"SEKOLAH para juara!” Kalimat itu ditulis besar-besar di sebuah papan reklame berukuran besar persis di jalan raya Pringsewu. Namun, jangan kaget bila menuju ke sekolah ini sama sekali tidak tampak tanda-tanda juara.
Jalan sepanjang ratusan meter yang menuju ke sekolah ini tampak sangat buruk, penuh lubang dan batu. Memasuki ke area sekolah, belum terlihat pula hal yang mengesankan.
Gedung sekolah itu sempit dan di beberapa bagian terlihat cat kusam. Menilik ke dalam ruang kelas, misalnya di ruang XII IPA I, terlihat kesan muram. Sarana dan prasarana di dalamnya tidak lebih baik dari sekolah dasar sekalipun, sementara plafon ruangan pun rusak, menandakan atapnya pernah bocor.
Namun, siapa sangka, di sekolah yang serba sederhana ini lahir seorang siswa berprestasi. Ia adalah Irfan Haris (17), siswa Kelas XII IPA I. Irfan menorehkan prestasi dunia, yaitu meraih medali emas dalam Olimpiade Biologi Internasional ke-21 di Changwon, Korea Selatan, 12-17 Juli 2010.
Anak dari pasangan Hariadi (45) dan Basiyah (42) ini menempati urutan ke-6 dari 233 peserta (60 negara) itu. Prestasi anak yang hobi membaca ini hanya kalah dari delegasi China, Jepang, dan Amerika Serikat.
Prestasinya bahkan mengalahkan delegasi lainnya asal Indonesia yang lebih bergelimangan fasilitas dan biaya. Reza Sugito, peraih medali emas lainnya dari BPK Penabur Jakarta, hanya menempati urutan ke-10.
”Kami, siswa daerah, sebetulnya punya kemampuan sama dengan yang di kota. Tidak kalah pula dengan mereka dari negara lainnya,” tuturnya memaknai pencapaian besarnya itu. Tahun lalu, pada ajang yang sama, Irfan meraih medali perak.
Irfan mengakui, kendala terbesar menempuh pendidikan di daerah adalah keterbatasan fasilitas buku, praktik, dan arus informasi. Untuk itu, sejak dari SMP, ia berinisiatif untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, khususnya internet.
Pengalamannya mengikuti berbagai ajang kompetisi, seperti Olimpiade Sains Nasional (OSN), International Junior Science Olympiad (IJSO), dan olimpiade internasional lainnya, sering dimanfaatkan pula untuk mencari buku-buku referensi dan pengetahuan.
”Saya paling suka pas ke Bandung. Meminjam atau fotokopi buku-buku yang direkomendasikan dosen-dosen di SITH (Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) ITB. Kadang, dikirim pula lewat e-mail,” tuturnya.
Buku-buku yang dibaca pun tidak sembarangan. Hampir semuanya berbahasa Inggris dan biasa diajarkan di tingkat kuliah, bahkan magister. Meski begitu, ia tetap rendah hati. (jon)
Sumber: Kompas, Sabtu, 24 Juli 2010
No comments:
Post a Comment