Oleh Reni Permatasari
MESKIPUN banyak juga yang mendukung keberadaan sekolah internasional, tidak sedikit yang berteriak agar rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan SBI dihentikan. Di Lampung, alih-alih menyetop RSBI, yang terjadi justru banyak pihak masih bersemangat menambah jumlah RSBI.
Yang terbaru, Tanggamus menyiapkan dua sekolah jenis itu di Kecamatan Gisting dan Kotaagung. Untuk Kecamatan Gisting, sekolah yang disiapkan adalah penggabungan empat SD di Pekon Gisting Bawah, yaitu SDN 1, SDN 2, SDN 4, dan SDN 5. Sementara di Kecamatan Kotaagung, SDN Kuripan sedang dipersiapkan.
Penulis tidak habis pikir dengan hasrat menjadi "global" yang berlebihan dari para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan. Penulis hanya mengkhawatirkan keberadaan bahasa Indonesia yang "di-anak-bawang-kan" dalam belajar-mengajar di kelas SBI karena beranggapan sains lebih baik diajarkan dalam bahasa Inggris.
"Setop RSBI dan SBI!" kata Ahmad Yulden Erwin dari Kaukus Pendidikan Lampung (Lampung Post, 30 Juli 2010). Alasan mendasarnya adalah melanggar UUD 1945. Pasal yang sering disebut bertentangan dan menyalahi adalah yakni Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Sebab, prakteknya di lapangan, penyelenggaraan SBI tersebut berdampak pada kecemburuan sosial dalam hak mendapatkan pendidikan bermutu baik dari negara. SBI melahirkan kastanisasi pendidikan.
Penulis hanya hendak menambahkan satu pasal dari UUD 1945 yang--secara hakiki--juga dilanggar oleh RSBI/SBI, yaitu Pasal 36; yang berbunyi "Bahasa negara ialah bahasa Indonesia", bahwa bahasa pengantar di lembaga pendidikan adalah bahasa Indonesia.
Dari sekian banyak syarat RSBI/SBI, salah satunya menyebutkan SBI menggunakan dua bahasa (bilingual) sebagai bahasa pengantar, yaitu pada kelompok mata pelajaran sains, matematika, dan bahasa Inggris menggunakan bahasa Inggris; sedangkan pada mata pelajaran lainnya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi ini jelas bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945.
Politik Bahasa Nasional
Politik bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan. Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan jaringan masalah yang dijalin oleh; (1) masalah bahasa nasional, (2) masalah bahasa daerah, dan (3) masalah pemakaian dan pemanfaatan bahasa-bahasa asing tertentu di Indonesia.
Pertama, bahasa Indonesia. Rumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta, 25--28 Februari 1975 menyebutkan salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional. Kedudukan ini dimiliki bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan dimungkinkan kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang mendasari bahasa Indonesia itu, telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelum seluruh kawasan Tanah Air.
Selain berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara yang tertera di dalam Bab XV Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) Lambang kebangsaan nasional, (2) Lambang identitas nasional, (3) Alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbea-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) Alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sedangkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan (4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Kedua, bahasa daerah. Kedudukan: Di dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti Bali, Batak, Bugis, Jawa, Makasar, Madura, dan Sunda, yang terdapat di wilayah Republik Indonesia sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara sesuai dengan fungsi penjelasan Pasal 36, Bab XV, Undang-Undang Dasar 1945.
Bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang indentitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (1) pendukung bahasa nasional (2) bahasa pengantar di sekolah, dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.
Ketiga, bahasa asing. Bahasa-Bahasa seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dan bahasa lainnya, kecuali bahasa Indonesia dan bahasa daerah serta bahasa Melayu, berkedudukan sebagai bahasa asing. Kedudukan ini berdasarkan atas kenyataan bahwa bahasa asing tertentu itu diajarkan di lembaga pendidikan pada tingkat tertentu, dan di dalam kedudukan demikian, bahasa-bahasa asing itu tdak bersaing dengan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, serta dengan bahasa-bahasa daerah baik sebagai lambang nilai sosial budaya maupun sebagai alat perhubungan masyarakat daerah.
Bahasa asing berfungsi sebagai (1) alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengemabngan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.
Bahasa Indonesia di SBI
Banyak pihak mengkritik RSBI/SBI. Sosiolog Imam Prasodjo menyatakan kekhawatirannya atas euforia RSBI yang selama ini lebih menekankan pada internasionalisasinya, tetapi melupakan karakter bangsanya sendiri. Lembaga pendidikan harus jelas isinya dan ada tiga garis besar yang harus digarap dalamnya pada anak didik, yaitu pembangunan karakter, membangun nasionalisme, serta kemampuan dan semangat penelitian.
