ini. Apalagi sebagian gugusan pulau di Teluk Pedada, termasuk Pulau Pahawang, ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sebagai pusat populasi nyamuk penyebab malaria terbesar kedua di Indonesia setelah Irian Jaya.
Di sisi lain, buah pohon bakau juga menjadi penganan utama sekawanan monyet yang ada di Pulau Pahawang ini.
Atau menjajal keunikan kuliner lain, yakni dodol bakau, penganan baru hasil kreasi kerajinan ibu rumah tangga yang ada di Pulau Pahawang. Dodol ini berbahan baku utama buah pohon bakau, rasanya tak kalah dengan dodol durian atau lempok durian.
Salim, warga Dusun VI, Desa Pulau Pahawang, antusias bercerita bagaimana lebatnya hutan mangrove di tempatnya. "Dulu yang kelihatan cuma jamban rumah, sekarang bakaunya sudah tebal sekali, sudah enam meter dari bibir pantai," kata dia.
Salim dulu terkenal sebagai pengebom ikan paling ulung dan penebang pohon bakau paling andal di Pulau Pahawang. Tapi, sejak ia melihat betapa mengerikannya tsunami di Aceh, beberapa tahun silam. Ia berhenti total dari mengebom dan menebang bakau, meski harus menutup mata pencahariannya. Salim kini menjadi ojek laut anak-anak sekolah sekaligus ngangon kambing. Di pagi hari, usai mencari rumput untuk pakan ternaknya, ia tenggelam di dalam lumpur rawa, menanam bibit-bibit bakau satu pe rsatu dengan teliti.
Bibit-bibit bakau yang sudah ditanam sebelumnya pun tak luput dari perhatiannya. Dia bahkan tahu setiap inci pertumbuhan pohon bakau yang ditanamnya.
Pulau Pahawang memang bukan semata pulau dengan tawaran wisata konvensional yang melulu pantai dengan pasir putih atau sunset, melainkan sebuah destinasi baru dengan konsentrasi wisata penelitian, khususnya tentang hutan bakau yang kini begitu asri di pulau itu atau penduduknya yang begitu ramah.
Banyak pula legenda yang berkembang tentang pulau ini. Tapi yang terkenal justru legenda Mpok Awang. Mpok Awang adalah perempuan keturunan Betawi-China sebagai orang pertama yang menemukan dan tinggal di pulau ini pada tahun 1800. Makam yang berada di puncak bukit batu pulau ini juga diyakini sebagai makam Mpok Awang. Warga di sini menyebutnya sebagai tempat keramat.
Uniknya, dari legenda Mpok Awang dan makamnya ini juga muncul kearifan lokal (local wisdom) dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya untuk tidak mengutak-atik apalagi sampai merambah hutan bukit batu itu karena keramat desa ada di sana. Ini menjadi larangan tersirat yang masih tetap dipatuhi.
Dari legenda itu, Suprianto menjelaskan kawasan hutan di puncak bukit itu tetap terjaga. Ada manfaat lain dari kearifan lokal itu, sebagian air di pulau itu tidak payau apalagi asin, airnya layaknya daratan, terasa tawar. "Ini semua karena hutan masih terjaga dengan baik, karena kearifan lokal yang dipatuhi oleh masyarakat Pulau Pahawang," kata Suprianto. ERLIAN UTAMA/MEZA SWASTIKA/D-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 Juni 2010
No comments:
Post a Comment