April 30, 2010

Isbedy Stiawan Perlu Jaga Kualitas Karya Sastranya

Palembang, 30/4 (ANTARA) - Sosok penyair sekaliber Isbedy Stiawan ZS sebagai sastrawan nasional asal Provinsi Lampung, seharusnya dapat terus menjaga kualitas karya sastra maupun esai yang dihasilkan, sehingga makin mendorong apresiasi publik yang baik atas karya tersebut.

"Seniman berkelas seperti Isbedy ini, seharusnya dapat menjaga kualitas karya ciptanya secara baik, jangan sampai menciptakan sebuah karya tergolong 'kacangan'," ujar Kepala Perum Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA Biro Sumatera Selatan Budisantoso Budiman, di Palembang, Jumat sore, saat menjadi pembahas pada bedah buku puisi Isbedy terbaru, Anjing Dini Hari.

Bedah buku itu merupakan kerja sama LKBN ANTARA Biro Sumsel dengan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS). "Buku kumpulan puisi Isbedy yang berisikan 83 puisi tersebut, merupakan sebuah karya yang patut dihargai," kata dia.

Menurut Budi, sosok Isbedy merupakan seorang yang memiliki kemampuan yang begitu besar dalam dunia puisi dan kepenyairan.

Ia menyatakan, begitu banyak puisi dan cerita pendek (cerpen) yang diciptakan oleh pria yang berdarah Bengkulu dan Cirebon tapi lahir di Bandarlampung (Lampung) tersebut, bahkan telah tersebar dimuat di berbagai media massa cetak nasional.

Karena itu, Isbedy diingatkan untuk tetap menjaga kualitas karya sastra dan esai yang dihasilkannya, jangan sampai terkontaminasi dengan kepentingan segelintir orang, apalagi sampai masuk dalam jebakan politik.

Budi mengibaratkan, hasil karya sastra yang kurang berkualitas dalam karya jurnalistik dapat dikatagorikan sebagai karya kelas "kalengan", yaitu karya sastra yang tercipta hanya atas pesanan dari orang tertentu yang berkepentingan atau pihak sponsor yang bersedia membiayai penerbitan karya sastra itu.

Sastrawan yang pernah dijuluki HB Jassin (alm) sebagai "Paus" Sastra Lampung itu, diingatkan pula untuk tetap konsisten berkarya dan menjaga ritme serta tidak melupakan proses regenerasi untuk dapat mendorong muncul dan tumbuh penyair dan sastrawan generasi selanjutnya sebagai penerus yang juga tak kalah berkualitas.

"Sudah seharusnya dengan jam terbang Isbedy sebagai penyair, dapat membawanya terus berkarya dan menjaga kualitas karya secara utuh, untuk dapat menumbuhkan apreasiasi yang tinggi dalam masyarakat," demikian Budisantoso.

Isbedy Stiawan sendiri mengaku merasa bangga telah membawa karyanya itu di hadapan warga Sumsel, terlebih dalam acara yang ditunggu-tunggu bagi penggemar puisi karyanya, dihadiri seorang seniman kawakan dan tokoh pers dan tokoh masyarakat di Sumsel, Ismail Jalili yang juga merupakan kakak iparnya.

Kendati dalam kondisi sakit--karena usia tuanya--sehingga harus berjalan menggunakan tongkat dan masih dipapah lagi, Ismail Jalili yang juga mantan Ketua PWI Sumsel itu, sempat menyampaikan pujian atas karya sastra yang telah banyak dihasilkan Isbedy yang juga pernah berprofesi sebagai PNS tapi mengundurkan diri, dan juga pernah menjadi wartawan/redaktur di Lampung itu.

Meskipun merasa bangga dengan diluncurkan dan dibedah karya puisinya dalam buku Anjing Dini Hari di Palembang itu, Isbedy menyayangkan kecenderungan kultur masyarakat Sumsel yang cenderung masih berkutat pada dongeng dan penikmat tayangan sinetron.

"Masyarakat seperti itu biasanya kurang memiliki minat membaca yang tinggi. Mereka hanya senang dan cukup dengan mendengarkan apa yang disampaikan kepadanya, tanpa harus membaca sendiri," ujar dia pula.

Menurut dia, perilaku seperti itu membuat regenerasi dalam bidang sastra dan seni menjadi terhambat untuk tumbuh dan berkembang.

Bisa Memotivasi

Ketua Umum Dewan Kesenian Sumsel Zulkhair Ali menyambut dengan apresiasi yang tinggi atas kegiatan bedah buku puisi Isbedy Stiawan ZS itu, antara lain bisa menjadi motivasi bagi penyair maupun seniman di daerah tersebut, terutama bagi generasi mudanya.

Dia menilai, seorang Isbedy dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pertumbuhan kepenyairan di tanah air ini.

Ia mengakui, sangat menikmati ketika bait-bait sajak puisi keluar dari mulut seorang Isbedy.

Menurut dia, Isbedy memiliki karakter begitu besar dan gigih, terlebih dengan puisi Anjing Dini Hari-nya itu.

Diharapkan, dengan bedah buku serta hadirnya sosok yang begitu besar mendedikasikan dirinya dalam dunia sastra, bisa menciptakan iklim baru di daerah tersebut.

Dia meyakini, bila iklim seni tidak terbentuk dengan baik, pertumbuhan seni itu sendiri hanya menjadi sebuah angan-angan bagi segelintir orang.

Bedah buku puisi Isbedy Stiawan ZS itu, merupakan rangkaian perjalanan sastra berkaitan peluncuran dan pembahasan buku puisi terbarunya itu, antara lain telah dijalankan dari Bandarlampung ke Kotabumi (Lampung Utara) dan menuju Palembang (Sumsel).

Semula direncanakan, Isbedy dengan Anjing Dini Hari-nya itu akan menyeberang ke Pulau Bangka dan Belitung (Babel) serta melanjutkan perjalanan sastranya ke Bengkulu, Jambi dan seterusnya.

Namun akibat beberapa kendala, menurut Isbedy, perjalanan sastra tersebut sementara masih tertunda.

Sumber: Antara, 30 April 2010

Ritual Budaya: Nadran, "Pesta" Kaum Nelayan Lamtim

Oleh Yulvianus Harjono

HARI beranjak siang, suasana di halaman Pusat Pendaratan Ikan Muara Gading Mas, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, Provinsi Lampung, Rabu (28/4), makin hiruk-pikuk. Anak-anak, para ibu, nelayan, dan warga lain larut dalam suasana pesta.

Hari itu warga di wilayah terujung timur Lampung ini menggelar pesta nadran. Pesta ini hanya dilakukan setahun sekali.

PPI yang biasanya hanya diramaikan kegiatan bongkar muat kapal nelayan dan hasil tangkapan, pagi itu tampak lebih meriah. Sebuah panggung berdiri lengkap dengan sistem suara. Umbul-umbul berwarna-warni, bahkan spanduk produk rokok dan layanan seluler, berkibar di banyak tempat.

Begitu pentingnya pesta, tidak seorang nelayan pun melaut. Mereka memilih ikut merayakan dengan menghiasi kapal-kapal dengan beragam hiasan, umbul-umbul, dan berbagai hasil bumi yang digantung dengan tali-tali di atas kapal layaknya warung terapung.

Tidak ketinggalan, anak-anak antusias meramaikan pesta dengan mengenakan pakaian adat. Termasuk pula Riana (10). Meskipun asli orang Jawa, ia mengenakan baju penghulu (pakaian adat Minang). ”He-he-he, soalnya dapat minjamnya itu. Yang penting bisa meramaikan saja,” tutur ibu Riana, Cati (30).

Meskipun hanya nelayan yang identik kaum termarjinal, dengan segala keterbatasan, mereka tidak ingin melewatkan ritus budaya yang lazim disebut nadran atau pesta laut itu.

Edi Susilo, Ketua Panitia Nadran XXVIII, mengungkapkan, pesta ini menelan dana Rp 152 juta. Sebagian besar dana berasal dari saweran nelayan.

Dalam rangkaian tasyukuran laut, fragmen terpenting adalah melarung (menabur) sesajen di tengah laut. Sesajen berisikan kepala kerbau (mahesa) dan beragam makanan hasil bumi, termasuk perlengkapan rumah tangga, lalu ditaruh di sebuah kapal replika dan diarak beramai-ramai ke tengah laut.

Aroma klenik memang demikian kental terlihat di dalam ritus budaya ini. Warga sempat berebut air yang disucikan. Air yang diambil dari berbagai muara di Lamtim dan kemudian didoakan ini konon diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit serta mendatangkan rezeki.

Warga pun berebut air ini. Biasanya, air ini disiram pula ke perahu untuk menolak bala. ”Ya, percaya enggak percaya. Setelah diadakannya ruat laut ini, tangkapan nelayan biasanya meningkat. Sudah jadi kepercayaan ini,” ungkap Turanda.

Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010

Isbedy Stiawan ZS Ajak Mahasiswa Jadi Penulis

PALEMBANG--MI: Sastrawan kondang asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS, mengajak para mahasiswa dan dosen atau guru untuk menekuni profesi sebagai penulis yang bisa menjadikan terkenal dan berkecukupan.

"Kalau dulu profesi penulis, apalagi seniman, dianggap bukan profesi dan tidak menjanjikan apa-apa," kata Isbedy, pada pelatihan tingkat nasional 'Efektivitas Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah dan Media Massa, di kampus Universitas Bina Darma (UBD), di Palembang, Kamis (29/4).

Menurut Isbedy, dia dan keluarganya sudah merasakan bahwa menjadi penulis, termasuk penulis seni dan budaya, kalau ditekuni dan masih ingin belajar, dapat pula memberikan nafkah bagi keluarga dari hasil produktif tulis menulis itu.

"Buktinya saya sendiri, dari hasil menulis dapat menghidupi beberapa anak dan keluarganya secara cukup," kata dia lagi.

Ia menegaskan bahwa orang bisa hidup dari menulis. Isbedy mengaku pernah beberapa tahun menjadi PNS di salah satu perusahaan di daerahnya. Namun ternyata, pekerjaan itu dianggap tidak pas, sehingga dia memilih mengundurkan diri serta bertekad harus dapat hidup dari hasil menulis walaupun saat itu menjadi penulis atau seniman dianggap tidak menjanjikan.

Isbedy juga menegaskan bahwa dalam diri setiap orang ada bakat dan kemampuan lebih sebagai talenta yang perlu diasah terus menerus. "Saya percaya bahwa bakat saja tidak cukup, perlu kerja keras dan ketekunan agar bisa menjadi penulis yang terkenal. Bakat itu hanya 10 persen berperan, selebihnya adalah kerja keras," kata dia lagi.

Isbedy yang oleh HB Jassin (almarhum) dijuluki Paus Sastra Lampung mengaku masih akan terus berkarya dan mencipta serta mendorong lahir penulis muda handal dan terkenal dari kampus kampus di UBD.

Pelatihan menulis itu, merupakan kerja sama Perum LKBN ANTARA Biro Sumatra Selatan dengan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma (UBD) Palembang. Selain Isbedy, hadir dan berbicara pula Dr Sunda Ariana (Wakil Rektor UBD) dan Dora Amalia (ahli bahasa), dengan diikuti ratusan peserta, mayoritas adalah mahasiswa dan dosen. (Ant/OL-03)

Sumber: Media Indonesia Online, Jumat, 30 April 2010

April 29, 2010

Tanggapan Politikus dan Sastrawan

Oleh Edy Apriyanto Sudiyono*

Semakin tinggi pohon, semakin besar angin menggoyang.

KEPRIHATINAN sekaligus kecurigaan Asarpin menulis Politikus dan Sastrawan sebagaimana dimuat Radar Lampung (Sabtu, 24/4) berdasar bincang atas buku kumpulan puisi Anjing Dini Hari karya Isbedy Stiawan Z.S. menarik sekali untuk ditanggapi.

Asarpin, yang saya ketahui adalah esais Lampung dan buku sastra berbahasa Lampung-nya mendapat anugerah Rancage. Tetapi, esai-esainya bukan menukik ke masalah sastra dan budaya itu sendiri. Melainkan hanya berada di permukaan dan menyoal permukaan. Hal ini pula saya amati dalam opini kali ini.

Dengan referensi cukup melimpah demi kementerengan tulisannya sekaligus untuk memperkuat percakapannya, Asarpin sampai pada kesimpulan, ’’Tapi apa betul memang Alzier Dianis Thabranie yang menulis itu atau ada penulis hantu?” Sebuah ’’kecurigaan” yang semestinya tidak keluar dari seorang Asarpin.

Apakah Asarpin juga akan mencurigai Susilo Bambang Yudhoyono saat bepridato: bahwa teks pidatonya adalah bikinan dia ataukah ada yang menulis? Begitu pula pejabat atau politikus lain saat memberi sambutan.

