Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
KETIKA kita membincangkan masa depan jagat seni rupa Lampung, kita harus berhadapan dengan potensi yang dimiliki Lampung. Dalam hal ini tentunya perupa sebagai sumber daya manusia sebagai modal utama.
Menurut kurator dan kritikus seni rupa almarhum Mamannoor, jagat seni rupa Lampung sangat potensial. Lampung kaya ragam rupa lokal yang bisa dijadikan ikon, salah satunya ragam hias tapis. Mestinya perupa mau menyelami ragam budaya yang dimiliki Lampung untuk mewarnai karyanya dengan spirit of Lampung ((roh ke-Lampung-an).
Selain itu, Lampung juga kaya pesona alam, baik berupa keindahan pantai maupun bentang alam serta flora dan fauna. Yang bisa menginspirasi para perupa untuk “mengkanvaskan” kearifan lokal dan keindahan yang memesona menjadi nilai tambah (value added) dalam karya rupanya.
Kang Maman pernah memberi sentuhan pada perjalanan jagat seni rupa Lampung. Jagad seni rupa Lampung pada waktu itu mengalami kemajuan signifikan. Tak hanya dalam karya, juga dalam olah wacana. Upaya yang dilakukan, selain gelar karya, diskusi, dan dialog pun menjadi ajang mengolah rasa juga tempat menggodok berbagai gagasan.
Selain itu, perkembangan jagat seni rupa Lampung tidak terlepas dari berbagai macam elemen pendukung yang hadir menjadi infrastruktur dari sebuah medan sosial seni. Di antaranya lembaga-lembaga seni, seperti Taman Budaya, Museum, Dewan Kesenian, institusi (akademi seni rupa), galeri, kritikus seni rupa, kurator, art dealer, dan kolektor. Masing-masing dari elemen yang disebutkan tadi berfungsi sesuai dengan porsinya (tufoksi) masing-masing.
Institusi akademi, mencetak calon seniman dengan menawarkan keberagaman karyanya, hingga akhirnya masuk ke dalam galeri yang dikemas dalam sebuah pameran dengan keterlibatan kurator di dalamnya.
Setelah itu, giliran publik yang mengapresiasi. Publik di sini berarti masyarakat umum yang di dalamnya terdapat wartawan, kritikus, kolektor, pengamat, dan masyarakat awam.
Wartawan, kritikus, dan pengamat menjalankan fungsinya melalui media menginformasikan dan mengapresiasi karya yang ditaja. Sedangkan kolektor menyerap karya dengan membeli dan mengoleksi sebuah karya dari seorang seniman pada sebuah pameran (pasar).
Ilustrasi di atas menggambarkan alur dari proses transaksi ekonomi dan juga transaksi kultural (pembelajaran) dalam jagat seni rupa seniman, galeri, kurator, kritikus, media, dan kolektor akhirnya membentuk mekanisme dari sebuah pasar dalam dunia seni. Semua saling berhubungan dan saling menguntungkan (simbiose mutualisme).
Sebagus apa pun kondisi pasar, tidak akan bertahan lama apabila tidak disertai dengan penyebaran informasi dan pengembangan pengetahuan (transaksi kultural) akan mekanisme pasar bagi calon pengelola galeri, seniman, kurator, kritikus, pengamat dan kolektor. Jadi, ajang pameran bukan hanya sebagai pasar transaksi ekonomi (wacana pasar), melainkan juga sebagai pasar wacana, yaitu tempat pembelajaran kultural alias ngangsu kawruh.
Juga sejauh mana kurator, kritikus, pengamat, dan wartawan yang ada dapat berperan dengan memberikan pengetahuan atau informasi yang cerdas bagi pengapresiasi.
Perkembangan seni rupa di Lampung tidak diimbangi infrastruktur pendukung, antara lain gedung pameran yang representatif, sekolah tinggi kesenian, kolektor, dan galeri.
Lampung belum memiliki tokoh seni rupa (lokal) yang bisa dijadikan panutan yang punya gagasan-gasan cerdas dan memiliki jejaring dengan poros-poros seni rupa yang ada diberbagai kota dan mancanegara.
Kendala lainnya, yang dihadapi perupa Lampung adalah sulitnya memperoleh prasarana garap seni rupa, seperti kanvas, cat minyak, apalagi untuk material patung, grafis, dan kriya seni.
Persoalan lainnya yang juga penting, Lampung juga tidak memiliki kritikus seni rupa yang mengangkat persoalan-persoalan jagat seni rupa Lampung ke pentas nasional. Lampung juga belum memiliki galeri yang representatif dan memiliki kurator, yang ada baru sebatas studio gallery dan art dealer.
Sedangkan sponsor dalam jagat seni rupa Lampung masih menjadi kendala. Para sponsorship lebih tertarik menyokong pergelaran musik dan olahraga ketimbang seni (rupa). Ke depan ini merupakan pekerjaan rumah untuk menciptakan stakeholder yang mau mendukung event seni rupa.
Ini mungkin salah satu yang membuat perupa Lampung kurang fight berkompetisi dalam berkarya untuk menancapkan eksistensi dengan berpameran tunggal (solo exibition).
Persoalan karya baik secara kuantitas maupun kualitas juga menjadi kendala bagi perupa Lampung untuk bersaing di ranah seni rupa nasional.
Sedangkan media yang diharapkan bisa mendongkrak dunia rupa belum sepenuhnya mendukung publikasi yang apresiatif. Publikasi yang membangun agar para pelaku yang berkubang di jagat seni rupa menjadi kreatif dan cerdas. Di Lampung kuratorial pameran pun juga masih menjadi persoalan penting.
Padahal peran kurator sangat penting agar pameran punya konsep yang jelas dan tak sekadar ramai-ramai mengusung karya.
Ke depan, Lampung sangat membutuhkan institusi pendidikan seni rupa yang berfungsi menjadi semacam penjaga gawang agar institusi pendidikan sebagai salah satu infrastruktur dari sebuah konstelasi dunia seni rupa dapat memberikan kontribusi dalam membangun suprastruktur yang lebih baik dan sehat.
Dalam artian, ke depan sangat dibutuhkan keterbukaan dari setiap elemen yang ada di dalamnya. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa perkembangan dalam jagat seni rupa di Lampung secara khusus harus disikapi dengan sikap terbuka oleh seluruh elemen yang ada di dalamnya.
Keterbukaan adalah hal yang wajib dalam arti penyebaran informasi, pengembangan, penelitian seni rupa, dan edukasi seni. Demi kemajuan jagat seni rupa Lampung, keterbukaan adalah nilai-nilai yang tidak bisa ditawar dan kita abaikan. Semuanya adalah harapan yang ditumpukan pada setiap insan yang peduli dan punya "kegelisahan" akan nasib dunia seni rupa Lampung di masa depan.
Kita masih harus belajar banyak dari para perupa daerah lain Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali. Perupa daerah lain sudah berorientasi berpameran dan membidik pasar lewat balai lelang bergengsi di mancanegara. Sedangkan perupa Lampung masih tertatih beringsut bak siput tersandung masalah-masalah klasik dan elementer.
Di ranah seni rupa nasional Lampung baru sebatas “penonton”. Mari kita bersama menata diri untuk membangun jagat seni rupa Lampung agar setara dan bisa duduk sejajar dengan daerah lainnya.
Mak gham siapa lagi. Mak ganta kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi.
Christian Heru Cahyo Saputro, Pengamat Seni Rupa, tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Februari 2011
No comments:
Post a Comment