Oleh Iswadi Pratama
Di bawah suhu 2 derajat Celsius, saya dan Budi Laksana menyusuri Jalan Alterburger Wall 1, sebelah barat Koln menuju Stasiun Chlodwig Platz. Kabut tipis seperti kelambu menyelimuti kota yang masih diam. Langit membentang di atas kota tampak abu-abu.
KENANGAN TANJUNGKARANG. Dua pemain teater berlatih di Studio Britta Liebeknecht, Jalan Britaniahutte 25 A, Koln, Jerman, Sabtu (13-11). Latihan ini untuk persiapan pementasan lakin Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang di Gedung Orangerie Theater, 17-21 November. (ISWADI PRATAMA)
Selalu begitu memang, menjelang musim dingin tiba. Dinding-dinding bangunan apartemen, galeri, pertokoan, museum yang berdiri kokoh dengan arsitektur bergaya campuran abad pertengahan, Gotic, dan modern tampak lembap dalam warna merah bata.
Di bawah pohon-pohon ahorubauw (ahorn; maple) yang merontokkan daunnya di sekujur jalanan, saya menyalakan rokok keretek khas Indonesia menghalau dingin. Di sini, tak di sembarang tempat bisa merokok. Ruang publik memiliki aturan yang terorganisasi dengan baik dan dipatuhi setiap warga kota.
Tak jauh dari tempat saya berdiri, seorang pemuda berjongkok di bawah pohon menunggui anjingnya buang kotoran. Setelah binatang piaraan yang sama besar dengan kambing remaja itu usai menunaikan hajat, sang majikan mengeluarkan kantung plastik dari sakunya dan memungut kotoran hewan yang tampak terawat itu dan membuangnya di kotak sampah yang berjajar rapi di setiap radius 50 meter. "Kalau tak telaten seperti itu, mereka kena denda," kata Budi yang mulai beradaptasi dengan budaya dan lingkungan setempat sejak kedatangannya pada 14 Oktober lalu.
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit dari kompleks Kuntz Forum (Apartemen Para Seniman) tempat tinggal sementara di kota itu, kami tiba di stasiun kereta bawah tanah. Setengah berlari kami menuju halte yang panjangnya sekitar 100 meter dengan sebuah layar elektronik besar yang menampilkan nama-nama stasiun dan kota tujuan dan jadwal berangkat.
Setiap 10 menit ada kereta yang lewat dan siap melayani ratusan penumpang ke segenap penjuru kota. Sebuah kereta yang penuh dengan jendela kaca besar-besar berhenti, pintu terbuka dengan sendirinya dan puluhan penumpang bergegas ke luar, puluhan lainnya termasuk saya dan Budi bergegas masuk. Tak seorang pun terlihat santai dan lamban.
Semua berjalan dengan tempo dan irama langkah yang tangkas. Setelah menempelkan ujung tiket ke mesin pendeteksi, kami memilih tempat duduk yang tersisa. Saya menebar pandang ke seluruh interior kereta yang bersih dan terawat sama terawatnya dengan tubuh-tubuh penduduk di sini yang dibalut mantel-mantel tebal dan panjang.
Sekitar lima meter di samping kami, sekelompok mahasiswa berdiri sambil mengapit sepeda mereka. Sepeda menjadi alat transportasi alternatif yang biasa mereka gunakan untuk mencapai tempat-tempat yang tak dilewati kereta. Jika tak bersepeda, mereka lebih senang berjalan kaki. Tak ada angkutan umum lain. Taksi hanya beberapa saja.
Sepuluh menit berlalu, kami tiba di stasiun berikutnya; Dom /Haoufbanhoft. Dari sini kami melanjutkan perjalanan ke Stasiun Bergisch Gladbach dan berjalan kaki sekitar 20 menit untuk mencapai Studio Britta Liebeknecht di Jalan Britaniahutte 25 A, tempat lakon Nostalgia Sebuah Kota; Kenangan tentang Tanjungkarang dipersiapkan untuk dipentaskan tanggal 17—21 November di Gedung Orangerie Theater.
Tiba di beranda studio tempat latihan, kami disambut Serge Nekpe, aktor asal Pantai Gading yang terlibat dalam pertunjukan. Tak lama kemudian datang Cornellia, aktris berdarah Spanyol.
Memasuki ruang latihan, kami dikejutkan oleh teriakan Hanna, yang tulen Jerman, memamerkan kostumnya. "Teman-teman sedang mencoba kostum," ujar Hanna sambil menarik lengan Budi ke dalam ruang ganti.
Ada Rubben, "Si Shoulin dari Belanda" dan Chaterine yang berdarah Kanada, dan Hellena dari Rusia yang sangat mencintai Yoga.
Setelah seluruh pemain mengenakan kostum, Kristof Szabo, sutradara asal Hungaria mengumpulkan mereka. "Kostum ini dirancang oleh Emese Kasza disesuaikan dengan karakter negara dan budaya masing-masing," kata Kristof mengawali briefing hari itu.
Tak lama kemudian, Gyula Berger, koreografer, mengenalkan saya pada Ivo Kovacs, seniman visual arts yang menangani video dan grafis pertunjukan. Dia baru bergabung hari itu.
Usai briefing, latihan dimulai tepat pukul 10.00 waktu setempat seperti tertera dalam jadwal. "Kami latihan setiap hari dari pukul 10.00 sampai 18.00," kata Budi dalam perjalanan tadi. Dan itu sudah mereka lakukan sejak awal September.
Adegan pertama berlangsung. Setiap aktor mengucapkan kenangan mereka tentang sebuah kota bernama "Tanjungkarang" dalam bahasa, cara, dan gaya masing-masing. Hati saya kembali bergetar ketika mendengar kata "Tanjungkarang" itu diucapkan dalam nyanyian tradisional Afrika, bahasa Rusia, Jerman, dalam teriakan ala Urban Belanda dan tentu saja dalam bahasa dan cita rasa Indonesia yang diucapkan Budi Laksana.
Sejak pertama kali saya datang dan mengikuti sesi latihan, beberapa aktor telah bertanya pada saya sebagai penulis naskah tentang seperti apa Kota Tanjungkarang itu? Terus terang saya tak siap menjelaskannya seperti yang umum dilakukan oleh pemandu wisata. Lalu dengan satu tarikan nafas dan diiringi sesungging senyum Budi yang seperti tahu apa yang akan saya lakukan, saya katakan pada mereka: "Tanjungkarang is like New York."
Dan pada sesi latihan Jumat, 11 November, saya mendengar lagi Kota Tanjungkarang diucapkan dalam diksi bangsa-bangsa di Eropa dan Afrika. Ya, kotaku, Tanjungkarang. Bukan cuma diucapkan tetapi juga didiskusikan, dibayangkan, dianalisis juga dirindukan. "Kami ingin sekali melihat kotamu," kata Hellena dan Chaterine yang sering bergurau dengan Budi.
Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment