MINGGU, 27 Juni 2010, mungkin menjadi hari yang paling ditunggu bukan hanya bagi warga Way Huwi, Jatiagung, Lamsel, juga Lampung secara umum. Hari itu dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan kota baru Lampung oleh Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.
Peletakan batu pertama ini seakan menjadi jawaban atas berbagai spekulasi tentang jadi atau tidaknya rencanan pemindahan pusat Pemerintahan Provinsi Lampung dari Bandar Lampung ke Jatiagung. Semula ada sebagian yang menganggap proyek ini sebagai akal-akalan Sjachroedin Z.P. untuk menarik simpati publik dalam Pilgub Lampung, dan tak mungkin akan dilaksanakan.
Namun, peletakan batu pertama ini menjadi sebuah jawaban. "Saya bersungguh-sungguh, dan ini dilakukan melalui berbagai data, fakta dan pertimbangan matang," kata Sjachroedin.
Pemindahan lokasi pusat pemerintahan ini menumbuhkan sejumlah harapan baru, termasuk aspek ekonomi hari ini dan seterusnya. Bagi Bandar Lampung sendiri, kota baru diharapkan akan membuat napas kota yang sudah sesak ini menjadi sedikit lega.
Bandar Lampung memang kian sumuk. "Pertumbuhan permukiman di Bandar Lampung yang semakin tidak terkendali dan yang merusak lingkungan adalah salah satu faktor kenapa pemindahan ini mendesak dilakukan," kata Gubernur didampingi Ketua Bappeda Fahrizal Darminto.
Lihatlah wajah Kota Bandar Lampung. Kawasan permukiman, industri, jasa, dan perdagangan makin padat sampai ke zona garis sepadan pantai dan perbukitan. Bahkan, perbukitan sedikit demi sedikit digerus dan dijadikan permukiman.
Sektor informal pun sulit ditata karena terbatasnya ruang. "Kualitas lingkungan di pusat kota semakin menurun sehingga tidak kondusif untuk investasi yang dapat mendorong ekonomi perkotaan," kata Gubernur.
Kepadatan Bandar Lampung 42,9 jiwa/ha jauh lebih tinggi dari wilayah sekitar (6,2 jiwa/ha). Perlu penyebaran aktivitas sehingga kepadatan menjadi lebih berimbang.
Pemindahan ini juga perlu agar ada keseimbangan antara konsep hunian (sosial-kultural), konsep lingkungan (green city), dan konsep bisnis (adanya lapangan kerja dan desentralisasi kegiatan bisnis Bandar Lampung).
Menurut Fahrizal, lahan yang diproyeksikan untuk kota baru seluas lahan 1.669 hektare, dan sangat mungkin dikembangkan menjadi 4.000�5.000 hektare.
Lahan untuk pusat pemerintahan (perkantoran dan rumdin) seluas 350 ha, dan sisanya (1319 ha) untuk lahan komersial. Saat ini, sedang dilakukan land clearing seluas 350 ha, pembentukan badan jalan sepanjang 3,5 km dengan lebar enam meter. Pemprov Lampung menganggarkan Rp18,9 miliar untuk membuka jalan utama. Jalan utama sebagai pembuka poros memasuki wilayah kota baru segera dibuka, yakni Jalan Soekarno-Hatta menuju bakal perkantoran Pemprov Lampung. Selain itu. kawasan ini juga dapat ditempuh dan Sribhawono, Kabupaten Lampung Timur.
Untuk rencana awal, Pemprov sudah merancang merencanakan pembangunan gerbang (gateway) menuju kota baru. Pintu masuk ini akan akan melingkupi jalur tol yang dimulai dari Natar-Jatiagung-Tarahan.
Sedangkan pembangunan pintu gerbang tahap pertama akan menelan biaya Rp1,5 miliar dengan tinggi rata-rata gerbang 30 meter dan lebar total 72 meter. Pintu gerbang tahap pertama terletak di tiga titik, yakni dari arah Way Huwi, dari lapangan golf, dan dari kawasan industri Lampung.
