Penulis: Lea Febriany Editor: Taryono
"DERMAGA Tak Bernama" merupakan tafsiran, makna, dan pencarian kegelisahan- kegelisahan (penulis) dalam pencarian jati diri. Sebab, sampai saat ini, bila ada yang bertanya apakah sudah menemukan jati diri dan kepuasan, pasti tidak pernah cukup."
DEMIKIAN Fitri Yani mengungkapkan maksud antologi puisinya yang bertajuk Dermaga Tak Bernama. Ia meluncurkannya dalam Bilik Jumpa Sastra (Bijusa) ke-22 di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung, Sabtu (22/1) malam.
Tema antologi puisi Fitri lebih banyak menceritakan berbagai pengalaman kehidupan dan pencarian jati dirinya. Karya antara 2006-2010 ini merupakan seleksi dari berbagai karyanya.
Antologi puisi tersebut terbagi dalam tiga sub bab, yaitu Ihwal Perjumpaan, Menunggu, dan Suara-Suara Sebelum Terjaga. Ia terinspirasi karya-karya WS Rendra. "Dia sangat berani. Anak-anak muda zaman sekarang patut meniru sepak terjangnya dalam berkarya," ujar Fitri.
Penyair muda Lampung kelahiran 28 Februari 1986 ini menyelesaikan buku pertamanya yang berisi 64 puisi hanya dalam waktu lima bulan. Meski demikian, ia merasa waktu tersebut belumlah cukup saat memutuskan menyelesaikannya.
Dengan penerbit Siger Publisher, sejumlah penyair kondang Lampung membacakan puisi-puisi Fitri dalam bijusa, seperti Isbedy Stiawan Z.S., Edy Samudra Kertagama, dan Ari Pahala Hutabarat. Mereka membawakan puisi, seperti Menjelang Subuh, Sebuah Kereta, Dermaga Tak Bernama, Kafetaria Tanjung Karang, dan Suara-Suara Dari Balik Jendela.
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat membedah antologi puisi Fitri. Djadjat menitikberatkan pada upaya menafsirkan tanda. Ia 'menyingkirkan' godaan untuk membaca biodata penyair (Fitri) sebelum membaca karya agar tidak 'tersandera' sang penyair.
"Saya baca daftar isinya, saya pilih puisi yang berjudul Dermaga Tak Bernama. Ini tentu tanda yang menggoda," kata Djadjat. "Mengapa penyair memilih ini (Dermaga Tak Bernama) sebagai representasi seluruk sajak? Mengapa tidak memilih sajak yang lain, yang lebih bercerita tentang Lampung?" terusnya.
Djadjat menilai, Dermaga Tak Bernama menjadi tanda yang berbeda dari puisi-puisi Fitri. Penikmat sastra tak sekadar menikmatinya sebagai sebuah kode rahasia. "Sebuah tamasya batin dan pikiran, seperti kata Tzvetan Todorov? Ada interaksi intim yang melahirkan teks-teks baru," ujarnya.
Dunia tafsir, sambung Djadjat, sebuah lautan yang tak bertepi. Karya-karya Chairil Anwar, juga WS Rendra, ia mencontohkan, melahirkan teks-teks baru jauh lebih banyak dari teks utama.
Menurut Djadjat, penyair seakan ingin menegaskan, dirinya tak ingin membebankan sejumlah persoalan yang mengemuka dalam puisi-puisinya kepada pembaca. "Dia cukup menjawabnya (persoalan) sendiri, meski dengan sekadar gumam. Penyair gelisah dan bergulat dengan kerisauan, tapi dia atasi sendiri dengan sekuatnya. Adakah wanita Lampung yang punya tradisi kemandirian, yang tak membebankan problemnya kepada orang lain?" jelas Djadjat.
Sumber: Tribun Lampung Online, Minggu, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment