CIRI dari dua organisasi kemasyarakatn Islam yang masuk ke Lampung, yakni Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU) adalah mendirikan sekolah atau madrasah. Sebab, madrasah dianggap memberikan spirit kesinambungan generasi untuk mensyiarkan Islam.
Awalnya Muhmmadiyah yang dianggap �kaum muda� membuka madrasahnya di rumah seorang warga Syahri, Dusun Suka Negeri (Liwa, Lampung Barat, sekarang) pada 1931. Dengan murid sebanyak 20 orang, madrasah itu dibimbing Muallim Hidayat yang ditugaskan Pengurus Muhammadiyah Cabang Betawi.
Sebelumnya Guru Idrus membuka madrasah di Pahmungan, Krui. Setelah terbentuk di Liwa, Guru Idrus memindahkan seluruh muridnya ke madrasah di Liwa. Bahkan Guru Idrus ikut menjadi guru dan membina madrasah di Liwa.
Madrasah itu mendapat tambahan dua guru pada 1932, yakni K.H. Rais Latief (ayah penyiar TVRI Sazli Rais) dan K.H. A. Murad yang baru pulang dari belajar di luar negeri. K.H. Rais menempuh seolah di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sementara K.H. A. Murad adalah alumnus universitas di Mekah.
Di madrasah itu kemudian dibangun gedung belajar di Pekon Tengah, Liwa. Sehingga madrasah bertambah maju, bahkan muridnya juga berasal dari luar Marga Liwa. Sementara pelajarannya juga terbagi 50% pelajaran agama dan setengahnya pengetahuan umum. Selain bahasa Arab, diajarkan bahasa Inggris dan Belanda sesuai kurikulum atau leerplan Standasrdschool Muhammadiyah Nasional.
"Keberadaan dan perkembangan madrasah itu juga ikut memengaurhi status organisasi Muhammadiyah yang sebelumnya grup menjadi Cabang Liwa," kata tokoh masyarakat Liwa di Bandar Lampung K.H. Arif Mahya yang juga tokoh NU Lampung saat diskusi di Lampung Post awal Agustus lalu.
Pada 1939, diadakan konferensi Cabang I Muhammadiyah Liwa di Pekon Tengah. Acara itu dihadiri Consul Hoofd-Bestuur atau Majelis Konsul Muhammadiyah Daerah Lampung, Palembang dan Bangka yang diwakili anggotanya H. Zen Arifin, juga utusan Muhamadiyah Krui K.R. Chotman Djauhari. (MUSTAAN/E-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 September 2010
No comments:
Post a Comment