"Pembangunan pintu gerbang akan dilaksanakan PT Tri Karya Abadi Lampung," kata Kepala Dinas Pekerja Umum Lampung Barliang Tihang.
Fahrizal mengatakan pembangunan lahan untuk kota baru seluas 1.699 hektare akan diselesaikan lewat perusahaan patungan. Rencana pengembangan kawasan kota baru ini akan meliputi empat kecamatan, yaitu Jatiagung, Natar, Sukarame, dan Tanjungbintang.
Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memberikan pengarahan bahwa salah satu manfaat kota baru Lampung ini dibangun adalah mengurangi tingkat kepadatan penduduk dan terpusatnya aktivitas di Kota Bandar Lampung. Contoh sederhananya adalah pertambahan kendaraan di Kota Bandar Lampung.
Pertumbuhan kendaraan roda empat adalah 400 kendaraan/bulan, dan untuk kendaraan roda dua adalah 3.500 kendaraan/bulan. Jumlah yang dalam waktu tidak sampai setahun akan membuat Bandar Lampung menjadi kota yang tinggi tingkat kemacetannya.
"Pembangunan kota baru ini harus dimulai, meskipun selesainya bisa memakan waktu 15-20 tahun ke depan," kata Gubernur.
Gubernur menambahkan pihaknya tidak memperbolehkan adanya pembangunan mal di dalam rencana tata ruang pembangunan kota baru Jatiagung, Lampung Selatan. "Kita akan fokus pada pembangunan dan serta penataan pasar tradisional terlebih dahulu," kata dia.
Tidak Boleh Tumbuh Liar
SEBAGAI kawasan "kosong", kota baru di Jatiagung sangat mungkin ditata sedemikian rupa agak tak tumbuh liar. Kota, sebagaimana dikatakan Spiro Kostof (1991), adalah leburan dari bangunan dan penduduk. Bentuk kota pada awalnya netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Perkembangan pesat pembangunan kota bisa tak terkendali.
"Itu sebabnya arah pertumbuhan kota ini harus terencana," kata Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. Perencanaan itu, kata Kepala Bappeda Lampung Fahrizal Darminto, telah tertuang dalam konsep yang sudah dirancang sedemikian rupa hingga detail persentase peruntukan.
Persentase peruntukan dilakukan secara proporsional yang terdiri atas open space sebagai paru-paru, pusat kota, jaringan jalan, kegiatan ekonomi, dan lain-lain.
Tentu akan terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Meski demikian, pertumbuhan dan perubahan kota baru ini kelak bukanlah proses perubahan segmental yang berlangsung tahap demi tahap, melainkan merupakan proses yang komprehensif dan berkesinambungan.
Dengan demikian kota baru kelak tak sekadar mewadahi kegiatan fungsional secara statis, tetapi juga menyerap dan menghasilkan makna bagi kehidupan masyarakat di sini.
"Jadi semua aspek memang dipertimbangkan," kata Fahrizal. Sirkulasi, parkir, dan ruang terbuka, misalnya, tetap masuk dalam skala rancangan karena memang dibutuhkan.
Sebagai salah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan kota baru ini kelak, teknik sirkulasi memang harus memegang tiga prinsip utama, yakni jalan yang harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual positif. Selain itu, jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca, serta sektor publik yang harus terpadu dan saling bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Terkait ruang terbuka, Sjachroedin dan Fahrizal sepakat ruang terbuka mestilah mampu menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.
Selain itu, mampu menghadirkan kesan perspektif pada pemandangan kota (urban scane), menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktivitas khusus. "Yang tak kalah penting, ruang terbuka ini kelak mampu melindungi fungsi ekologi kawasan," kata dia. (IYAR JARKASIH/HESMA ERYANI/R-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment