Oleh Maulana Mukhlis
KEMISKINAN—sekali lagi—adalah tema yang tak pernah usai untuk dikaji karena kemiskinan berdimensi ganda; sebab dan akibat.
Dalam perspektif sebab, kemiskinan menjadi pertanda awal akan munculnya persoalan sosial lain (rumah tak layak huni, gelandangan, pendidikan dan kesehatan rendah, misalnya). Sementara itu, dalam perspektif akibat, kemiskinan merupakan efek dari problem sosial lain, seperti kecacatan yang tak berketerampilan, ketunaan, dan korban bencana.
Karena itu, kita pasti sepakat bahwa upaya menanggulangi kemiskinan juga berdimensi ganda, baik kewilayahan maupun manusia sebagai sasaran. Dalam konteks Lampung, kesadaran ini sebenarnya sudah mulai terbangun meski hanya pada tahap rencana. Tahun 2007 lalu Pemprov Lampung menetapkan 765 desa/kampung miskin di provinsi ini yang akan menjadi prioritas penanganan melalui tahapan penanganan sejak 2007 hingga 2009 (tiga tahun).
Harapannya, dengan penetapan ini, program penanganan kemiskinan dapat diukur keberhasilannya secara jelas. Di sisi lain, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dapat menyusun program penanganan atas dasar penetapan kampung/desa miskin tersebut sehingga ditargetkan masing-masing desa miskin tersebut akan “disuntik” dengan Rp1 miliar melalui berbagai program.
Akan tetapi, bagaimana hasil dari keterpaduan tersebut saat ini? Tak pernah ada penjelasan dan progres resmi dari Pemprov tentang hasil kebijakan keterpaduan tersebut.
Dari sisi sasaran, Lampung juga sudah memiliki sasaran by name by address tentang keluarga fakir miskin per desa di seluruh Lampung.
Dalam kurun waktu 2005—2010 sebenarnya sebanyak 26.360 KFM berhasil dibantu melalui Dinas Sosial. Namun, mengapa berbagai program itu tidak memiliki signifikasinya terhadap upaya penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi ini?
Selain karena adanya problem kebijakan, masalah integrasi, dan keterpaduan, satu hal yang belum ada yakni kesadaran untuk menjadikan program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pekerjaan sosial—dengan tujuan keberfungsian sosial—bukan dengan pendekatan birokratis dan sekadar “membantu”. Pendekatan pekerjaan sosial dengan tujuan keberfungsian sosial inilah model tawaran yang mungkin bisa dijadikan satu pilihan untuk menanggulangi kemiskinan secara lebih produktif.
Secara konseptual, pekerjaan sosial memandang kemiskinan sebagai persoalan multidimensional yang bermatra ekonomi-sosial dan individual struktural. Berbagai intervensi sosial yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keberfungsian sosial para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), baik karena kemiskinan, kecacatan, ketunaan sosial, ketelantaran, dan korban bencana alam/bencana sosial.
Pekerjaan sosial merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan membantu individu, kelompok, dan masyarakat yang kurang beruntung–-PMKS—agar mampu melaksanakan tugas kehidupannya sesuai dengan peranannya. Sebagaimana halnya dengan profesi kedokteran yang berkaitan dengan konsepsi kesehatan, dan guru dengan konsepsi pendidikan, maka keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi pekerja sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerja sosial dengan profesi lainnya.
Maka, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani masalah kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk meningkatkan keberfungsian sosial masyarakat miskin yang dibantunya.
Sementara itu, konsep keberfungsian sosial adalah upaya membangun kapabilitas individu, kelompok, dan masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien (PMKS) menjadi subjek pembangunan; klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; klien memiliki akses untuk menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber-sumber yang ada di sekitarnya.
Namun, karena tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis, intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person in invironment and person ini situation). Oleh karena itu, pekerjaan sosial melihat pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra individu dan wilayah, tetapi juga berupaya untuk mengubah struktur sosial bagi PMKS.
Atas dasar ini, setidaknya ada dua pendekatan pananganan kemiskinan dari sisi pekerjaan sosial yang saling terkait satu dengan lainnya. Pendekatan pertama melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan tempat si miskin tinggal (pendekatan wilayah).
Pendekatan kedua melihat si miskin dalam konteks situasinya, berpijak pada prinsip individualitation dan self determinism yang melihat si miskin secara individual, yang memiliki masalah dan kemampuan unik (pendekatan individu).
Beberapa bentuk program yang didasari dua pendekatan ini antara lain pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial, program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Kemudian, program pemberdayaan masyarakat meliputi pemberian modal usaha, pelatihan usaha ekonomi produktif, pembentukan pasar sosial, pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
Program kedaruratan berupa bantuan bagi korban bencana alam atau bencana sosial, dan program pemutus tirai kemiskinan seperti Kelompok Usaha Bersama (Kube) yang dibarengi dengan pembentukan Lembaga Keuangan Mikro dan Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk memperkuat kemitraan dan pengembangan insentif/tabungan.
Beberapa program dan skema di atas dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rencana aksi pemberdayaan fakir miskin dalam menunjang program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Lampung, dengan membangun keterpaduan dengan semua SKPD dan dunia usaha. Semoga ada manfaat nyata dari upaya yang selama ini telah ada.
Maulana Mukhlis, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 November 2010
No comments:
Post a Comment