Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
BERITA tentang eksistensi perpustakaan di sekolah tampaknya jarang muncul ke ruang publik. Ketika muncul berita Lampung Post (Rabu, 26 Januari 2011) yang memuat data tentang 75% SD/MI di Lampung tak memiliki perpustakaan, tentu saja mengejutkan bagi sebagian pihak yang memiliki perhatian terhadap pendidikan dan perpustakaan. Bagi sebagian masyarakat yang lain mungkin dianggap biasa saja.
Diberitakan, untuk tingkat SMP dan SMA jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan relatif lebih baik. Secara umum dapat dikatakan bahwa dari sisi kuantitatif jumlah perpustakaan itu sangat minim. Lalu bagaimana kategori kualitas perpustakaan dari SD/MI yang sudah memilikinya? Pertanyaan lain yang pantas diajukan adalah bagaimana perpustakaan itu dikelola, seberapa banyak sumber daya yang dimiliki, bagaimana pengembangan dan pembinaannya, dan bagaimana warga sekolah memanfaatkannya? Apa saja kontribusi yang diberikan atas eksistensi perpustakaan itu?
Dari yang sedikit SD/MI yang telah memiliki perpustakaan itu, tentu menghadapi berbagai problematika teknis. Tapi itu masih lebih baik, karena tinggal memperbaiki atau meningkatkannya. Yang susah adalah berbicara yang tidak ada. Kalau suatu sekolah tidak memiliki perpustakaan, solusi pertama adalah membangun perpustakaan terlebih dahulu.
Berita Lampung Post juga menyebutkan angka yang agak lebih bagus terungkap dari sekolah-sekolah di Bandar Lampung. Disebutkan dari 245 SD di Bandar Lampung, hanya 151 sekolah yang memiliki perpustakaan; dari 88 MI hanya 26 yang memiliki perpustakaan, dari 114 SMP (91) dan dari 22 MTs (11). Untuk tingkat SMA angka sekolah yang memiliki perpustakaan hampir 100%, yaitu dari 54 SMA ada 53 sekolah yang memiliki perpustakaan.
Walaupun begitu, jumlah perpustakaan di sekolah tersebut dapat dikatakan tidak terlalu menggembirakan. Sebab, data tersebut dari ibukota provinsi. Lalu bagaimana data perpustakaan sekolah dari kabupaten/kota yang lain, jika Bandar Lampung dijadikan tolok ukur?
Berbagai literatur mengungkapkan problematika perpustakaan, baik itu perpustakaan umum, perpustakaan institusi pendidikan, perpustakaan desa, perpustakaan tempat ibadah, dan sebagainya adalah kurangnya perhatian dan komitmen dari para penentu keputusan. Permasalahan ini memberi dampak ikutan pada problem teknis seperti pengadaan bahan pustaka, penyelenggaraan pelayanan, pemeliharaan, dan pengembangan.
Sedangkan di antara institusi yang bertanggung jawab terhadap eksistensi suatu perpustakaan, prakteknya masih kurang sejalan dengan kebutuhan penggunanya. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berkembang. Bagaimana perpustakaan dapat memanfaatkan kemajuan itu untuk mamkin memperkokoh peran dan kontribusinya bagi kepentingan belajar warganya. Upaya mewujudkan masyarakat belajar dan masyarakat yang berbudaya membaca harus ditopang dengan penyediaan perpustakaan yang memadai.
Perpustakaan pada dasarnya adalah institusi yang harus memiliki karakteristik progresif dan demokratis. Progresif artinya mengikuti kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, menyediakan sumber bacaan yang relevan dengan kebutuhan penggunanya. Apalagi dewasa ini konsep perpustakaan telah berkembang. Jika dahulu perpustakaan dideskripsikan sebagai ruangan atau gedung dengan buku-buku dan rak-rak, sekarang konsep perpustakaan adalah sarana untuk belajar yang mencakup segala sesuatu yang terkait bahan dan materi belajar. Materi koleksi perpustakaan dapat berupa data digital, audio, video, dan sebagainya yang disimpan dalam berbagai medium penyimpanan; kaset, disket, CD, hard disc, flashdisc, dan sebagainya.
Perkembangan mutakhir di bidang teknologi informasi dan komunikasi menjadikan perpustakaan tidak terbatas pada gedung/ruangan. Sumber belajar yang digambarkan sebagai koleksi perpustakaan bisa berada di tempat lain dan diakses melalui internet. Dalam konteks demikian, maka perpustakaan merupakan jaringan data sumber informasi.
Walaupun demikian, perpustakaan dalam arti fisik seperti gedung/ruangan dan buku-buku koleksi masih merupakan kebutuhan masyarakat kita. Keberadaan perpustakaan dalam arti sebagai suatu tempat tidak akan hilang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Bahkan keduanya saling melengkapi.
Perpustakaan memiliki karakteristik demokratis artinya perpustakaan merupakan suatu tempat di mana setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan aktualisasi dirinya. Perpustakaan bersifat demokratis artinya terbuka dalam memberikan pelayanan, dan senantiasa melakukan perbaikan. Perpustakaan menjadi tempat di mana setiap orang dapat bertemu dengan orang lain yang memiliki kesamaan maksud, yaitu menambah pengetahuan. Mereka dapat berinteraksi dalam suasana saling belajar.
Dalam konsep pendidikan, perpustakaan adalah salah satu sumber belajar. Apa saja yang ada di perpustakaan adalah sumber belajar; orang (pustakawan dan staf perpustakaan, koleksi perpustakaan, sarana penunjang perpustakaan, dan setting ruang).
Dari sudut pandang pelayanan, perpustakaan merupakan suatu urusan jasa layanan. Hal ini mengisyaratkan bahwa perpustakaan harus memberikan pelayanan yang terbaik. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan yang terus menerus. Salah satu unsur kunci dalam memberikan pelayanan yang terbaik adalah unsur manusia (pustakawan dan staf perpustakaan).
Pustakawan dan kalangan yang berkecimpung dalam dunia perpustakaan menyadari bahwa kebutuhan pengguna perpustakaan juga terus berkembang. Kebutuhan pengguna jasa layanan perpustakaan akan selalu meningkat seiring perkembangan yang terjadi di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Pengguna jasa kian memiliki alternatif untuk memenuhi kebutuhannya akan data dan informasi. Jadi agar eksistensi perpustakaan dapat memberikan kontribusinya yang bermakna bagi penggunanya yang bermaksud belajar, maka perpustakaan harus menjadi perhatian utama institusi induk yang bertanggung jawab.
Membicarakan keberadaan perpustakaan, dari segi jumlah yang memprihatinkan tersebut, kita tidak boleh pesimistis apalagi apatis. Diharapkan, para pihak yang memiliki kewenangan menentukan keputusan terhadap kemajuan dan keberlanjutan suatu perpustakaan memiliki komitmen untuk mewujudkan perpustakaan yang “memadai”.
Dari sisi landasan hukum, perpustakaan memiliki angin segar dengan diundangkannya Undang-undang No 43 Tahun 2007. Sayangnya, sepanjang pengetahuan penulis, efek langsung dan hasil dari UU tersebut belum begitu terasa manfaatnya. Bahkan hingga kini aturan pelaksanaannya masih dalam bentuk rpancangan peraturan pemerintah.
Di kalangan orang-orang yang berkecimpung di dunia perpustakaan, tetap digelorakan semangat dan optimisme untuk membangun perpustakaan yang mampu memberikan kontribusi bagi penggunanya. Berbagai komunitas dan jaringan perpustakaan dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan masyarakat yang membutuhkan jasa perpustakaan.
Dwi Rohmadi Mustofa, Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan, FKIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Januari 2011
No comments:
Post a Comment