Oleh Maulana Mukhlis
DATA Kementerian Sosial (Kemsos) tahun 2010 menyebutkan di Provinsi Lampung terdapat 211.943 keluarga fakir miskin (KFM) atau menempati posisi paling banyak di antara 9 provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Artinya, dapat dikatakan Lampung merupakan provinsi termiskin di Sumatera sekaligus menyumbang presentasi jumlah keluarga miskin terbesar di pulau ini.
Provinsi Lampung menyumbang 24,5 % jumlah KFM sekaligus berada jauh di atas rata-rata jumlah KFM di Pulau Sumatera yang hanya 78.751 keluarga fakir miskin dari jumlah KFM di Pulau Sumatera 866.258 keluarga. Di sisi lain, dengan jumlah KFM di seluruh Indonesia 3.274.060 keluarga, provinsi ini menyumbang sekitar 6,47% jumlah KFM terhadap total KFM di Indonesia tersebut. Data Ini juga menunjukkan jumlah KFM di Provinsi Lampung di atas rata-rata jumlah KFM di Indonesia, yaitu 99.214 keluarga miskin/provinsi.
Jika kita sepakat bahwa the achievement of social walfare means, first and foremost, the alleviation of poverty in its manifestations (Jones, 1990), jumlah "kemiskinan dalam berbagai manifestasinya" akan semakin besar. Jones menekankan bahwa masalah kemiskinan, tidak hanya merujuk pada "kemiskinan fisik", seperti rendahnya pendapatan (income poverty) atau rumah tidak layak huni, melainkan pula mencakup berbagai bentuk masalah sosial lain yang terkait dengannya;
Jika semua penyandang masalah kesejahteraan sosial non-KFM tersebut dihitung seperti penyandang cacat, ketunaan, keterlantaran, keterbelakangan, keterisolasian, pengangguran, perdagangan manusia, masalah anak, pelacuran, pengemisan, pekerja migran dan sejenisnya, data Kemsos menunjukkan di Provinsi Lampung terdapat sebanyak 324.466 jiwa yang masuk kategori miskin "lainnya" itu.
Apa yang bisa dibaca dari data-data tersebut, ketika di sisi lain berbagai program penanggulangan kemiskinan terus gencar dilakukan baik pemerintah maupun melalui sumbangsing swasta? Yang pertama, hal ini menunjukkan bahwa masih ada problem dalam implementasi kebijakan yang direncanakan. Kedua, sinergitas dan kerja sama antarlintas kalangan belum sepenuhnya berjalan. Ketiga, kegagalan pendekatan dalam program penanggulangan kemiskinan. Karenanya, upaya sungguh-sungguh harus diikhtiarkan segenap komponen dan potensi di Provinsi Lampung untuk menurunkan jumlah KFM tersebut baik oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Dalam pandangan kesejahteraan sosial, penanganan masalah kemiskinan, harus ditangani secara terpadu dan bersinergi, karena kemiskinan dipandang sebagai permasalahan yang bersifat multidimensi. Program dan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat bisa terentang mulai dari kegiatan peningkatan pendapatan (aspek ekonomi), hingga peningkatan kapasitas intelektual atau keterampilan (aspek pendidikan) serta kapasitas fisikal (aspek kesehatan).
Bila dicermati, sebenarnya upaya ini sudah dilakukan Pemprov Lampung pada 2007 dengan menetapkan 765 desa/kampung miskin di provinsi ini yang akan menjadi prioritas penanganan melaui pentahapan penanganan sejak 2007 hingga tahun 2009 (3 tahun). Harapannya, dengan penetapan ini, program penanganan kemiskinan dapat diukur keberhasilannya secara jelas. Di sisi lain, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menyusun program penanganan atas dasar penetapan kampung/desa miskin tersebut, sehingga ditargetkan masing-masing desa miskin tersebut akan disuntik dengan Rp1 miliar melalui berbagai program.
Tetapi, bagaimana hasil dari keterpaduan tersebut saat ini? Tak pernah ada penjelasan dan progres resmi dari Pemprov tentang hasil kebijakan keterpaduan tersebut. Dan bisa jadi, desa-desa dan kabupaten yang awalnya sempat mendapat angin surga dari kebijakan ini, pada akhirnya kecewa akibat tak terealisasinya harapan itu. Berikutnya, dalam kurun waktu 2005�2010 sebenarnya 26.360 KFM berhasil dibantu Dinas Sosial, tetapi mengapa tidak memiliki signifikansinya terhadap upaya penurunan jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung?
Ini artinya, ada tiga problem utama dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan, yakni ketidaktepatan pendekatan kewilayahan dan kelompok sasaran serta lemahnya kemitraan. Studi di Balitbangda (2009) menyebutkan bahwa meski jumlah dana corporate social responsibility dari sektor swasta mendekati Rp25 miliar per tahun, pola dan pendekatan serta lokasi tak pernah berkoordinasi dengan Pemprov. Sekali lagi, ini sebuah ironi
Banyaknya kalangan yang menangani masalah kemiskinan, merupakan hal positif jika dibarengi dengan adanya koordinasi lintas profesional, sektoral, dan tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, tanpa sinergitas dan kerja sama antarlintas kalangan, situasi ini dapat mengarah pada ketidakefektivan program dan kegiatan, tumpang tindih-program (redundancy and overlapping), kejenuhan sasaran, dan bahkan system ubuse, yang pada gilirannya dapat menjauhkan pencapaian tujuan penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Dalam konteks ini, aliansi antarlintas kalangan merupakan sebuah keniscayaan. Dan ini hal pertama yang belum terjadi di provinsi ini.
Kedua, dalam konteks keberfungsian sosial sebagai tujuan akhir dari pembangunan kesejahteraan sosial (penanggulangan kemiskinan di dalamnya) tujuan program selama ini belum tercapai. Program dan kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial dalam konteks menangani masalah kemiskinan secara garis besar harus diarahkan pada tiga bidang, yaitu pelayanan sosial (social sevices/provision), perlindungan sosial (social protection) dan pemberdayaan masyarakat (community/social empowerment).
Ketiga, fokus kegiatan tersebut dilakukan berdasar pada kebijakan atau strategi yang bermatra pencegahan, penyembuhan dan pengembangan. Hal ini bisa terjadi jika pendekatan program dari semua pihak dibangun dengan filosofi pekerjaan sosial. Ini, adalah hal kedua yang juga belum terjadi di provinsi ini. Jika ini tidak direstorasi, saya pesimistis jumlah kemiskinan akan turun secara signifikan meski anggaran pembangunan terus mengalami kenaikan.
Maulana Mukhlis, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 November 2010
No comments:
Post a Comment