Oleh Adian Saputra
APA penyebab kemiskinan di Indonesia sulit untuk diminimalkan? Jawabannya ialah akses masyarakat miskin untuk mendapatkan modal usaha produktif tidak pernah diberikan oleh pemerintah. Sejak era Reformasi, masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan modal berusaha. Mereka, misalnya, yang menjadi penambang batu di bukit, berdagang kecil-kecilan di rumahnya, atau menjadi buruh, sulit untuk mendapatkan uang yang bisa mereka putar sebagai usaha produktif. Hal ini yang kemudian menyebabkan mereka terus saja didera kemiskinan hingga bertahun-tahun.
Alokasi anggaran buat pemerintah rupanya permisif untuk dikorupsi para maling kelas kakap besar ketimbang memberdayakan masyarakat miskin. Duit pajak di Indonesia lebih suka dikorupsi orang semacam Gayus ketimbang diberikan kepada orang miskin. Kalau saja uang Rp65 miliar diberikan secara merata kepada 10 ribu kepala keluarga miskin, masing-masing akan akan memperoleh lebih dari Rp6,5 juta. Angka itu sudah lebih dari cukup buat masyarakat miskin kita bangkit dari keadaan. Sayang, hal seperti itu sulit diwujudkan.
Perbankan kita juga demikian. Masih enggan memberikan pinjaman terhadap masyarakat miskin yang mau berniaga atau berwirausaha. Mereka lebih memilih untuk mengalokasikannya buat korporasi besar.
Lalu, item apa lagi yang membuat masyarakat kita selalu miskin?
Anggaran pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat kelas bawah tidak pernah ada sesungguhnya. Pemerintah Yudhoyono boleh merasa sudah berbuat dengan membuat program Kredit Usaha Rakyat atau KUR. Namun, percayalah, itu cuma kamuflase. Banyak orang yang berkeliling dari satu bank ke bank lain yang diiklankan pemerintah bisa meminjamkan KUR itu. Nyatanya semua cuma pepesan kosong. Peluncuran program bagi-bagi kredit buat rakyat hanya komoditas politik untuk menaikkan citra menjelang Pemilihan Presiden 2009.
Apa lagi? Ini dia: penerimaan PNS. Setiap tahun pemerintah membuka lowongan buat alumni kampus agar menjadi abdi negara. Kebijakan ini sudah tentu salah besar. Mengapa? Sebab, kebanyakan para amtenar tersebut tidak produktif melayani rakyat. Lihat, betapa banyak abdi negara yang cuma duduk, mengobrol, bahkan main game di saat jam kerja. Mereka yang bekerja di kabupaten lain malah berangkat saat matahari naik sepenggalahan sehingga terlambat sampai kantor pemerintah. Penerimaan pegawai negeri ternyata memiskinkan bangsa. Alokasi buat gaji mereka mubazir, yang semestinya bisa didistribusikan buat orang kecil. Penyetopan penerimaan pegawai mutlak dilakukan minimal dalam sepuluh tahun terakhir, kecuali buat formasi yang memang dibutuhkan rakyat, utamanya di daerah terpencil: guru, bidan, dokter. Di luar itu, apalagi yang berembe-embel, tenaga teknis, itu cuma bualan pejabat negara yang ingin anak dan kerabatnya menjadi amtenar.
Lalu, bagaimana kita menatap masa depan orang miskin di negeri ini. Jujur kita akui, kita sudah tak percaya lagi kepada pemegang kebijakan selama mereka masih mementingkan citra, terbangunnya koalisi, dibandingkan mau menarik tangan si miskin sehingga tak berkubang dalam kemelaratan.
Bank harus didorong untuk memberikan kredit lunak buat masyarakat, penerimaan PNS mesti disetop, korupsi harus diberantas hingga koruptornya disiapkan peti mati. Yang juga penting kita membutuhkan pemimpin yang kuat, yang berkarakter, yang prorakyat, dan siap tidak populis. Itu bisa disumbang oleh partai politik atau ormas yang punya mekanisme kaderisasi yang kuat. Sayangnya, hingga sekarang belum ada nama yang patut disorongkan. Termasuk yang menjabat sekarang. Revolusi buat negeri ini harus dilakukan agar tak perlu berlama-lama masyarakat berkubang dalam kemiskinan.
Kita menunggu pribadi yang punya kepemimpinan yang kuat. Jika di tingkat negara kita belum punya, kita masih berharap itu muncul dalam skop daerah: bupati atau wali kota. Tugasnya "sederhana": mendistribusikan modal untuk masyarakat miskin berusaha.
Kita tak perlu menyewa seorang Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, untuk mengajari kita bagaimana bank memberikan pinjaman lunak buat masyarakat, bukan? Namun, andaipun perlu, rasanya tak apa membawanya kemari untuk membantu negeri besar Indonesia bangkir dari kemiskinan. Itu pun jika pemerintah kita tidak punya malu.
Adian Saputra, Karyawan 'Lampung Post'
Sumber: Lampung Post, Senin, 15 November 2010
No comments:
Post a Comment