PRINGSEWU—"Aku haus pendidikan//inginku merengguknya//meminumnya dengan rakus//seperti tidak ada lagi hari esok". Penggalan puisi Haus Pendidikan karya seorang siswa SMA tersebut dibacakan pada pentas seni pada puncak Kemah Bahasa dan Sastra 2010 di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Kamis (28-10) hingga Jumat (29-10).
Seolah membuka keran air, puisi-puisi berikutnya mengalir deras dari peserta. Kemah Bahasa dan Sastra 2010 menjadi oasis bagi peserta yang terdiri dari siswa SMA se-Lampung. Minat terhadap acara tersebut terlihat dari keseriusan dan banyaknya pertanyaan tentang dunia sastra dan bahasa kepada pemateri.
Arswendo Atmowiloto, pembicara dalam dialog sastra, mengaku kagum terhadap minat peserta. Menurutnya antusiasme itu perlu dijaga agar tidak hanya berjalan di tempat. "Mereka cukup kritis," ujarnya.
Di sisi lain, Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung, pemateri pelatihan penulisan cerpen, mengatakan peserta mempunyai kecerdasan berbahasa dan memiliki minat bagus terhadap sastra. Menurut Iswadi, Kemah Bahasa dan Sastra perlu rutin diadakan jika pendekatannya sebagai sarana agar generasi muda tertarik dan ingin menulis. "Pendekatan teoretis tidak bisa dilakukan jika ingin mamahami sastra secara murni," kata Iswadi.
Lemahnya minat siswa di bidang bahasa dan sastra, menurut dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung, Nurlaksono Eko Rusminto, karena kekakuan belajar. "Guru memandang kaku penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibatnya siswa sulit menikmati bahasa dan sastra," kata dia.
Dia menilai terjadi kesalahan paradigma pendidikan sastra. Sastra diperlakukan sebagai pengetahuan, bukan dinikmati dan dipraktekkan. "Pelajaran sastra lebih menitikberatkan pada penghapalan, karya besar, nama pengarang, resume bukunya, kapan diterbitkan, dan hal-hal yang lebih kepada persoalan pengetahuan," kata dia.
Sesungguhnya esensi pendidikan sastra mengajak anak terlibat dan dapat menikmati sastra. Pendidikan sastra adalah pembelajaran akal budi, rasa, perasaan, human interest. Agar anak tak hanya menjadi pribadi yang pintar tapi juga berbudi luhur.
Ketika ditanya apakah sebaiknya pelajaran sastra dipisahkan dari pelajaran Bahasa Indonesia, dia mengatakan ada baiknya seperti itu. Namun, yang terutama bukan pada soal bertambahnya jumlah jam pelajaran sastra, melainkan bagaimana memandang sastra. (MG13/MG14/R-3)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment