Oleh Yulvianus Harjono
SULIT dibayangkan wilayah Jati Agung di Kabupaten Lampung Selatan akan menjadi pusat ibu kota baru Provinsi Lampung. Yang terlihat di depan mata saat ini adalah hamparan hutan penuh semak belukar, jalanan yang terbuat dari tanah, terjal, dan sulit dilalui kendaraan.
Lokasi kota baru ini berada di hutan Register 40 eks pengelolaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di pinggiran Jati Agung. Untuk ke lokasi itu, pengendara harus nekat menerjang setidaknya dua aliran sungai yang memotong jalan tanah ini.
Soalnya, tidak ada jembatan di sini. Salah satu sungai memiliki lebar 8 meter dan dalam sekitar 0,6 meter.
Di sekelilingnya jalan penuh lumpur sehingga mobil dan motor harus nekat menerabas sungai ini dengan risiko mati mesin. Sekilas, jalan menuju lokasi cikal bakal ibu kota baru Provinsi Lampung ini lebih mirip medan offroad ketimbang jalan akses penghubung.
Makanya, tidak mengherankan, warga yang hilir mudik melalui jalur ini jarang yang menggunakan motor, apalagi mobil. Kendaraan favorit mereka adalah pedati-pedati yang ditarik sapi. Saat singgah di sungai yang melintasi jalan itu, tidak jarang sapi-sapi tersebut istirahat untuk dimandikan.
Seperti terlihat pada pekan lalu, jalanan dipenuhi pedati-pedati sapi yang mengangkut rumput, daun jati, daun singkong, dan hasil bumi lainnya. Para penunggangnya saling melempar senyum dan menyapa saat satu dengan lainnya saling berpapasan. Keramahan dan kehangatan pun terlihat. Padahal, hari itu mayoritas dari mereka tengah gundah dan sedih. Warga yang kebanyakan berasal dari antara lain Desa Margo Rejo, Purwotani, dan Margo Lestari ini adalah para petani penggarap di lahan eks LIPI seluas 1.500 hektar.
Angkat kaki
Mereka kini tengah bersiap angkat kaki dari lahan itu. Sejumlah alat berat milik Bina Marga Provinsi Lampung dalam beberapa pekan terakhir ini sudah hilir mudik meratakan jalan, membersihkan semak-semak belukar di areal yang tidak lagi terlihat hutan itu.
”Lagi beres-beres. Banyak yang sudah nebangin pohon-pohon singkong dan karetnya untuk dibawa pulang. Mubazir kan kalau digusur begitu saja,” tutur Tino (30), warga yang ditemui di lokasi, menjelaskan fenomena banyaknya pedati sapi yang hilir mudik pada sore hari itu.
Tino adalah salah seorang petani penggarap yang sudah mendapatkan uang tali asih (ganti rugi) atas penggusuran lahan garapan mereka. Nilainya Rp 5 juta per hektar. Tino kebetulan hanya menggarap 1 hektar lahan. Saat ditanya buat apa uangnya, ia menjawab, ”Sudah habis, dibagikan ke saudara-saudara.”
Warga Gedung Agung, Jati Agung, ini mengaku tidak lagi memiliki apa-apa untuk menghasilkan uang. Sapi di pedatinya merupakan hasil gaduh alias milik orang. Ia hanya diserahi tanggung jawab untuk mengurusnya. ”Belum tahu mau bagaimana lagi,” ungkapnya saat ditanya rencananya ke depan.
Tino adalah satu dari sekitar 2.000 petani di Jati Agung yang sejak tiga tahun terakhir menempati lahan milik negara itu. Mereka mengklaim memanfaatkan kawasan tersebut atas seizin LIPI, bukan sengaja menyerobot lahan negara.
”Lahan kami ini sudah diikutkan dalam program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) pada 2007. Jadi, kami ini bukan penggarap liar,” tutur Koordinator Gabungan Petani Lampung Ali Akbar, yang menjadi perwakilan petani penggarap di kawasan ini.
Yang disesalkannya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP justru menuduh mereka adalah oknum-oknum petani. Padahal, mereka sekadar menuntut adanya solusi penggantian lahan untuk penghidupan ke depan.
Bukan menolak
Haryono, petani dari Purwotani, mengatakan, masyarakat setempat bukannya menolak pembangunan kota baru, melainkan hanya berharap adanya kebijaksanaan penggantian lahan untuk mencari nafkah. Haryono mengakui, dengan adanya kota baru, ke depan, pembangunan di desa mereka akan lebih maju.
Di bekas lahan garapan mereka nantinya akan dibangun kawasan perkotaan modern berbasis teknologi ramah lingkungan yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi Lampung. Bahkan, dikabarkan, investor dari Malaysia telah berancang turut mendanai pembangunan kota ini.
Yang tidak kalah penting, sebagai imbal balik, warga berharap keberadaan mereka lebih diakui. Warga dari enam desa di Register 40 selama ini mendamba bisa mendapatkan sertifikat atas tanah-tanah yang mereka kuasai selama ini.
Selama ini mereka masih dianggap ”menumpang” di tanah milik negara meski keberadaan desa warga itu sudah definitif. Di sini, meskipun statusnya masih hutan register, nyaris tidak ada lagi hutan. Kawasan sudah berubah menjadi permukiman warga beserta kebun-kebunnya.
Kondisi ini sekaligus juga mencerminkan karut-marutnya penataan kawasan hutan register di Lampung. Kawasan hutan, yang sejatinya digunakan untuk konservasi atau dimanfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan, kini dikepung untuk berbagai kepentingan.
Tidak heran, 65 persen dari total 1,05 juta hektar hutan register di Lampung kini dalam kondisi rusak. Hutan habis dibabat untuk kepentingan perorangan, perusahaan, dan pemerintahan. Hutan, secara tidak langsung, ikut berkorban untuk pembangunan.
Sumber: Kompas, Jumat, 3 Desember 2010
No comments:
Post a Comment