Hanya, saya meyakini pernyataan John F. Kennedy bahwa ketika politik bengkok maka puisi yang meluruskan ataupun pernyataan Seno Gumira Ajidarma (apabila pers dibungkam, sastra yang bicara. Bukan politik sebagaimana dikatakan Asarpin, EAS, yang dikutip ulang Alzier) sudah sangat populer sehingga seorang politikus semacam Alzier tentulah tahu. Atau Alzier juga, setidaknya punya ’’orang-orang dekat’’ yang memiliki pengetahuan sastra sudah cukup baik.

Terlepas kalau benar pengantar Alzier dalam buku kumpulan sajak Anjing Dini Hari dibuat oleh ’’orang-orang dekat’’-nya, namun pastilah atas persetujuan Alzier Dianis Thabranie. Bahkan, saya meyakini dia berperan memberi masukan dan mengedit pengantarnya.

Buku Anjing Dini Hari karya Isbedy Stiawan Z.S. diterbitkan Rumah Aspirasi Rakyat, pemiliknya Himawan Imron yang notabene kekerabatannya dengan politikus kontroversial di Lampung itu sangat dekat. Jadi wajar saja jika ia meminta Alzier memberi pengantar atas buku ini. Sama wajarnya tatkala penyair Riau H. Aries Habeba meminta pengantar pejabat negara untuk buku puisi Kotak Pos 5.000 dan buku perjalanan hajinya yang banyak mendapat sambutan banyak pejabat di Riau.

Atau, sastrawan yang mendapat pengantar, misalnya, dari Goenawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, Amin Rais, dan seterusnya. Apakah pengantar-pengantar dari para tokoh itu salah dan haram?

Oleh sebab itu, saya beranggapan hubungan ataupun kededakatan politikus dan sastrawan (seniman pada umumnya) adalah sah. Bahkan harmonisasi itu semestinya dibangun. Tentu dengan catatan, keduanya untuk kemaslahatan dan karena cinta terhadap kesenian.

Dalam tulisan ini bukan maksud saya ingin membela di antara keduanya: Asarpin dan Isbedy. Hanya kebetulan, saya dipercaya untuk mendesain sampul buku Anjing Dini Hari. Jadi sedikit-banyak saya pernah mengobrol dengan pimpinan penerbit buku Rumah Aspirasi Rakyat ataupun penyairnya.

Saya kira, Asarpin terlalu jauh saat mendekati hubungan politikus dan sastrawan dengan mengambil contoh dari salah satu tokoh dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer demi membenarkan opininya atas hubungan Alzier dengan Isbedy. Jika politik di zaman Lekra, politik sangat memengaruhi karya sastra. Bahkan hingga perlakuan pembakaran karya sastra dan senimannya diburu. Maka di era kini, sastra tetap independen dan bebas dari unsur politik. Betapa pun senimannya (sastrawannya) berhubungan dekat (harmonis) dengan politikus. Artinya, hubungan keduanya tak lebih sebagai hubungan kemanusiaan yang dipertemukan di dalam kesenian.

Sebagai pemerhati sastra, saya sebenarnya berharap besar pada Asarpin dapat membahas karya-karya puisi Isbedy Stiawan Z.S. dalam Anjing Dini Hari dan bukan hubungan sastrawan dengan politikus. Sebab, puisi-puisi Isbedy berdiri tunggal dan tidak satu pun karyanya dalam buku itu memiliki interaksi kuat dengan tokoh Alzier Dianis Thabranie sebagai politikus. Berbeda sekali dengan seniman-seniman Lekra saat berkuasa. Puisi-puisi Isbedy juga tidak berhubungan erat dengan Partai Golkar.

Dengan kata lain, Alzier Dianis Thabrani–Anjing Dini Hari hanyalah hubungan dengan penerbit, dalam hal ini Rumah Aspirasi Rakyat yang menerbitkan biografi Alzier. Sementara, Isbedy Stiawan Z.S., saya melihat hanya sebatas hubungan dua tokoh dari dunia yang berbeda.

Penerbitan buku yang mendapat sambutan seorang tokoh, bukan hal baru. Kalau saya tak salah ingat, tatkala puisi-puisi berbahasa Lampung Udo Z. Karzi kali pertama diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung juga mendapat pengantar dari Kadis dan Kasubdin Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Hal sama ketika kumpulan cerpen Hasanuddin Z. Arifin, kumpulan esai Oyos Saroso H.N., kumpulan puisi Isbedy Stiawan Z.S. yang diterbitkan Subdin Dinas Pendidikan bekerja sama Jung Foundation juga diberi pengantar kepala dinas, kasubdin, dan direktur Jung Foundation.

Lalu salahnya di mana jika seorang Isbedy Stiawan Z.S. dalam buku puisi Anjing Dini Hari mendapat kata pengantar Alzier? Apakah ketika Lekra sebagai lembaga underbow Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap menyalahi kesenian sekiranya pementasan ataupun penerbitkan buku pada saat itu mendapat sambutan dari pimpinan partai terlarang itu?

Opini Asarpin boleh jadi lahir dari ’’kenyinyiran” karena menganggap tabu bahwa seorang politikus sekelas Alzier memberikan kata pengantar bagi penerbitan buku. Kemudian dibarengi kecurigaan yang saya kira sangatlah berlebihan, seakan antara Alzier dan Isbedy ada permainan politik.

Tetapi hendaklah jangan setiap gerakan, karena seseorang itu politisi, lalu digeneralisasi sebagai perlakuan politik. Bagaimana sekiranya seseorang seniman yang tiba-tiba diberi pengantar gubernur, apakah ia patut diklaim bagian dari rezim pemerintah? Betapa banyak seniman di daerah ini, kalau selalu diklaim sebagai bagian dari yang memberi pengantar/sambutan, menjadi tidak netral?

Marilah kita melihat dari penerbitan buku puisi Anjing Dini Hari Isbedy Stiawan yang diberi pengantar Alzier Dianis Thabranie itu sebagai sinergitas Isbedy-Alzier. Seperti juga sinergitas Isbedy dengan pelukis tergolong mahal Dirot Kadirah yang menyumbangkan karya lukisnya untuk sampul buku kumpulan puisi ini.

Sudah saatnya seniman tidak berada dalam keeksklusifannya, tetapi harus berani terbuka dengan pihak-pihak mana pun. Seperti juga dilakukan para sastrawan semacam Hamsad Rangkuti yang pernah didanai Pertamina untuk menulis novel Klamono atau sejumlah seniman/sastrawan yang didanani sebuah lembaga atau perorangan untuk menetap di suatu kota atau tempat. Apakah salah? Apakah karena pula buku Anjing Dini Hari diberi pengantar oleh politikus Alzier berarti haram? Alangkah baiknya pikiran serupa ini mesti diuji ulang.

Akhirnya mengutip pribahasa di bagian awal tulisan ini, semakin tinggi seseorang memang semakin besar angin menggoyang. Isbedy adalah contoh. Salam.

* Edy Apriyanto Sudiyono, Alumni STBA Teknokrat Bandarlampung

Sumber: Radar Lampung, Kamis, 29 April 2010

Lampung Kurang Menarik Wisatawan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Provinsi Lampung hanya mampu menyerap sebagian kecil wisatawan nusantara (wisnu) dan wisatawan mancanegara (wisman) yang melakukan perjalanan wisata selama 2009.

Ketua Komite Pariwisata Lampung Idrus Djaendar Muda mengatakan apa yang dilakukan selama ini belum mampu menarik wisatawan untuk datang ke Lampung.

Sepanjang tahun lalu, secara nasional ada 125 juta penduduk yang berwisata. Uang yang beredar dari perjalan wisata itu mencapai Rp303 triliun, yaitu Rp123 triliun dari perjalanan wisnu dan Rp80 triliun dari wisman.

Sementara Lampung, kata Idrus, hanya mampu menyerap sekitar Rp900 juta dari total Rp303 triliun tersebut.

"Angkanya masih sangat kecil. Mungkin promosi kita kurang diterima wisatawan," kata Idrus saat hadir dalam ekspos persiapan Festival Krakatau di Ruang Rapat Gubernur, Selasa (27-4).

Menurut Idrus, yang harus dilakukan Pemprov Lampung saat ini adalah fokus dalam menyosialisasikan objek wisata di Lampung terutama kepada wisnu. Pasalnya, kata Idrus, jumlah kunjungan dan potensi uang yang dapat diterima Lampung dari kunjungan wisnu jauh lebih besar dibandingkan wisman.

"Memang tidak salah berupaya mendatangkan wisatawan dari seluruh belahan dunia. Tapi paling tidak untuk saat ini Lampung harus menjadi salah satu tujuan wisata wisnu saja dulu," ujarnya.

Idrus menjelaskan potensi uang yang dihasilkan dari wisnu memang lebih besar mengingat kebanyakan masyarakat Indonesia selalu berwisata lebih dari dua kali dalam satu tahun, misalnya saat libur semester sekolah anak-anaknya atau hari-hari libur nasional lainnya.

"Ini yang harus kita tangkap peluangnya. Jangan melulu mengutamakan kunjungan wisman. Kita harus membuat wisnu yang berkunjung ke Lampung merasa nyaman dan tertarik dengan objek-objek wisata di Lampung sehingga saat waktu libur kembali tiba mereka juga bisa kembali lagi ke Lampung," kata Idrus. (MG3/K-1)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 April 2010

April 28, 2010

Ribuan Nelayan Lampung Ikut Pesta Laut

SUKADANA, KOMPAS.com - Ribuan nelayan dan masyarakat lainnya di pesisir timur Lampung antusias mengikuti Nadran atau Pesta Laut 2010 yang puncaknya diadakan, Rabu (28/4/2010) di Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

Kemeriahan Pesta Laut ke-28 ini terlihat dari padatnya kunjungan. Halaman Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Muara Gading Mas, Labuhan Maringgai, penuh sesak dengan nelayan, warga dan pejabat yang menghadiri ritual tahunan itu.

Ritual ini diisi dengan penaburan sesaji ke tengah laut. Sesaji ini berupa kepala kerbau, makanan, dan alat-alat rumah tangga. Perahu pembawa sesaji dan kapal-kapal pengiring didesain meriah dengan ragam hiasan janur kuning, padi, dan umbul-umbul.

Rangkaian Pesta Laut sebetulnya dimulai sejak 22 April dan akan berlangsung hingga 1 Mei mendatang. Mata acaranya berupa sunatan massal, wayang semalam suntuk, panggung hiburan, dan doa istighosah bersama.

Menurut Edi Susilo, Ketua Panitia, kegiatan tahunan ini tidak ubahnya pesta rakyat, yaitu para nelayan. Ia pun berharap, kegiatan ini ke depan bisa dikembangkan menjadi salah satu agenda pariwisata, seperti halnya di Pulau Jawa.

Diakui Sukmana Adras, Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Lampung Timur, kegiatan sakral ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tidak seperti di Jawa yang mampu menyedot wisatawan mancanegara.

"Padahal, tradisi nadran di Lampung tidak jauh berbeda dengan daerah asal di Pulau Jawa. Acara ini memiliki makna sakral dan nilai-nilai moral," ujarnya.

Ia memberi contoh, unsur tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam ornamen dekorasi menyiratkan makna pelestarian.

"Artinya, nelayan tetap sadar akan pentingnya menjaga kelestarian. Jadi, jika ada nelayan yang suka menebangi mangrove, mengambil ikan dengan cara mengebom, berarti dia tidak memaknai acara ini," ungkapnya menjelaskan.

Gubernur Lampung Sjachroedin ZP di dalam sambutan tertulisnya mengingatkan para nelayan agar jangan merusak lingkungan. Jaring-jaring pukat harimau jangan digunakan, hindari pengeboman ikan yang bisa merusak terukmbu karang, dan mengajak nelayan untuk menanam mangrove.

Berkhasiat

Di acara ini, masyarakat yang hadir sempat terlihat berebutan mengambil air yang diyakini berkhasiat tinggi. Air di dalam bak besar ini telah didoakan terlebih dahulu dan dicelupi sebilah keris pusaka. Air ini jika disiramkan ke perahu diyakini bisa mendatangkan rezeki.

"Ya, percaya gak percaya. Setelah diadakannya ruat laut ini, mesti tangkapan nelayan meningkat. Sudah jadi kepercayaan ini," ungkap Turanda, salah seorang warga.

Diadakannya ritual Nadran ini pun bertepatan dengan mulai masuknya musim timur. Musim ini, di kalangan nelayan, dikenal sebagai musim sulit atau panceklik. Musim di mana laut tidak bersahabat dank era berombak tinggi ini biasanya berlangsung hingga Desember.

Sebagian nelayan di tempat ini pun telah berancang-ancang untuk tidak melaut hingga beberapa bulan ke depan. "Ya, terpaksa menganggur. Waktu ini biasanya saya gunakan untuk memperbaiki kapal dan jaring," tutur Kusnanto (30), nelayan setempat.

Garmadi (32), nelayan lainnya, memilih nekat melaut dengan lebih berhati-hati agar dapur keluarganya tetap dapat mengepul. (JON)

Sumber: Oase Kompas.com, Rabu, 28 April 2010

Festival Krakatau Monoton

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pergelaran Festival Krakatau yang digelar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung setiap tahunnya dinilai monoton. Tidak ada terobosan yang diambil Pemprov agar festival ini memiliki daya tarik baru yang dapat menarik lebih banyak lagi minat wisatawan nusantara (wisnu) dan wisatawan mancanegara (wisman).

Hal ini terungkap dalam ekspos rencana dan persiapan Festival Krakatau ke-20 di Ruang Rapat Gubernur, Selasa (27-4).

Ketua Komite Pariwisata Lampung, Idrus Djaendar Muda, mengatakan sejak festival tahunan ini digelar 20 tahun lalu, apa yang ditampilkan kepada peserta festival selalu sama.

Apa yang ia tangkap dalam persiapan Festival Krakatau ke-20 yang rencananya digelar 24--25 Juli nanti pun sama dengan pergelaran Festival Krakatau sejak tahun pertama.

"Setelah melihat rangkaian acara Festival Krakatau tahun ini seperti yang ditampilkan tadi rasanya sama saja dengan Festival Krakatau yang pertama kali. Tidak ada terobosan baru," kata pria yang akrab disapa Yuskas ini.

Menurut Idrus, Festival Krakatau ini awalnya digelar untuk mengenalkan kepada masyarakat Indonesia dan mancanegara kalau Gunung Anak Krakatau (GAK) itu milik Lampung. Festival ini hanya sebagai promosi dan publikasi bahwa anggapan yang berkembang selama 100 tahun tentang GAK yang dianggap milik Jawa Barat adalah tidak benar.

Sebab itu, kata Idrus, digelarlah festival yang mengajak serta wisnu dan wisman melihat langsung kondisi GAK dan dalam perjalanan menuju GAK disertai pula pertunjukan kesenian tradisional Lampung.

Rangkaian acara seperti ini, menurut Idrus, sudah dianggap monoton dan tidak layak lagi ditampilkan pada masa sekarang. "Kalau dulu kan masih sebatas publikasi GAK. Sekarang carilah terobosan lain agar jangan sekadar berkunjung. GAK kaya akan potensi alami. Hal ini harus dimanfaatkan misalnya dengan kegiatan memancing, diving di bawah kawah gunung berapi, jetski, hiking dan lainnya,� kata Idrus.

Hal ini, menurut dia, memungkinkan karena sekarang ada peraturan yang membolehkan wisata cagar alam dijadikan lokasi ekowisata. Kalau hal ini tidak bisa diimplementasikan pada festival tahun ini, semoga untuk tahun depan bisa jadi pertimbangan.

Perlu Perubahan

Usulan perubahan pelaksanaan Festival Krakatau ini juga disampaikan Staf Ahli Gubernur Ansyori Djausal.

Menurut Ansyori, sejatinya sebuah acara festival itu dinikmati seluruh kalangan masyarakat dan bukan hanya pejabat atau duta besar saja. Namun, yang terjadi saat ini, kata Ansyori, Festival Krakatau terlihat eksklusif dan tidak bisa diikuti seluruh masyarakat.

Selain itu, mengomentari tema Festival Krakatau tahun ini, yaitu Kemilau Sai Bumi Ruwa Jurai, Ansyori berharap ada suatu pertunjukan yang benar-benar menggambarkan kata kemilau itu sendiri.

"Pelaksana festival ini harus sudah merencanakan kemilau Lampung seperti apa yang ditampilkan pada acara puncak Festival Krakatau nanti," kata Ansyori. (MG3/K-1)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 April 2010

Selamatkan Hutan Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kerusakan hutan lindung di Lampung sangat parah. Pemerintah harus segera merehabilitasi dan mengembalikan fungsinya sebagai kawasan konservasi.


Demikian disampaikan pakar lingkungan Unila, Prof. K.E.S. Manik, menanggapi rusaknya hutan lindung akibat maraknya perambahan hutan di Lampung. "Masyarakat sebaiknya tidak mengusahakan tanaman budi daya di hutan lindung, kecuali tanaman keras. Pemerintah harus segera turun tangan," kata Manik, Senin (27-4).

Ia mempertanyakan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) karena cenderung hanya merusak fungsi hutan lindung sebagai kawasan konservasi. "Tidak perlu ada HKm karena hanya melegalkan masyarakat menggarap hutan."

Konsep dan ketentuan HKm sebenarnya cukup bagus. Akan tetapi, sulit dilaksanakan jika mengikuti ketentuan yang ada. "Mengawasi puluhan hektare saja sudah berat, apalagi sampai ratusan ribu," kata dia.

Perambahan hutan lindung di Lampung sudah berlangsung lama, tapi makin marak dalam satu dekade terakhir--sejak era reformasi bergulir. Hutan yang dijarah meliputi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan hutan register.

TNBBS yang terletak di Tanggamus, Lampung Barat, dan Bengkulu, mulai dirambah sejak 1961. Hutan yang sangat kaya akan plasma nutfah dan sumber cadangan air untuk irigasi itu terus digerus oleh aktivitas manusia. Diperkirakan kerusakan TNBBS mencapai 57 ribu hektare dari luas total 365 ribu hektare. "Rata-rata laju deforestasi mencapai 0,64 persen per tahun," kata Kepala Balai Besar TNBBS A. Kurnia Rauf.

Kerusakan parah juga terjadi di kawasan register di Tanggamus, seperti Register 30 (Sumberrejo dan Gisting), Register 32 (Airnaningan dan Pulau Panggung), dan Register 39 (Ulubelu, Pulau Panggung, dan Airnaningan).

Tanaman Budi Daya

Perambahan hutan lindung umumnya dilakukan untuk lahan budi daya kopi dam kakao. Meski belum ada angka riil, produksi kopi dan kakao dari kawasan hutan lindung diperkirakan sangat besar.

Kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga menilai HKm tidak memperhatikan fungsi konservasi. "HKm membuka hutan, kemudian ditanami tanaman budi daya. Sama saja seperti land clearing yang dilakukan perkebunan besar," kata Sekretaris Lembaga Analisis Kebijakan Publik Tanggamus, Panroyen.

Menurut dia, HKm justru mendorong masyarakat yang semula tak berani merambah hutan menjadi petani penggarap resmi. "Mereka berbondong-bondong membuka hutan walaupun belum memperoleh izin HKm," kata dia.

Kekhawatiran serupa diutarakan aktivis LSM Bentala, Syukri, yang sering berinteraksi dengan petani sekitar hutan lindung. Program HKm, kata dia, justru makin merusak hutan lindung. "Masyarakat menjadikan HKm sebagai alasan menggarap hutan. Kami khawatir izin HKm membuat mereka makin semena-mena menebangi hutan," kata Sukri.

Muzzani, juga dari LSM Bentala, menambahkan HKm kerap membawa ekses kurang baik, seperti korupsi dan nepotisme. Pada prakteknya, banyak aparat dan individu-individu yang mengorganisasikan masyarakat untuk memperoleh izin HKm.

Ia mencontohkan LSM yang meminta dana dari masyarakat guna membiayai perizinan HKm, tapi hingga kini izinnya tak kunjung diperoleh. "Dana yang mereka kumpulkan juga tidak jelas dikemanakan," ujar Muzzani. (UTI/MG2/U-1)


Data Perambahan TNBBS

-----------------------------------------------

Luas total : 365 ribu hektare

Luas perambahan : 57 ribu hektare

-------------------------------------------------

Sejarah Perambahan TNBBS

---------------------------------------

Tahun Lokasi

----------------------------------------

1961 Sidorejo, Kabupaten Kaur, Bengkulu

1966 Way Pemerihan, Lampung Barat

1970 Way Nipah, Pematangsawa, Tanggamus

1978 Rataagung, Lambar

1981 Bumi Hantatai, Lambar

----------------------------------------

Produksi Kopi Lampung

-----------------------------------------------------

Tahun Produksi (Ton) Ekspor (Ton)

-----------------------------------------------------

2006 300 ribu 230.635

2007 200 ribu 183.070

2008 ----- 303.000

2009 ----- 342.313

------------------------------------------------------


Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 April 2010

April 27, 2010

Tanjung Setia, Incaran Peselancar Dunia

KRUI--Bagi masyarakat Lampung, kawasan Tanjung Setia yang berjarak 60 km dari Liwa, ibu kota Lampung Barat, hanyalah pantai berombak tinggi. Namun, bagi peselancar (surfer) seantero jagat, Tanjung Setia dinobatkan sebagai pantai bergelombang terbaik ketiga dunia.

AKSI PESELANCAR. Seorang peselancar beraksi di tengah gelombang Tanjung Setia, Lampung Barat, Sabtu (24-4). Sejak sebulan terakhir, wisatawan mancanegara berdatangan ke tempat itu untuk menikmati gelombang setinggi tujuh meter yang akan datang pada musim angin selatan, Mei--Oktober. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Bagi peselancar, Tanjung Setia merupakan surga tersembunyi (the secret paradise).

Pamor itulah yang menyeret Edu, dari negara kecil Eropa, Bask, datang ke Tanjung Setia. "Wow! look at that waves! Isn't that great!" seru Edu sambil menyongsong ke deburan ombak bersama kawannya, Sabtu (24-4). Sejurus kemudian dia berdiri di atas papan selancar dan meliuk-liuk menyusuri gelombang panjang. Sesekali dia bergerak naik ke atas gelombang dan dengan cepat menukik.

Kawasan ini terkenal dengan ketinggian ombaknya dan menjadi salah satu pantai berombak tertinggi dunia yang jadi incaran peselancar mancanegara. Ketinggian ombak pantai yang berhadapan dengan Samudera Hindia ini, bisa mencapai tujuh meter dengan panjang gelombang 200 meter pada musim angin selatan (Mei--Oktober).

Tidak kurang dari 100 ribu wisatawan mancanegara seperti Spanyol, Amerika Serikat, Australia, Portugal, dan Belanda berkunjung ke sini setiap tahun. Edu yang lima kali datang ke Indonesia, mengaku baru puas berselancar di Tanjung Setia. "Pemandangannya bagus. Ada gunung yang bisa terlihat dari pantai. Bisa wisata ke hutan juga. Ombak dan gelombangnya panjang. Di sini masih sepi, jadi bisa puas surfing," kata Edu.

Umumnya, wisatawan yang ke Tanjung Setia, pernah berselancar di Bali. Namun, karena Bali terlalu ramai,

Tanjung Setia menjadi pilihan. Selain bergelombang tinggi dan panjang, lautnya alami, dan udara tidak tercemar. Deburan ombaknya lebih rendah dari Bali dan Nias, Sumatera Utara.

Tahrim, pemilik penginapan Ujung Tapokan Surf Camp, mengatakan Tanjung Setia bisa dikatakan seperti Pantai Kuta, Bali, 15--20 tahun lampau. Turis bule, kata Tahrim, suka suasana alami dan tenang. "Mereka ke sini benar-benar untuk liburan. Jadi, sebisa mungkin mereka tidak mau diganggu. Nah, Tanjung Setia ini tempat yang cocok bagi mereka," kata Tahrim.

Wisatawan bisa berbulan-bulan tinggal di sini. "Kemarin, ada tamu dari California, menginap di camp saya sampai dua bulan," kata dia.

Sayangnya, potensi kelas dunia tersebut kurang mendapat perhatian pemerintah daerah dan belum banyak dipromosikan. Menurut Tahrim, sebaiknya kawasan bibir pantai dirapikan. "Kalau bisa cottage yang ada di bibir pantai dipindahkan ke kiri jalan agar rapi," kata dia. (TRI PURNA JAYA/R-3)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 April 2010

April 24, 2010

Politikus dan Sastrawan

Oleh Asarpin*

SASTRAWAN dan politikus itu hanya profesi. Bisa juga disebut pekerjaan walau mungkin tak pernah ada sastrawan dan politikus yang menulis pekerjaan di KTP-nya sebagai sastrawan atau politikus. Sebagai profesi, keduanya bukan dua pekerjaan yang berlawanan. Itu seharusnya. Tapi dalam praktiknya tak jarang justru sering dipertentangkan.

KITA punya cacatan sejarah yang saling tolak antara sastrawan dan politikus. Ada sastrawan yang keberatan dengan politik sebagai panglima walau bahasa Indonesia yang digunakan para sastrawan untuk menulis puisi itu kenyataannya berasal dari kepanglimaan politik.

Puisi Indonesia mau tak mau bermula dari soal politik. Sudah sewajarnya jika para politikus mengklaim bahwa politik sebagai panglima. Masalahnya bukan itu, tapi apakah dengan semboyan politik sebagai panglima itu sastra tetap otonom, independen, dan tidak didikte oleh kemauan para politikus. Kalau ternyata politikus justru memusuhi sastra, maka wajar saja jika sastrawan menolak kepanglimaan politik itu.

Hubungan sastra dan politik berlangsung sudah sangat tua. Kadang harmonis, kadang gontok-gontokan, kadang damai dan kadang saling rebutan kapling. Kita teringat sastrawan besar Chili, Pablo Neruda, yang pacak dengan persoalan politik negerinya.

Pada suatu hari, penyair Neruda mengambil keputusan sederhana tentang bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis. Katanya, bahasa puisi itu tak usah muluk tapi lumrah saja. Orang bisa paham, itu yang penting. Berhubungan Neruda juga merasa terpanggil untuk menulis tentang masalah politik, maka ada satu buku kumpulan sajaknya yang sangat politis.

Neruda bersahabat baik dengan presiden Allende. Bahkan sang presiden memaklumkan hari besar nasional Chili jatuh pada saat Neruda menerima Hadiah Nobel di tahun 1971. Jarang ada penyair seakrab kedua insan itu. Mungkin karena keduanya penganut Marxis maka merasa sejalan. Si sastrawan tak merasa keberatan kalau politik dijadikan sebagai panglima. Apalagi kalau kenyataannya memang demikian.

Untuk mengambil contoh sebenarnya tak perlu jauh-jauh. Sutan Sjahrir bersahabat baik dengan Chairil Anwar. Keduanya bukan Marxis, walaupun pikiran-pikiran Sjahrir sangat dekat dengan Marxis. Mengapa keduanya bersahabat? Entahlah. Tapi mungkin karena keduanya merasa cocok. Itu saja. Atau karena Sjahrir merasa puisi Aku dan Semangat Chairil cocok dengan semangat pergerakan yang sedang mendidih, atau pas dengan jiwa romantisnya.

Kalau setelah Neruda masih banyak sastrawan yang terlibat persoalan politik di Chili, seperti Cortazar, Garcia Marquez dan Vergas Llosa, di Indonesia setelah Chairil semakin langka. Hubungan kedua profesional itu rusak. Entah siapa yang mulai main hujat dan main menyalahkan. Kata si politikus, sastra itu sebuah kemewahan, ber-indah-indah dengan kata saja, tak bermanfaat untuk perubahan. Kata si sastrawan, politik itu kotor, politikus itu korup, culas, dan tak patut dijadikan teman.

Wiratmo Soekito konon pernah coba-coba bergaul dengan politikus, tapi tak mendapat banyak perhatian. Rendra hanya bergabung dengan pengusaha ternama, bukan politikus. Dan sekarang tambah sulit mencari sastrawan yang mau berteman dengan politikus, apalagi jika politikus itu sedang menjabat sebagai menteri, presiden atau jaksa agung.

Tapi di Lampung ada penyair Isbedy Stiawan Z.S. yang berusaha “mengundang” politikus memperbincangkan puisi. Tapi kita tak boleh curiga bahwa Isbedy mengambil keputusan sederhana dengan mengorbankan puisi. Puisinya tetap ditulis dalam bahasanya, tidak disederhanakan dan tidak ada kesan agar para politikus mudah mencerna dan memahami sajak-sajaknya.

Kalau langkah Isbedy itu muncul dari keprihatinan makin jauhnya hubungan sastra dan politik serta makin renggangnya relasi pergaulan antara sastrawan dan politikus, padahal keduanya sama-sama menyuarakan kebenaran pedih, maka langkah ini mesti diapresiasi.

Isbedy mengharapkan jarak antara sastrawan dan politikus seharusnya diperpendek dan jangan lagi seperti kucing dengan anjing di pagi hari yang kelaparan, tapi seperti musik harmoni yang rukun dan tentram.

Buku kumpulan puisi terbarunya yang diberi judul Anjing Dini Hari (2010) diberi pengantar oleh politikus Golkar Lampung yang sangat kontroversial: Alzier Dianis Thabrani. Dalam pengantarnya tampak bahwa Alzier mengenal Isbedy dengat dekat. Si Alzier tampak berusaha mengulang slogan lama tentang politik dan sastra. Kalau politik dibungkam, demikian Alzier, sastra harus bicara. Tapi apa betul memang Alzier yang menulis itu atau ada penulis hantu?

Saya tak mau buruk sangka. Saya percaya masih ada politikus yang mengerti sastra dan mau ikut membincangkan persoalan sastra dengan tulus. Politikus itu kebanyakan orang terpelajar yang bisa saja mereka mengenal puisi karena memang mereka rajin membuka buku-buku puisi, atau minimal rajin mendengar penyair mendeklamasikan sajaknya.

Laku Isbedy mengundang politikus ikut mengantarkan buku puisinya ke khalayak pembaca seakan ingin membeberkan problem politik lewat penyamaran sedikit mungkin. Tak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk sekadar bergaul dengan politikus, tokoh partai atau pejabat negara. Berlaku jujurlah sudah sejak dalam hati, apalagi dalam perbuatan (sambil menirukan kata-kata salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer), karena sembunyi-sembunyi akan tetap tercium juga. Dan, rasa malu yang ditanggung akan lebih berat.

Problem pertemanan antara politikus dan sastrawan yang mungkin masih disamarkan dan dirahasiakan keberadaannya selama ini telah muncul secara terbuka dan tertulis dalam buku. Ingatan masyarakat sastra akan lebih lama. Bahwa suatu waktu di Lampung pernah ada penyair yang buku kumpulan puisinya diberi pengantar oleh mantan gubernur terpilih yang tidak dilantik oleh presiden.

Siapa tahu dengan mengawetkan ingatan itu, hubungan sastra dan politik benar-benar semakin lengket, akrab dan intim. Sebab, memang tak akan pernah ada lagi semuanya itu.

* Asarpin, Pembaca Sastra, tinggal di Bandarlampung.

Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 24 April 2010

Wisata: Pesona Biru di Teluk Lampung

MEMASUKI kompleks TNI AL-Teluk Ratai, Minggu (18/4) pagi, kami langsung disambut pemandangan hamparan laut berwarna biru dan sangat jernih. Hanya hamparan pasir putih bersih yang memisahkan jalan tempat kami melintas dengan laut ini.

Kawasan terumbu karang yang masih alami di dekat dermaga Pulau Pahawang Kecil, Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Minggu (18/4). Terumbu karang yang dilindungi di beberapa kawasan pulau menjadi salah satu daya tarik wisata di Teluk Lampung. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Namun, tidak lazimnya laut, tidak terlihat deru ombak. Tidak tercium pula bau amis ikan dan garam pantai seperti umumnya di pantai lepas. Air pun tampak tenang layaknya kristal, memantulkan sinar matahari yang malu-malu muncul dari balik bukit.

”Wow, indah sekali. Kok ada ya tempat seperti ini enggak jauh dari Bandar Lampung. Airnya itu bening banget,” ujar seorang kawan penuh semangat.

Teluk Ratai adalah salah satu kawasan wisata yang ada di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Pantai yang dapat dicapai dari Bandar Lampung dengan kendaraan kurang dari satu jam ini adalah bagian dari Teluk Lampung. Sebuah perairan tenang yang dikelilingi banyak pulau kecil.

Pantai yang bersih, gugusan pulau, dan kejernihan laut tanpa ombak adalah karakteristik daya tarik yang ada di Teluk Lampung. Menginjakkan kaki di pantai, tetapi tanpa mengunjungi pulau-pulau, kata orang, kurang afdal.

Karena itulah, kami memutuskan menyewa perahu seharian penuh. Setelah tidak sabar menunggu, sejam kemudian kapal yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba.

Kami segera bertolak dari Dermaga Ketapang menuju Pulau Pahawang, menggunakan kapal jukung. Sewa perahu ini seharian penuh berkisar Rp 250.000-Rp 300.000. Perahu ini sanggup menampung penumpang maksimal 15 orang. Untuk sekali menyeberang ke pulau, biasanya dikenai tarif Rp 15.000 per orang.

Di perjalanan menuju pulau, kami banyak mendapatkan pengalaman menarik. Belum sampai 15 menit, kapal yang kami tumpangi melintas di antara gerombolan ubur-ubur laut (Scyphozoa). Sepintas, dilihat dari permukaan laut, ubur-ubur ini terlihat seperti plastik-plastik yang melayang.

Jika dilihat lebih saksama, ubur-ubur ini bentuknya seperti gumpalan jeli, maka itu disebut pula jellyfish. Ubur-ubur ini memang biasa hidup di perairan hangat macam Teluk Lampung. Populasinya bisa meledak, mencapai ribuan ekor pada musim hangat seperti April ini.

Latihan marinir

Tidak lama berselang, mendekati Pulau Kelagian yang biasa dipakai marinir TNI AL untuk latihan, kami disambut segelintir ikan marlin (Tetrapturus) berukuran kecil yang meloncat di permukaan air. Ikan marlin atau ikan layar adalah satwa khas perairan tropis dan biasa hidup di laut lepas, tetapi tidak jarang pula masuk ke perairan tenang, seperti teluk.

Tidak terasa, perjalanan sudah sejam lebih. Kami pun akhirnya tiba di tempat dituju, Pulau Pahawang. Pulau ini memang tidak memiliki hamparan pasir putih yang memikat. Namun, daya tariknya adalah kawasan mangrove, terumbu karang, dan kearifan lokal pelestarian kawasan pesisir.

Pulau Pahawang kini juga tengah merintis eco-tourism yang pengembangannya bekerja sama LSM Mitra Bentala. Di sini sudah terdapat jalan paving block sepanjang lima kilometer yang mengelilingi sebagian pulau. Sudah terdapat pula tiga cottage yang bisa disewa.

Tidak jauh dari situ, kami kemudian bergerak menuju Pulau Pahawang kecil. Di sini, kita bisa menikmati terumbu karang yang relatif masih terlindungi. Terumbu karang ini bisa dilihat dengan mata telanjang karena hanya beberapa sentimeter dari permukaan air.

Biota-biota laut macam teripang, bintang laut, anemon, dan berbagai jenis ikan laut berwarna-warni berkeliaran bebas tanpa terusik tangan-tangan jahil manusia. Kurang dari setengah kilometer dari titik tersebut, Anda bisa pula menikmati hamparan pasir putih.

Ragam keindahan inilah yang akan menjanjikan wisata berkesan dari Teluk Lampung. Pesona biru yang elok dan memesona. (Yulvianus Harjono)

Sumber: Kompas, Sabtu, 24 April 2010

April 23, 2010

KSS Gelar Pameran Lukisan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Memperingati Hari Kartini, sembilan pelukis dari Kelompok Studi Seni (KSS) Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) mengadakan pameran lukisan, Rabu--Sabtu (21--24 April) di pelataran parkir FKIP Unila.

Sembilan pelukis tersebut yakni Goraz K. (Prodi Matematika �06), Maradona Z. (alumni KSS), Rahmad Saleh (Prodi Sejarah �07), Aris Hermawan (Prodi Bimbingan Konseling �06), Agus M. (Prodi Matematika �07), Anita Rahmawati (Prodi Sejarah �09), Retno (Prodi Sejarah �07), Harun (alumni KSS), dan Aldiar (alumni KSS).

Pameran lukisan dengan tema Habis Gelap Terbitlah Terang tersebut memamerkan 20 lukisan yang menggambarkan sosok maupun ide dan pemikiran Kartini.

Rahmad Saleh, salah seorang pelukis yang menampilkan lima buah karya lukisannya, mengatakan Kartini adalah sosok pergerakan perempuan. "Semangat Kartini dapat kita lihat dari surat-suratnya itu," ujar dia.

Semangat itulah, menurut Rahmad, yang ia coba tampilkan dalam lukisan-lukisannya. "Tidak hanya sosok fisik Kartini, tapi saya berusaha memvisualisasikan ide-ide beliau," kata dia mengenai lukisan simbol yang ia lukis.

Lukisan tersebut menampilkan semangat Kartini mengenai pendidikan, sebuah colokan listrik terjuntai di atas sebuah buku yang terbuka di dalam sebuah bidang berwarna biru dan bidang merah yang menjadi latar belakangnya. "Lukisan ini ingin menceritakan tentang perjuangan Kartini mengenai pendidikan bagi anak perempuan," kata Rahmad.

Lalu, ada lukisan dengan gambar semi karikatur karya Anita yang menggambarkan sebuah suasana pementasan wayang kulit. Dalang dalam lukisan tersebut digambarkan sebagai perempuan dengan konde yang akrab dipakai oleh perempuan-perempuan tradisional Jawa.

"Lukisan Anita ini ingin menggambarkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara. Perempuan pun bisa menjadi dalang wayang," kata Rahmad mengomentari.

Pimpinan Produksi Pameran Aris Hermawan mengatakan pameran lukisan tersebut diadakan untuk memperingati Hari Kartini yang jatuh pada Rabu (21-4). "Pameran ini diharapkan dapat memacu kemunculan Kartini-Kartini baru atau generasi muda yang kreatif," kata dia saat diwawancarai di sela-sela pameran tersebut. n (MG13/S-2)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 April 2010

April 20, 2010

3 Desa Ditetapkan sebagai Desa Wisata

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata menetapkan 2 desa di Way Kanan dan 1 di Lampung Utara sebagai Desa Wisata 2010.

Demikian dipaparkan Yabez L. Tosia, kepala Subdirektorat Sadar Wisata, pada penyuluhan Sadar Wisata dan Aksi Sapta Pesona Tahun 2010 di Bandar Lampung, Senin (19-4).

Ia mengatakan melalui program nasional pemberdayaan masyarakat bidang pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menetapkan Desa Gedungpatin di Kabupaten Way Kanan, Desa Pekuran Jukubatu di Kabupaten Lampung Utara, dan Air Terjun Puteri Malu di Kabupaten Way Kanan menjadi bagian dari Desa Wisata.

"Target pengembangan desa wisata tahun 2010 hingga 2014 sebanyak 2.000 desa wisata dengan perincian, tahun 2010, 200 desa; tahun 2011, 450 desa; tahun 2012, 550 desa; tahun 2013, 450 desa; dan tahun 2014, 350 desa. Per desa akan mendapatkan dana bantuan dengan kisaran Rp50juta--Rp90 juta rupiah," kata dia.

Dana tersebut, menurut dia, dapat dipergunakan untuk melakukan perbaikan fasilitas maupun peningkatan kapasitas pembangunan dan pemberdayaan sumber daya manusia dari desa tersebut. Desa binaan dapat berupa desa yang memang memiliki potensi daya tarik, desa di sekitaran resort pariwisata, ataupun desa yang telah berfungsi sebagai kunjungan wisata.

Definisi pariwisata kegiatan, perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu tertentu. Sementara pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.

Pemangku kepentingan masyarakat memiliki posisi dan peran penting dalam proses pengembangan masyarakat. Selain itu, memiliki hak dan kesempatan untuk turut mengambil bagian sebagai penerima manfaat/pelaku usaha kepariwisataan di daerahnya, seperti, pengusaha penginapan dan rumah makan. n (MG14/K-1)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 20 April 2010

April 18, 2010

[Pustaka] Barisan Pena Mahasiswa

Judul : Teknokra Jejak Langkah Pers Mahasiswa
Editor : Budisantoso Budiman dan Udo Z. Karzi
Penerbit : Teknokra, 2010
Tebal : xvii + 325 hlm

PERS mahasiswa banyak memberikan sumbangan dalam perjalanan bangsa ini. Termasuk sumbangsih mempersiapkan sumber daya manusia bagi dunia pers Indonesia.

Tapi, mencari buku tentang sejarah pers Indonesia, sungguh sulit. Karena tak banyak buku yang mengulasnya.

Dalam perpustakaan Indonesia, hanya ada beberapa buku tentang pers mahasiswa. Di antaraya adalah buku yang ditulis Amir Effendi Siregar mantan aktivis pers mahasiswa: Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh HilangI, terbit 1983.

Buku ini menjadi referensi wajib setiap aktivis pers mahasiswa di negeri ini. Sepertinya belum sah mengaku menjadi aktivis pers mahasiswa kalau belum membaca buku ini.

Buku lainnya, Politik dan Ideologi Mahasiswa, ditulis Francois Raillon. Buku yang diterbitkan LP3ES pada 1985 menyinggung pers mahasiswa, Mahasiswa INdonesia, dalam satu bab.

Masih ada dua buku lagi yang ditulis mantan aktivis pers mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM), Ana Nadya Abrar, pada 1992. Judulnya Pers Mahasiswa: Permasalahan dan Operasionalisasinya.

Serta buku berjudul Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK, pada 1998, yang ditulis Didik Supriyanto, mantan pemred Balairung.

Setelah itu nyaris tak ada lagi buku tentang pers mahasiswa yang terbit dan beredar luas di toko buku seluruh Indonesia. Setelah lama vakum, pada Maret 2010 terbit lagi sebuah buku pers mahasiswa. Judulnya Majalah Teknokra, Jejak Langkah Pers Mahasiswa.

Buku ini diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Teknokra, Universitas Lampung (Unila). Isinya merupakan bagian dari catatan perjalanan selama 33 tahun Teknokra.

Buku ini tidak hanya mengupas romantisme mahasiswa yang mengusung idealisme sebagai senjata utama aktivis mahasiswa. Dalam buku ini terungkap bagaimana masalah klasik yang dihadapi pers mahasiswa; masalah manajemen, termasuk masalah pendanaan, dan masalah kaderisasi. Buku ini mengajarkan bagaimana sebuah pers atau penerbitan mahasiswa tidak harus mati karena terjadi regenerasi di dalam tubuhnya.

maspril aries

Sumber: Republika, Minggu, 18 April 2010

[Perjalanan] Sensasi Alam nan Eksotik di Kiluan

JIKA Anda adalah penggemar wisata alam, salah satu referensi lokasi yang harus Anda kunjungi adalah Teluk Kiluan di Kelumbayan, Tanggamus.

Selain populasi lumba-lumba yang menjadi trade mark Kiluan, lokasi ini memiliki keindahan alam yang elok dengan gelombang pantai yang bersahabat. Belum lagi sensasi eksotik yang disajikan karena suara burung hutan dan siamang masih terdengar setiap sore.

Jernihnya air laut ditambah hamparan pasir putih membuat kita ingin berenang dan snorkeling melihat keindahan biota laut yang sebagian masih belum terjamah tangan-tangan jahil.

Terlebih lagi di Pulau Kiluan dengan luas 5 hektare, hamparan pasir putihnya yang lembut, seolah mengajak kita ingin berguling-guling di sana. Ya, setidaknya menguburkan kaki kita di buliran pasir yang halus. Konon, pasir dan air laut ini mampu menyembuhkan beragam penyakit, seperti, stroke dan pegal linu, karena kandungan mineralnya.

Namun, saat pasang di malam hari, biasanya banyak sekali serasah (tempurung kepala, kayu, bambu, dan dedaunan) yang dibawa gelombang ke pinggir pantai. Pantai akan terlihat agar kotor. Namun, begitu pagi hari dan air laut surut, pantai pasir putih kembali bersih bak ada yang menyapunya.

Anda juga bisa mengelilingi Pulau Kiluan ini hanya dalam waktu satu jam saja, sambil menikmati sensasi pulau yang indah.

Memang, perjalanan menuju ke Kelumbayan tidaklah semulus jika kita berlibur ke Bali atau Bunaken. Sebab, selain harus melintasi jalan yang rusak, berlubang dan berkubang, juga harus melalui jalan tanah yang curam, menanjak, menurun, dan menikung dengan elevasi bisa 30 derajat. Wuih....ini membuat adrenalin kita terpacu.

Namun, perjalanan yang mencapi 3--4 jam dari Bandar Lampung itu bakal terbalaskan dengan suguhan eksotik alam yang ada.

Tak hanya lumba-lumba yang bisa dilihat di sini. Anda juga bisa memancing aneka ikan dan kepiting yang tergolong masih banyak. Jadi, saat ke Kiluan, lengkapi liburan Anda dengan peralatan pancing berikut umpannya.

Kalaupun Anda tak suka atau tak ingin memancing, Anda bisa keliling pulau dengan perahu katir sambil menikmati pemandangan yang indah. Sore hari, Anda bisa melihat primata berbulu hitam dan bersuara nyaring saling bersahutan. Ya, siamang kerap sekali terlihat meloncat dari satu pohon ke pohon lain. Pun kicauan burung terdengar hampir di setiap pagi dan sore yang mampu menyejukkan pikiran.

***

Belum lagi jika Anda ke Kiluan pada saat punama. Wah...keindahan sang purnama bakal menyembulkan rasa takjub dan romantisme kepada Sang Maha Pencipta.

Bagaimana tidak. Cahaya bulan jatuh di atas permukaan air laut hingga membuat terang benderang. Keindahan alam ini bakal menjadi kenangan yang tak mudah dilupakan begitu saja.

Anda juga tak perlu khawatir soal transpotasi maupun akomodasi menuju ke Kiluan. Sebab, transpotasi darat bisa menggunakan kendaraan roda empat sampai ke Desa Kiluan Negeri di Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus.

Akses ke pulau pun tersedia perahu katir, dengan tarif yang berdamai dengan kantong kita. Untuk menyeberang saja hanya dikenakan tarif Rp5.000--Rp10 ribu/orang. Sedangkan kalau sewa untuk tur harian dan tur lumba-lumba, tarifnya mulai dari Rp150 ribu sampai Rp250 ribu/hari/kapal.

Penginapan pun tersedia. Di Pulau Kiluan yang dikelola Pak Abdullah, tarif kamar penginapan berkisar Rp150 ribu/kamar/hari. Di rumah panggung ini tersedia delapan kamar yang lumayan respresentatif, dengan kasur busa dan lemari.

Soal makanan, Anda juga bisa mengordernya kepada pengelola, termasuk jika Anda ingin membakar ikan, baik hasil tangkapan maupun Anda membelinya dari nelayan. Nikmat bukan.

Penulis juga menyarankan, bagi Anda yang ingin berelaksasi dengan alam di Kiluan, sebaiknya bermukim dua atau tiga hari di lokasi yang eksotik ini. SAG/SWA/MG7/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 April 2010

April 15, 2010

'Sang Pejuang Topi Sarjana', Oase buta Sineas Lampung

BANDAR LAMPUNG--Rumah Seni Production, sebuah komunitas pecinta film di Lampung, memproduksi film panjang pertama di Lampung bertajuk Sang Pejuang Topi Sarjana.

Kehadiran film garapan sutradara Ulunk M. Rusdi dan diproduseri Dede S. Wijaya ini memberi oase dalam dunia sinematografi Lampung yang sudah lama tak ada gaungnya.

Film apik buah karya putra Sai Bumi Ruwa Jurai ini mengusung cerita tentang perjuangan seorang anak manusia dalam menggapai cita-citanya untuk meraih gelar sarjana. Mengusung pemain Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa plus artis lokal Anton Rafemi (mahasiswa STKIP PGRI), Eno Ong, dan Dilla Raya Maesa. Dalam film ini Wendy Melfa berperan sebagai pengusaha sukses dan dermawan.

Diawali adegan seorang pemuda menaiki tangga spiral dengan lunglai. Kedua tangannya menenteng kardus-kardus berukuran sedang. Jaket almamater berwarna biru muda dan terlihat lusuh yang ia kenakan agak basah oleh keringat.

Ia tampak kepayahan. Ditambah, sebuah tas gunung warna kuning yang ia sandang, seolah menambah kesulitannya menapaki anak tangga demi anak tangga tersebut. Sementara itu, beberapa pemuda tampak menahan tawa melihat adegan itu.

Inilah adegan dalam film Sang Pejuang Topi Sarjana yang diputar pertama kali di Gedung Pascasarjana MM Universitas Bandar Lampung (UBL), Rabu (14-5). Peluncurannya dihadiri Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno, Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa, Wakil Pemimpin Redaksi Lampung Post Hery Wardoyo, juga para seniman Lampung seperti Isbedy Stiawan dan Syaiful Irba Tanpaka.

Dalam film berdurasi 1 jam 20 menit tersebut, penonton diajak untuk melihat realitas yang masih terjadi di kehidupan nyata. Dikotomi antara si kaya dan si miskin yang akan dengan mudah terlihat dalam kehidupan di kota metropolitan.

Film hasil produksi Rumah Seni Production tersebut berkisah tentang perjuangan pemuda desa (Anwar, dimainkan oleh Anton Rafemy) yang dengan semangat dan tekad yang kuat untuk mempersembahkan gelar kesarjanaan demi cita-citanya, membahagiakan orang tua.

Berbagai rintangan ditemui oleh Anwar bahkan setelah ia akhirnya dapat masuk ke perguruan tinggi. Mulai dari kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan sampai ke permasalahan klise, cinta. Namun, akhirnya Anwar dapat menggapai cita-citanya. Meraih gelar sarjana.

"Film ini ingin memberi motivasi. Bahwa siapa pun, mau bagaimanpun kondisi kita, pasti mampu kalau kita bisa dan bersungguh-sungguh, meski banyak aral dan rintangan yang mengadang," kata sang sutradara, Ulunk M. Rusdi, saat ditemui usai pemutaran perdana film tersebut.

Menurut Ulunk, ide awal film tersebut adalah untuk mengakomodasi keinginan para pembuat film di Lampung untuk membuat sebuah film yang berdurasi panjang. "Ini adalah film profesional. Dalam artian film yang memiliki standar durasi film layar lebar, namun diproduksi dengan semangat indie," kata dia.

Sementara itu, Dede S. Wijaya, produser film tersebut, mengatakan film ini sebagai representasi dari realitas yang terjadi di sekitar kita. "Ini adalah pesan yang ingin disampaikan. Bahwa faktor pendidikan adalah hal yang terpenting untuk dipikirkan," ujar Dede. (TRI PURNA JAYA/L-2)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 16 April 2010

Tanaman Damar Terancam Punah

LIWA (Lampost): Keberadaan tanaman damar di pesisir Kabupaten Lampung Barat terancam punah sehubungan penebangan pohon yang terus berlangsung. Hal ini akibat rendahnya harga damar di pasaran.

Saat ini harga damar kualitas asalan mencapai Rp6.000/kg, damar AC Rp8.500/kg, kualitas AB Rp10.500/kg, dan kualitas ekspor ABC Rp13 ribu/kg.

Salah seorang warga Pekon (Desa) Kuripan, Kecamatan Pesisir Utara, Kabupaten Lampung Barat, Karwito (44), Rabu (14-4), mengatakan luas tanaman damar di daerah itu dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun.

"Setiap hari pohon damar ditebang oleh pemiliknya, ini dipicu rendahnya harga getah damar di pasaran. Bila ini dibiarkan terus maka keberadan pohon damar akan punah," kata dia.

Karwito mengemukakan Pemkab harus segera mengambil tindakan supaya keberadaan pohon damar terjaga. "Pemkab Lampung Barat harus segera mengambil tindakan, setidaknya memberikan pengertian kepada masyarakat supaya tidak menebang pohon tersebut saat harga damar anjlok," ujarnya.

Menurut dia, wajar masyarakat kesal dengan menebang pohon damarnya karena harga komoditas itu yang cenderung turun. "Petani damar kesal akibat harga sudah setahun tidak menunjukkan peningkatan, bahkan semakin hari harga getah damar ajlok."

Sementara petani damar di Kecamatan Karyapenggawa, Lampung Barat, Roni Saludin (36), mengatakan tidak lagi mengusahakan getah damar karena harganya yang cenderung turun. "Saya lebih baik menanam komoditas perkebunan lain karena getah damar yang diandalkan tidak membuahkan hasil. Pohon damar saya tebang karena kayunya bisa dijual untuk bertanam tamanan lain," kata Roni.

Campuran Cat dan Pernis


Damar merupakan salah satu komoditas andalan masyarakat di daerah pesisir Kabupaten Lampung Barat. Saat harga damar jatuh, petani menebang pohonnya untuk dijadikan papan. Usia pohon damar di pesisir banyak yang mencapai ratusan tahun, dan mutu damar Lampung Barat juga sangat baik.

Getah damar yang berasal dari Lampung Barat dikirimkan ke sejumlah negara, di antaranya Singapura, Belanda, dan Inggris. Getar damar itu juga dipasok ke sejumlah pabrik di Jawa untuk campuran cat dan pernis.

Luas hutan damar rakyat mencapai 10.298 ha, terdiri dari 3.462 ha di Kecamatan Pesisir Tengah, dan 6.836 ha di Kecamatan Pesisir Selatan. Produksi damar Lampung Barat per tahun mencapai 6.350 ton.

Sebelumnya, Ketua Persatuan Masyarakat Repong Damar (PMRD) Pesisir Krui, Kholiswan, mengatakan bila tidak ada tindakan tegas dari Pemkab setempat, bukan hal yang mustahil damar di pesisir Krui akan punah.

Bahkan, sangat mungkin pohon damar akan punah dalam waktu 10--15 tahun yang akan datang. Sehingga, kata Kholiswan, diperlukan adanya perda khusus tentang repong damar. Penebangan damar juga mengancam konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang ada di Lampung Barat. (E-1)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 15 April 2010

April 12, 2010

Isbedy Bawa 'Anjing Dini Hari' ke Palembang

Bandarlampung, 12/4 (ANTARA) - Penyair Isbedy Stiawan ZS segera mendiskusikan kumpulan puisi "Anjing Dini Hari" di Kampus STKIP Muhammadiyah, Kotabumi, Lampung Utara, hingga ke Palembang, Sumatra Selatan.

"Saya mulai 'roadshow' di Kotabumi tanggal 20 April. Kemudian di Universitas Bina Darma Palembang tanggal 29 April, dan termasuk di salah satu hotel di Palembang yang digagas Dewan Kesenian Sumatra Selatan," ujarnya, di Bandarlampung, Senin (12-4).

Kegiatan di Palembang, jelas Isbedy, difasilitasi oleh Kepala Biro Perum LKBN ANTARA Sumatra Selatan, Budisantoso Budiman yang bekerja sama dengan pihak kampus, dan penyair Anwar Putra Bayu yang menjabat sekjen Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS).

"Diperkirakan di DKSS akan dilaksanakan di sebuah hotel. Undangan diwajibkan membeli buku puisi saya. Selain diskusi, saya akan membacakan sejumlah puisi dari buku saya ini," paparnya.

Selain di Sumatra Selatan, penyair ini juga akan mensoslisasikan buku puisi "Anjing Dini Hari" di Bangka Belitung. Dia sudah menghubungi Ira Imerelda, cerpenis dan guru bahasa serta sastra di SMA Sungailiat Babel.

"Ira sudah 'oke', bahkan tempat dan penginapan buatku tak ada masalah. Cuma belum tahu apakah kehadiran saya akan digelar di Sungailiat ataukah di Pangkalpinang, tapi itu tak masalah," ucap Isbedy.

Ia menjelaskan, saat ini juga tengah menjajaki kemungkinan membawa "Anjing Dini Hari" ke Bengkulu.

Begawei 1


Sementara itu, kegiatan bedah buku dan pembacaan puisi Isbedy Stiawan ZS di STKIP Muhammadiyah Kotabumi sekaitan dengan rangkaian Begawei 1.

Begawei 1, menurut Ketua STKIPM Kotabumi Irawan Suprapto, M.Pd, berlangsung dari 19 hingga 24 April 2010. Kegiatannya akan diisi berbagai perlombaan antara lain, membaca puisi, tulis puisi, olimpiade matematika, debat bahasa Inggris, mading, kaligrafi, gitar klasik Lampung, karya tulis ilmiah, futsal, lomba cepat tepat, dan bedah buku puisi "Anjing Dini Hari" dengan pembahas Djuhardi Basri.

"Kegiatan ini memang baru pertama kami adakan, insyaAllah akan kami jadwalkan tiap tahunnya. Hal ini untuk menumbuhkembangkan bakat para remaja dan siswa SMA, terutama terhadap senibudaya, agama, dan ilmu pengetahuan lainnya," papar Irawan.

Sementara itu, Djuhardi Basri--penyair dan dosen di kampus setempat, mengakui kehadiran Isbedy Stiawan ke kampus tersebut untuk kedua kalinya setelah puluhan tahun lalu.

"Sebagai penyair nasional yang dimiliki Lampung, sepantasnya civitas kampus dan guru Bahasa dan Sastra SMA se-Lampung Utara lebih dekat mengenal Isbedy dan karya-karya puisinya. Karena itu, inilah saatnya kita saling berbagi ilmu dan pengalaman," katanya.

Sumber: Antara, 12 April 2010

Profil: Rapanie, Pakar Aksara Kaganga dari Sumsel

KELESTARIAN aksara kaganga yang merupakan aksara khas dari kawasan Sumatera bagian selatan, khususnya di Sumsel, semakin terancam. Namun, aksara tersebut belum menarik banyak orang untuk mempelajarinya.

Rapanie Igama (WAD)

Satu-satunya pakar bahasa kaganga di Sumsel yang mampu membaca, mengartikan, dan memahami filologi (ilmu tentang naskah kuno) adalah Rapanie Igama (46), pamong budaya ahli pada Museum Negeri Sumsel.

Kepada Kompas yang menemui Rapanie di Museum Tekstil Sumsel, Minggu (11/4), Rapanie mengatakan, awal ketertarikannya terhadap aksara kaganga karena di Museum Negeri Sumsel tempatnya bekerja terdapat beberapa naskah dengan aksara kaganga. Namun, Rapanie tidak dapat membaca, apalagi mengartikannya.

Merasa tertantang, Rapanie menemui pakar aksara kaganga dari Universitas Bengkulu, Sarwit Sarwono, pada tahun 1996. Rapanie meminjam buku-buku tentang aksara kaganga milik Sarwit kemudian mempelajarinya.

Setelah mempelajari selama empat tahun, Rapanie baru bisa memahami seluk beluk aksara kaganga, termasuk filologi yang terkait aksara kaganga.

Menurut Rapanie, Museum Negeri Sumsel memiliki empat naskah dengan aksara kaganga. Dua naskah berupa kakhas (semacam kitab terbuat dari kulit kayu), satu naskah berupa gelumpai (berbentuk buluh dari bambu), dan satu naskah berupa gelondongan dari bambu. Adapun di Museum Nasional, Jakarta, tersimpan 74 naskah dengan aksara kaganga.

”Saya pernah meneliti naskah aksara kaganga milik warga di Bumiayu dan Pagar Alam. Saya sempat mendokumentasikannya. Sayangnya, naskah-naskah itu dikeramatkan pemiliknya sehingga justru tidak tersimpan dengan baik,” ujar ayah dari Prima Ahmadi dan Suryaninda itu.

Pria yang lahir di Palembang, 23 Maret 1964, itu mengatakan masih sangat banyak naskah dengan aksara kaganga yang tersimpan di rumah-rumah. Sebagian besar pemilik naskah mendapatkan naskah tersebut secara turun-temurun.

Naskah yang pernah dibaca Rapanie berisi tentang ajaran agama Islam dan kisah mengenai Nabi Muhammad. Naskah tersebut diperkirakan berasal dari abad XVII Masehi.

”Di Bandung, ada orang asal Sumsel yang menyimpan banyak naskah aksara kaganga. Saya mau ke sana untuk mendokumentasikan, tetapi anggarannya tidak tersedia. Tidak mungkin saya pakai uang sendiri pergi ke sana,” ungkapnya.

Menurut alumnus Fakultas Sastra Indonesia UGM itu, telantarnya naskah dengan aksara kaganga disayangkan karena aksara kaganga merupakan bukti tingginya kebudayaan masyarakat Sumsel. Sebab, tidak semua suku di Indonesia memiliki sistem aksara.

Rapanie mengungkapkan, kurangnya dukungan dari pemerintah daerah untuk melestarikan naskah aksara kaganga juga sangat disayangkan. Pemerintah daerah seharusnya memiliki inisiatif untuk mendokumentasikan dan meneliti naskah aksara kaganga yang tersebar di mana-mana. (WAD)

Sumber: Kompas, Senin, 12 April 2010

April 11, 2010

[Perjalanan] Asyiknya Bercengkerama dengan Lumba-Lumba

MENYAKSIKAN ikan lumba-lumba di gelanggang atau sirkus memberikan kesenangan tersendiri. Terlebih melihat satwa air yang jinak itu menunjukkan kebolehannya bersama sang pelatih atau pawang.


Namun, saat melihat lumba-lumba bermain di laut lepas sambil mengiringi kapal yang kita tumpangi, chemistry-nya menjadi berbeda. Bukan senang, tapi sangat-sangat senang, bahkan membuat takjub.

Bagaimana tidak, kita bisa bercengkerama langsung dengan si dolphin yang ramah ini.

***

Kamis (1-4), sekitar pukul 09.00, tim perjalanan Lampung Post didampingi Fadliansyah (Yeye) dari Cikal (Cinta kepada Alam), salah satu LSM mengurusi ekowisata di Teluk Kiluan, memulai perjalanan ke Kiluan, Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus, dengan kendaraan minibus.





Kami memilih jalan darat karena sudah mampu dilalui dengan kendaraan roda empat. Sebelumnya, kendaraan roda empat hanya sampai di Pasar Bawang saja dan harus melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor sampai di Desa Kiluan Negeri.

Perjalanan kami menuju lokasi memakan waktu sekitar empat jam, termasuk istirahat makan siang. Padahal jarak tempuh hanya sekitar 80-an km saja.

Hal ini disebabkan jalan yang mulai tak bersahabat, berlubang hingga berkubang, selepas dari pangkalan TNI AL di Piabung, Padangcermin, Pesawaran.

