Oleh Hardi Hamzah
MENGAKTUALISASIKAN agama, seperti juga merajut serpihan serpihan yang harus dirajut dalam kesempurnaan hati. Agama, yang kerap dianggap sebagai variabel kontrol, ternyata berhulu pada ritualitas. Semangat tauhid, lebih direfleksikan melalui ritual, memang ritual (salat) wajib, dan tak dapat ditawar tawar. Meskipun demikian, apabila salat lebih bersenyawaan dengan kesendirian hati, salat yang kita lakukan belum implementatif, belum menyentuh amar makruf nahi mungkar.
Agama, terlebih lagi agama mayoritas seperti Islam, berkewajiban untuk menurunkan tauhidnya ke dalam realitas sosial, bukankah dalam beberapa ayat yang diutamakan, adalah percaya pada yang gaib, mengerjakan salat, dan bersedekah. Percaya pada yang gaib berkorelasi langsung pada semangat tauhid dalam arti ritual. Sedangkan, salat sebagai kewajiban merefleksikan multidimensi. Sementara itu bersedekah, ini yang belum banyak kita lakukan.
Kalau kita meyakini, bahwa kemiskinan itu mendekatkan pada kekufuran, maka aktualisasi tauhid ekuivalen dari mengentaskan kemiskinan. Di sinilah diperlukan kepedulian sosial. Hadis yang diriwayatkan Imam Buhori Muslim, menyebutkan Muhammad saw. bersabda, tidak ada kemiskinan dan dijauhkan surga dari diri seseorang yang tidak memedulikan satu sama lain. Dengan kata lain, rasa memberi kini semakin langka, bahkan dengan alasan tertentu MUI mengharamkan memberi.
Padahal, dalam Surat Dhuha ayat 8 disebutkan fa�ammal yatti, maa fallaa tanhaar (tidak diperbolehkan menghardik peminta minta), berarti mengharamkannya adalah bagian dari upaya menyekat kepedulian. Kepedulian sosial, jelas-jelas dirajut Islam sedemikian indah, setidaknya ada empat puluh satu surat yang tegas tegas berbicara tentang bagaimana kita harus peduli, bersedekah, dan mengentaskan kemiskinan (kesusahan) orang lain. Kalau kita berpikir semacam ini, yang muncul dibenak kita adalah orientasi implementasi salat. Di seputar kita saja, dapat kita lihat banyaknya ibu-ibu di Pegadaian, mereka mengadaikan barang hanya untuk membeli seragam dan buku sekolah, belum lagi daftar ulang dan buku baru. Liburan yang dibarengi hujan melahirkan turunnya kesehatan, ini berarti banyak saudara saudari kita yang sakit, belum lagi bencana alam. Apakah ini kita sadari.
Pertanyaan ini penulis lontarkan karena agama pada hakikatnya, sebagaimana yang termuat dalam Surat Al Baqarah ayat 1 yang tegas-tegas mengatakan kepada kita agar percaya pada yang gaib, salat, dan sedekah (membagikan rezeki) kepada orang lain sehingga dengan variabel itu kita termotivasi untuk giat dengan etos kerja tinggi untuk mencari nafkah karena rezeki itu akan didatangkan Allah swt. dari hal-hal yang tidak kita nyana. Dalam konteks riil, kalau Islam tidak dilihat sebgai dogma normatif semata, maka sedekah yang ekuivalen dengan kepedulian sosial merupakan ikatan habluminannass yang terbaik untuk menyambung semangat kohesi supranatural. Kesadaran akan hal ini yang masih sangat jauh kita jangkau.
Ketika lebih dari lima belas abad silam agama Islam diturunkan. Kini dari Maroko sampai Merauke, kita dirajut oleh benang-benang tauhid, di mana nilai tauhid adalah satu kesatuan yang utuh untuk mengaktualisasikan kewajiban ritual kita. Bahkan, para teolog modern, lebih banyak melihat salat adalah kewajiban dan kepedulian terhadap kemiskinan, dengan demikian hak-hak saudara kita yang menjalankan ibadah ritual. Para orientalis Barat, bahkan menghitung dari lebih satu miliar umat muslim, apabila bersatu untuk merasakan sakitnya, miskinnya dan betapa papanya muslim lain, niscaya dunia Islam itu kaya.
Moslem Brotherhood yang didirikan Hasan Albana di Mesir, meski tidak diperbolehkan beraktivitas secara intens karena stelsel keanggotaan aktifnya begitu menyebar, kenyataannya punya perwakilan di parlemen Mesir, rakyat secara bebas dapat mengajukan berbagai problematika mereka di tengah Mesir yang semakin liberal. Dan, apa bedanya di Indonesia.
Penulis memang tidak menutup mata, bahwa banyak juga para ustaz kita yang telah menyosialisasikan semangat kepedulian ini, apakah bersandar pada fikih, sejarah Islam, tauhid sampai pada filsafat, ini berarti kita patut bersyukur. Namun pertanyaan, mengapa kemudian kemiskinan masih merajalela?. Sebagai muslim, terkadang kita yang telah berkelebihan hanya memikirkan diri dan keluarga. Bahkan, ada adagium semakin banyak harta seseorang semakin baghil seseorang, ini menjadi sangat populer.
Agama, khusunya Islam, dalam usaha merajut kepedulian itu setidaknya harus dirajut dalam hati yang terdalam, di mana sebagai masyarakat beragama, yang mengajarkan sakitnya diri orang lain adalah juga sakitnya diri kita. Al Faraby, bahkan melihat sebagai muslim kita adalah suatu sistem, di mana apabila satu saja komponen dalam sistem itu yang mengalami penderitaan, komponen yang lain tidak dapat berinteraksi, ini sungguh suatu kesenyawaan yang teraju dari niatan lubuk hati untuk dapat peduli terhadap sesama. Insya Allah.
Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation
Sumber: Lampung Post, Jumat, 9 Juli 2010
No comments:
Post a Comment