Oleh Yulvianus Harjono
HATI Iwan Darmawan miris tatkala melihat langsung kehancuran hutan Register 22 Way Waya, Lampung Tengah. Ini karena perambahan hutan marak terjadi akibat tingginya ketergantungan masyarakat sekitar kawasan itu akan hasil hutan.
Iwan Darmawan (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Kebakaran hebat tahun 2000-2002 memperburuk kondisi kawasan hutan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan itu. Ini sebuah tantangan besar saat ia merintis pekerjaan barunya sebagai penyuluh kehutanan sukarela.
Sejak menekuni karier itu pada 2004, Iwan aktif mengabdi sebagai fasilitator penyuluh hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah. Ia giat mengajak ratusan warga di lima desa, yaitu Sendang Asih, Sendang Baru, Sendang Retno, Sendang Mulyo, dan Sendang Asri, untuk memulai pola baru hidup berdampingan dengan hutan.
Misinya mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Ia mengenalkan kepada masyarakat cara bercocok tanam yang sesuai di lereng perbukitan di Way Waya. Dengan pengetahuan otodidak, ia mengajak warga agar mengganti tanaman palawija yang dominan dengan pola tumpang sari yang lebih ramah lingkungan.
”Pola tanaman harus berkelanjutan. Kakao habis, masih ada nira. Selain bagus untuk kekuatan tanah, bijinya juga bisa dimanfaatkan untuk kolang-kaling dan akarnya jadi arak. Nira tak boleh ditebang. Jika ada yang menebang, dia wajib diamankan,” cerita Iwan.
Dia mengakui, awalnya tak mudah mengajak warga di sekitar kawasan hutan untuk berubah pola pikir.
Petani pelindung
Didukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat, Iwan ikut memotori terbentuknya simpul kemandirian ekonomi berbasis hasil hutan nonkayu di Desa Sendang Asih. Kelompok ini disebut Kelompok Masyarakat Petani Pelindung Kawasan (KMPPK).
Ada delapan kelompok yang terbentuk dalam dua tahun ini. Sebagian dari kelompok itu memproduksi makanan dari hasil hutan nonkayu. Kelompok yang mayoritas anggotanya ibu rumah tangga ini memproduksi madu hutan, gula aren, dan berbagai makanan olahan.
Rumah Iwan pun dijadikan sekretariat KMPPK. Dia menyediakan ruangan khusus sebagai etalase produk industri rumah tangga KMPPK. Di sini dia juga menyediakan perpustakaan mini berisi sekitar 130 judul buku terkait topik kehutanan, budidaya tanaman, dan pemberdayaan masyarakat.
Keteguhan membina masyarakat sekitar hutan Way Waya ini mengantarkan Iwan meraih Juara Harapan III Kategori Penyuluh Kehutanan yang diberikan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban pada 2009.
Pengawas embung
Sinergi dengan kegiatan pelestarian lingkungan, Iwan juga aktif berperan sebagai koordinator pengawas embung di wilayah Sendang Agung. Sejak 2005 hingga kini, ia bersama 30 pemuda di desanya bekerja menjaga embung-embung di wilayahnya. Tugas mereka termasuk mengatur masuk-keluar air untuk pengairan sawah.
Tugas ini pun dia lakukan secara sukarela. Padahal, untuk itu ia kerap bertugas hingga subuh. ”Tak semua jenis pekerjaan bisa diukur dengan nilai rupiah. Lebih baik orang menilai kita dari tindakan yang kita lakukan,” ujarnya.
Dari tugasnya menjaga embung, dia dan tim terkadang mendapat bagi hasil beras secara sukarela dari warga, sekitar 50 kilogram dari setiap hektar sawah. Namun, tak jarang pula mereka tak mendapat apa pun. Pendapatan utama Iwan untuk membiayai kehidupan keluarga dari berkebun kakao.
Profesinya itu bertolak belakang dengan masa lalunya. Banyak pengalaman pahit yang dirasakan Iwan pada masa silam. Hampir separuh umurnya dijalani di dunia preman.
Jalan hidupnya berubah tatkala ia menikahi Ruhiati, perempuan asal Lampung. Tahun 1996, Iwan memutuskan pindah ke Sendang Agung, memulai hidup baru bersama sang istri.
Ia belajar bertani dan gagal. ”Orang-orang bertani pakai pacul, saya pakai tangan karena enggak bisa memegang pacul,” ujarnya. Dia lalu mencoba berdagang pisang dan gagal lagi karena ditipu mitra dagangnya.
Arisan rumah
Iwan lalu memutuskan ke Jakarta pada 2002. Tahun 2003, ia sakit hingga tak bisa berjalan, apalagi bekerja. Di tengah kondisi yang semakin sulit, istrinya melahirkan anak ketiga. Ia tak mampu membayar biaya melahirkan istrinya di rumah sakit.
”Sampai-sampai ada orang yang menawar anak saya Rp 12 juta,” ungkap Iwan. Tawaran itu dia tolak, tetapi kejadian tersebut juga menjadi tamparan baginya. Sejak saat itu dia bertekad untuk berbuat yang terbaik bagi keluarga.
Tahun 2004 Iwan kembali ke Lampung dan membulatkan tekad menjalani kehidupan baru di sini. Kebetulan ada tetangga yang menawarinya bekerja sebagai penyuluh hutan.
Selain menjadi penyuluh dan pengawas embung, dia juga diminta warga menjadi ketua rukun tetangga di wilayahnya. Di samping itu, Iwan juga mendapat amanah sebagai ketua arisan rumah, yaitu pola di mana warga setempat membangun rumahnya lewat sistem arisan.
Berkat sistem arisan berupa semen dan beras ini, 22 warga di desanya yang mengikuti arisan itu bisa mengganti rumah geribik mereka menjadi rumah gedong (bersemen).
Menurut Iwan, pola arisan ini terbukti mampu menekan praktik ijon yang marak di kampung-kampung pertanian daerah pelosok, seperti di kawasan Way Waya.
”Kami sadar, di tengah segala kekurangan ekonomi kami, modal yang paling berharga adalah guyub,” ujarnya.
Modal guyub inilah yang diharapkan Iwan mampu menjadi tulang punggung ekonomi warga setempat. Dengan demikian, suatu saat nanti mereka bisa mandiri, tak lagi hanya bergantung pada hasil hutan.
Sumber: Kompas, Senin, 1 November 2010
No comments:
Post a Comment