Pembangunan karakter, kata Imam, antara lain kejujuran, tanggung jawab, keadilan, toleransi, keberanian, dan lain-lainnya yang ditanamkan pada anak didik. Sementara itu untuk nation building, lembaga pendidikan harus mampu memberikan fondasi kuat agar anak didik tidak berpikir kesukuan dan keagamaan saja, tetapi harus multikultur.
"Apa artinya punya sekolah internasional dan seluruh kemewahan dan keilmuannya jika tidak memiliki karakter dan peduli terhadap negaranya sendiri. Pada akhirnya orang-orang sekadar menjadi pegawai di perusahaan asing. Kelak mereka tidak lagi memikirkan negaranya sendiri. Hanya akan menjadi sekrup-sekrup kepentingan Negara asing, dan ini yang membuat saya khawatir," kata Imam. (Kompas, 23 JUli 2010).
Ekonom Sri Edi Swasono dalam sarasehan nasional di Universitas Negeri Malang (UNM) di Malang, Jawa Timur, 21 Juli 2010 menuding RSBI/SBI sebagai salah satu penyebab lunturnya nasionalisme siswa (Kompas, 22 Juli 2010).
Tak kurang, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mengatakan pendidikan dasar semestinya lebih berorientasi ke dalam, tidak berorientasi keluar melalui eksperimen semacam sekolah bertaraf internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Seharusnya pendidikan dasar lebih menekankan penggunaan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Bahasa bukan sekadar soal bertutur kata yang baik, melainkan menyangkut kemampuan menyusun logika, alur pikiran atau sistematika berpikir, sehingga dapat dipahami orang lain dengan baik. Hanya pendidikan dasar yang berorientasi ke negeri sendiri yang bisa memberi penanaman nilai-nilai menyangkut karakter, jati diri, dan martabat bangsa.
Kritik keras datang dari Wakil Kepala Sementara Pusat Bahasa Agus Dharma dalam seminar Tantangan Bahasa Indonesia pada Era Pasar Bebas yang diselenggarakan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, 20 Juli 2010. Menurut dia, RSBI dinilai salah kaprah dalam mengartikan internasionalisasi pendidikan. Internasionalisasi diartikan dengan menggantikan bahasa pengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris. Padahal, mestinya, sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional, bukan mengesampingkan bahasa Indonesia. Tujuan internasionalisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan daya saing siswa di kancah internasional. Jika bahasa Indonesia yang dikesampingkan, siswa akan kehilangan jati diri sekaligus tidak mampu merebut kualitas internasional.
Peneliti ahli bahasa Indonesia di Kementerian Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, mengingatkan RSBI bukan sekadar mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris sebagai pengantar di kelas. "Justru seharusnya anak Indonesia bisa multilingual, yakni menguasai bahasa ibu atau bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa asing," ujarnya.
Dendy mengatakan sesuai dengan teori linguistik, jika suatu bahasa tidak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa itu dipastikan akan hilang. "Kalau semua sekolah pakai bahasa Inggris, siapa yang menjaga bahasa Indonesia? Maka, kepunahan bahasa Indonesia tinggal tunggu waktu saja," ujarnya. (Kompas, 21 Juli 2010).
Catatan Akhir
Saya pikir, ujaran lama "Bahasa menunjukkan bangsa" bukan cuma peribahasa kosong tanpa makna. Bahasa toh bukan sekadar alat komunikasi yang bebas nilai. Bahasa bagaimana pun memuat sistem nilai (kebudayaan sebuah bangsa) yang melingkupinya. Memang, usia bahasa Indonesia belum satu abad. Tapi, jangan meremehkan bahasa Indonesia sebagai pereket dan pembangun negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Penulis ingin mengutipkan Bur Rasuanto (1981) yang mengungkapkan bahwa memahami Indonesia tidak bakal sahih jika sekadar dimulai sejak 1945 dalam peristiwa Proklamasi. Rasuanto berkata, "Indonesia tidak lahir melalui perang-perang gerilya. Indonesia lahir lewat sajak-sajak, lewat novel-novel, lewat tulisan-tulisan Bung Karno, lewat karya-karya musik, lewat ciptaan-ciptaan Wage Supratman, lewat tulisan-tulisan (Muhammad) Yamin dan lain-lain�itu Indonesia. Kalau saya berbicara demikian, yang saya maksud sebenarnya adalah kebudayaan Indonesia. Ekspresi formal pertama Indonesia itu adalah bahasa Indonesia. Indonesia pertama-tama lahir bukan sebagai bangsa, apalagi sebagai negara, melainkan sebagai kebudayaan."
Reni Permatasari, Praktisi pendidikan, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 4 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment