PERGERAKAN agama Islam, yang masuk Lampung lewat tiga pintu utama (barat, utara, dan selatan) pada abad ke-15, terus berkembang hingga pelosok daerah ini. Di Pringsewu, Islam mulai berkembang sekitar 1927 setelah kedatangan K.H Gholib.
Dalam biografi KH. Gholib yang ditulis salah satu santrinya, H. Akbar Moesa Achmad (alm.) pada 1973, berdasarkan penuturan langsung K.H. Gholib dan yang dilihat serta dirasakan H. Akbar Moesa Achmad saat mengajar di Pesantren K.H. Gholib, saat itu Pringsewu diliputi �kegelapan�.
Wilayah itu menjadi sarang judi, tempat sabung ayam, praktek prostitusi merajalela hingga ada anggapan �istrimu adalah istriku�. Dalam kondisi masyarakat yang sakit seperti inilah, K.H. Gholib yang saat itu berusia 45 tahun datang mengajarkan agama Islam
Pria kelahiran desa kecil Majasantren di Krian, Jawa Timur, ini masuk Pringsewu atas permintaan M. Anwar Sanpawiro, sahabatnya yang sempat bertemu dengannya di Singapura.
Ketika itu, M. Anwar Sanpawiro menceritakan tentang kolonisasi di Lampung dari Jawa kepada K.H. Gholib. Namun, perpindahan orang ini tidak diikuti dengan misi keislaman sehingga ajaran Islam tidak terlihat dalam kolonisasi tersebut.
Cerita M. Anwar Sanpawiro ini menarik perhatiannya. Setelah bermusyawarah dengan istrinya, Sa'yah, K.H Gholib menemui M. Anwar Sanpawiro untuk ikut ke Lampung. Keesokan harinya, mereka berangkat ke Lampung dari Singapura menumpang kapal laut.
Setibanya di Lampung, K.H. Gholib tinggal sementara di rumah M. Anwar Sanpawiro di Pagelaran. Setelah mempelajari situasi Pagelaran dan Pringsewu, dia lalu membeli sebidang tanah di Desa Fajaresuk. Di atas tanah inilah dibangun rumah tinggal dan masjid.
Tak lama K.H. Gholib tinggal di Fajaresuk. Setelah masjidnya selesai dibangun, dia pindah ke Bambuseribu (kini Pringsewu). Masjid ia serahkan pada masyarakat di Fajaresuk. Di Bambuseribu, dia membeli sebidang tanah di sebelah utara, sekitar 750 meter dari pasar Pringsewu sekarang. Di atas tanah ini, dia membuat sebuah gubuk, berlantai tanah, berdinding geribik, dan beratap alang-alang.
Berdiamlah K.H. Gholib bersama istri di rumah darurat ini beberapa lama. Setelah itu, ia mendirikan masjid berlantai semen, berdinding papan, dan beratap genting. Meskipun tidak besar, masjid ini bisa menampung jemaah di sekitar tempat tinggalnya.
Seolah tak ingin membuang waktu, ia mengajarkan Islam kepada orang-orang tua dan anak-anak. Mulailah masjid dipakai untuk belajar agama dan mengaji Alquran. Beberapa waktu kemudian, datang seorang paruh baya bernama M. Toib. Tujuannya membantu kiai mengajar mengaji Alquran dan menjadi muazin di masjid. Inilah masjid pertama di Pringsewu.
Menurut penulis biografi K.H. Gholib, H. Akbar Moesa Achmad, banyak kelebihan yang dimiliki tokoh penyebar Islam di Pringsewu dan sekitarnya ini. Kelebihan itu pernah dia perlihatkan kepada muridnya dan membuat geger masyarakat sekitar. Sejak itu kiai yang sebelumnya dikenal seperti orang biasa itu mulai disegani.
Ceritanya, setelah M. Toib membantu K.H. Gholib mengajarkan penduduk sekitar mengaji Alquran, pada suatu malam K.H. Gholib mendatangi murid-muridnya. Tiba-tiba muncul seekor harimau besar yang sedang mengaum di tengah murid-muridnya, tentu muridnya ketakutan. Namun K.H. Gholib meminta jangan takut dan kepala harimau itu ditepuk-tepuk dengan telapak tangannya. Rupanya harimau menakutkan itu jelmaan beduk masjid. Ketika biografi ini ditulis, beduk tersebut masih ada. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment