Oleh Udo Z. Karzi
(MAHA)SISWA Indonesia adalah generasi yang rabun membaca, pincang menulis! Penyair Taufiq Ismail tentu tidak main-main ketika mengeluarkan pernyataan itu dalam sebuah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia di FMIPA UPI, Bandung, 25 Oktober lalu. Dia telah melakukan kajian dengan membandingkan jumlah buku sastra yang telah dibaca di 13 negara.
Sebanyak 270 siswa antusias mengikuti Kemah Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, 28-29 Oktober lalu. (LAMPUNG POST/KRISTIANTO)
Masih menurut Taufiq, siswa kita di sekolah tidak satu pun dibekali dengan kewajiban untuk membaca karya sastra. Berbeda dengan siswa di Amerika Serikat yang harus membaca 32 judul karya sastra selama siswa duduk di bangku SMA. "Malaysia dan Brunei saja mewajibkan siswanya membaca 6 karya sastra kepada siswa selama dia duduk di bangku sekolah, sedangkan di Indonesia tidak ada alias 0," kata Taufiq.
Fakta yang diungkapkan Taufiq Ismail ini semakin membenarkan asumsi bahwa selama ini kaum terpelajar negeri ini semakin jauh dari bahasa dan sastranya sendiri, bahasa dan sastra Indonesia—apatah lagi bahasa dan sastra daerah. Jangan heran jika kemampuan menulis siswa payah. Jangankan siswa, gurunya pun bukan kelompok profesi yang bisa menulis. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan mengingat peran sastra dalam kehidupan manusia tidak dapat disepelekan.
Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar S. Roekminto pun sampai kepada kesimpulan, pelajar-pelajar Indonesia, termasuk mahasiswa mengalami "kekeringan" imajinasi, gagasan, dan pemikiran. Masalahnya, (maha)siswa jauh dari dunia sastra, sebuah dunia yang sesungguhnya sangat menarik dan menawarkan keindahan sekaligus menyelami hidup dan kehidupan dalam dituangkan para sastrawan. Sastra juga melatih pembacanya (siswa) berpikir logis dan sistematis, sehingga kemudian memudahkan mereka berperan sebagai pemberi solusi (problem solving).
Kritik terhadap pola pembelajaran di sekolah—utamanya dalam bidang studi bahasa dan sastra Indonesia—adalah bagaimana siswa hampir-hampir tidak termotivasi untuk mengenal sastra apalagi menyelaminya. Apalagi sistem pendidikan nasional yang terbaru justru meminggirkan bahasa Indonesia karena "dianggap" tidak mampu menjadi bahasa sains dan berupaya menggantinya dengan bahasa asing (bahasa Inggris) yang "dianggap" lebih mampu menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan. Semakin jauhlah siswa dengan bahasa dan sastra Indonesia.
Oleh karena itu, penyelenggaraan Kemah Bahasa dan Sastra Se-Provinsi Lampung di Gadingrejo, Pringsewu, 28-30 Oktober, yang diselenggarakan atas SMAN 1 Gadingrejo, UKI, dan Lampung Post menjadi oasis bagi kehidupan sastra yang selama ini seolah kesepian dan pelajar yang selama ini jauh (dijauhkan) dari sastra. Pembicara-pembicara seperti budayawan Arswendo Atmowiloto, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, akademisi Unila Mulyanto Widodo, dan Ali Imron, serta seniman-sastrawan-jurnalis seperti Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Hermansyah G.A., Syafril Yamin, dan Udo Z. Karzi bisa menjadi "provokator" untuk menebar bibit-bibit sastra di lahan yang (seharusnya) subur: para siswa.
"Menulis bisa dijadikan sebagai profesi baru tanpa menghalangi cita-cita dan pekerjaan sebelumnya," kata Arswendo. Menurut penulis buku Mengarang Itu Gampang ini, menulis menyenangkan karena segala sesuatu dapat dijadikan sebagai bahan tulisan. Namun, menulis bukan bakat instan yang datang begitu saja. "Menulis merupakan bakat yang diperoleh dengan latihan terus-menerus dan berkelanjutan," kata dia.
Djadjat Sudradjat menegaskan penulis adalah profesi terhormat. Banyak nama besar di Tanah Air karena profesinya sebagai penulis dibandingkan profesi aslinya.
Pada sesi klinik sastra, siswa secara langsung mendiskusikan dan mempraktekkan bagaimana cara menulis puisi, cerpen, sastra lisan Lampung, dan artikel untuk media massa. Sesi ini terasa lebih menyentuh karena siswa bertemu muka dengan seniman, sastrawan, dan wartawan yang paling tidak karena pengalamannya bisa berbagi ilmu tentang kiat menulis. Wawasan internasional peserta kemah ditambah pula dengan kehadiran tujuh wakil kedutaan besar dalam acara ini.
Memang, hasil Kemah Bahasa dan Sastra tidak langsung terlihat dalam sehari dua atau setahun dua. Sebab, kemampuan menulis memang bukan sesuatu dengan instan mudah didapat, melainkan melalui proses berlatih dan belajar terus-menerus. Paling tidak Kemah Bahasa dan Sastra ini mampu memberi motivasi siswa untuk mulai menyukai sastra.
Semoga Kemah Bahasa dan Sastra ini bisa mendorong tingkat literasi di kalangan siswa.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment