Oleh Alexander GB
Penyair : seandainya kamu penyair, apa yang kamu tulis?
Temannya : ketidakindahan, sesuatu yang ada pada diriku sukar ditemukan
(“Penyair dan Temannya”, halaman 41).
Hening yang bertindak. Demikian kira-kira kesan ketika saya diminta melukiskan puisi-puisi Inggit Putria Marga yang terhimpun dalam buku antologi puisi Penyeret Babi. Puisi-puisinya mengajak kita merenungkan esensi diri dan semesta. Sebuah pencarian tentang diri, hidup, pergantian musim, dan spiritualitas. Dia adalah penyair wanita paling menyita perhatian dalam konteks perkembangan sastra (puisi) di Lampung. Antologi ini adalah manifestasi ide dan keluasan wawasan Inggit.
Bagaimana Inggit di mana para pelaku sastra yang lain “Dia menjadi Inggit ketika menulis tentang tumbuhan, air, hujan, batu, telur, ayam, laut, lumut, daun, ricik air,–dengan sajak-sajak pendek yang kuat.” Demikian ujar Oyos Suroso HN ketika diminta membahas puisi-puisi Inggit pada Bilik Jumpa Sastra (Bijusa) Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni(UKMBS) Universitas Lampung, 24 November 200. Dia menjadi Inggit. Berarti ada periode ia tidak atau belum menjadi Inggit dalam pandangan Oyos Suroso HN yang sehari-hari juga menulis puisi, esei, mengamati teater dan wartawan The Jakarta Post.
Menarik membincangkan apakah ia benar-benar Inggit atau bukan Inggit pada kumpulan puisi pertamanya ini. Bagi saya semua adalah Inggit. Saya melihat ia melakukan serangkaian ujicoba (eksplorasi), baik gaya bersajak maupun tema—antara bentuk dan isi. Saya menyelami keluasan dan kedalaman Inggit dalam memaknai hidup. Setelah membaca, menyisir halaman demi halaman, melihat antara satu puisi dengan puisi lainnya. Saya beranggapan bahwa mungkin benar pendapat Oyos Suroiso HN, tetapi juga mungkin tidak sepenuhnya benar. Saya lebih suka mengatakan barangkali, mungkin, Inggit tidak peduli apakah dia akan melahirkan puisi-puisi panjang atau pendek. Saya percaya ia hanya peduli bagaimana menulis puisi dengan baik, baik logika, tata bahasa, sudut pandang, maupun cara ia melontarkan kata demi kata. Kadang panjang dan kadang pendek. Seperti yang bisa Anda dapatkan di buku ini.
Judul dan cover buku ini cukup provokatif, merupakan puisi-puisi pilihan Inggit dari tahun 2001–2009, berisi 72 judul puisi. Inggit membagi dua bagian utama, atau dua bab, atau dua kategori, atau ia hanya ingin membaginya dua bagian saja. Bagian pertama ia beri judul “Mantra Petani” yang berisi 30 puisi. Kemudian bagian ke dua berjudul “Pemuja Api” yang berisi 42 puisi. Pada bagian pertama didominasi oleh puisi-puisi pendek. Pada bagian ke dua didominasi puisi-puisi panjang, beberapa judul sebentuk puisi prosa.
Ini adalah buku pertama setelah Inggit mampu membuktikan diri sebagai penyair yang berkualitas. Sebagian besar karya-karya yang ada di buku ini sudah dipublikasikan di berbagai media nasional seperti koran Tempo, Kompas, Republika, Media Indonesia, Lampung Post dan masih banyak lagi lainnya. Berbagai iven bertaraf nasional dan internasionl beberapa kali mencatatkan namanya sebagai salah satu peserta, puisinya juga langganan dipilih sebagi slah satu puisi terbaik versi Anugerah Sastra Pena Kencana (2008, 2009). Baru-baru ini ia menjadi salah satu peserta Ubud Writer Festival 2009, setelah sebelumnya menjadi salah satu peserta International Literary Bianalle 2005 dan 2009.
Setiap penikmat sastra di Indonesia saya rasa sangat baik jika menjadikan buku ini sebagai salah satu koleksi pribadi. Puisi-puisi pilihan Inggit enak sebagai bacaan, bahan renungan atau menjadi tema diskusi untuk melihat perkembangan sastra yang berkembang di ranah Lampung. Selain beberapa nama lain semacam Isbedy Setiawan ZS, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Oyos Suroso HN dan masih banyak lagi nama-nama penyair dari Lampung lainnya yang tak sempat saya sebutkan satu persatu.
Pada antologi ini Anda juga akan menemukan tipografi puisinya yang cantik, tidak seperti kebanyakan perempuan penyair Indonesia. Ia memberi warna lain bagi peta perpuisian Indonesia. Pada bagian dua (“Pemuja Api”) puisi-puisi Inggit cenderung panjang. Mungkin karena Inggit sedang mencari bentuk pengucapan yang berbeda dari puisi-puisi sebelumnya. Atau puisi-puisi pendeknya sudah tidak memadai lagi untuk mengungkapkan ide-idenya yang mengandung unsur-unsur spiritualitas (secara lebih longgar) itu.
Sementara pada bagian pertama (“Mantra Petani”) selin bahwa puisi-puisi pada bagian ini lebih pendek-pendek dibanding bagian kedua, tetapi lebih didorong oleh tema yang berbeda. Mungkin sama-sama sublim tetapi ia ungkapkan dengan cara yang berbeda. Menurutku banyak puisi yang sederhana pada bagian pertama. Sederhana dalam artian diksi-diksi dan pola ungkapnya. Mungkin tidak bermaksud membuat haiku, tapi beberapa puisi pada bagian pertama seperti haiku: sederhana dan langsung telak ke sasaran.
Setidaknya larik-larik tipografi, pola ungkap, pemakaian majas, metafora, dan lain-lain terus berjalan seiring dengan dedikasinya yang tak putus-putus dalam sepuluh tahun terakhir, dedikasi yang telah menghantarkan Inggit sebagai salah satu penyair wanita yang dimiliki Lampung dan Indonesia. Sebuah proses mencipta yang oleh filsuf Alfred Whitehead sebut sebagai “proses untuk menjadi”. Dalam proses “meng-Ada”, manusia pada dasarnya selalu dalam proses untuk menjadi. Bagaimana Inggit menganyam kata menjadi manik-manik frasa dan frasa-frasa itu membangun sebuah puisi yang utuh-padu dan otentik. Inggit termasuk sedikit dari penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Apakah Anda lebih menyukai puisi-puisi pendek Inggit, merasakan ekstase tekstual ketika puisi hadir seperti sebuah tonjokan, lalu tiba-tiba merintih sedih. Atau seperti orang yang datang dengan banyak cerita tentang pengalaman pribadinya. Puisi yang baik barangkali adalah puisi yang mampu melahirkan ambiguitas, yang memungkinkan tafsir berlapis-lapis sebagaimana pendapat Nirwan Derwanto. Dengan rumpang antar-frasa, kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala. Puisi menjadi sering menakjubkan—bahkan sering tak disadari penyairnya sendiri—karena ada rumpang sunyi, ada imaji yang tak terduga, ada estetika dionisian yang ditawarkan. Puisi-puisi yang berhasil membuat rasa takjub hadir dalam imajinasi kita. Sebagai manifestasi proses internalisasi penyair terhadap diri, realitas, dan sesuatu yang lain, yang mungkin akan kita sebut sebagai Tuhan.
Buku ini menarik mungkin karena banyak rumpang sunyi di dalamnya, atau imajinasi, atau tema, atau majas-majasnya, atau pada benda-benda sekitar kita yang mendapat pemaknaan baru, yang lebih sublim oleh Inggit Putria Marga. Ketajaman dan kelenturan dalam melontarkan ide-idenya seputar eksistensi dan spiritualitas Inggit melalui jalan puisi bisa kita simak dalam puisi-puisinya kali ini. Buku Penyeret Babi masuk lima besar anugerah Khatulistiwa Literature Award 2010. Terakhir selamat membaca puisi-puisi Inggit. Silahkan mencari atau menemukan ketidakindahan yang sukar ditemukan.***
Alexander GB, lahir di Ulubelu, Tanggamus, Lampung, 25 September 1980. Tinggal di Bandar Lampung. Menulis prosa, esei, resensi buku dan ulasan pertunjukan teater beberapa di antaranya di muat di Lampung Post, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia dan lain-lain. Aktif di Komunitas Berkat Yakin Lampung.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 Januari 2011
No comments:
Post a Comment