Rata-rata kecepatan sekitar 40 km/jam, bahkan di bawah itu. Belum lagi medan yang terjal, menukik dan menurun hingga 30 derajat, yang si sisi kiri dan kanan terdapat jurang yang menganga. Beruntung siang itu cuaca cerah menyengat, padahal semalam baru saja hujan mengguyur bumi Lampung secara merata.

Ya, selepas dari Desa Bawang, jalan tak lagi beraspal, tetapi tanah yang baru saja diperbaiki. Kami melihat ada alat berat yang tengah memperbaiki jalan yang longsor. Rasanya adrenalin langsung berpacu. Di sinilah nikmatnya perjalanan menuju Kiluan yang mulai tersohor hingga ke mancanegara.

Dirhamsyah, koordinator Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas), ikut dalam rombongan kami. Namun, ia menggunakan kendaraan roda dua yang ternyata lebih lincah dan lebih cepat menuju ke lokasi sasaran.

Sekitar pukul 13.00, kami tiba di Kiluan Negeri. Pemandangan indah terlihat di sini, di mana masjid dan pura (tempat ibadah agama Hindu) saling berdampingan satu sama lain. Ah, kerukunan beragama yang terjaga di desa ini rupanya.

Kendaraan kami parkir di salah satu rumah Kadek, kepala dusun setmpat. Kami menuju perahu yang akan menyeberangkan ke Pulau Kiluan. Sebelumnya mampir di sebuah toko serbalengkap, untuk membeli aneka kebutuhan makanan serta peralatan mancing. Maklum, selain melihat lumba-lumba, kami pun ingin memancing di Teluk Kiluan ini.

Perahu Sudarno ternyata telah menunggu. Wow! perahu katir dan lumayan kecil. Namun, perahu tersebut mampu membawa kami ber-10 orang, termasuk nakhoda menuju ke Pulau Kiluan yang berjarak sekitar 1 km saja dari daratan. Deg-geg plas juga sih, soalnya kelebihan muatan nih.

Wow! pekik itu kembali terucap begitu melihat air di sekitar Teluk Kiluan yang berwarna biru jernih hingga biru pekat yang kami lintasi. Apalagi saat perahu kami mendarat di pantai berpasir putih bak mutiara.

Ah, pupus sudah rasa penat dan deg-deg plas perjalanan kami tadi. Apalagi saat kaki tenjang ini menginjakkan kaki di pasir yang lembut.

"Cakepnya," kata Pipi, salah satu dari rombongan kami berucap. Saya langsung menyetujuinya. "Indah sekali dan alami."

Kami langsung membawa berbagai perbekalan ke pondokan, rumah panggung yang dikelola Pak Abdullah dan Ibu Rohana. Rumah adem yang nyaman. Ada 8 kamar yang bisa disewakan kepada pengunjung. Kami mengambil beberapa kamar.

Kami rehat sebentar sambil minum kopi dan mempersiapkan pancing, serta ngobrol dengan pengelola pondokan yang telah 16 tahun mendiami Pulau Kiluan tersebut. Ramah dan bersahabat. Di pulau itu hanya tinggal mereka berdua bersama Sudarno, sang nakhoda bersuara serak-serak basah itu. Setiap akhir pekan, pasti banyak tamu yang datang ke pondokan mereka.

Pukul 14.30, matahari masih terik. Kami mulai mendorong perahu sambil membawa perlengkapan. Saatnya memancing!

Lokasi memancing tak jauh-jauh dari pulau, kami berdelapan mulai berdesakan di atas kapal mengambil PW (posisi wuenak, red). Tak ada pelampung!

Setelah menemukan lokasi, pancing mulai diturunkan. Ternyata Pipi yang pertama mendapatkan ikan kerapu merah. Tidak besar, tapi cukup memacu kami untuk terus menggerakkan mata pancing. Ah, peruntungan saya belum di hari itu, umpan di pancing cuma ditotol-totol saja.

Kami memancing hingga matahari terbenam, dan menyaksikan keindahan sunset yang jatuh di ufuk barat. Wah...cantiknya...jarang-jarang melihat sunset jatuh di kaki laut.

***

Malamnya kami mulai membakar hasil tangkapan ikan. Ada ikan kerapu merah, kambingan, jelendok, raja ganteng, dan lain-lain...

Kami membuat api punggun di pinggir pantai, di bawah cahaya bulan purnama. Duhai, indah nian cahaya bulan ini. Di pasir yang putih dan halus itu, saya terpekur menatap sang rembulan yang luar biasa lembutnya. Wow! Romantis.

Tak lama kami pun menyatap ikan bakar hasil olahan tangan Meza, Erlian, dan Yeya. Hmmm...nyumi, cocolan sambal botol menambah cita rasa ikan yang manis. Memang, ikan yang baru saja ditangkap dari laut tersebut akan terasa manis karena masih segar, ketimbang ikan yang dijual di pasar atau pelelangan.

Tiba-tiba awan hitam menggumpal dan hujan pun turun. Kami beranjak dari pinggir pantai dan naik ke rumah panggung dan menikmati hiburan televisi sambil minum kopi hingga pukul 02.00 dini hari.

***

Pukul 05.40. Langit di luar mulai terang dan cuaca seperti cerah. Saya tergopoh-gopoh bangun untuk salat subuh, setelah dibangunkan Pipi. Maklum, alarm tidak dihidupkan karena di pulau tersebut jaringan telekomunikasi cukup payah, hanya pesawat briker yang mampu menembusnya.

Teman-teman lain ikut terbangun dan bergegas siap-siap melihat lumba-lumba serta mancing.

Kami menggunakan dua perahu katir yang masing-masing berisi empat orang, Yeye yang kerap bercengkerama dengan lumba-lumba, memilih untuk tinggal di pulau. "Mudah-mudahan masih bisa bertemu dengan kumpulan lumba-lumba," ujarnya.

Kami menuju ke Pulau Tabuhan yang ditempuh sekitar 30 menit dari Pulau Kiluan. Lumayan juga ombaknya saat menuju ke laut sekitar Tabuhan. Warnanya biru pekat yang menandakan laut cukup dalam.

Matahari pagi mulai terasa membakar punggung kami. "Ah, ini vitamin D," pekik saya yang jarang-jarang bisa menikmati matahari pagi.

Tak lama, kami menemukan satu dua lumba-lumba meloncat. Lalu menghilang. Kami mengitarinya lagi, setelah hampir 15 menit berputar-putar, lumba-lumba kembali muncul dan kali ini populasinya lebih banyak.

Dengan tanpa rasa takut, lumba-lumba mengiringi perahu kami yang mengitari laut di sekitar Pulau Tabuhan dan Kiluan, Kelumbayan, Tanggamus.

Sesekali kelompok lumba-lumba ini bermanuver di depan perahu kami, dari kiri ke kanan dan sebaliknya, tentu saja sambil mempertontonkan keahliannya meloncat. Kami menyebutnya tarian luma-lumba. Tarian itu kian kencang saat kami membuat suara gaduh memanggil mereka. "Wowowo...wowowo...wowowo...," teriak kami dari atas kapal.

Dengan dua kapal katir yang kami tumpangi, masing-masing kapal berisi empat penumpang, kami mengitari kumpulan lumba-lumba yang ukurannya tidak seragam. Ada yang besar (dewasa) dan ada pula yang kecil (anakan).

Begitu dekatnya lumba-lumba dengan kapal kami, saya sampai khawatir jika tubuh hewan berwarna abu-abu tua itu terantuk katir kapal kami.

"Hai lumba-lumba, jangan terlalu dekat, nanti kena katir kapal," ujar saya.

Semua wajah yang ada di atas kapal semringah. Bahkan saya sampai-sampai lupa untuk mengabadikan gambar si lumba-lumba berwajah jenaka itu, saking asyiknya bercengkerama.

Namun, hanya sebentar si lumba-lumba ini muncul di perairan berwarna biru pekat. Selepas pukul 09.00, mereka mulai tak terlihat lagi, kata Dirhamsyah, yang memandu kapal kami menuju ke populasi lumba-lumba.

"Kalau mau lihat lumba-lumba, biasanya berangkat mulai pagi sekitar pukul 06.00, sambil menikmati sinar matahari dan indahnya laut," kata dia lagi.

Benar saja, lumba-lumba mulai menjauh. Kami pun memutuskan kembali ke tepian untuk memancing ikan. Ternyata peruntungan saya mulai terlihat pagi itu, lumayan ikan kambingan dan kakak tua ukuran sedang terjerat pancing. Hmmm...asyik. (SRI AGUSTINA/MEZA SWASTIKA/ERLIAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 April 2010

April 10, 2010

Pariwisata: Jalan Sempit Kendala Wisata Lumbok

LIWA (Lampost): Jalan yang terlalu sempit menjadi kendala pengelola objek wisata Lumbok untuk menarik minat pengunjung. Oleh karena itu, Pemkab diminta untuk memperlebar jalan agar PAD (pendapatan asli daerah) bisa dihimpun dari sektor tersebut.

Rusman, salah satu anggota DPRD Lambar, sangat menyayangkan keberadaan jalan raya menuju objek wisata Lumbok yang hingga kini belum juga diperlebar. Padahal, jika kendaraan bus bisa hilir mudik, dipastikan pengunjung yang memasuki wilayah ini meningkat.

Objek wisata Lumbok sendiri kini dilengkapi sarana hotel yang cukup memadai (megah) serta ditunjang panorama Danau Ranau yang asri yang merupakan ciri khas Kabupaten Lambar.

Dari semua potensi yang ada, menurut Rusman, sudah seharusnya objek wisata itu diimbangi dengan sarana jalan yang juga memadai. Faktanya, kata Rusman, jalan yang ada selain terjal, juga sempit, sehingga tak bisa dilalui bus.

Dia mencontohkan panitia MTQ ke-38 yang akan diselenggarakan di Lampung Barat berniat memprogramkan peserta tur ke Lumbok. Tetapi, karena jalan menuju objek wisata tersebut kecil sehingga sulit dilalui bus, niat tersebut urung.

Sebagai alternatif, panitia berencana mengalihkan kunjungan wisata peserta MTQ ke Krui.

"Itu contoh kecil. Bayangkan jika wisatawan yang datang berskala nasional. Hanya lantaran jalan menuju lokasi sempat, mereka akan kecewa. Kita semua yang rugi," ujar dia lagi.

Dengan kondisi jalan yang seadanya, Rusman menyangsikan Lampung Barat akan mengalami peningkatan pengunjung.

Agar tak jalan di tempat, kini sudah saatnya Pemkab melakukan pembenahan, terutama untuk akses jalan menuju lokasi. Sehingga, apa yang diharapkan bersama dapat cepat terwujud.

"Bila tidak segera dicarikan solusi, bukan tidak mungkin objek wisata Lumbok hanya akan menjadi menara gading," ujar dia. (CK-7/D-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, Sabtu, 10 April 2010

Teknokra, Jejak Langkah Pers Mahasiswa

gambar dipinjam dari Maspril Aries di Facebooknya


Judul
Teknokra, Jejak Langkah Pers Mahasiswa

Penulis
Abdul Gofur dkk.

Editor
Budisantoso Budiman
Udo Z. Karzi

Rancang sampul/ilustrasi
Sani Kurniawan

Tata letak
Supendi

Hak cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
c Teknokra

Diterbitkan atas kerjasama
Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra
Universitas Lampung
Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lt. 1
Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1
Gedungmeneng, Bandar Lampung 35145
Telp. (0721) 788717
http://teknokra-unila.com

Pustaka LaBRAK
Perum Wismamas Kemiling
Jl. Teuku Cik Ditiro
Blok S12A No. 16
Bandar Lampung


Cetakan I, Maret 2010
xvii + 325 hlm., 14 x 21 Cm

ISBN: 978-602-96731-0-4




TIM PENYUSUN

Penulis Sejarah
Abdul Gofur, Andri Kurniawan, Iskandar Saputra,
Padli Ramdan, Yudi Nopriansyah

Kontributor
Anton Bahtiar Rifa’i, Budiyanto Dwi Prasetyo, Budisantoso Budiman, Fadilasari, Ferry Fathurokhman, Heri Kurniawan, Hersubeno Arief, Idi Dimyati, Juwendra Asdiansyah, Machsus Thamrin, M.A. Irsan Dalimunthe, Maspril Aries, Maulana Mukhlis, M. Fakhruriza Pradana, M. Thoha B. Sampurna Jaya, Muhajir Utomo, Muhammad Ma’ruf, M. Yamin Panca Setia, Roni Sepriyono, Taufik Jamil Alfarau, Turyanto, Zulkarnain Zubairi




Dari Penerbit


BILA ditilik dari makna leksikal, pers mahasiswa (persma) terdiri dari dua kata berbeda, pers dan mahasiswa. Pers dalam arti sempitdiartikan sebagai segala macam media informasi baik cetak maupun elektronik. Dalam arti luas, pers dimaknai sebagai media penyampai informasi berupa fakta atas realitas.

Sementara itu, kata mahasiswa mereposisikan sosok intelektual muda yang digadang-gadang memiliki idealisme, juga sebagai agen perubahan (agent of change) negeri ini. Jadi, secara utuh persma dimaknai sebagai media penyampai informasi yang dikelola langsung oleh mahasiswa sebagai motor penggerak organisasi.

Berbicara persma tak lepas dari berbicara soal romantisme gerakan mahasiswa di negeri ini. Bila menilik sejarah, persma memiliki peran strategis sebagai media penyulut semangat gerakan mahasiwa. Bukan main perannya, persma hadir sebagai alat dan corong kekuatan aktivis gerakan mahasiswa. Melalui tulisan–tulisannya, aktivis persma mencoba menghadirkan nuansa propaganda dengan tujuan menyatukan semangat mahasiswa di seantero negeri ini.

Tak hanya itu, persma sebagai wujud organisasi kampus juga dijuluki sebagai media alternatif yang bebas menyampaikan kritik soal bobroknya kebijakan pemerintah. Itu tak lain karena pers umum dalam masa pemerintahan otoriter mengalami distorsi kebebasan menyampaikan informasi dan kritik pada pemerintah.

Seiring berjalannya waktu, persma kemudian mulai kehilangan arah. Tujuan awal dibentuknya persma sebagai media propaganda mulai mengalami pembiasan makna. Ini tak lepas dari campur tangan pemerintah terhadap normalisasi organisasi kampus. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef pada tahun 1978 kala itu menerapkan peraturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan membentuk Badan Koordinasi Kampus (BKK).

Peraturan NKK/BKK yang merupakan pengganti Dewan Mahasiswa (DEMA) mensyaratkan adanya peran serta dosen sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi kemahasiswaan termasuk persma. Wacana soal pembatasan ruang gerak aktivitas mahasiswa pun mencuat kala itu. Pemberlakuan aturan baru ini menyebabkan persma menjadi lebih sulit bergerak dalam menyampaikan informasi.

Terlepas dari hal tersebut, persma tetaplah berkiprah layaknya pers umum–bahkan dalam beberapa hal memiliki kelebihan sebagai konsekuensi dari eksistensi mahasiswa yang mengelolanya--sebagai media penyaji informasi dan pengungkap fakta. Prinsip yang diterapkan pun tetap mengacu pada paham jurnalisme, kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers.

Dalam elemen kedua jurnalisme, pers haruslah setia pada warga dalam menyampaikan informasi sekaligus penjaring aspirasi menyoal kepentingan warga. Persma dalam hal ini sangat jelas perannya, yakni sebagai media penyampai aspirasi dan penyedia informasi kepada komunitasnya, mahasiswa dan lingkungan internal kampus.

Inilah yang kemudian membedakan persma dan pers umum. Ranah audience/pembaca persma fokus pada internal kampus. Sedangkan pers umum mengarah pada masyarakat secara luas. Namun tak dimungkiri, kiprah persma pun terkadang berkecimpung dalam ranah masyarakat umum baik dalam sekup daerah maupun nasional.

Aktivis persma memang terbilang unik. Penggiatnya memiliki peranan ganda, selain sebagai mahasiswa juga sebagai aktivis persma/jurnalis kampus. Selain itu, aktivitas persma pun dilakukan secara sosial, tidak dibayar layaknya pers umum yang menggaji wartawannya. Ini karena memang persma sebagai wadah organisasi kemahasiswaan lebih dijadikan sebagai tempat pembelajaran berorganisasi, khususnya dalam menambah wawasan jurnalistik.

Namun tak dimungkiri, fenomena ini terkadang membuat persma kurang profesional dalam menjalankan rutinitasnya. Sebut saja soal deadline terbitan yang sering “molor“ dan kontinuitas terbitan yang tak sesuai dengan yang diagendakan di awal kepengurusan. Kesibukan aktivitas kuliah terkadang menjadi alasan yang sulit terbantahkan. Belum lagi embel-embel kepentingan pribadi dan keluarga.

Persma meski hidup dalam “cengkraman” birokrat kampus juga tetap konsisten pada penerapan prinsip jurnalisme dalam mengungkap fakta. Berbagai permasalahan menyangkut kepentingan mahasiswa, dosen dan kebijakan kampus tetap disajikan secara konfrehensif melalui proses jurnalistik (mencari, menulis, menyunting hingga menyebarkan informasi).

Prinsip inilah yang mewarnai aktivitas persma saat ini, tak terkecuali Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Unila. Teknokra yang sedari 1 Maret 1977 berdiri turut menjadi pelaku sejarah dalam romantisme persma Indonesia. Sebagai salah satu persma tertua di Indonesia, Teknokra juga banyak menghasilkan bibit-bibit unggul penggiat pers, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Banyak kisah menarik dan mengharukan mewarnai jejak langkah perjalanan panjang Teknokra terangkum dalam buku ini. Sebut saja dalam momentum tragedi UBL Berdarah 28 September tahun 1999. Salah seorang fotografer Teknokra, alm. Saidatul Fitria kala itu gugur dalam proses peliputan karena terkena popor senjata dari aparat keamanan.
Buku ini selain menyajikan sekelumit kisah perjalanan Teknokra, juga menampilkan secercah kesaksian para penggiatnya. Selamat Membaca!

Tetap berpikir merdeka!



Gedongmeneng, Maret 2010

Kru Teknokra




Antaran Editor



SEJARAH panjang (1975-2009) perjalanan Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila), di Provinsi Lampung telah menginspirasi banyak mantan aktivisnya untuk menuangkan dalam sebuah buku agar terdokumentasi secara utuh. Ide besar yang lama terpendam itu, akhirnya berujung, menyusul gelombang dukungan dari para tokoh kunci setiap zaman ketika mereka tampil mengelola pers mahasiswa ini. Disokong pula para pengurus aktif Teknokra, ide besar itu akhirnya dikonkretkan.

Walaupun ternyata untuk mewujudkannya tak cukup hanya dengan semangat besar semata, karena memerlukan waktu sampai bertahun-tahun. Mafhum saja, banyak orang dari generasi yang berbeda dengan kesibukan masing-masing, serta tempat tinggal dan pekerjaan yang bertebar di mana-mana, harus pula dihubungi untuk memberikan kontribusi demi kelengkapan dan aktualitas buku ini. Para tokoh ini pun harus menuangkan pengalaman pada era masing-masing dengan panduan umum yang diberikan. Ibarat membuka memori lama, dengan kadar ingatan yang serba terbatas dan dokumentasi yang berceceran. Tapi akhirnya, benang merah perjalanan Teknokra itu pun terkuakkan juga.

Sekali lagi, tekad kuat belaka tak cukup dalam mewujudkan impian besar bersama itu, dan ternyata untuk mewujudkan buku sejarah Teknokra ini perlu napas dan stamina yang panjang serta kuat. Semula banyak orang bersemangat terlibat aktif di dalamnya, tapi akhirnya mengerucut sendiri, dan beberapa saja yang merasa berkewajiban terus menyelesaikan tugas besar bersama itu, dengan segala keterbatasannya, hingga akhir. Jadilah buku ini tersaji ke publik, juga berkat partisipasi pimpinan Unila yang sejak awal memberikan dukungan penuh termasuk pendanaannya.

Alur buku ini merupakan dua bagian besar episode jejak sejarah pers mahasiswa Teknokra, yaitu episode pertama yang berkisah tentang realitas sejarah jejak langkah perjalanan Teknokra dengan segala lika-likunya, berdasarkan penuturan dan penulisan aktualitas dari para saksi sejarahnya masing-masing. Episode berikutnya, merupakan aneka ragam (bunga rampai) pengalaman luar biasa, aneh, unik, menarik, lucu, mengerikan, menakjubkan dan paling berkesan yang ditulis oleh saksi sejarah para tokoh di Teknokra dimaksud dengan ”langgam”, versi dan logat serta lagak gaya masing-masing.

Editor akhir (Budisantoso Budiman dan Udo Z. Karzi)—setelah dibantu tim/panitia buku sebelumnya—berhasil menghimpun pengalaman, data dan tulisan yang berserak itu, sehingga meneruskan semuanya itu, untuk mensinkronkan bahan baku buku ini yang telah tersedia dan sempat bertahun-tahun mengendap, memolesnya di sana-sini seperlunya, dan berusaha menghadirkannya menjadi satu bagian utuh perjalanan sejarah Teknokra dengan segala pernak-perniknya ini.

Waktu editing dan target deadline penerbitan yang relatif singkat—seperti biasanya kerja jurnalistik berlaku--menjadi kendala untuk dapat menampilkan buku ini secara lebih komprehensif dan lengkap lagi. Keterbatasan bahan awal menjadi salah satu kendala utamanya. Jadilah, buku ini walaupun dengan susah payah dan lama baru bisa diterbitkan, pada akhirnya tetaplah akan menjadi sangat terbuka untuk dikoreksi, diperbaiki, ditambah dan dikurangi serta mungkin saja untuk ditulis kelanjutan episode perjalanan sejarah Teknokra selanjutnya, melalui penerbitan revisi atau menerbitkan edisi baru berikutnya sebagai sebuah bagian dokumentasi pengalaman mengelola sebuah penerbitan pers mahasiswa.

Buku ini dipersembahkan tidak lain untuk para alumni Unila yang pernah aktif di Teknokra secara keseluruhan, juga bagi seluruh sivitas akademika Unila dan para alumninya, bagi seluruh aktivis pers mahasiswa, dan mahasiswa umumnya di kampus-kampus seluruh Indonesia, termasuk para intelektual dan pegiat prodemokrasi dan pers bebas, serta masyarakat dan bangsa ini keseluruhannya.

Bagi pengurus aktif Teknokra saat ini, buku ini menjadi persembahan besar menyambut peringatan HUT ke-33 Teknokra, 1 Maret 2010, untuk sekaligus membuktikan aktivis pers mahasiswa Teknokra Unila sampai kini masih terus berbuat dan berkarya menjadi yang terbaik pada zaman masing-masing.

Mudah-mudahan isi buku ini dapat menginspirasi dan memberi manfaat yang besar bagi semua pembacanya tanpa kecuali.

Selamat membaca.


Palembang-Bandar Lampung, Maret 2010


Budisantoso Budiman
Udo Z. Karzi




Daftar Isi


Dari Penerbit
Antaran Editor
Tentang Penulis

BAGIAN PERTAMA
LINTASAN SEJARAH TEKNOKRA
1. Pembuka
2. Terjal Merintis Jalan (1975-1985)
3. Pencarian Jati Diri (1986-1992)
4. Metamorfosis Pers Alternatif (1993-1998)
5. Pergulatan Pascareformasi (1999-2009)
6. Meneruskan ‘Kegilaan’

BAGIAN KEDUA
TEKNOKRA DALAM CATATAN ALUMNI
1. Dua Bulan Ditahan di Korem - Muhajir Utomo
2. Catatan yang Tercecer di Teknokra - M. Thoha B. Sampurna Jaya
3. Tantangan Merevitalisasi Teknokra - M.A. Irsan Dalimunthe
4. Teknokra, Rumah Kedua… - Hersubeno Arief
5. Makan Siang Dibayar Kaset - Maspril Aries
6. Cerita Zaman Pers Mahasiswa: Catatan Ringan Seputar Teknokra - Machsus Tamrin
7. Fakultas” Teknokra Membentuk Profesionalisme Kepenulisan - Budisantoso Budiman
8. Manusia Terkutuk Itu... - Zulkarnain Zubairi
9. Menggapai Mimpi Melalui Pers Alternatif - Anton Bahtiar Rifa’i
10. Merintis Hidup dari Pojok PKM - Fadilasari
11. Anak-Anak Malam - Heri Kurniawan
12. Tepuk Tangan dalam Keheningan - Juwendra Asdiansyah
13. Kegagalan Terbesar Hidup Manusia adalah Keengganan untuk Berani Mencoba - Maulana Mukhlis
14. Teknokra itu Candu - Idi Dimyati
15. Perjalanan Seorang Manusia di Teknokra - M. Fakhruriza Pradana
16. Menantang Slogan Berpikir Merdeka - Muhammad Ma’ruf
17. Mengais Masa Depan dari Pojok PKM - M. Yamin Panca Setia
18. Buku, Pesta, dan Cinta - Budiyanto Dwi Prasetyo
19. Sekeping Perjalanan di Teknokra - Ferry Fathurokhman
20. Bara Cinta di Bilik Ruang Berita - Turyanto
21. Super- Man! - Roni Sepriyono
22. Sepenggal Cerita di Pojok PKM - Taufik Jamil Alfarau