Mengagumkan. Sukses. Boleh dibilang demikian melihat secara umum pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di enam kabupaten/kota: Bandar Lampung, Metro, Lampung Selatan, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan, Rabu, 30 Juni lalu.
Tapi, jangan salah. Kekaguman itu bukan pada kemampuan penyelenggara pilkada. Sebab, kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) di hampir semua kabupaten/kota penyelenggara pilkada jauh dari dari memuaskan. Banyak masalah yang menggelayuti persiapan pilkada, mulai dari daftar pemilih tetap, surat suara, pencalonan, politik uang, penghitungan suara, dan intimidasi. KPU mengelola pilkada dengan semangat yang kelewat minimalis.
Tapi untunglah masyarakat Lampung rupanya memiliki kedewasaan politik tinggi sehingga pesta demokrasi di Bumi Ruwa Jurai ini bisa berlangsung jujur dan adil. Tanpa harus melebih-lebihkan kenyataan, masyarakat Lampung memang harus berbangga hati, dalam hal penghormatan terhadap demokrasi. Rasa penghormatan terhadap demokrasi ini tentu tidak hadir begitu saja, tetapi berangkat dari pengetahuan, kecerdasan, dan kesadaran politik yang baik.
Jujur dan ‘Fair’
Kalau hasil penghitungan cepat (quick count) mendekati kebenaran, ada beberapa fenomena menarik dan menjadi sumbangan positif perkembangan politik di provinsi ujung selatan Sumatera ini. Pertama, pelaksanaan pilkada di enam kabupaten/kota di Lampung relatif berjalan jujur dan fair. Jaminan pelaksanaan jujur dan fair ini datang dari Ketua Komisi Pemilihan Umum Lampung Edwin Hanibal. "Saya sudah keliling dan melihatnya masih fair. Tidak ada laporan atau peristiwa yang mengarah pada indikasi kecurangan," kata dia, Rabu (30-6).
Relatif tidak ada persoalan yang mencuat atau hal lain yang menunjukkan adanya kecurangan pihak-pihak tertentu. Beberapa kekurangan kecil, tetapi hal itu tidak sampai menghambat pelaksanaan pilkada.
Anggota Panwas Bandar Lampung Riyuzen Praja Tuala, misalnya, menyebutkan beberapa TPS ada kekurangan atau kelebihan surat suara. Di TPS 10 Perumnas Way Halim, 37 warga yang tidak masuk daftar pemilih tetap memprotes dan meminta agar bisa menggunakan hak pilih.
Selain itu, di TPS 7 Kelurahan Tanjungsenang beberapa orang yang tidak masuk DPT datang untuk menggunakan hak pilihnya, tetapi semua ditolak. Berdasar laporan yang masuk ke Panwas, ada satu anggota KPPS di TPS 8, Kelurahan Kuripan, membagikan uang dalam amplop. Di TPS 7 Kelurahan Palapa ada pemilih yang mencoblos dua kali.
Lebih dari itu, pilkada berlangsung aman dan damai. Ini yang penting, karena sesungguhnya sekecil apa pun kekerasan yang terjadi bisa menodai jalannya sebuah proses demokrasi. Sebab, pilkada bagaimanapun sebuah cara beradab bagi seluruh komponen negeri ini untuk memilih pemimpin mereka.
Kedua, untuk pertama kalinya di Lampung calon independen berhasil memenangkan "pertarungan". Ini terjadi di Lampung Timur, pasangan Satono-Erwin Arifin unggul mutlak atas tiga kandidat lainnya.
Kenapa bisa? Satono yang sedang memegang kekuasaan atau petahana (incumbent) mengakui melalui jalur independen ia dapat berkomunikasi dengan masyarakat dengan maksimal. "Independen bukan berarti meninggalkan partai," kata Satono dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi lokal.
Dalam pandangan pengamat politik Unila Arizka Warganegara, kemenangan Satono tak lepas dari faktor ketokohan dan popularitas. Pemilih Lamtim yang etnosentrik dan primordial amat membantu kemenangan Satono. "Masyarakat Lampung Timur tipikal pengikut sejati dan Satono sudah lama mengakar di sana," kata Arizka.
Ketiga, pengamat menilai pemilih di Lampung semakin cerdas memilih kepala daerah. Faktor kekuasaan belum tentu efektif menggiring pemilih pada calon tertentu. Buktinya, berdasar hasil penghitungan cepat, dua calon kepala daerah petahana--Bupati Lamsel Wendy Melfa dan Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno--kalah dalam Pilkada 2010.
Dua calon lain yang dikabarkan didukung pejabat yang berkuasa juga kalah. "Jika benar incumbent kalah, itu berarti faktor popularitas saja tidak cukup sebagai modal. Justru semakin dikenal, masyarakat semakin mudah menilai (kelemahan) calon itu," kata pengamat politik Unila Suwondo.
