Oleh Didik Kusno Aji
PERKEMBANGAN dunia akhir-akhir ini berjalan begitu pesatnya. Informasi yang berputar pun begitu cepat. Jarak bukanlah sebuah hambatan, seolah dunia terhubung tanpa sekat. Begitulah perkembangan dunia saat ini.
Perkembangan yang begitu pesat tersebut tentu memiliki dampak dua sisi, baik sisi positif maupun sisi negatif. Dalam sebuah teori sosial dipaparkan, ada sebuah tarik-menarik ketika sesuatu itu saling bersinggungan dan berinteraksi. Tak terkecuali dalam hal budaya.
Dalam sejarahnya, unsur kebudayaan di Indonesia pun berkembang dinamis dan memiliki regulasi cukup tinggi. Pada masa kerajaan, unsur kebudayaan di Indonesia saling berpengaruh dan terjadi akulturasi. Keadaan tersebut tidak terlepas dari hubungan antarkerajaan. Peran para pedagang yang bertransaksi di pelabuhan-pelabuan pun sangat memengaruhi dalam hal ini.
Dalam sejarah, mungkin kita masih ingat ketika para pedagang dari Persia datang ke kawasan Malaka. Selain berdagang, mereka pun berperan sebagai para pendakwah agama. Begitu pun ketika awal kemerdekaan di negeri ini. Indonesia menjadi ajang rebutan sebuah paham idiologi antara Barat dan Timur. Barat yang dibidani oleh Amerika yang menyebarkan ideologi demokrasi. Sementara Timur dipengaruhi oleh Rusia dan China dengan paham komunisnya.
Bahkan sampai kini, seolah perebutan pengaruh-pengaruh ideologi belum juga berakhir. Tetapi dalam konteks saat ini, pengaruh perebutan ideologi dan penyebaran budaya dikemas dengan gaya yang lebih menarik dengan berbagai media sebagai perantaranya.
Menengok perkembangan budaya kita, akhir-akhir ini�terutama Lampung�membuat saya mulai resah dengan keadaan saat ini. Kebudayaan daerah ini lambat laun, terlihat mulai tergerus dan tergusur dengan kebudayaan lain. Memang, kondisi geografis alam Lampung yang menjadi jalur strategis dan menghubungkan antardaerah ditengarai punya andil dalam degradasi kebudayaan daerah ini. Tetapi, menyalahkan keadaan, apalagi geografis tentu bukanlah sikap yang arif.
Sejarah bercerita, akulturasi budaya dapat timbul akibat persinggungan antarbudaya dapat memunculkan kebudayaan baru. Dalam konteks Lampung saat ini, justru sinyal negatif yang saya tangkap. Padahal, sebagai identitas sebuah daerah, bahkan bangsa, kebudayaan di daerah ini harus mendapatkan sentuhan demi menjaga kelestariannya. Saat banyak negara mulai bingung mencari identitas budaya bangsanya yang tak jelas jati diri dan jenis kelamin, tetapi bangsa kita justru tak terlalu serius dengan nasib budaya bangsanya.
Berbicara mengenai budaya dan kebudayaan masyarakat Lampung, saya merasa khawatir terhadap keberlangsungan kebudayaan di daerah ini. Sebab kebudayaan Lampung nyaris tak terdengar tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Indikasi ini terlihat ketika ada acara-acara masyarakat, hampir unsur kebudayaan lokal daerah ini tak pernah muncul. Ia hanya muncul sesekali dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh institusi pemerintah saja, yang keberadaanya pun sangat langka.
Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan dan menjadi ancaman tersendiri akan keberlangsungan kebudayaan ini. Kearifan lokal yang seharusnya menyatu dengan masyarakat, justru tergusur oleh kebudayaan lain. Memang ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah, tetapi kita harus memikirkan keberlangsungan kebudayaan ini.
Walaupun sebenarnya, kondisi semacam ini bukan saja dialami oleh Lampung sendiri, hampir semua daerah mengalami pergeseran-pergeseran yang sama. Tetapi jika disejajarkan dengan daerah lain, pergeseran di Lampung bisa dikata sudah masuk zona siaga dua. Dalam artian ancaman kepunahan budaya ini sudah cukup terlihat, mulai dari bahasa Lampung, aksara, sampai upacara kedaerahan yang sudah sangat sulit ditemui.
Suatu contoh bahasa. Bahasa Lampung sudah hampir punah karena jarang digunakan oleh masyarakat dalam kominikasi sehari-hari. Parahnya, tak sedikit penduduk "pribumi" Lampung yang enggan menggunakan bahasa ini. Mereka lebih suka bertutur dengan bahasa Indonesia atau bahasa lain yang dianggap lebih tinggi derajat kebahasaannya. Padahal, persoalan bahasa bukan hanya persoalan komunikasi. Ia juga dapat berperan sebagai identitas sebuah daerah. Saya pikir tak ada salahnya dan masih relevan jika masyarakat bertutur dengan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Parahnya lagi, institusi pendidikan dan pemerintah daerah terkesan kurang peduli. Sekadar berkaca, daerah di Pulau Jawa, Palembang, dan Bali mungkin bisa kita jadikan barometer sebagai bahan studi. Budaya dan bahasa lokal di daerah ini begitu melekat dengan masyarakat. Mereka pun tak canggung ketika harus berkomunikasi dengan bahasa lokal.
Lain di Jawa, lain di Bali, lain juga di Lampung. Sebagai seorang yang dari daerah Lampung, justru sering saya merasa aneh dan asing sendiri ketika ditanya oleh teman dari daerah lain. Tak banyak yang dapat saya jelaskan soal budaya daerah, terutama bahasa. Mendengarkan saja jarang, apalagi bisa melafalkannya?
Mengumpulkan Serpihan yang Tercecer
Dalam hal ini, harus ada upaya nyata dari berbagai pihak. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat tentunya. Semua harus dalam satu barisan untuk menyelamatkan kebudayaan ini. Khususnya lembaga pendidikan. Saya mungkin salah seorang yang cukup memimpikan adanya sebuah sekolah yang khusus mengkaji budaya daerah Lampung. Sebab, ada banyak hal positif dalam hal ini. Seseorang yang ingin mendalami dan belajar berkenaan dengan budaya dan daerah ini, tentu akan datang langsung dan melihat lebih dekat. Dari aspek ekonomi dan pariwisata, tentu hal ini akan menjadi investasi tersendiri.
Jika kondisi ini terus berlarut tanpa ada upaya konkret, jangan menyesal jika kebudayaan ini akan diklaim oleh daerah lain atau bahkan negara lain. Mungkin lebih parah lagi jika sampai budaya ini hanya meninggalkan puing-puing kenangan saja.
Lantas, jika bukan kita yang peduli dengan kebudayaan kita sendiri, haruskan warga daerah atau negara lain?
* Didik Kusno Aji, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tinggal di Lampung Tengah
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Juni 2010
No comments:
Post a Comment