Masyarakat semakin rasional? Kalau masyarakat kita lebih rasional, kualitas pilkada bisa jadi akan lebih baik. Tapi, Suwondo lebih memilih kata "lebih pintar dalam memilih dan menilai" ketimbang "lebih rasional dalam memilih".
Keempat, masih menurut pendapat Suwondo, fenomena terpilihnya calon-calon berusia muda. Calon-calon muda itu didukung "amunisi" yang besar dan pengaruh keluarga yang kuat. "Tetapi itu saja tidak cukup. Harus ada strategi meyakinkan masyarakat bahwa dirinya benar-benar mampu," ujarnya.
Merujuk pada kepemimpinan di beberapa negara, calon-calon muda itu banyak belajar dari orang tuanya. "Regenerasi elite menjadi fenomena baru di Lampung. Semua itu tak lepas dari dukungan keluarga dan kemampuan mengatur strategi merebut kepercayaan masyarakat," kata dia.
Pelanggaran
Pilkada enam kota/kabupaten di Lampung tentu saja tidak lepas dari beberapa pelanggaran. Panitia Pengawas (Panwas) Bandar Lampung saja, misalnya, memproses belasan laporan dugaan pidana pemilu, tiga di antaranya sudah masuk ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Laporan dugaan tindak pidana pemilu yang sudah masuk ke Panwas, antara lain kampanye hitam 6 kasus, politik uang (1), pencoblosan lebih dari satu kali (1), penggelembungan suara melalui formulir undangan (1). "Semua akan kami tindak lanjuti. Tetapi tidak mungkin langsung semua kami serahkan kepada Gakkumdu. Nanti terjadi penumpukan. Biarkan satu per satu berjalan sesuai dengan prosedurnya," kata anggota Panwas Bandar Lampung Akhmad Hidayat.
Kartel Politik
Di sebalik kabar gembira mengenai sukses pilkada di Lampung, ada sebuah kondisi yang sebenarnya bukan menjadi tujuan demokrasi, yaitu sebuah kondisi (upaya) penumpukan kekuasaan pada sebuah keluarga atau kelompok tertentu. Fenomena ini setidaknya kentara telah terjadi sejak Pemilu Legislatif 2009. Tidak saja dalam daftar penyusunan caleg, partai masih mempertahankan elite-elite lama, tetapi juga mengikutkan sejumlah kerabat (keluarga) dari para petinggi partai, pengusaha, mantan pejabat, dan pejabat yang sedang berkuasa.
Anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Edhi Baskoro, menjadi caleg dari Partai Demokrat. Puan Maharani, anak mantan Presiden Megawati, dicalonkan dari PDIP. Dave Laksono, anak Ketua DPR Agung Laksono, menjadi caleg dari Partai Golkar. Agus Haz, putra mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, caleg PPP. Ikrar Fatahilah, putra A.M. Fatwa, dicalonkan PAN, dan masih banyak lagi daftar nama kerabat dekat para penguasa, pengusaha, dan elite partai.
Fenomena serupa terjadi dalam hal Pilkada di Lampung. Diakui atau tidak telah muncul oligarki yang berupa kartel politik yang merugikan rakyat dan membahayakan kehidupan demokrasi.
Lihat saja, elite Lampung beramai-ramai mendorong anaknya maju dalam pilkada di empat kabupaten/kota. Kecenderungan ini menunjukkan sistem oligarki menguasai partai politik. "Oligarki artinya kekuasaan dikendalikan sekelompok orang saja. Ini ancaman bagi demokrasi," kata dosen FISIP Unila Ari Darmastuti. Ari menjelaskan sekelompok orang dimaksud bisa berarti keluarga, pertemanan, atau kedaerahan. Fenomena ini muncul akibat kegagalan partai merekrut kader. "Demokrasi tidak tumbuh di dalam partai," kata dia.
Di Lampung Selatan, PDIP dan Demokrat mengusung Rycko Menoza sebagai calon bupati yang didampingi cawabup Eki Setyanto.
Di Pesawaran, Partai Demokrat dan koalisi 15 partai mengusung Arisandi Darmaputra, putra Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini. Arisandi memilih mantan Camat Gedongtataan Musiran sebagai cawabup pendampingnya.
Sedangkan di Way Kanan, lima partai mengusung Agung Ilmu Mangkunegara, putra Bupati Way Kanan Tamanuri, sebagai calon bupati. Agung yang berpasangan dengan Surya Sumantri diprediksi bakal mendapat tambahan dukungan dari PDIP dan PAN.
Di Bandar Lampung, petahana wakil wali kota Kherlani berpasangan Heru Sambodo, putra Ketua DPD Golkar Lampung M. Alzier Dianis Thabranie.
Ya, kekuasaan memang memabukkan. Kekuasaan ibarat candu. Celakanya, sirkulasi kekuasaan hendak diputar di lingkungan kerabat (keluarga). n ZULKARNAIN ZUBAIRI/L-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Juli 2010
No comments:
Post a Comment